INILAH yang selalu saya rindukan tiap pulang kampung: ketemu dan ngobrol dengan orang-orangnya. Saya mudik karena adik saya menikah dan ada hajatan kecil. Tetangga dan saudara berkumpul, menyiapkan makanan, penganan, untuk tamu dan handai taulan.
Dulu sewaktu disunat, saya paling suka menyelinap ke dapur yang dijubeli ibu-ibu yang sedang masak: nongkrong di depan hawu dan mendengarkan mereka ngobrol, sampai panitia penyambutan mencari-cari karena anak sunat harus dipajang di dekat panggung hiburan agar para undangan mudah menaruh amplop di peci atau melihat luka penis sudah mengering atau belum.
Saya nostalgia dengan masuk ke dapur. Kali ini membawa kamera. Setelah jeprat-jepret saya nongkrong di dekat sumur yang agak gelap. Bapak-bapak sedang istirahat setelah mencuci piring, sambil merokok. Dua orang berdagang es di Jakarta, dua lagi bertani. Kami mengobrol ke sana kemari. Dua lagi sambil bolak-balik mengangkut piring dan gelas kotor dari ruang prasmanan.
Seseorang--dia bapak dua anak yang baru menikahkah anak perempuannya--berbicara tentang perbedaan anak dan tetangga. Katanya, waktu berkumpul anak dan orang tua sangat singkat. Ia sendiri memiliki anaknya cuma selama 20 tahun, sebelum mendapat mantu yang memboyong putrinya ke rumahnya sendiri atau ke Jakarta untuk sebuah kerja. Tanggung jawab pun berpindah ketika ijab kabul pernikahan.
Tapi dengan tetangga, katanya, tak ada limit waktu kapan berpisah. Justru dengan para tetanggalah hidup lebih sering bersinggungan. Para tetangga kadangkala jauh lebih tahu apa masalah kita ketimbang anak-anak, yang jauh dari rumah. Mereka yang akan menolong pertama kali ketika kita ketiban musibah. Sedangkan anak-anak harus ditelpon dulu jika kangen ingin ketemu.
Anak-anak pasti akan meninggalkan rumah, tapi tetangga tak akan jauh-jauh dari rumah. Sebab, para orang tua mendidik anak-anaknya mandiri, yang berarti harus bisa hidup sendiri jika tiba waktunya. Pada tetangga kita membangun hubungan justru agak kelak tak hidup sendiri.
Saya manggut-manggut. Ia berbicara tentang sesuatu yang saya alami, tapi tak saya pikirkan. Ia merumuskan sebuah hal umum yang akan dialami oleh siapa saja, tapi sering luput dari renungan siapa saja. Ia berbicara tentang kecenderungan yang terjadi dari zaman-ke-zaman, apalagi ketika urbanisasi tak lagi bisa dicegah karena kota tetap menjanjikan sebuah harapan dan dusun tetap saja sebagai kampung halaman.
Bagi saya dan adik saya, rumah ini hanya sebuah kenangan. Karena besok saya tak memilikinya lagi, tak meniduri kasurnya lagi, tak mencium bau sorenya lagi. Kami akan kembali ke Jakarta, ke sebuah rumah lain yang bukan tempat asal dan masa depan kami. Rumah dan kampung ini hanya sebuah masa lalu dengan kenangan-kenangannya yang terus membetot ingatan, tapi tak mudah disinggahi. Kami harus pergi lagi setelah dua tiga hari tinggal, seperti ritual keluarga zaman industri.
Bapak-bapak inilah yang akan terus berkomunikasi dengan bapak-ibu saya, secara nyata di sawah, pekarangan, di jalan, dalam rapat-rapat desa, atau saat bertamu. Saya mungkin juga begitu, 15 atau 20 tahun lagi.