Thursday, January 30, 2003

MARTY

Marty, namamu menghias kepala berita Kompas Minggu (26/1). Namamu ditulis lengkap, sampai kelebihan "h" di belakang nama depanmu, "Martuah Manullang (26)..." si wartawan mungkin tergesa, mungkin juga kurang data, ketika menulis namamu di pembuka paragraf beritanya. Marty, mungkin kau sedang melihat di sana, ketika aku pegang koran itu dengan bergetar di gerbong tujuh Pakuan pagi-pagi. Berita itu begitu dekat, masih menyentak, meski aku sudah tahu via sms tentang kabar buruk yang menimpamu sehari sebelumnya.

Tubuhmu hangus, kata berita itu. Tak lagi bisa dikenali, sambung paragraf berikutnya. "Tak ada jerit minta tolong," kata saksi mata kepada wartawan itu. Aku bayangkan, Marty, kau panik ketika api menyembur mengepung tubuhmu dalam kamar kosmu yang jadi neraka. Api begitu tiba-tiba membumbung pada siang bolong. Kubayangkan kau sedang tidur atau apalah untuk membunuh waktu liburmu.

Sehingga kau tak bisa berkutik ketika lidah suhu lebih dari 100 derajat itu mengoyak kulitmu, memisahkan tangan dan kakimu dari tubuhmu, lalu menguliti tengkorak kepalamu. Marty, aku yakin kau berjuang keras mejemput sakratul maut yang begitu kuat, tak bisa menjerit, tak bisa berkutik. Hingga teman-temanmu hanya bisa terpana ketika melihat jasadmu terbaring di kamar jenazah RSCM: kematian begitu dekat.

Marty yang tangguh, aku suka julukan yang diberikan bos kita itu untukmu. Pas benar. Kau tak takut kendati ajudan Kepala BIN itu hendak memukulmu, ketika kau sudah janji akan bertemu dengannya untuk sebuah wawancara di suatu tempat. Kau ngotot, karena kau merasa benar. Kau malah balik menantang ajudan yang berbadan besar itu. Kendati kau tetap tak diizinkan bertemu dengannya, kau sudah berusaha, bahkan sampai upaya terakhir: berantem dengan narasumber untuk dapat sebuah konfirmasi gawat.

Atau ketika kudengar kau memaksa masuk ke lift di mana Ketua KONI di situ sudah masuk sebelumnya. Kau dihardik, tapi kau memaksa, hingga kau dapat sebuah konfirmasi penting dari dia. "Apa Bapak kenal dengan Sjamsul Nursalim?" hanya itu pertanyaanmu, dan kau pulang membawa berita. Sebuah upaya penting yang dilakukan wartawan sekecil apapun nilai beritanya. Tapi tidak. Itu berita yang besar. Kau pasti tahu, Marty, sehingga kau bersikeras hanya untuk dapat jawaban pertanyaan singkat itu.

Mukamu Batak, tapi omongmu halus benar. Jika kudengar transkrip wawancaramu, siapapun tak akan menyangka asal-usulmu dari Sumatera Utara. Kau lancar omong Sunda, bahkan sampai ke cengkok dan idiom-idiomnya. Kau lahir dan besar di Bandung lalu kuliah di Teknik Minyak ITB pada 1995.

Dia anak yang cerdas, kata teman-teman di tempat kerjamu yang baru: sebuah bank besar di negeri ini. Kau selalu dapat nilai di atas 80 untuk setiap item penilaian. Aku tak menyangsikan itu, Marty. Marty yang tangguh, julukan itu sudah berbicara segalanya tentang kinerjamu. Meski kata teman kita, kau sudah bosan kerja kantoran, padahal beberapa bulan lagi akan diangkat jadi karyawan.

Marty, fotomu yang sedang telanjang di pinggir kolam renang itu, waktu kita ke Puncak sekantor, masih ditempel di ruang kerja kita. Kini aku hanya bisa melihat kau tersenyum bergaya ikan duyung di situ. Selamat jalan, Marty...

Tuesday, January 21, 2003

PATEUH BANTAL



Tuan, jika Tuan bertanya dengan apa kita menikmati hidup? Hari-hari ini saya akan menjawab: dengan LEHER.

Maka beruntung Tuhan melengkapi kita dengan sebatang leher, yang menyangga kepala, menghubungkannya dengan badan, dan karena itu kita jadi hidup. Saya sedang membayangkan, seandainya manusia tak punya leher, mungkin dunia akan terasa sempit seperti ketika kita diserang pateuh bantal.

Bayangkan saja, bangun pagi itu jadi tidak menyegarkan, badan jadi panas dingin, "my body is not delicious," kata seorang teman yang rajin memelesetkan padanan kata dalam bahasa Inggris. Tulang dan otot-otot terasa kaku, leher sakit jika menengok ke kiri atau ke kanan, apalagi ke atas-bawah. Kita akan berpikir mungkin dengan membanting kepala ke kiri dan kanan kaku itu akan hilang. Tapi salah, jangan pernah mencoba, meregangkan otot leher yang kaku karena pateuh bantal.

Jalan terbaik adalah membiarkannya, meski ini menjengkelkan. Mandi dengan air hangat, jangan lupa pakai sabun, soalnya bau, apalagi sehabis ngiler. Dan itu yang tidak saya lakukan. Saya meregangkan otot leher itu, memutar pinggang ke kiri dan kanan, lalu mandi dengan air yang jadi terasa dingin. Meski saya memakai sabun, otot itu makin terasa kaku seiring hari kian malam. Seharian itu, meski pasase ini leher masih bisa nengok, suhu badan menukik drastis dibanding suhu lingkungan.

Puncaknya terjadi pada tengah malam. Tuan tak akan bisa memejamkan mata kendati meletakan leher hati-hati pada bantal. Semahal dan seempuk apapun bantal itu, otot Tuan tak akan menerimanya. Tuan akan membalikan badan ke kiri atau kanan untuk mencari posisi yang pas buat leher. Tapi tidak, apapun posisinya, leher itu tetap terasa sakit. Berbaring pun tidak menolong. Selain badan Tuan bertumpu pada punggung, yang kian lama akan terasa pegel, otot kaki nyaris tak bisa diselonjorkan dengan santai. Akibatnya, kekakuan kian merambat.

Satu-satunya cara adalah bangkit dan duduk. Jelas, ini bukan jurus yang bagus. Dalam hari yang selarut itu, Tuan sudah ngantuk, bukan? Tapi leher tambah sakit. Maka Tuan berbaring lagi. Dalam kehati-hatian menyandarkan kepala itu, otot leher kini jadi tumpuan badan. Akibatnya, leher semakin sakit. Setelah tergelatak di bantal pun, leher semakin tidak nyaman, karena jika salah satu bagian badan bergerak, kontraksinya akan langsung ke leher. Pendeknya: MENJENGKELKAN!!!, ditambah harus begadang semalaman karena otak terus berpikir bagaimana cara terbaik memberi kenyamanan pada otot leher.

Dunia hanya ada di depan mata; sekeliling tak. Betapa sempitnya. Mungkin kita harus menempelkan koyo di leher belakang dan di belikat untuk memberi efek panas. Jika Tuan hidup di kampung, para tetangga akan menyarankan seperti ini: jemur bantal yang semalam kita tiduri sebelum pateuh itu menyerang. Ingat, jemur di tempat yang panas. Setelah bantal itu cukup menyerap panas, tidurilah bantal itu. Letakan otot leher yang kaku persis di bagian bantal yang cukup menyerap panas. Jangan hiraukan terik matahari menyorot wajah Tuan. Itu pengorbanan, jika Tuan ingin pateuh itu berpindah ke bantal. Tuan boleh percaya dan mencoba melakukannya; boleh juga untuk tidak percaya, para tetangga itu tak akan memaksa kehendak Tuan.

Jika panas itu sudah terasa cukup menyerap ke leher, bangunlah. Terlalu lama bisa membuat Tuan dituding sedang menyelami ilmu ngepet oleh orang-orang yang lewat. Tunggu beberapa saat sampai reaksi panas itu menyerap dan meregangkan otot-otot secara alami. Tahan, meski orang sekeliling menyeringai melihat badan Tuan seperti sebuah robot: lucu dan bisa menjerit jika dicubit.

Saya tak punya padanan kata yang pas untuk jenis rasa sakit seperti ini. Dalam bahasa Indonesia, kesakitan ini malah disebut salah tidur, atau salah bantal. Saya tak mau memakai kata ini, karena saya tak mau menyalahkan tidur, juga tak mau menyalahkan bantal. Pateuh bantal kali ini pun bukan disebabkan karena bantal, tapi karena saya tidur di kursi. Bahasa Indonesia tak cukup punya padanan untuk kata pateuh, selain kata serapan dari Bahasa Jawa: keseleo. Seperti yang sering dipesankan Ibu Guru kita waktu kecil: "Kalian harus pateuh sama perintah orang tua." Loh...

Sunday, January 19, 2003

KOTA




GUBERNUR Jakarta itu berdiri tak kurang dari lima meter di depan saya. Ia sedang berpidato di depan ratusan pedagang saat meresmikan sebuah pasar di Jakarta Selatan. Terutama ia berbicara soal polusi di Jakarta. Dia menyodorkan data, Jakarta dipenuhi 11 juta manusia pada siang hari, padahal manusia yang menetap di ibukota ini hanya 9 juta. Selebihnya datang dari pinggiran: Bogor, Tangerang, Bekasi. "Mereka ini yang menebar polusi di Jakarta, bikin jalan macet, tapi pajak mereka masuk Jawa Barat," katanya. Nadanya penuh geram.

