Tuesday, May 02, 2006

PRAM

Pramoedya Ananta Toer meninggal 30 April pagi dalam usia 81 tahun 2 bulan 24 hari. Ia lahir 6 Februari 1925. Pram telah mengisi usianya yang panjang itu nyaris tanpa jeda: hidupnya selalu rusuh karena ulah pikiran-pikirannya.

Pram tak henti berpikir. Namanya selalu menghias media massa dengan gemuruh dan gelisah yang tak sudah-sudah. Omongannya tetap tegak keluar dari tubuhnya yang kian renta. Setegak itu jugalah kalimat-kalimat yang keluar lewat jari-jarinya.

Cerita-cerita Pram adalah cerita-cerita yang tak berhasrat aneh-aneh. Kisahnya amat konvensional dengan plot yang sederhana. Tak perlu "persiapan" khusus membaca Pram. Karena itu di zaman ini ketika teknik bercerita kian bertambah rumit dan unik, novel-novel Pram terasa amat biasa dalam bentuknya. Pram memang lebih mementingkan isi.

Gelora menulisnya terus berkobar karena satu niat yang terus terngiang sejak membaca Gorki: orang banyak harus tahu sejarahnya. Karena itu pula ia mengusung realisme sosialis--apa yang dicetuskan Gorki--untuk menyampaikan sekelumit sejarah alternatif dari sejarah resmi yang sudah dirumuskan negara. Bagi dia, realisme sosialis dalah satu-satunya cara untuk menyokong pentingnya sejarah itu.

Membaca novel-novel Pram adalah membaca cerita yang lurus, tertib, terarah. Ceritanya berasal dari sebuah ide yang sudah tersusun dengan pasti. Karena itu cerita Pram juga minim humor.

Tapi ini jika kita adalah pembaca yang murung. Ketika seorang penulis bertanya kepada Albert Camus, "unsur utama apa yang termuat dalam cerita-cerita anda?", ia menjawab: humor! Sebuah jawaban yang menggelikan karena kita tahu rasanya tak ada humor dalam buku-buku Camus.

Begitu juga Pram. Humor Pram adalah cara bercanda yang getir. "Karena kita bangsa yang kalah," katanya, suatu ketika. Ia menulis sosok Minke yang kalah dalam pelbagai segi oleh anak sah Herman Mellema, bangsa yang telah menjajah sekaligus mengenalkan semangat Eropa. Minke kalah karena terlalu mengagungkan rasionalisme Barat lalu percaya bahwa hanya cara Eropalah yang bisa mengubah negerinya yang kolot. Minke bahkan kalah karena menganggap perempuan blasteran--lewat Anellies Mellema dan Ratu Wilhelmina--sebagai perempuan yang punya fisik sempurna. Mental terjajah seperti ini sangat pas menggambarkan dengan telak kekalahan pribumi saat dan pascakolonial. Dalam Arus Balik kekalahan Nusantara lampau itu bahkan tak perlu dijelas-jelaskan lagi.

Pram adalah seorang intelektual publik yang sebenar-benarnya. Buah-buah pikirannya sampai lewat buku-buku. Agaknya ia dikenang karena itu. Tak banyak di Indonesia ini, seorang yang bergelar intelektual mau bergelimang keringat merumuskan ide-ide dalam tulisan. Ada banyak intelektual publik kita yang terkenal tapi mereka nol buku. Nurcholish Madjid tak sejudul buku pun ia tinggalkan sampai meninggal. Buku-bukunya hanya kumpulan-kumpulan tulisan yang berserakan dalam berkala-berkala.

Ada HAMKA yang tekun menulis. Juga Hatta dan Soekarno. Tapi di zaman kini, Pram adalah sebuah anomali, kekecualian karena hingga nyawa tercerabut dari jasadnya ia masih menyiapkan ensiklopedi nusantara yang sudah lama disiapkan.

Membaca hidup Pramaoedya Ananta Toer adalah membaca serentetan headline yang tak putus-putus. Kepongahan sikapnya, keteguhan hatinya, membuat Pram kian terasa penting sekaligus asing. Ia menolak memaafkan rezim yang telah menindasnya. Ia ogah melupakan peristiwa pahit yang telah menimpanya. Ia cemooh orang-orang yang telah memaafkan sikap dan tabiatnya ketika ia pada suatu masa juga pernah menista mereka.

Pram mungkin akan segera menjadi ikon pop. Ikon yang semakin terasa sekeluar ia dari Pulau Buru. Orang merasa gagah jika sudah membaca Pram. Ia mungkin akan seperti Che Guevara--dikagumi dan dikultuskan lalu dilupakan cita-cita dan pikiran-pikirannya. Pram pada akhirnya menjadi sebuah merk.