Wednesday, July 27, 2005

ESAI DENGAN GAYA



Oleh : Farid Gaban*


PENGANTAR

Dalam dunia sastra, esai dimasukkan dalam kategori non-fiksi, untuk membedakannya dengan puisi, cerpen, novel dan drama yang dikategorikan sebagai fiksi.

Membuka halaman-halaman koran atau majalah, kita akan menemukan banyak esai atau opini. Tulisan-tulisan itu punya karakteristik sebagai berikut:
- OPINI: mewakili opini si penulis tentang sesuatu hal atau peristiwa.
- SUBYEKTIFITAS: memiliki lebih banyak unsur subyektifitas, bahkan jika tulisan itu dimaksudkan sebagai analisis maupun pengamatan yang "obyektif".
- PERSUASIF: memiliki lebih banyak unsur imbauan si penulis ketimbang sekadar paparan "apa adanya". Dia dimaksudkan untuk mempengaruhi pembaca agar mengadopsi sikap dan pemikiran penulis, atau bahkan bertindak sesuai yang diharapkan penulis.

Meskipun banyak, sayang sekali, tulisan-tulisan itu jarang dibaca. Dalam berbagai survai media, rubrik opini dan editorial (OP-ED) umumnya adalah rubrik yang paling sedikit pembacanya. Ada beberapa alasan:
- SERIUS dan PANJANG: orang mengganggap tulisan rubrik opini terlampau serius dan berat. Para penulis sendiri juga sering terjebak pada pandangan keliru bahwa makin sulit tulisan dibaca (makin teknis, makin panjang dan makin banyak jargon, khususnya jargon bahasa Inggris) makin tinggi nilainya, bahkan makin bergengsi. Keliru! Tulisan seperti itu takkan dibaca orang banyak.
- KERING: banyak tulisan dalam rubrik opini cenderung kering, tidak "berjiwa", karena penulis lagi-lagi punya pandangan keliru bahwa tulisan analisis haruslah bersifat dingin: obyektif, berjarak, anti-humor dan tanpa bumbu.
- MENGGURUI: banyak tulisan opini terlalu menggurui (berpidato, berceramah, berkhotbah), sepertinya penulis adalah dewa yang paling tahu.
- SEMPIT: tema spesifik umumnya ditulis oleh penulis yang ahli dalam bidangnya (mungkin seorang doktor dalam bidang yang bersangkutan). Tapi, seberapa pun pintarnya, seringkali para penulis ahli ini terlalu asik dengan bidangnya, terlalu banyak menggunakan istilah teknis, sehingga tidak mampu menarik pembaca lebih luas untuk menikmatinya.

KOLOM: "ESSAY WITH STYLE"

Berbeda dengan menulis untuk jurnal ilmiah, menulis untuk koran atau majalah adalah menulis untuk hampir "semua orang". Tulisan harus lebih renyah, mudah dikunyah, ringkas, dan menghibur (jika perlu), tanpa kehilangan kedalaman-tanpa terjatuh menjadi tulisan murahan.

Bagaimana itu bisa dilakukan? Kreatifitas. Dalam era kebebasan seperti sekarang, seorang penulis dituntut memiliki kreatifitas lebih tinggi untuk memikat pembaca. Pembaca memiliki demikian banyak pilihan bacaan. Lebih dari itu, sebuah tulisan di koran dan majalah tak hanya bersaing dengan tulisan lain di koran/majalah lain, tapi juga dengan berbagai kesibukan yang menyita waktu pembaca: pekerjaan di kantor, menonton televisi, mendengar musik di radio, mengasuh anak dan sebagainya.

Mengingat "reputasi" esai sebagai bacaan serius, panjang dan melelahkan, tantangan para penulis esai lebih besar lagi. Dari situlah kenapa belakangan ini muncul "genre" baru dalam esai, yakni "creative non-fiction", atau non-fiksi yang ditulis secara kreatif.