Maka Sutiyoso, nama gubernur dua periode itu, bertitah agar para pedagang selalu menjaga kebersihan pasar. Kalau tidak bisa, "Yo, wis balik ndeso meneh," yang disambut tawa pedagang. Dan selama pidato setengah jam itu, dia lebih banyak menyampaikan idiom dalam bahasa Jawa, kecuali ketika ia ngomong "gua" untuk dirinya sendiri, sesekali. Sutiyoso paham pedagang di Jakarta bukan orang asli Betawi. Para pedagang, dan mereka yang menangguk rezeki di ibukota, bukan mereka yang merasa memiliki kota ini. Sebagian besar penduduk Jakarta hanya sebagai flaneur.

Seorang teman, yang juga mendengarkan pidato Sutiyoso, tersenyum. Ia datang jauh dari dusun di Wonosobo, Jawa Tengah. "Jakarta," katanya menyeringai, "bukan tempat yang bagus untuk hidup." Saya terkejut. Saya kira ia betah tinggal di Jakarta. Wajahnya legam. Rambutnya gimbal tak kenal sisir. Setiap hari, dengan sepeda motornya, ia keluyuran keliling Jakarta mencari berita. Tak segan ia datang ke Merunda di Jakarta Utara jika ia dengar ada orang mati dibunuh malam tadi. Sorenya ia sudah mewawancarai polisi di Jakarta Barat, atau bertadang ke Balai Kota.

Si teman ini, saya yakin, hapal betul seluk beluk Jakarta: panasnya, macetnya, klakson mobil-mobilnya, pengkolan-pengkolannya, taman-tamannya. Tapi, saya ragu, adakah ia mencintai kota ini. Sepertinya tidak. Ia selalu mengutuknya sebagai kota yang salah lahir, salah bentuk, juga salah urus. Maka, ia hanya menyeringai mendengar titah Sutiyoso itu.

"Jakarta hanya bagus untuk korupsi... juga bunuh diri," ia berbisik mendekatkan mulutnya yang bau asem asap tembakau. Bunuh diri? Ia menyebut sebuah hasil penelitian. Katanya, umur orang Jakarta makin pendek dari tahun ke tahun karena lingkungan yang buruk. Ia membenarkan omongan Sutiyoso, tapi tak sepenuhnya setuju. Orang tuanya di kampung, katanya di antara semburan asap rokok, kini masih hidup dan bugar di usianya yang ke-80, bahkan masih bisa nyangkul di sawah dengan mulut menggepit kretek.

Jakarta Sunyi Sekali di Malam Hari tulis Jujur Prananto lewat cerpennya di Kompas menjelang lebaran 1999. Jakarta memang menyenangkan saat lebaran: tak ada macet yang jadi hantu bagi para pejalan, tak ada jerit klakson, tak ada deru, tak ada debu. Pada lebaran orang-orang pulang, dengan bus, feri, meski harus tidur di depan loket agar kebagian tiket. Mudik selalu disambut dengan suka cita. Stasiun TV bahkan harus merelakan sebagian acaranya untuk secara khusus meliput arus mudik di terminal, pelabuhan, pintu tol, dan kampung-kampung. Dan mudik telah membuat arti "pulang" berkait erat dengan Jakarta.

Kata pulang, di kota ini, telah tereduksi menjadi dua arti. Pulang dalam arti balik dari tempat kerja ke rumah kontrakan; atau pulang mudik ke kampung. Dua-duanya tak menunjukan kepemilikan kepada Jakarta. Dua-duanya mengasingkan diri dari Jakarta. Kota ini bukan sebuah tujuan akhir yang direncanakan. Jakarta hanya sebagai tempat singgah.

Tapi, Koes Plus menyanyikan Kembali ke Jakarta dengan riang. Jakarta ternyata masih membawa semangat, daya tarik, harapan, meski tetap saja terdengar hanya kesementaraan. Seperti teman saya ini (ia ternyata masih bersemangat ngomong di sana), sejelek apapun ia mengutuk Jakarta, toh ia tetap memulai hari dengan semangat: pagi-pagi berkeliling dengan motornya hingga sore dan baru pulang ke rumah lepas malam. "Ah, itu sih tuntutan," katanya, membuang ludah, dan mengisap rokoknya, "mau makan apa anak dan istriku..." Ia terus saja menyerocos, hingga ia lupa Sutiyoso sudah menyelesaikan pidatonya. "Wah, opo beritane?...."

Friday, January 17, 2003

CINTAMU SEBATAS .HP.



Ini bukan iklan, hanya sebuah kalimat yang menempel di kaca belakang mikrolet M11 jurusan Kebon Jeruk-Slipi. Ketika membuat tulisan itu, si sopir mungkin sedang putus cinta. Ia ditinggal pacarnya, hanya karena ia tak punya henpon. Si sopir jengkel, lantas mencomooh pacarnya itu, lalu membuat tulisan itu.

Tulisan itu juga mengandung ketakberdayaan. "Seandainya saya punya henpon...," saya menduga si sopir berkata seperti itu dalam hatinya. Ia tak berdaya mempertahankan hubungan cinta dengan pacarnya dan menjadi sesal dengan keuangannya. Dia tak berdaya meluluskan keinginan kekasihnya yang ingin bergandeng dengan laki-laki yang disakunya tersimpan henpon, lalu bertulalit saat nongkrong di mall. Pendeknya, henpon menjadi ukuran status sosial yang tinggi dalam hubungan kedua orang ini.

Di situ juga ada nada sinis. Ada nada cemooh terhadap hubungan yang hanya diukur oleh sesuatu. Si sopir mungkin tak sadar bahwa ketika ia ada di pihak yang kalah, ia akan berpikir ideal. Saya tidak tahu, apa yang akan ditulisnya, seandainya ia putus dengan si pacar karena ia sendiri menuntut pacarnya harus tampil seksi setiap malam minggu. Mungkin ia akan menulis : KAMPUNGAN besar-besar di kaca mobilnya.

Cinta, yang menjadi urusan pribadi, digabung dengan henpon, suatu alat komunikasi canggih yang kini sedang tren. Ada suatu yang berlawanan di situ. Tapi, ketika keduanya digabung, cinta yang pribadi tidak lagi menunjukan sebuah gelora perasaan. Ia menjadi benda, sebuah objek yang terukur. Cinta dan henpon menjadi dua benda yang saling berdampingan.

Tulisan itu lucu, juga menarik, menyentuh, karena begitu private, meski sedikit norak. Kita mungkin tak sampai menaruh iba atau terempati pada si sopir, kita hanya terhibur--setidaknya saya ketika suatu malam lewat di belakang DPR. Tulisan itu mungkin sudah ditempel lama. Si sopir sendiri mungkin juga sekarang sudah punya pacar baru, yang tak pusing mikirin pacarnya punya henpon atau tidak. Tapi dia mungkin jadi geli sendiri ketika membaca kembali tulisannya kini, sehingga membiarkannya terus menempel di situ. Ia kini perlu membagi kegeliannya pada semua orang.

Kenapa cuma karena henpon? Konteks tak penting dalam satu soal ini. Karena, di Jakarta, ada begitu banyak angkutan umum yang kacanya ditempel dengan kalimat-kalimat nyeleneh, lucu, dan beda. Misalnya, metromini 69 Ciledug-Blok M kaca belakangnya di tulis, HAYANG NYANDUNG, lengkap dengan gambar seorang perempuan yang bh-nya melorot. Itu bahasa sunda yang artinya "pengen kawin lagi".

Seandainya para sopir tahu ada blog, mungkin mereka akan seperti kita: menuliskan kejengkelannya, nada sinisnya, cemoohnya, dan segala haru-biru perasaanya di internet. Tapi mereka hanya punya kaca belakang mobil. Dan cukup itu. Pengakuannya hanya di kaca mobil itu. Karena mereka akan bertemu dengan komunitasnya di terminal, di jalan, atau warteg tempat ngetem, di mana keberadaan hadir lewat unjuk apa yang mereka punya. Seperti si sopir M11 yang ingin menunjukan perasaanya, suatu waktu, ketika si pacar memutus cintanya. Ah, CINTAMU SEBATAS .HP., tulisnya.

Thursday, January 16, 2003

PASSION



"Jangan ada lagi murid yang meninggalkan sekolah." Pesan guru Gao Enman sebelum meninggalkan desa Shuiquan, Provinsi Hebei, Cina, itu menancap di benak guru Wei Minzhi. Ia, tentu saja, shocked. Di usianya yang ke-13, Wei merasa dibuang ke Shuiqian yang miskin dan sepi. Shuiquan bukanlah tempat menyandarkan impiannya yang ingin menjadi guru di kota. Tapi, Guru Gao, yang telah menjadi kepala sekolah seumur hidup itu, menghiburnya bahwa itu akan menjadi jembatan Wei bisa diangkat menjadi guru di kota. "Lihatlah aku, Wei," katanya, "kini sekolah-sekolah di kota memerlukanku."

