Thursday, December 25, 2003
OSHIN
Kenangan selalu saja datang tiba-tiba. Pada sore yang basah ini, kenangan itu datang dari Oshin--sebuah film seri yang ditayangkan TVRI tiap jam setengah tiga sore, di penghujung 1980-an. Oshin kami nanti sehabis hujan-hujanan di halaman. Saya dan adik-adik sudah berselimut di kursi panjang sementara ibu mulai menghidupkan televisi. Tak ada pilihan lain, waktu itu, selain TVRI yang acaranya masih bagus-bagus.
Oshin adalah sebuah contoh bagaimana kerja keras akhirnya berbuah. Ayako Kobayashi, yang memerankan Oshin, pas betul digambarkan sebagai prototip seorang Jepang. Saya tidak tahu kenapa Sugako Hashida memilih peran perempuan untuk menggambarkan Jepang bangkit dari keterpurukan akibat perang. Tapi, mungkin juga karena perempuan adalah sosok yang liat.
Di film yang diproduksi pada 1983 itu kita lihat, Oshin yang anak petani di desa Tohoku, Jepang Utara, mulai meninggalkan tradisi nenek moyangnya. Ia tak sekedar bercocok tanam di sana. Tapi mulai menjual sendiri hasil pertaniannya saat panen tiba. Dalam film itu proporsi Oshin menjual memang kelewat besar dibanding Oshin belanja ke kota.
Oshin juga seorang yang hemat. Saat sepatunya jebol karena melesek oleh gigil salju, ia tak membeli sebuah sepatu baru. Oshin menggantinya dengan jerami hanya agar kakinya tak keriput. Pendeknya, Oshin bukan seorang yang besar pasak daripada tiang. Ia menabung, tapi tak banyak membeli. Semangat saudagar tumbuh dalam diri seorang gadis Oshin. Kelak dari tabungan dan semangatnya, Oshin berhasil membangun sebuah jaringan pertokoan di desa dan kotanya.
Oshin tumbuh sebagai orang kaya baru di daerah itu. Para petani di Tohoku tak harus bersusah payah menjual hasil pertaniannya ke kota yang jauh dan becek oleh salju. Oshin berubah predikat dari seorang petani menjadi pedagang. Dan kita menyaksikan kemudian, Jepang tumbuh sebagai pusat dagang di dunia. Mata uang Yen bahkan diperhitungkan sebagai alat penukar di hampir seluruh negara.
Cerita Oshin, sebenarnya, adalah cerita yang juga terjadi di banyak negara. Oshin-Oshin lain tumbuh di belahan-belahan dunia lain ketika kapitalisme menjawab pelbagai soal dan menawarkan impian modern setelah perang ternyata tak memunculkan harapan ketenangan. Bukankah Nabi Muhammad sendiri datang menyampaikan Islam melalui perniagaan?
Tapi dalam soal perniagaan selanjutnya, para pedagang dianggap sebagai sosok yang menakutkna. Di Turki, konon, para pedagang disebut bazingun, istilah yang mengacu pada seseorang yang kerap berbuat culas. Kata itu kemudian sampai ke Indonesia dengan pola peluluhan "z" menjadi "j" dan "u" menjadi "a".
Stasiun televisi NHK boleh berbangga karena serial itu menempatkan Oshin sebagai serial drama yang paling dinanti penontonnya di 50 negara. Rating serial itu konon belum terkalahkan oleh serial-serial lainnya. Dan Hashida dengan bangga menyebut Oshin sebagai wakil semangat Asia. Sebuah semangat yang, sayangnya, tak mampir ke Indonesia.
Subscribe to:
Posts (Atom)