Dalam "creative non-fiction", penulis esai mengadopsi teknik penulisan fiksi (dialog, narasi, anekdot, klimaks dan anti klimaks, serta ironi) ke dalam non-fiksi. Berbeda dengan penulisan esai yang kering dan berlagak obyektif, "creative non-fiction" juga memungkinkan penulis lebih menonjolkan subyektifitas serta keterlibatan terhadap tema yang ditulisnya. Karena memberi kemungkinan subyektifitas lebih banyak, esai seperti itu juga umumnya menawarkan kekhasan gaya ("style") serta personalitas si penulis.

Di samping kreatif, kekuatan tulisan esai di koran atau majalah adalah pada keringkasannya. Tulisan itu umumnya pendek (satu halaman majalah, atau dua kolom koran), sehingga bisa ditelan sekali lahap (sekali baca tanpa interupsi).

PENULISAN KOLOM INDONESIA

"Creative non-fiction" bukan "genre" yang sama sekali baru sebenarnya. Pada dasawarsa 1980-an dan awal 1990-an kita memiliki banyak penulis esai/kolom yang handal, mereka yang sukses mengembangkan "style" dan personalitas dalam tulisannya. Tulisan mereka dikangeni karena memiliki sudut pandang orisinal dan ditulis secara kreatif, populer serta "stylist".

Para penulis itu adalah: Mahbub Junaedi, Goenawan Mohamad, Umar Kayam, YB Mangunwijaya, MAW Brower, Syubah Asa, Dawam Rahardjo, Abdurrahman Wahid, Arief Budiman, Mochtar Pabottingi, Rosihan Anwar, dan Emha Ainun Nadjib.

Untuk menunjukkan keluasan tema, perlu juga disebut beberapa penulis esai/kolom lain yang menonjol pada era itu: Faisal Baraas (kedokteran-psikologi), Bondan Winarno (manajemen-bisnis), Sanento Juliman (seni-budaya), Ahmad Tohari (agama), serta Jalaluddin Rakhmat (media dan agama).

Bukan kebetulan jika sebagian besar penulis esai-esai yang menarik itu adalah juga sastrawan-penyair dan cerpenis/novelis. Dalam "creative non-fiction" batas antara fiksi dan non-fiksi memang cenderung kabur. Bahkan Bondan (ahli manajemen) dan Baraas (seorang dokter) memiliki kumpulan cerpen sendiri. Dawam juga sesekali menulis cerpen di koran.

Namun, pada dasawarsa 1990-an kita kian kehilangan penulis seperti itu. Kecuali Goenawan ("Catatan Pinggir"), Bondan ("Asal-Usul" di Kompas) dan Kayam (Sketsa di Harian "Kedaulatan Rakyat"), para penulis di era 1980-an sudah berhenti menulis (Mahbub, Romo Mangun, Sanento dan Brower sudah almarhum).

Pada era 1990-an ini, kita memang menemukan banyak penulis esai baru-namun inilah era yang didominasi oleh penulis pakar ketimbang sastrawan. Faisal dan Chatib Basri (ekonomi), Reza Sihbudi, Smith Alhadar (luar negeri, dunia Islam), Wimar Witoelar (bisnis-poilik), Imam Prasodjo, Rizal dan Andi Malarangeng, Denny JA, Eep Saefulloh Fatah (politik) untuk menyebut beberapa. Namun, tanpa mengecilkan substansi isinya, banyak tulisan mereka umumnya "terlalu serius" dan kering. Eep barangkali adalah salah satu pengecualian; tak lain karena dia juga sesekali menulis cerpen.

Sementara itu, kita juga melihat kian jarang para sastrawan muda sekarang menulis esai, apalagi esai yang kreatif. Arswendo Atmowiloto, Ayu Utami dan Seno Gumiro Adjidarma adalah pengecualian.

Padahal, sekali lagi, mengingat "reputasi" esai sebagai bacaan serius (panjang dan melelahkan), tantangan kreatifitas para penulis esai lebih besar lagi.

TUNTUTAN BAGI SEORANG PENULIS KOLOM

Kenapa esai astronomi Stephen Hawking ("A Brief History of Time"), observasi antropologis Oscar Lewis ("Children of Sanchez") dan skripsi Soe Hok Gie tentang Pemberontakan Madiun ("Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan") bisa kita nikmati seperti sebuah novel? Kenapa tulisan manajemen Bondan Winarno ("Kiat") dan artikel kedokteran-psikologi Faisal Baraas ("Beranda Kita") bisa dinikmati seperti cerpen?