Apa boleh buat, Wei hanya bisa menatap kepergian Gao dengan sedih dan harapan yang ditinggalkannya. Ia kini harus menghadapi 12 orang murid--enam perempuan dan enam laki-laki. Wei harus meneruskan membekali anak-anak desa itu dengan ilmu hitung, pengetahuan alam, dan membaca, seraya terus dihantui pesan Gao. Dulu, begitu Gao bercerita sebelum pergi, ia mengajar tak kurang dari 40 murid. Jumlah itu menyusut menjadi 28, karena anak-anak itu harus bekerja di kota menjadi pengemis, pemulung, atau kerja apa saja agar hidup tak berhenti. Desa yang kering tak bisa diharapkan untuk makan. Jumlah itu pun terus menurun hingga 12, dan Wei pun datang.

Sekolah Wei berada di tengah-tengah sawah yang tanahnya retak-retak dan padat. Bangunan itu hanya sebentuk rumah yang hampir roboh. Hanya dua ruang di rumah itu. Satu untuk kelas, di mana Wei mengajar, dan satu untuk tempat tidur Wei. Wei yang masih anak-anak tak bisa maklum bahwa murid-muridnya belum tahu mengapa mereka sekolah. Mengapa mereka harus duduk selama setengah hari dan melihat Wei menuliskan angka-angka di papan tulis. Mengapa tiap Senin mereka harus menghormat pada bendera Cina dalam upacara. Dan Wei pun mengajar hanya agar murid-murid tak berhenti sekolah. Hanya mempertahankan pesan Gao agar "guru di kota mau cepat memindahkannya dengan syarat tak ada murid yang berhenti sekolah."

Wei tak digaji. Tapi ia harus makan. Cina yang diamuk resesi, dalam waktu film ini, seperti sebuah neraka yang bingung dan kalap. Wei pun mengajukan pindah karena tak tahan menahan lapar, juga tak tahan dengan ulah murid yang bandel dan nakal. Tapi, permintaannya tak dikabulkan. Wei dipaksa mengajar di Shuiquan, hingga diperoleh kepastian sekolah di kota dibuka kembali.

Maka Wei menyusun siasat. Ia akan pergi diam-diam tanpa sepengetahuan Lurah, meski Wei tahu risiko apa yang akan diterimanya jika Pak Lurah itu sampai tahu ia melalaikan para muridnya. Tapi Wei nekat. Subuh-subuh ia sudah berkemas. Tapi hatinya bimbang. Ketika ia hanya sendirian di kamarnya yang apek, Wei dihinggapi kangen bertemu murid-muridnya. Bagaimanapun, selama ini mereka yang menjadi teman. Meski mereka bandel, tapi Wei terhibur. Maka untuk menunggu murid-muridnya datang, Wei menunggu matahari muncul. Ia akan berpamitan dengan pura-pura akan menghadap Pak Lurah di pusat desa.

Tapi kabar itu datang terlalu cepat. Murid-murid secara berbondong dan terengah melapor bahwa Zhang Huike--salah satu murid terbandel dan paling sering membikin Wei jengkel--menghilang dari rumahnya. Wei panik. Secara bergantian, terbayang wajah Guru Gao dengan pesannya dan wajah Zhang ketika membikin onar di kelas. Bersama murid-muridnya ia mendatangi rumah Zhang. Di sana ia mendapati ibu Zhang terbaring lemah. Malaria menyedot darah dari tubuh yang muda tapi rapuh itu. "Hutangku banyak, kusuruh Zhang bekerja di kota," kata ibu Zhang dengan suara tersendat.

Wei menangis. Ia tahu, Zhang yang kecil itu, belum pernah sekalipun menginjak kota. Wei khawatir nasib Zhang tak menentu. Maka ia bermusyawarah dengan para murid di sekolahnya bagaimana jalan keluar agar Zhang kembali ke desanya. Kesepakatan diperoleh: ia akan mencari Wei ke kota dan mengajaknya pulang; ongkosnya patungan dari uang jajan para murid. "Demi Zhang, kalian harus rela seminggu ini tak jajan," katanya. Tapi, sial, uang patungan itu tak cukup menutup ongkos sekali ke kota. Wei terduduk lemah. Tapi ia ingat, di pinggir desa ada tumpukan batu bata yang belum dipindahkan pemiliknya. Maka mereka pun menuju ke sana.

Seharian penuh guru dan murid itu mengangkut batu bata itu ke sebuah bangunan tua. Setelah itu mereka akan mendatangi si empu batu bata dan menagih ongkos pemindahan. Tapi belum selesai batu bata itu diangkut, si pemilik sudah datang karena laporan tetangganya. Ia marah. "Hei, kenapa kau pindahkan batu bataku?" sergahnya. "Agar bata ini tak kena hujan," jawab Wei.

"Tapi aku tak berniat memindahkannya. Hujan tak akan merusak bata-bata ini."
"Biarin. Kami sudah bekerja, kini kau harus membayar kami."
"Apa?" si pemilik bata melotot.
"Kau harus membayar karena kami sudah bekerja memindahkan bata ini," jawab Wei. "Cepat, kalau tidak kami akan hancurkan semua bata-bata ini."

Mendengar ancaman itu, si pemilik bata semakin naik pitam. Tapi sebelum ia menampar Wei, anak-anak sekolah itu segera menyerbu batu bata dan membantingnya ke tanah. Si empu bata tercengang. Tapi ia tak bisa mencegah anak-anak itu, karena tangannya cuma dua. Maka ia menyerah. "Baiklah," serunya, "aku akan beri kalian uang." Anak-anak itu behenti dan berkumpul di depan Wei. "Ini, di sakuku hanya ada uang ini," katanya membanting uang recehan di depan anak-anak. Wei segera memungut uang itu, dan mengajak anak-anak meninggalkan si empu bata yang tertunduk lesu meratapi bata-batanya.

Kini Wei cukup punya uang untuk ongkos dan sedikit bekal untuk jajan. Besoknya, dilepas tatapan mata para muridnya, Wei meninggalkan Shuiquan menuju kota. Tapi, kota sesuatu yang asing bagi Wei. Ia tak membayangkan kota seperti sebuah pasar: tempat bertemu orang-orang dan tempat terjadinya transaksi keinginan. Wei tersaruk-saruk mencari Zhang, hingga ia mendapat ide membuat iklan mencari Zhang yang ditempel di sudut-sudut jalan. Dia tak berhitung, uang bekalnya tak cukup sekedar membeli tinta dan kertas. Wei tak punya uang untuk makan. Wei yang kecil tidur di emper toko, minum air kran yang bocor, dan makan nasi bungkus dari tong sampah. Dan orang-orang yang lewat enggan membaca iklan yang dibuat Wei.

Tapi, bukan Wei jika ia tak punya ide lain. Ketika tidur di emper ia dengar sebuah pengumuman yang disiarkan melalui speaker di sebuah gedung. Maka Wei menerobos penjaga dan menyampaikan keinginannya mencari Zhang lewat speaker. Tentu saja Wei dihardik penjaga ke luar gerbang. Tapi Wei bertahan, karena, pikirnya, inilah satu-satunya cara lain mendapatkan Zhang kembali. Maka ia tidur berhari-hari di depan gerbang gedung itu, yang ternyata sebuah radio lokal, hingga pemimpinnya menaruh iba dan mengajaknya masuk.

Kini, titik terang itu datang. Sebuah stasiun televisi lokal terenyuh mendengar perjuangan Wei mencari Zhang yang disiarkan radio itu. Maka sebuah acara live disiapkan. Isinya wawancara si penyiar dengan Wei tentang perjuangan mencari Zhang. Wei yang kumal tampil di televisi. Seraya menangis ia berkata, "Zhang, jika kau lihat aku, kembalilah ke desa. Kami ingin kau pulang."

Zhang ternyata memang melihat Wei. Ia kini bekerja sebagai pembersih piring dan menyapu sisa makanan di sebuah rumah makan. "Itu saudaramu, Zhang?" tanya si pemilik warung yang gendut dan cerewet itu. Zhang tak menjawab, ia hanya menangis. Si ibu kemudian mengantarkan Zhang ke kantor televisi itu. Dengan penuh haru, Wei menubruk Zhang. Film ini berakhir ketika Wei dan Zhang berjalan kembali ke desanya. Tak salah, jika sutradara Zhang Yimou memberi judul Not One Less untuk film yang menampilkan akting alamiah anak-anak Shuiquan asli ini. Tak salah juga jika Wei menyabet artis terbaik berkat film ini.

Film yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Shi Xiangsheng itu diproduksi pada 1999. Tak salah jika organisasi Ivan Illich di Sao Paolo mengganjar film ini dengan predikat film pendidikan terbaik. Illich, kita tahu seorang pastor kelahiran Austria yang hidup miskin di Peru dan getol mengkampanyekan pendidikan alternatif untuk negara berkembang. Bukunya, Deschooling Society, amat terkenal di sini dan dikutip banyak pakar. Ia meninggal 2 Desember lalu, ketika saya menonton untuk ketiga kalinya film itu, dan menontonnya kembali malam tadi.

Sunday, January 12, 2003

DINAR



Ough!! Akhir pekan yang membosankan. Dua hari gak ngapa-apain. Tadinya mau nonton F4 (he-he-he), cuma gak kebagian tiket karena udah diborong keluarga presiden Megawati :)). Untung ada Dinar Rahayu. Dia penulis novel asal Bandung. Ini novel perdananya; judulnya Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch. Dari judulnya saja orang sudah tahu, novel ini bercerita tentang masokisme. Waow!

