Wednesday, October 31, 2007

PEGAWAI NEGERI



Adik saya punya cita-cita yang agak aneh untuk ukuran zaman sekarang: menjadi pegawai negeri. Sewaktu akan lulus SMU, setengah nyengir ia bilang ingin masuk IPDN. Tentu saja semua menghadangnya. "Untuk apa menyekolahkan anak jauh-jauh kalau cuma mau dipukuli," ini suara khas ibu-ibu. Adik saya pun kemudian sekolah di UPI. Ia memang punya mimpi jadi guru.

Jadi guru sendiri terdengar agak aneh. Bapak kami seorang guru yang hidup miskin secara finansial. Apa yang ingin ditiru dari hidup sebagai guru oleh adik saya itu? Mungkin saya tak lagi memahami cita-cita anak zaman sekarang. Atau karena mungkin saya tak pernah punya cita-cita. Saya sekolah karena kepincut dongeng di radio kabupaten yang menceritakan seorang sarjana pertanian yang bekerja di desa sebagai penyuluh dan--terutama--sukses menikahi anak kepala desa. Jadi sarjana adalah sebuah keinginan yang tak spesifik. Cita-cita adik saya jelas: guru. Ini sebuah profesi sekaligus pekerjaan.

Atau cara pandang saya musti diubah. Pegawai negeri dalam kepala saya adalah sebuah ruangan yang tak pernah dipel. Sebuah kantor yang penuh asap rokok dengan ujung meja yang menghitam disesaki map yang tak jelas fungsinya. Sebuah ruangan yang dipenuhi orang berseragam yang menguap atau mengobrol. Pokoknya sebuah kantor yang tak memproduksi apa-apa.

Barangkali saya harus menghapus gambaran kumuh pegawai negeri seperti itu. Sebab, pegawai negeri kini adalah sedan mewah, dengan jas dan dasi, tak ada lagi safari atau korpri. Penataran P4 berganti dengan kursus manajemen. Mereka tinggal "bekerja" karena subsidi disediakan dengan sangat melimpah: 40 persen pajak negeri ini dipakai untuk menggaji ratusan ribu pegawai negeri.

Dan pegawai negeri adalah penyelamat negeri ini. Negeri ini masih ada karena orang masih bisa makan meskipun tak ada pekerjaan. Negara menyelamatkan negeri ini dari chaos akibat bom pengangguran. Indonesia tak seperti Yordania ketika Pangeran Abdullah II naik tahta menggantikan ayahnya yang meninggal. Abdullah menggebrak dengan memangkas jumlah pegawai negeri karena mereka menghabiskan anggaran sambil menguap.

Tapi birokrat Yordania segera hidup makmur begitu bekerja di swasta karena ada begitu banyak perusahaan yang butuh pekerja di luar sana. Tak ada yang mengganggur, birokrasi begitu ringan dan langsing, efektif, dan cekatan. Ia bukan lagi "seekor raksasa" yang rakus makan seperti istilah Trotsky.

Tapi raksasa yang gemuk atau langsing, seperti di sini, pegawai negeri terus diburu. Para tetangga yang punya anak baru lulus kuliah tak henti menanyakan informasi lowongan di departemen. Pekerjaan ini masih (atau terus?) dianggap seksi. Di Jembrana para pegawai bahkan menggondol bonus tiap bulan, setelah gaji dinaikkan dua kali lipat. Syaratnya sangat mudah: bekerja dengan jujur.

Saya mungkin musti segera mengubah stereotip buruk terhadap pegawai negeri. Adik saya barangkali sejenis orang yang realistis, produk zaman kiwari. Sebab, saya yang bekerja menjadi
pegawai luar negeri pun toh tak lebih kaya dibanding bapak saya di kampung. Pegawai negeri jelas menjanjikan tingkat kekayaan, juga status.

Tuesday, October 23, 2007

ANAK-ANAK YANG KEHILANGAN SUNGAI



Anak-anak yang kehilangan sungai, mereka harus menempuh jalan jauh agar bisa berenang. Mereka harus berdandan, menyiapkan ongkos, membekali diri dengan sabun dan handuk. Mereka berdesakan di mobil bak terbuka, ke kolam renang di kecamatan. Ketika sungai-sungai kering orang-orang membangun kolam dengan tiket dan satpam.