Hawking, Lewis, Hok Gie, Bondan dan Baraas adalah beberapa penulis "pakar" yang mampu mentrandensikan tema-tema spesifik menjadi bahan bacaan bagi khalayak yang lebih luas. Tak hanya mengadopsi teknik penulisan populer, mereka juga menerapkan teknik penulisan fiksi secara kreatif dalam esai-esai mereka.

Untuk mencapai ketrampilan penulis semacam itu diperlukan sejumlah prasyarat dan sikap mental tertentu:

Keingintahuan dan Ketekunan:
Sebelum memikat keingintahuan pembaca, mereka harus terlebih dulu "memelihara" keingintahuannya sendiri akan sesuatu masalah. Mereka melakukan riset, membaca referensidi perpustakaan, mengamati di lapangan bahkan jika perlu melakukan eksperimen di laboratorium untuk bisa benar-benar menguasai tema yang akan mereka tulis. Mereka tak puas hanya mengetahui hal-hal di permukaan, mereka tekun menggali. Sebab, jika mereka tidak benar-benar paham tentang tema yang ditulis, bagaimana mereka bisa membaginya kepada pembaca?

Kesediaan untuk berbagi:
Mereka tak puas hanya menulis untuk kalangan sendiri yang terbatas atau hanya untuk pembaca tertentu saja. Mereka akan sesedikit mungkin memakai istilah teknis atau jargon yang khas pada bidangnya; mereka menggantikannnya dengan anekdot, narasi, metafora yang bersifat lebih universal sehingga tulisannya bisa dinikmati khalayak lebih luas. Mereka tidak percaya bahwa tulisan yang "rumit" dan sulit dibaca adalah tulisan yang lebih bergengsi. Mereka cenderung memanfaatkan struktur tulisan sederhana, seringkas mungkin, untuk memudahkan pembaca menelan tulisan.

Kepekaan dan Keterlibatan:
Bagaimana bisa menulis masalah kemiskinan jika Anda tak pernah bergaul lebih intens dengan kehidupan gelandangan, pengamen jalanan, nelayan dan penjual sayur di pasar?
Seorang Soe Hok Gie mungkin takkan bisa menulis skripsi yang "sastrawi" jika dia bukan seorang pendaki gunung yang akrab dengan alam dan suka merenungkan berbagai kejadian (dia meninggal di Gunung Semeru).
Menulis catatan harian serta membuat sketsa dengan gambar tangan maupun tulisan seraya kita bergaul dengan alam dan lingkungan sosial yang beragam mengasah kepekaan kita. Kepekaan terhadap ironi, terhadap tragedi, humor dan berbagai aspek kemanusiaan pada umumnya.
Sastra (novel dan cerpen) kita baca bukan karena susunan katanya yang indah melainkan karena dia mengusung nilai-nilai kemanusiaan.

Kekayaan Bahan (resourcefulness):
Meski meminati bidang yang spesifik, penulis esai yang piawai umumnya bukan penulis yang "berkacamata kuda". Dia membaca dan melihat apasaja. Hanya dengan itu dia bisa membawa tema tulisannya kepada pembaca yang lebih luas. Dia membaca apa saja (dari komik sampai filsafat), menonton film (dari India sampai Hollywood), mendengar musik (dari dangdut sampai klasik). Dia bukan orang yang tahu semua hal, tapi dia tak sulit harus mencari bahan yang diperlukannya: di perpustakaan mana, di buku apa, di situs internet mana.

Kemampuan Sang Pendongeng (storyteller):
Cara berkhotbah yang baik adalah tidak berkhotbah. Persuasi yang berhasil umumnya disampaikan tanpa pretensi menggurui. Pesan disampaikan melalui anekdot, alegori, metafora, narasi, dialog seperti layaknya dalam pertunjukan wayang kulit.