Von Sacher-Masoch adalah penulis kelahiran Rusia abad 19 yang terkenal berkat novelnya: Venus in Furs. Di novel ini, Sacher-Masoch bercerita tentang hubungan Serverin von Kusiemski dengan Wanda von Dunajew. Serverin dan Wanda punya pandangan yang sama tentang seks yakni menggunakan kekerasan sebagai rumus utama mencapai kepuasan seksual.

Richard von Krafft-Ebing menyebut novel ini bercerita tentang "on real events from the author�s life". Berkat novel ini Sacher-Masoch diingat oleh dunia sebagai penulis dengan tema yang kuat. Dan Krafft-Ebing menyebut masokisme sebagai perilaku yang menyimpang dari kaidah umum itu.

Sacher-Masoch lahir pada 27 Januari 1836 di Lemberg, Rusia, dan meninggal pada 9 Maret 1895 di Lindheim, Jerman. Dari ayah dan ibunya, Sacher-Masoch mewarisi ras Spanyol, Jerman, dan Slavik. Nama Masoch diperoleh Leopold dari nama keluarga ibunya, Charlotte von Masoch, seorang penulis pemenang nobel kelahiran Rusia. Sedangkan Sacher dari keluarga bapak ayahnya, penulis kelahiran Spanyol.

Dinar Rahayu menciptakan tokoh Jonggi Kalangi untuk mengingat Sacher-Masoch dalam novelnya. Yang menarik, Dinar mendedahkan alur secara bergantian antara masa kekinian dengan cerita mitos Valkriye yang berkembang di Skandinavia. Jonggi merasa dirinya sebagai penjelmaan Apollo, dewa yang kemudian menjadi budak. Jonggi berhubungan dengan Dinar yang merasa sebagai reinkarnasi Valkriye yang telah menyerahkan keperawanannya kepada Apollo. Rahayu menulis dari sudut pandang Dinar sebagai perempuan.

Cerita bolak-balik antara mitos dan alam nyata. Rahayu kuat ketika menceritakan kembali mitos Skandinavia itu, tapi ia agak kedodoran ketika bercerita tentang tokoh-tokohnya yang ia ciptakan sendiri. Ia, misalnya, menceritakan Jonggi sebagai anak diplomat yang gede di Bandung, yang dituduh memperkosa anak kelas 4 SD, lalu digebukin orang tak dikenal, dan diperkosa kakaknya sendiri, Andre Kalangi. Lalu, Jonggi pun bercinta dengan ibunya. Tabiat transeksual dan masokisme yang dialami Jonggi menjadi njlimet tapi tidak kompleks.

Banyak tokoh yang dipajang Rahayu terkesan hanya sisipan, dan lahir serba kebetulan. Renata, kakak Jonggi,misalnya, muncul di suatu halaman hanya sekedar bertelepon sambil mengetuk-ketuk pas bunga di ruang tamu dengan ujung sepatunya. Lalu ia hilang hingga akhir cerita. Begitupun banyak tokoh lain berseliweran dalam novel yang hanya 148 halaman ini yang tak memegang peranan apapun.

Dalam Tempo edisi akhir tahun, Nirwan Dewanto secara khusus mengupas novel ini. Katanya, berkat Dinar ia menjadi seorang yang optimis melihat perkembangan sastra nasional. Kita tahu, Nirwan--eseis yang saya suka--seorang penulis yang memandang nyinyir pada puisi, cerita pendek, dan novel yang lahir ratusan selama kurun 2002. Kerap kali Nirwan mengkritik para penulis itu sebagai penulis yang tak mengerti kaidah bahasa dan memanfaatkannya sebagai alat menyampaikan tema, bukan sekedar ornamen. Dalam sebuah eseinya di Koran Tempo, misalnya, Nirwan pernah menganjurkan para penulis untuk belajar menulis surat kepada seorang teman sebelum menulis sebuah cerita.

Tapi, Nirwan pun mengkritik Dinar Rahayu yang "mengakhiri novel justru ketika cerita baru dimulai". Saya tahu, letak di mana Nirwan memuji Dinar. Tapi, saya tidak tahu kenapa Nirwan tak mengkritisi bahasa yang dipakai Dinar. Karena kalimat-kalimat yang bertebaran di setiap halaman kerap menggangu terutama dalam susunannya. Di halaman 69, misalnya, Dinar menulis : "Betapa besarnya ruangan itu baru disadarinya" atau halaman 56: "Kasur Aa Iyong ia lihat diberdirikan, seperti biasa, untuk menghemat tempat". Dan Dinar pun memakai kata "diamankan" untuk seseorang yang dijebloskan ke penjara untuk menghindari amuk massa.

Dinar Rahayu mungkin pengaggum Stephen King, seorang penulis cerita horor yang laris. King pernah bilang, menulis dengan kalimat pasif jauh lebih aman. Tapi, "lebih aman" bukan pilihan ketika kalimat terasa tercekak. Tapi, saya kagum pada Dinar yang menulis dengan detil dan tahu bagaimana menggambarkan sebuah kesakitan.

Dinar menulis: Ia membiarkanku menaruh kepala di atas perutnya yang terbuka karena ia hanya mengenakan celana dalam hitam. Tattoo kecil bergambar rusa kutub yang telah distilisasi, di antara pusar dan selangkangannya, terlihat sebagian. Tonjolan di ujung celana itu jadi tersamar karena warna hitam celananya" Atau Dinar menulis kesakitan ini "Ia langsung menghujamkan bagian ujung pensil yang ditajamkan itu masuk ke lubang telinga Jonggi yang langsung menjerit. Bunyinya berderak dan melengking seperti seribu piring pecah di kupingnya. Setelah itu sakit yang sunyi. Ia bisa merasakan pensil yang diungkit-ungkit itu mengoyak lubang jalan kupingnya. Sakit, linu, dan terasa becek."

Dinar yang berjilbab dan guru Kimia di SMA itu fasih dan ringan menuliskan kata ngentot dan penis di halaman-halaman novelnya. Dan jangan heran, Dinar yang lulusan ITB itu sangat mahir menggambarkan bagaimana reaksi kimia di tubuh setiap tokoh-tokoh yang ia ciptakan.

Karena Dinar, saya tak bosan menjalani akhir pekan kali ini. Uagh, besok kerja lagi...

TEKNIK MENULIS BERITA*

Oleh Bagja Hidayat**

Menulis adalah pekerjaan seni. Pelukis terkenal Sudjojono pernah ditanya seseorang, "Bagaimana Anda melukis?" Sudjojono malah balik bertanya, "Apakah saudara punya buku panduan naik sepeda?" Begitulah. Menulis berita pun tak jauh beda dengan pekerjaan melukis.

Namun, karena berita menyajikan fakta-fakta, ada kaidah-kaidah tertentu yang tak boleh ditinggalkan seorang wartawan. Ada begitu banyak buku panduan dan teknik menulis berita yang sudah diterbitkan yang ditulis wartawan senior, meski pokok-pokoknya mengacu pada satu hal. Jika pun makalah ini ditulis, hanya sedikit pokok-pokok yang bisa dijelaskan, karena menulis berita tidak mungkin diuraikan secara sistematis.

Berbeda dengan majalah yang sifat beritanya lebih analisis, berita keras tidak boleh beropini. Sehingga tulisan hanya menyajikan fakta-fakta. Dan waktu juga menjadi perhatian lainnya. Berita majalah berbentuk feature berita sehingga sifanya tidak tergantung waktu. Sedangkan koran yang terbit harian sifat beritanya pun terbatas oleh waktu. Esok harinya, sudah ada berita baru sebagai perkembangan berita sebelumnya. Apalagi media dotcom yang melaporkan perkembangan dari jam ke jam bahkan dari menit ke menit. Di sini hanya akan dibatasi menulis berita keras.

Judul
1. Judul berita sebisa mungkin dibuat dengan kalimat pendek, tapi bisa menggambarkan isi berita secara keseluruhan. Pemberian judul ini menjadi penentu apakah pembaca akan tertarik membaca berita yang ditulis atau tidak.

2. Menggunakan kalimat aktif agar daya dorongnya lebih kuat. Seorang penulis novel terkenal, Stephen King, pernah mencemooh penulis yang menggunakan kalimat aktif. "Kalimat pasif itu aman," kata King. Mungkin benar, tapi memberi judul berita bukan soal aman atau tidak aman. Judul aktif akan lebih menggugah. Bandingkan misalnya judul "Suami Istri Ditabrak Truk di Jalan Tol" dengan "Truk Tronton Tabrak Suami Istri di Jalan Tol". Judul kedua, rasanya, lebih hidup dan kuat. Namun pemberian judul aktif tidak baku. Ada judul berita yang lebih kuat dengan kalimat pasif. Biasanya si subyek berita termasuk orang terkenal. Misalnya judul "Syahril Sabirin Divonis 3 Tahun Penjara."

3. Persoalan judul menjadi menarik seiring munculnya media berita internet. Memberi judul untuk koran yang waktunya sehari tidak akan memancing pembaca jika mengikuti peristiwa yang terjadi, karena peristiwa itu sudah basi dan ditulis habis di media dotcom. Memberi judul untuk koran sebaiknya memikirkan dampak ke depan. Misalnya, judul "Syahril Sabirin Divonis 3 Tahun Penjara."

Bagi koran yang terbit esok pagi, misalnya, judul ini basi karena media dotcom dan radio (juga) televisi, sudah memberitakannya begitu vonis dijatuhkan. Untuk mengetahui dampak ke depan setelah vonis dijatuhkan, wartawan yang meliput harus kerja lebih keras. Misalnya dengan bertanya ke sumber-sumber dan Syahril sendiri soal dampak dari vonis itu.