Anak-anak yang kehilangan sungai, mereka tak lagi bebas beradu tangkas menjajal seberapa dalam palung dan oplak. Di kolam buatan itu mereka menemui kedalaman sungai yang sama dan terukur. Mereka tak belajar bagaimana menjelajah. Mereka kehilangan permainan.

Tapi barangkali ini sebuah romantisme. Ketika saya kecil, sungai adalah arena menjajal nyali. Kami—anak-anak seumuran 6-10 tahun—harus mencuri kesempatan agar bisa berenang di sungai Cisanggarung yang lebar dan dalam. Kami harus sembunyi dari mata para tetangga yang bisa melaporkan keasyikan kami kepada orang-orang tua. Sebab, kami akan kena setrap. Orang-orang tua takut jika anak-anak berenang di sungai itu kami akan tenggelam atau dimakan buaya.

Konon, di sungai itu banyak sekali buaya. Sampai sekarang saya tidak tahu benarkah buaya bersarang di sana. Buaya mungkin hanya mitos yang diciptakan untuk menakut-nakuti anak-anak agar tak berenang ke sana. Sekali saya pernah melihat di jurang di pinggir kali itu ada lubang dalam dan gelap, ketika air surut. Orang-orang menyebut itulah rumah buaya yang dulu-dulu sering memakan anak-anak yang mandi di sungai sehabis pulang sekolah atau sembari menggembala kambing.

Kini sungai itu sudah tak ada lagi. Kering dan gersang. Tak ada tukang perahu yang menyebrangkan orang-orang kampung kami yang akan pergi ke pasar. Untuk menuju jalan besar di mana angkutan melintas, orang punya dua jalan: ke sungai itu atau ke jembatan bikinan Belanda. Tapi ke jembatan jalannya memutar. Harus pakai ojek untuk mencapainya yang ongkosnya lebih mahal dari ongkos perahu. Sungai itu semacam jalan pintas.

Kini hampir setiap rumah punya sepeda motor. Satu atau dua. Baru atau lama. Kreditan atau kontan. Motor sudah menjadi keseharian yang dulu masih menjadi barang mewah. Dulu, hanya orang-orang kaya—yang punya sawah dan ternak banyak—yang punya sepeda motor. Orang umum paling banter sepeda angin. Tapi bukan karena kehadiran sepeda motor perahu tak ada lagi.

Kematian sungai itulah yang jadi pokok penyebab. Air memang mulai menghilang dari kampung kami ini. Selama puasa dan lebaran ini beberapa rumah kekurangan air—satu hal yang dulu tak pernah terjadi. Mungkin karena pemanasan global yang diributkan orang itu. Karena hutan-hutan yang dulu tak pernah dijamah karena ditunggu wangatua dan dedemit sudah punah, gersang, dan boyak.

Tapi sebelum itu, sungai kami hilang ketika di kampung seberang ada orang Jakarta yang membangun pabrik aspal, sekitar 15 tahun lalu. Orde Baru yang sedang membangun infrastruktur hingga pelosok membutuhkan pengusaha macam ini. Apalagi jika musim pemilu tiba. Jika satu kampung bisa mencobolos 100 persen Golkar, juru kampanye menjanjikan jalan aspal hingga masuk gang. Demikianlah, sungai kami hilang karena batu-batu itu diangkut untuk digiling.

Para petani tak lagi ke sawah dan ladang. Mereka menyelam di sungai untuk menggali batu-batu kali yang liat untuk dijual ke pabrik itu. Janda-janda baru tak perlu jauh-jauh ke Kramat Tunggak, mereka menjadi langganan orang-orang pabrik. Dan batu-batu itu pun menghilang, pasir lenyap, sungai jadi dangkal. Yang timbul adalah cadas yang licin. Palung-palung menghilang, oplak untuk memancing tumpas. Anak-anak tak lagi punya mainan selepas pulang sekolah, atau memandikan ternak.

Kini mereka melakukan apa yang dilakukan anak-anak kota: main plyastation, berenang di kolam renang proslen, ngebut dengan sepeda motor, tak ada lagi yang main gundu atau gasing. Selepas magrib kampung sepi, anak-anak tidur cepat. Mereka tak lagi mengangeni bulan sambil mendengarkan orang-orang tua bercerita tentang legenda dan takhayul.

Setiap lebaran, selalu saya merasa kehilangan sesuatu dari kampung ini. Suasananya, orang-orangnya, bau asap sampahnya. Sebelas tahun terlalu cepat membuat kampung ini berubah dan asing.