APA SAJA YANG BISA DIJADIKAN TEMA ESAI?

Kebanyakan penulis pemula mengira hanya tema-tema sosial-politik yang bisa laku dijual di koran. Mereka juga keliru jika menganggap tema-tema seperti itu saja yang membuat penulis menjadi memiliki gengsi.

Semua hal, semua aspek kehidupan, bisa ditulis dalam bentuk esai yang populer dan diminati pembaca. "Beranda Kita"-nya Faisal Baraas menunjukkan bahwa tema kedokteran dan psikologi bisa disajikan untuk khalayak pembaca awam sekalipun.

Ada banyak penulis yang cenderung bersifat generalis, mereka menulis apa saja. Namun, segmentasi dalam media dan kehidupan masyarakat sekarang ini menuntut penulis-penulis spesialis.

- Politik lokal (bersama maraknya otonomi daerah)
- Bisnis (industri, manajemen dan pemasaran)
- Keuangan (perbankan, asuransi, pajak, bursa saham, personal finance)
- Teknologi Informasi (internet, komputer, e-commerce)
- Media dan Telekomunikasi
- Seni-Budaya (film, TV, musik, VCD, pentas)
- Kimia dan Fisika Terapan
- Elektronika
- Otomotif
- Perilaku dan gaya hidup
- Keluarga dan parenting
- Psikologi dan kesehatan
- Arsitektur, interior, gardening
- Pertanian dan lingkungan

Pilihlah tema apa saja yang menjadi minta Anda dan kuasai serta ikuti perkembangannya dengan baik. Fokus, tapi jangan gunakan kacamata kuda.

TEKNIK PENULISAN KOLOM

Mencari ide tulisan
Ada banyak sekali tema di sekitar kita. Namun kita hanya bisa menemukannya jika memiliki kepekaan. Jika kita banyak melihat dan mengamati lingkungan, lalu menuliskannya dalam catatan harian, ide tulisan sebenarnya "sudah ada di situ" tanpa kita perlu mencarinya.
Tema itu bahkan terlalu banyak sehingga kita kesulitan memilihnya. Untuk mempersempti pilihan, pertimbangkan aspek signifikansi (apa pentingnya buat pembaca) dan aktualitas (apakah tema itu tidak terlampau basi).

Merumuskan masalah
Esai yang baik umumnya ringkas ("Less is more" kata Ernest Hemingway) dan fokus. Untuk bisa menjamin esai itu ditulis secara sederhana, ringkas tapi padat, pertama-tama kita harus bisa merumuskan apa yang akan kita tulis dalam sebuah kalimat pendek.
Rumusan itu akan merupakan fondasi tulisan. Tulisan yang baik adalah bangunan arsitektur yang kokoh fondasinya, bukan interior yang indah (kata-kata yang mendayu-dayu) tapi keropos dasarnya.

Mengumpulkan Bahan
Jika kita rajin menulis catatan harian, sebagian bahan sebenarnya bisa bersumber pada catatan harian itu. Namun seringkali, ini harus diperkaya lagi dengan bahan-bahan lain: pengamatan, wawancara, reportase, riset kepustakaan dan sebagainya.

Menentukan bentuk penuturan
Beberapa tema tulisan bisa lebih kuat disajikan dalam bentuk dialog. Tapi, tema yang lain mungkin lebih tepat disajikan dengan lebih banyak narasi serta deskripsi yang diperkaya dengan anekdot. Beberapa penulis memilih bentuk penuturan yang ajeg untuk setiap tema yang ditulisnya:

- Dialog (Umar Kayam)
- Reflektif (Goenawan Mohamad)
- Narasi (Faisal Baraas, Bondan Winarno, Ahmad Tohari)
- Humor/Satir (Mahbub Junaedi)

Menulis
Tata Bahasa dan Ejaan: Taati tata bahasa Indonesia yang baku dan benar. Apakah ejaan katanya benar, di mana meletakkan titik, koma dan tanda hubung? Apakah koma ditulis sebelum atau sesudah penutup tanda kutip (jika ragu cek kebuku rujukan Ejaan Yang Disempurnakan).