Pembaca, tentu saja ingin tahu perkembangan berikutnya pada pagi hari setelah mendengar berita tersebut dari radio, televisi dan membaca internet malam sebelumnya. Namun, soal judul untuk koran dan media dotcom dengan cara seperti ini masih menjadi perdebatan. Karena judul "Syahril Sabirin Divonis..." masih kuat ketika ditulis esok harinya. Ini hanya soal kelengkapan saja. Jika dotcom dan media elektronik hanya membuat breaking news-nya saja, koran�karena mempunyai waktu tenggat lebih lama�bisa melengkapi dampak-dampak tersebut di tulisannya, meski memakai judul yang sama.

Lead
1. Selain judul, lead bisa menjadi penentu seorang pembaca akan melanjutkan bacaannya atau tidak. Sehingga beberapa buku panduan menulis berita menyebut lebih dari 10 lead yang bisa dipakai dalam sebuah berita. Namun, hal yang tak boleh dilupakan dalam menulis lead adalah unsur 5W + 1H (Apa/What, Di mana/Where, Kapan/When, Mengapa/Why, Siapa/Who dan Bagaimana/How) . Pembaca yang sibuk, tentu tidak akan lama-lama membaca berita. Pembaca akan segera tahu apa berita yang ditulis wartawan hanya dengan membaca lead. Tentu saja, jika pembaca masih tertarik dengan berita itu, ia akan melanjutkan bacaannya sampai akhir. Dan tugas wartawan terus memancing pembaca agar membaca berita sampai tuntas.

2. Lead terkait dengan peg atau biasa disebut pelatuk berita. Seorang reporter ketika ditugaskan meliput peristiwa harus sudah tahu "pelatuk" apa yang akan dibuat sebelum menulis berita. Pelatuk berbeda dengan sudut berita. Ada satu contoh. Misalkan seorang reporter ditugaskan meliput banjir yang merendam ratusan rumah dan warga mengungsi. Yang disebut sudut berita adalah peristiwa banjir itu sendiri, sedangkan peg adalah warga yang mengungsi. Mana yang menarik dijadikan lead? Anda bisa memilih sendiri. Membuat lead soal mengungsi mungkin lebih menarik dibanding banjir itu sendiri. Karena ini menyangkut manusia yang secara langsung akan berhubungan dengan pembaca. Berita lebih menyentuh jika mengambil lead ini. Manusia, secara lahiriah, senang menggunjingkan manusia lain.

Badan Berita
1. Penentuan lead ini juga membantu reporter menginventarisasi bahan-bahan berita. Sehingga penulisan berita menjadi terarah dan tidak keluar dari lead. Inilah yang disebut badan berita. Ada hukum lain selain soal unsur pada poin 1 tadi, yakni piramida terbalik. Semakin ke bawah, detail-detail berita semakin tidak penting. Sehingga ini akan membantu editor memotong berita jika space tidak cukup tanpa kehilangan pentingnya berita itu sendiri.

2. Untuk lebih mudahnya, susun berita yang berawal dari lead itu secara kronologis. Sehingga pembaca bisa mengikuti seolah-olah berita itu suatu cerita. Teknik ini juga akan membantu reporter memberikan premis penghubung antar paragraf. Hal ini penting, karena berita yang melompat-lompat, selain mengurangi kejelasan, juga mengurangi kenyamanan membaca.

3. Cek dan ricek bahan yang sudah didapat. Dalam berita, akurasi menjadi hal yang sangat penting. Jangan sungkan untuk menanyakan langsung ke nara sumber soal namanya, umur, pendidikan dan lain-lain. Bila perlu kita tulis di secarik kertas lalu sodorkan ke hadapannya apakah benar seperti yang ditulis atau tidak. Akurasi juga menyangkut fakta-fakta. Kuncinya selalu cek-ricek-triple cek.

Bahasa
1. Bahasa menjadi elemen yang penting dalam berita. Bayangkan bahwa pembaca itu berasal dari beragam strata. Bahasa yang digunakan untuk berita hendaknya bahasa percakapan. Hilangkan kata bersayap, berkabut bahkan klise. Jika narasumber memberikan keterangan dengan kalimat-kalimat klise, seorang reporter yang baik akan menerjemahkan perkataan narasumber itu dengan kalimat-kalimat sederhana. Tentu saja kita tidak mengerti jargon-jargon yang seperti, "Disiplin Mencerminkan Kepribadian Bangsa" yang ditulis besar-besar pada spanduk. Siapa yang peduli bangsa? Berita yang bagus adalah berita yang dekat dengan pembaca.

2. Menulis lead yang bicara. Untuk mengujinya, bacalah lead atau berita tersebut keras-keras. Jika sebelum titik, nafas sudah habis, berarti berita yang dibuat tidak bicara, melelahkan dan tidak enak dibaca. Ada buku panduan yang menyebut satu paragraf dalam sebuah berita paling panjang dua-tiga kalimat yang memuat 20-30 kata. Untuk menyiasatinya cobalah menulis sambil diucapkan.

3. Berita yang bagus adalah berita yang seolah-olah bisa didengar. Prinsipnya sederhana, makin sederhana makin baik. Seringkali reporter terpancing menuliskan berita dengan peristiwa sebelumnya jika berita itu terus berlanjut, sehingga kalimat jadi panjang. Untuk menghindarinya, jangan memulai tulisan dengan anak kalimat atau keterangan. Agar jelas, segera tampilkan nilai beritanya.

4. Menghidari kata sifat. Menulis berita dengan kata sifat cenderung menggurui pembaca. Pakailah kata kerja. Menulis berita adalah menyusun fakta-fakta. Kata "memilukan", misalnya, tidak lagi menggugah pembaca dibanding menampilkan fakta-fakta dengan kata kerja dan contoh-contoh. Tangis perempuan itu memilukan hati, misalnya. Pembaca tidak tahu seperti apa tangis yang memilukan hati itu. Menuliskan fakta-fakta yang dilakukan si perempuan saat menangis lebih bisa menggambarkan bagaimana perempuan itu menangis. Misalnya, rambutnya acak-acakan, suaranya melengking, mukanya memerah dan lain-lain. "Don't Tell, But Show!"

5. Menuliskan angka-angka. Pembaca kadang tidak memerlukan detail angka-angka. Kasus korupsi seringkali melibatkan angka desimal. Jumlah Rp 904.775.500, lebih baik ditulis "lebih dari Rp 904 juta atau lebih dari Rp 900 juta".

Ekstrak
1. Jangan pernah menganggap pembaca sudah tahu berita yang ditulis. Dalam menulis berita seorang reporter harus menganggap pembaca belum tahu peristiwa itu, meski peristiwanya terus berlanjut dan sudah berlangsung lama. Tapi juga jangan menganggap enteng pembaca, sehingga timbul kesan menggurui. Menuliskan ekstrak peristiwa sebelumnya dalam berita dengan perkembangan terbaru menjadi penting.

Panduan ini tidak mutlak untuk menulis berita. Masih banyak hal yang belum dijelaskan dalam makalah ini. Hal paling baik bisa menulis berita yang enak dibaca adalah mencobanya. Jadi, selamat mencoba.

* makalah dalam pelatihan jurnalistik mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 28 Februari 2002.
** wartawan Tempo News Room

Referensi:

1. Simbolon, Parakitri T., 1997. Vademekum Wartawan. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia
2. Hadad, Toriq dan Bambang Bujono (Ed)., 1997. Seandainya Saya Wartawan Tempo. Jakarta. Institut Studi Arus Informasi dan Yayasan Alumni Tempo

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

SEPERTI TARIAN BURUNG CAMAR

Farid Gaban

Tulisan yang hidup adalah senjata penting untuk menaklukkan minat pembaca di tengah persaingan antar media komunikasi yang kian ketat. Mereka dikangeni karena berjiwa -- personal, memiliki sudut pandang yang unik dan cerdas, serta penuh vitalitas.

Tulisan yang baik tak ubahnya seperti tarian burung camar di sebuah teluk: ekonomis dalam gerak, tangkas dengan kejutan, simple dan elok. Tulisan yang baik adalah hasil ramuan ketrampilan (reporter) menggali bahan penting di lapangan dan kemampuan (redaktur) menuliskannya secara hidup.

TUJUH ELEMEN

Apapun subyeknya, setiap karya jurnalistik yang bagus memiliki setidaknya tujuh unsur.

Informasi
Adalah informasi, bukan bahasa, yang merupakan batu bata penyusun sebuah tulisan yang efektif. ''Prosa adalah arsitektur, bukan dekorasi interior,'' kata Ernest Hemingway. Untuk bisa menulis prosa yang efektif, penulis pertama-tama harus mengumpulkan kepingan informasi serta detil konkret yang spesifik dan akurat -- bukan kecanggihan retorika atau pernik-pernik bahasa.

Signifikansi
Tulisan yang baik memiliki dampak pada pembaca. Dia mengingatkan pembaca pada sesuatu yang mengancam kehidupan mereka, kesehatan, kemakmuran maupun kesadaran mereka akan nilai-nilai. Dia memberikan informasi yang ingin dan penting diketahui pembaca. Serta meletakkan informasi itu dalam sebuah perspektif yang berdimensi: mengisahkan apa yang telah, sedang dan akan terjadi.