Akurasi Fakta: tulisan nonfiksi, betapapun kreatifnya, bersandar pada fakta. Apakah peristiwanya benar-benar terjadi? Apakah ejaan nama kita tulisa secara benar? Apakah rujukan yang kita tulis sama dengan di buku atau kutipan aslinya? Apakah kita menyebutkan nama kota, tahun dan angka-angka secara benar?

Jargon dan Istilah Teknis: hindari sebisa mungkin jargon atau istilah teknis yang hanya dimengerti kalangan tertentu. Kreatiflah menggunakan deskripsi atau anekdot atau metafora untuk menggantikannya. Hindari sebisa mungkin bahasa Inggris atau bahasa daerah.

Sunting dan Pendekkan: seraya menulis atau setelah tulisan selesai, baca kembali. Potong kalimat yang terlalu panjang; atau jadikan dua kalimat. Hilangkan repetisi. Pilih frase kata yang lebih pendek: melakukan pembunuhan bisa diringkas menjadi membunuh. "Tidak" sering bisa diringkas menjadi "tak", "meskipun" menjadi "meski" dan sebagainya.

Pakai kata kerja aktif: kata kerja aktif adalah motor dalam kalimat, dia mendorong pembaca menuju akhir, mempercepat bacaan. Kata kerja pasif menghambat proses membaca. Pakai kalimat pasif hanya jika tak terhindarkan.

Tak menggurui: meski Anda perlu menunjukkan bahwa Anda menguasai persoalan (otoritatif dalam bidang yang ditulis) hindari bersikap menggurui. Jika mungkin hindari kata "seharusnya", "semestinya" dan sejenisnya. Gunakan kreatifitas dan ketrampilan mendongeng seraya menyampaikan pesan. Don't tell it, show it.

Tampilkan anekdot: jika mungkin perkaya tulisan Anda dengan anekdot, ironi dan tragedi yang membuat tulisan Anda lebih "basah" dan berjiwa.

Jangan arogan: orang yang tak setuju dengan Anda belum tentu bodoh. Hormati keragaman pendapat. Opini Anda, bahkan jika Anda meyakininya sepenuh hati, hanya satu saja kebenaran. Ada banyak kebenaran di "luar sana".

Uji Tulisan Anda: minta teman dekat, saudara, istri, pacar untuk membaca tulisan yang sudah usai. Dengarkan komentar mereka atau kritik mereka yang paling tajam sekalipun. Mereka juga seringkali bisa membantu kita menemukan kalimat atau fakta bodoh yang perlu kita koreksi sebelum diluncurkan ke media.

"MENJUAL" KOLOM KE MEDIA

Apa yang umumnya dipertimbangkan oleh redaktur esai/opini untuk memuat tulisan Anda?

Nama penulis: para redaktur tak mau ambil pusing, mereka umumnya akan cepat memilih penulis yang sudah punya namaketimbang penulis baru. Jika Anda penulis baru, ini merupakan tantangan terbesar. Tapi, bukankah tak pernah ada penulis yang "punya nama" tanpa pernah menjadi penulis pemula? Jangan segan mencoba dan mencoba jika tulisan ditolak. Tidak ada pula penulis yang langsung berada di puncak; mereka melewati tangga yang panjang dan terjal. Anda bisa melakukannya dengan menulis di media mahasiswa, lalu menguji keberanian di koran lokal sebelum menulis untuk koran seperti Kompas atau majalah Tempo.

Otoritas: redaktur umumnya juga lebih senang menerima tulisan dari penulis yang bisa menunjukkan bahwa dia menguasai masalah. Tidak selalu ini berarti sang penulis adalah master atau doktor dalam bidang tersebut.

Style dan Personalitas: tema tulisan barangkali biasa saja, tapi jika Anda menuliskannya dengan gaya "style" yang orisinal dan istimewa serta sudut pandang yang unik, kemungkinan besar sang redaktur akan memuatnya.