Fokus
Tulisan yang sukses biasanya justru pendek, terbatasi secara tegas dan sangat fokus. ''Less is more,'' lagi-lagi kata Hemingway. Umumnya tulisan yang baik hanya mengatakan satu hal. Mereka mengisahkan seorang serdadu atau seorang korban, bukan pertempuran. Memperbincangkan sebuah person, sebuah kehidupan, bukan sebuah kelompok sosio-ekonomi.
''Don't write about Man, write about a man,'' kata Elwyn Brooks White, seorang humoris Amerika.

Konteks
Tulisan yang efektif mampu meletakkan informasi pada perspektif yang tepat sehingga pembaca tahu dari mana kisah berawal dan kemana mengalir, seberapa jauh dampaknya dan seberapa tipikal. Penulis yang tak terlalu piawai menyajikan konteks dalam sebuah kapsul besar secara sekaligus, sehingga sulit dicerna. Penulis yang lebih lihai menggelombangkan konteks ke seluruh cerita.

Wajah
Manusia suka membaca tulisan tentang manusia lainnya. Jurnalisme menyajikan gagasan dan peristiwa -- trend sosial, penemuan ilmiah, opini hukum, perkembangan ekonomi, krisis internasional, tragedi kemanusiaan -- dengan memperkenalkan pembaca kepada orang-orang yang menciptakan gagasan dan menggerakkan peristiwa. Atau dengan menghadirkan orang-orang yang terpengaruh oleh gagasan dan peristiwa itu.
Tulisan akan efektif jika penulisnya mampu mengambil jarak dan membiarkan pembacanya bertemu, berkenalan serta mendengar sendiri gagasan/informasi/perasaan dari manusia-manusia di dalamnya.
''Don't say the old lady screamed -- bring her on and let her scream,'' kata Mark Twain, jurnalis dan novelis pengarang The Adventure of Tom Sawyer.

Bentuk
Tulisan yang efektif memiliki sebuah bentuk yang mengandung dan --sekaligus -- mengungkapkan cerita. Umumnya berbentuk narasi. Dan sebuah narasi bakal sukses jika memiliki semua informasi yang dibutuhkan pembacanya dan jika ceritanya bisa diungkapkan dalam pola kronologis aksi-reaksi. Penulis harus kreatif untuk menyusun sebuah bentuk yang memungkinkan pembacanya memiliki kesan komplet yang memuaskan, perasaan bahwa segala yang ada dalam tulisan mengalir ke arah konklusi yang tak terhindarkan.

Suara
Kita tak boleh lupa, bahkan dalam abad komunikasi massa seperti sekarang kegiatan membaca tetap saja bersifat pribadi: seorang penulis bertutur kepada seorang pembaca. Tulisan akan mudah diingat jika mampu menciptakan ilusi bahwa seorang penulis tengah bertutur kepada pembacanya. Majalah/koran yang baik tak ubahnya seperti pendongeng yang memukau. Dan penulis yang baik mampu menghadirkan warna suara yang konsisten ke seluruh cerita, tapi menganekaragamkan volume dan ritme untuk memberi tekanan pada makna.

Secara ringkas, tulisan yang baik mengandung informasi menarik dan berjiwa. Menarik karena penting, terfokus dan berdimensi. Serta berjiwa, karena berwajah, berbentuk dan bersuara.

TULISAN YANG MEMBLE : TUJUH KEGAGALAN

  • Gagal menekankan segala yang penting -- seringkali karena gagal meyakinkan bahwa kita memahami informasi yang kita tulis.
  • Gagal menghadirkan fakta-fakta yang mendukung.
  • Gagal memerangi kejemuan pembaca. Terlalu banyak klise, hal-hal yang umum. Tak ada informasi spesifik yang dibutuhkan pembaca.
  • Gagal mengorganisasikan tulisan secara baik -- organisasi kalimat maupun keseluruhan cerita.
  • Gagal mempraktekkan tata bahasa secara baik; salah membubuhkan tanda baca dan salah menuliskan ejaan.
  • Gagal menulis secara balans, sebuah dosa yang biasanya merupakan akibat ketidakpercayaan kepada pembaca, atau keengganan untuk membiarkan fakta-fakta yang ada mengalirkan cerita sendiri tanpa restu dari persepsi penulis tentang arah cerita yang benar. Dengan kata lain: menggurui pembaca, elitis.
  • Semua kegagalan itu bermuara pada kegagalan untuk mengkaitkan diri dengan pembaca. Banyak tulisan akan lebih baik -- dan banyak tulisan yang dianggap sulit akan menjadi lebih mudah -- jika kita ingat bahwa kita tidak sedang menulis sebuah novel besar. Kita hanya mencoba menyalurkan sesuatu kepada mereka yang telah membeli koran kita.

Saturday, January 11, 2003

ASLI ATAU PALSU



Majalah Cosmopolitan edisi Januari 2003 menyuguhkan permainan yang nyeleneh. Gem ini, disebut Cosmo, sebagai The Breast Test. Waow! Tak tanggung-tanggung lima halaman di isi foto-foto perempuan setengah badan yang sedang memerkan dada. Dan ini lah permainannya. Dua halaman pertama Anda disuruh menebak mana payudara yang asli dan mana yang telah disusupkan silikon ke dalamnya. Ada 22 dada (berarti ada 44 buah dada) yang sedang Anda lihat di sana. Dalam pengantarnya, si editor menulis, jika Anda berhasil menebak, "IQ Anda termasuk tinggi". Mmmm, okelah kita buka lagi halaman berikutnya.

Ini juga dua halaman. Kini wajah pemilik dada ditampilkan. Umur mereka antara 21 hingga 30. Mereka tersenyum. Nama-nama + umurnya ditulis di bawah foto mereka. Di bawahnya lagi, mereka mengaku apakah dada mereka asli atau palsu, maksudnya sudah disuntik silikon atau biarkan apa adanya. Si Nicole (25), misalnya, mengaku payudaranya asli. "I like my boobs. I don't need my boobs job..." Okelah, Nic, dadamu memang bagus, kokoh.

Nicole, yang wajahnya mirip Cynthia Nixon, pemeran Miranda Hobbes dalam serial televisi Sex and The City, boleh bangga, karena dua orang juri salah menebak. Dua juri ini laki-laki. Mereka mengaku sebagai aktor dan laki-laki biasa saja. Namanya Don Hany dan Keiran Tanner. Si Don dan Keiran ini menebak tidak hanya dengan melihatnya saja. Halaman berikutnya digambarkan bagaimana si Don memperoleh skor. Di sana ia dipotret sedang meraba dada dua orang perempuan. Tak hanya meraba, Don juga mengelusnya, "...with fingers to work..", memijit. Pokoknya, proses tak penting. Yang penting Don mampu menebak dengan benar. Dan Don dan Keirian, tentu saja, meraba dada sambil nyengir, meski kedua matanya ditutup. Dari 22 orang itu, Don dan Keirian hanya mampu menebak 15 dada dengan benar.

Di majalah itu tidak disebutkan untuk apa permainan itu diciptakan. Saya menebak mungkin sekedar gaya hidup saja. Cosmopolitan, yang sudah melanglang buana ke pelbagai negara dengan bahasa terjemahan masing-masing, tentu saja membidik pangsa anak muda. Jangan lupa, anak muda pun yang gaul, yang trendi, yang sibuk memikirkan parfum apa yang akan dipakai hari ini. Atau model gaun mana yang akan dipakai untuk pesta ulang tahun seorang teman. Pendeknya, anak muda disuruh konsumtif. Karena untuk bisa gaya, tampil cantik, tak bisa gratis.

Saya temukan majalah itu di perpustakaan kantor karena memang langganan. Setiap minggu saya wajib membaca Bintang Indonesia, atau majalah Djakarta!, dan Rakyat Merdeka. Untuk yang terakhir, saya penasaran akan dikasih judul apa peristiwa kemarin di Jakarta. Untuk majalah gaya hidup, saya suka ketawa bagaimana si wartawan mengejar-ngejar para artis untuk tahu berapa besar ongkos per minggu untuk merawat bulu mata, berapa kali seminggu Kris Dayanti operasi plasenta.

Kembali ke soal payudara. Saya menebak yang lain, Cosmo mungkin sedang mengajak para lelaki atau suami untuk mengenali payudara pacar-pacar dan istri-istri dengan cara manual. Cosmo sedang melek teknologi. Karena siapa tahu jika Clonaid berhasil mengklonigng seratus orang dengan kemiripan yang identik, seorang laki-laki bisa salah menggandeng pacara atau istrinya di suatu pesta. Jeli juga Cosmo ini. Maka, jika ingin tahu persis mana si istri, rabalah payudaranya. Rasakan, benarkan dia istri Anda yang benar, yang mau menyediakan teh manis pagi-pagi, yang maklum jika Anda tidur ngorok.

Setelah Clonaid mengklaim telah membuat Eve dengan cara kloning, bukan mustahil kan, pada 2010 ada 100 Madonna dilahirkan kembali. Siapa tahu, Anda ketiban pulung ketemu dengan salah satu Madonna dan kawin dengannya. 100 orang Madonna itu aseli lho. Bayangkan saja dulu, bagaimana rasanya Anda duduk berdua di kedai kopi dengan kembaran Anda yang mirip sama sekali dengan Anda. Cermin mungkin tak penting nanti.

Tapi itu masih klaim, seorang wartawan dan ilmuwan ternyata mengundurkan diri sebagai tim yang dibolehkan melihat langsung bayi Eve. Siapa tahu Clonaid bohong. Dan, ternyata, manusia memang tak bisa membuat manusia. Bukankah kursi tak bisa membuat kursi? Kursi dibuat oleh manusia dari kayu atau rotan atau besi dan dibuat dengan pelbagai bentuk. Untuk duduk agar betis Anda tak pegel. Siapa tahu itu untuk mendongkrak ketenaran Raelian: sekte yang percaya manusia diciptakan menalui proses genetik dengan teknologi tinggi oleh mahluk luar angkasa, di mana Brigitte Boisselier--pemimpin Clonaid--menjadi salah satu anggotanya. Ya, kita buktikan saja. Kemarin, untuk pertama kalinya, ada ilmuwan yang berhasil menguji secara ilmiah teori relativitas umum Albert Einstein.

MENULIS FEATURE


Farid Gaban

Mengapa feature?

Secara kasar karya jurnalistik bisa dibagi menjadi tiga:

  • Stright/spot News -- berisi materi penting yang harus segera dilaporkan kepada publik (sering pula disebut breaking news)
  • News Feature -- memanfaatkan materi penting pada spot news, umumnya dengan memberikan unsur human/manusiawi di balik peristiwa yang hangat terjadi atau de-ngan memberikan latarbelakang (konteks dan perspektif) melalui interpretasi.
  • Feature -- bertujuan untuk menghibur melalui penggunaan materi yang menarik ta-pi tidak selalu penting.

Dalam persaingan media yang kian ketat tak hanya antar media cetak melainkan juga an-tara media cetak dengan televisi, straight/spot news seringkali tak terlalu memuaskan.

Spot news cenderung hanya berumur sehari untuk kemudian dibuang, atau bahkan be-berapa jam di televisi. Spot news juga cenderung menekankan sekadar unsur elementer dalam berita, namun melupakan background.

Kita memerlukan berita yang lebih dari itu untuk bisa bersaing. Kita memerlukan news feature -- perkawinan antara spot news dan feature.

Karena tradisi ini relatif baru, kita perlu terlebih dulu memahami apa unsur-unsur dan as-pek mendasar dari feature.

Apakah feature?

Inilah batasan klasik mengenai feature: ''Cerita feature adalah artikel yang kreatif, kadang-kadang subyektif, yang terutama dimaksudkan untuk membuat senang dan memberi in-formasi kepada pembaca tentang suatu kejadian, keadaan atau aspek kehidupan.''

Kreatifitas
Berbeda dari penulisan berita biasa, penulisan feature memungkinkan reporter ''men-ciptakan'' sebuah cerita. Meskipun masih diikat etika bahwa tulisan harus akurat -- karangan fiktif dan khayalan tidak boleh -- reporter bisa mencari feature dalam pikirannya, kemudian setelah mengadakan penelitian terhadap gagasannya itu, ia menulis.

Subyektifitas
Beberapa feature ditulis dalam bentuk ''aku'', sehingga memungkinkan reporter me-masukkan emosi dan pikirannya sendiri. Meskipun banyak reporter, yang dididik dalam re-porting obyektif, hanya memakai teknik ini bila tidak ada pilihan lain, hasilnya enak dibaca.

Tapi, reporter-reporter muda harus awas terhadap cara seperti itu. Kesalahan umum pada reporter baru adalah kecenderungan untuk menonjolkan diri sendiri lewat penulisan de-ngan gaya ''aku''. Kebanyakan wartawan kawakan memakai pedoman begini: ''Kalau An-da bukan tokoh utama, jangan sebut-sebut Anda dalam tulisan Anda.''

Informatif
Feature, yang kurang nilai beritanya, bisa memberikan informasi kepada masyarakat mengenai situasi atau aspek kehidupan yang mungkin diabaikan dalam penulisan berita biasa di koran. Misalnya tentang sebuah Museum atau Kebun Binatang yang terancam tutup.

Aspek informatif mengenai penulisan feature bisa juga dalam bentuk-bentuk lain. Ada ba-nyak feature yang enteng-enteng saja, tapi bila berada di tangan penulis yang baik, fe-ature bisa menjadi alat yang ampuh. Feature bisa menggelitik hati sanubari manusia untuk menciptakan perubahan konstruktif.

Menghibur
Dalam 20 tahun terakhir ini, feature menjadi alat penting bagi suratkabar untuk bersaing dengan media elektronika.

Reporter suratkabar mengakui bahwa mereka tidak akan bisa ''mengalahkan'' wartawan radio dan televisi untuk lebih dulu sampai ke masyarakat. Wartawan radio dan TV bisa mengudarakan cerita besar hanya dalam beberapa menit setelah mereka tahu. Se-mentara itu wartawan koran sadar, bahwa baru beberapa jam setelah kejadian, pem-bacanya baru bisa tahu sesuatu kejadian -- setelah koran diantar.

Wartawan harian, apalagi majalah, bisa mengalahkan saingannya, radio dan TV, dengan cerita eksklusif. Tapi ia juga bisa membuat versi yang lebih mendalam (in-depth) menge-nai cerita yang didengar pembacanya dari radio.

Dengan patokan seperti ini dalam benaknya, reporter selalu mencari feature, terhadap be-rita-berita yang paling hangat. Cerita feature biasanya eksklusif, sehingga tidak ada ke-mungkinan dikalahkan oleh radio dan TV atau koran lain.

Feature memberikan variasi terhadap berita-berita rutin seperti pembunuhan, skandal, bencana dan pertentangan yang selalu menghiasi kolom-kolom berita, feature bisa mem-buat pembaca tertawa tertahan.

Seorang reporter bisa menulis ''cerita berwarna-warni'' untuk menangkap perasaan dan suasana dari sebuah peristiwa. Dalam setiap kasus, sasaran utama adalah bagaimana menghibur pembaca dan memberikan kepadanya hal-hal yang baru dan segar.

Awet
Menurut seorang wartawan kawakan, koran kemarin hanya baik untuk bungkus kacang. Unsur berita yang semuanya penting luluh dalam waktu 24 jam. Berita mudah sekali ''pu-nah'', tapi feature bisa disimpan berhari, berminggu, atau berulan-bulan. Koran-koran kecil sering membuat simpanan ''naskah berlebih'' -- kebanyakan feature. Feature ini diset dan disimpan di ruang tata muka, karena editor tahu bahwa nilai cerita itu tidak akan musnah dimakan waktu.

Dalam kacamata reporter, feature seperti itu mempunyai keuntungan lain. Tekanan deadline jarang, sehingga ia bisa punya waktu cukup untuk mengadakan riset secara cer-mat dan menulisnya kembali sampai mempunyai mutu yang tertinggi.

Sebuah feature yang mendalam memerlukan waktu cukup. Profil seorang kepala polisi mungkin baru bisa diperoleh setelah wawancara dengan kawan-kawan sekerjanya, ke-luarga, musuh-musuhnya dan kepala polisi itu sendiri. Diperlukan waktu juga untuk meng-amati tabiat, reaksi terhadap keadaan tertentu perwira itu.

Singkat kata, berbeda dengan berita, tulisan feature memberikan penekanan yang lebih besar pada fakta-fakta yang penting -- fakta-fakta yang mungkin merangsang emosi (menghibur, memunculkan empati, disamping tetap tidak meninggalkan unsur infor-matifnya). Karena penakanan itu, tulisan feature sering disebut kisah human interest atau kisah yang berwarna (colourful).

Teknik penulisan
Jika dalam penulisan berita yang diutamakan ialah pengaturan fakta-fakta, maka dalam penulisan feature kita dapat memakai teknik ''mengisahkan sebuah cerita''. Memang itulah kunci perbedaan antara berita ''keras'' (spot news) dan feature. Penulis feature pada ha-kikatnya adalah seorang yang berkisah.

Penulis melukis gambar dengan kata-kata: ia menghidupkan imajinasi pembaca; ia me-narik pembaca agar masuk ke dalam cerita itu dengan membantunya mengidentifikasikan diri dengan tokoh utama.

Penulis feature untuk sebagian besar tetap menggunakan penulisan jurnalistik dasar, ka-rena ia tahu bahwa teknik-teknik itu sangat efektif untuk berkomunikasi. Tapi bila ada aturan yang mengurangi kelincahannya untuk mengisahkan suatu cerita, ia segera me-nerobos aturan itu.

''Piramida terbalik'' (susunan tulisan yang meletakkan informasi-informasi pokok di bagian atas, dan informasi yang tidak begitu penting di bagian bawah -- hingga mudah untuk dibuang bila tulisan itu perlu diperpendek) sering ditinggalkan. Terutama bila urutan pe-ristiwa sudah dengan sendirinya membentuk cerita yang baik.

Jenis-jenis Feature

  1. Feature kepribadian (Profil)

  2. Profil mengungkap manusia yang menarik. Misalnya, tentang seseorang yang secara dra-matik, melalui berbagai liku-liku, kemudian mencapai karir yang istimewa dan sukses atau menjadi terkenal karena kepribadian mereka yang penuh warna.

    Agar efektif, profil seperti ini harus lebih dari sekadar daftar pencapaian dan tanggal-tang-gal penting dari kehidupan si individu. Profil harus bisa mengungkap karakter manusia itu. Untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan, penulis feature tentang pribadi seperti ini seringkali harus mengamati subyek mereka ketika bekerja; mengunjungi rumah mereka dan mewawancara teman-teman, kerabat dan kawan bisnis mereka.