Populer: koran dan majalah dibaca oleh khalayak yang luas. Tema tulisan harus cukup populer bagi pembaca awam, tanpa kehilangan kedalaman. Bahkan seorang doktor dalam antropologi adalah pembaca awam dalam fisika. Kuncinya: tidak nampak bodoh dibaca oleh orang yang paham bidang itu, tapi tidak terlalu rumit bagi yang tidak banyak mendalaminya.

BAHAN BACAAN LANJUTAN

Teknik Penulisan
- Argumentasi dan Narasi (Gorys Keraf)
- Yuk, Menulis Cerpen, yuk (Mohammad Diponegoro)

Catatan Harian dan Korespondensi
- Catatan Harian Soe Hok Gie
- Surat-surat Iwan Simatupang
- Catatan Harian Ahmad Wahib

Kumpulan Esai
- Catatan Pinggir dan Kata, Waktu (Goenawan Mohamad)
- Mangan Ora Mangan Kumpul dan Sugih tanpa Banda (Umar Kayam)
- Faisal Baraas (Beranda Kita)
- Puntung-Puntung Roro Mendut (YB Mangunwijaya)

Kumpulan Cerpen
- Orang-orang Bloomington (Budidarma)
- Lukisan Perkawinan (Hamsad Rangkuti)
- Odah (Mohamad Diponegoro)
- Leak (Faisal Baraas)
- Tegak Lurus Dengan Langit (Iwan Simatupang)
- Bromocorah (Mochtar Lubis).

* Farid Gaban (fgaban@yahoo.com) kini Pemimpin Redaksi Kantor Berita Pena Indonesia (www.penaindonesia.com). Dua bukunya yang pernah diterbitkan Mizan, Bandung: "Dor! Sarajevo" (reportase Perang Bosnia) dan "Belajar Tidak Bicara" (kumpulan esai di Harian Republika).

Sunday, July 17, 2005

IKARUS



Ikarus terbang makin tinggi. Ia mengabaikan pesan Daedalus, ayahnya sendiri: jangan terbang terlalu tinggi karena matahari akan melelehkan lilin di sayapmu; juga jangan terlalu rendah karena gelombang akan melengketkan kapas-kapas itu. Dan Ikarus terbang makin tinggi hingga panas itu melumat sayapnya. Ia jatuh dari langit menembus samudra dan mati di dasarnya. Tapi orang mengingat Ikarus sebagai anak muda yang cergas dan tak gampang menyerah. Orang akan mengingat anak muda dari Kreta itu jika merayakan ide mula-mula manusia bisa terbang.

Dan ide terbang memang datang darinya. Ketika Ikarus dan ayahnya dijebloskan ke penjara oleh Raja Minos, ia punya ide brilian: terbang agar bisa keluar dari penjara yang tebal dan ketat itu. Daedalus, seniman paling terkenal di Yunani itu, tercenung mendengar usul nyeleneh anaknya. "Dengan apa kita terbang?" ia bertanya. "Dengan otak," Ikarus menjawab. Maka mulailah mereka menyusun kapas-kapas menjadi sayap-sayap besar dan mereka terbang menembus gembok penjara.

Anak-anak seringkali punya imajinasinya sendiri. Ide terbang mula-mula didapat Ikarus ketika melihat burung-burung di atas tower penjara. Ia membayangkan "asyik betul jika manusia punya sayap." Dan imajinasi bisa jadi mungkin dengan kutat kerja sungguh-sungguh. Ini pula yang dilakukan Edison atau Einstein. Galileo menciptakan teropong karena membayangkan dalam kegelapan sana ada benda-benda, ada hidup, yang tak terjangkau oleh mata yang punya batas.

Maka alangkah mengganggunya ketika Ivan Illich berteriak-teriak bahwa sekolah telah membuat fase anak-anak jadi rusak. Hanya di sekolahlah, kata dia, anak-anak dikategorikan berdasarkan umur. Padahal, imajinasi tak mengenal umur, bukan? Dan astaga, Phillipe Aries mendukungnya dengan data-data yang ruwet tapi menggoda untuk dipercaya : konsep anak-anak mulai ada seiring sejarah kapitalisme modern. Aduh, betapa rumitnya membaca dua orang itu, tapi ide-idenya selalu terasa benar. Sebab, Ikarus tak mengenal sekolah. Sekolah baru muncul di zaman Plato dan didokumentasikan dalam era Aristophenes. Dan sekolah zaman sekarang, Nak...

Setiap kali melihat dan memperhatikanmu, kepalaku penuh dengan "apa yang melintas, terpikirkan, terekam, oleh kepala anak usia setahun?" Sudahkah kamu mengenal wajahku, bau tubuhku, atau getar telapak kakiku? Ingatan terjauhku hanya bisa menjangkau suatu kali digendong Abahmu, sehabis kondangan entah dari mana. Rasanya usiaku saat itu sudah lewat satu atau dua tahun. Dan saya lupa, apa imajinasi pada umur-umur itu.

Tapi Abahmu mungkin senang mengasuhku ketika itu. Seperti aku juga senang setiap kali melihat polahmu. Setiap bapak pasti ingin berbicara seperti Daedalus ketika menguburkan jasad anaknya, "Ikarus, anakku, aku senang kamu telah punya imajinasi." Dan imajinasimu, Mikail, kadang sering mengkhawatirkan kami, "orang-orang dewasa". Tak apalah, dan selamat berumur setahun empat hari.

12

34

5

Wednesday, July 06, 2005

RAUT TURSI



Rautnya tursi. Mungkin karena warna bajunya, mungkin karena rambutnya, mungkin karena lampu-lampu di atasnya, mungkin karena bukan lain itu semua. Rautnya memang tursi. Saya tak berani menatapnya. "Bukankah ini sebuah puisi?" Apa yang puisi apa yang bukan.

Saya tak berani menatapnya karena mungkin ia sendiri yang jadi puisi. Setidaknya ia ingin jadi puisi. Atau telah, untuk saya, orang di depannya, yang dalam sela-sela sisa-sisa keberanian mencuri-curi menatapnya. Saya tahu itu sia-sia. Rautnya yang tursi mengingatkan saya pada dongeng tentang topeng yang pasi.

Bapak mengisahkannya entah kapan entah sedang apa. Saya lupa pada peristiwanya. Yang menyangkut di ingatan hanya wajah topeng itu saja. Barangkali kurang tepat membandingkan raut orang di depan saya dengan topeng itu. Hanya dampaknya sama: saya tak berani memandangnya.

Topeng itu konon pernah hilang dari kamar Aki. Semua orang ribut. Semua orang mencari tapi bingung kemana harus pergi. Tak ada yang pergi sampai topeng itu kembali. Aki tak lagi sering menyendiri. Temannya telah kembali. Keduanya merayapi hari-hari tua yang sepi dan sakit: tak ada anak-anak, tak ada orang-orang tua.

Saya pernah mengintipnya, sayup-sayup di umur entah berapa. Topeng itu dipasang di atas cermin tua yang gagah dengan ukiran-ukiran yang ruwet. Menatap cermin itu sudah terasa beratnya. Galuh jati. Dan topeng itu, topeng kayu yang aneh, topeng dengan kerut-kerut dahi yang gering, akan menatap Aki jika berbaring di ranjangnya. Topeng ini yang telah membikin saya ada: bikin Aki panjang umur lalu membuat bapak lahir, menyelamatkan ulu hati dari hujaman bayonet Jepang. "Saya hanya seorang pembuat topeng."

Saya bilang ini dongeng. Kisahnya mungkin nyata, dekat sekali karena nama-nama begitu akrab. Tapi kejadian-kejadiannya, keanehan-keanehannya teramat fiksi. Atau karena bapak tak bisa menjelaskannya dengan masuk akal? Saya memilih percaya dugaan ini. Sampai topeng itu dikubur dan rumah tua dibagikan ke bibi-bibi lalu dibangun yang baru. Dikubur karena semua anak, semua cucu, tak ada yang betah menatap atau menyimpannya.

Begitulah. Ada kerut gering dalam raut yang tursi itu. Kerut pasi topeng itu. "Bukankah ini sebuah puisi?" Ya, ya, kamu mungkin sebuah puisi.

* grafis Meredith Blue dari Kristy Nilsson's Artwork