    Profil yang komplit sebaiknya disertai kutipan-kutipan si subyek yang bisa meng-gambarkan dengan pas karakternya. Profil yang baik juga semestinya bisa memberikan kesan kepada pembacanya bahwa mereka telah bertemu dan berbicara dengan sang tokoh.

    Banyak sumber yang diwawancara mungkin secara terbuka berani mengejutkan Anda de-ngan mengungkap rahasia pribadi atau anekdot tentang si subyek. Tapi, banyak sumber lebih suka meminta agar identitasnya dirahasiakan. Informasi sumber-sumber itu penting untuk memberikan balans dalam penggambaran si tokoh.

  3. Feature sejarah
    Feature sejarah memperingati tanggal-tanggal dari peristiwa penting, seperti proklamasi kemerdekaan, pemboman Hiroshima atau pembunuhan jenderal-jenderal revolusi. Koran juga sering menerbitkan feature peringatan 100 tahun lahir atau meninggalnya seorang tokoh.

    Kisah feature sejarah juga bisa terikat pada peristiwa-peristiawa mutakhir yang mem-bangkitkan minat dalam topik mereka. Jika musibah gunung api terjadi, koran sering memuat peristiwa serupa di masa lalu.

    Feature sejarah juga sering melukiskan landmark (monumen/gedung) terkenal, pionir, fi-losof, fasilitas hiburan dan medis, perubahan dalam komposisi rasial, pola perumahan, makanan, industri, agama dan kemakmuran.

    Setiap kota atau sekolah memiliki peristiwa menarik dalam sejarahnya. Seorang penulis feature yang bagus akan mengkaji lebih tentang peristiwa-peristiwa itu, mungkin dengan dokumen historis atau dengan mewawancara orang-orang yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa bersejarah.
  4. Fature petualangan
    Feature petualangan melukiskan pengalaman-pengalaman istimewa dan mencengangkan -- mungkin pengalaman seseorang yang selamat dari sebuah kecelakaan pesawat ter-bang, mendaki gunung, berlayar keliling dunia, pengalaman ikut dalam peperangan.

    Dalam feature jenis ini, kutipan dan deskripsi sangat penting. Setelah bencana, misalnya, penulis feature sering menggunakan saksi hidup untuk merekontruksikan peristiwa itu sendiri. Banyak penulis feature jenis ini memulai tulisannya dengan aksi -- momen yang paling menarik dan paling dramatis.
  5. Feature musiman
    Reporter seringkali ditugasi untuk menulis feature tentang musim dan liburan, tentang Ha-ri Raya, Natal, dan musim kemarau. Kisah seperti itu sangat sulit ditulis, karena agar tetap menarik, reporter harus menemukan angle atau sudut pandang yang segar.

    Contoh yang bisa dipakai adalah bagaimana seorang penulis menyamar menjadi Sin-terklas di Hari Natal untuk merekam respon atau tingkah laku anak-anak di seputar hara raya itu.
  6. Feature Interpretatif
    Feature dari jenis ini mencoba memberikan deskripsi dan penjelasan lebih detil terhadap topik-topik yang telah diberitakan. Feature interpretatif bisa menyajikan sebuah or-ganisasi, aktifitas, trend atau gagasan tertentu. Misalnya, setelah kisah berita meng-gambarkan aksi terorisme, feature interpretatif mungkin mengkaji identitas, taktik dan tujuan terotisme.

    Berita memberikan gagasan bagi ribuan feature semacam ini. Setelah perampokan bank, feature interpretatif bisa saja menyajikan tentang latihan yang diberikan bank kepada pegawai untuk menangkal perampokan. Atau yang mengungkap lebih jauh tipikal pe-rampok bank, termasuk peluang perampok bisa ditangkap dan dihukum.
  7. Feature kiat (how-to-do-it feature)
    Feature ini berkisah kepada pembacanya bagaimana melakukan sesuatu hal: bagaimana membeli rumah, menemukan pekerjaan, bertanam di kebun, mereparasi mobil atau mem-pererat tali perkawinan.

    Kisah seperti ini seringkali lebih pendek ketimbang jenis feature lain dan lebih sulit dalam penulisannya. Reporter yang belum berpengalaman akan cenderung menceramahi atau mendikte pembaca -- memberikan opini mereka sendiri -- bukannya mewawancara sum-ber ahli dan memberikan advis detil dan faktual.


Rujukan:

FEATURE WRITING FOR NEWSPAPER, Daniel R. Williamson 1980
REPORTING FOR THE PRINT MEDIA, Fred Fedler, 1989

Friday, January 10, 2003

MEMBERI RUH PADA BERITA



Farid Gaban

Tugas seorang penulis adalah membuat sesuatu informasi yang dikumpulkan dan dila-porkan menjadi jelas bagi pembaca. Ketidakmampuan menekankan kejelasan adalah ke-gagalan seorang penulis.

Dan karena informasi dan gagasan seringkali beku dan tanpa jiwa, menjadi tugas seorang penulis pula untuk mencairkan, mengemas, dan menyajikan informasi itu menjadi sajian penuh vitalitas (vogorous) serta elok (graceful) sehingga mampu menggaet dan me-melihara minat pembaca untuk menyerap seluruh informasi yang disampaikan.

ELEMEN KEJELASAN

Singkat
Tulisan yang jelas umumnya bukan tulisan yang panjang lebar, melainkan justru ringkas dan terfokus. Ingat Hemingway? ''Less is more!''

Tulisan yang ringkas memberi kesan tangkas dan penuh vitalitas. Tanpa kata mubazir da-lam kalimatnya dan tanpa kalimat mubazir dalam alenianya. Tulisan yang ringkas tak ubahnya seperti lukisan yang tegas (tanpa garis yang tak perlu) atau mesin yang efektif (tanpa suku cadang yang tak berfungsi).

Tulisan yang jelas dimulai dari pembuatan kalimat yang sederhana, ringkas dan tepat makna. Kuncinya: baca laporan dan amati sesuatu sejelas-jelasnya kemudian ceritakan kembali secara sederhana. Dan pilihlah satu angle:

  1. Dengan cermat memilih angle cerita sehingga penulis dengan mudah bisa mengelola bahan yang diperlukan untuk mengutarakan cerita itu.
  2. Pegang teguhlah angle cerita itu dengan menghapuskan bagian yang tidak berhubungan langsung dengan angle-nya atau pun tidak membantu mencapai sasaran.


Langsung, Tepat Sasaran
Tulislah ringkas menuju pengertian yang dimaksud. Pilih kata/kalimat yang spesifik untuk mewakili pengertian yang mengena (tanpa memberi peluang pada banyak interpretasi). Meluruskan apa saja yang berliku-liku. Menggergaji yang bergerigi. Berperang melawan kekaburan dan segala sesuatu yang mendua. Statemen yang abstrak adalah racun maut bagi seorang penulis.

Organisasi
Mulailah sebuah tulisan secara kuat, untuk memikat pembaca memasukinya. (Lihat ba-gian lain tentang lead). Jika mungkin, gunakan gaya bahasa naratif -- gaya seorang pen-dongeng yang piawai -- sebagai pendekatan dasar. Selesai menuliskan sebuah paragraf, pikirkan apa yang pembaca ingin ketahui pada alinea berikutnya; dan buatlah transisi serta keterkaitan antar alenia secara mulus. Cobalah untuk selalu menjaga konsistensi te-ma dalam keseluruhan cerita. Dan seperti dibuka dengan kuat, tutup juga cerita dengan tegas, tanpa membiarkan kejanggalan dan ending yang melambai.

Spesifik
Bagian-bagian yang rumit pecahlah dalam serpihan yang mudah dicerna. Gunakan con-toh : seorang untuk mewakili kelompoknya. Dengan memberikan pengkhususan, sering-kali juga menghadirkan suasana dramatis dan hidup. (''Kematian 10.000 orang adalah statistik, tapi kematian satu orang adalah tragedi,'' kata Joseph Stalin).

Paralel
Jika Anda menulis sebuah topik yang padat, gambarkan melalui ungkapan yang mudah dipahami pembaca. Strategi militer misalnya dapat diterangkan melalui formasi per-tandingan olahraga, rencana keuangan perusahaan dapat digambarkan melalui rencana anggaran keluarga.

APA ITU RUH CERITA?

Manusia
Setiap fotografer tahu bahwa gambar yang tidak menyertakan unsur kehidupan seperti manusia hanya akan berakhir nasibnya di keranjang sampah. Begitu pula dengan tulisan.
Pembaca suka membaca tentang manusia lainnya. Mereka kurang berminat pada isu dan gagasan ketimbang pada pribadi-pribadi. Jika kita bisa menampilkan sebuah wajah pada kisah rumit yang jarang diikuti pembaca, mereka akan terpikat membacanya dan mem-peroleh informasi.

Tempat
Pembaca menyukai sense of place. Kita bisa membuat tulisan lebih hidup jika kita bisa menyusupkan sense of place yang kuat. Misalnya: seperti apa lokasi tempat terjadinya pembunuhan itu, bagaimana suasana di balik panggung pertunjukan?

Indera
Kita harus berupaya untuk menyentuh indera pembaca. Membuat mereka melihat cerita dalam detil visual yang kuat, dan juga -- dalam kontek yang tepat -- membuat mereka mendengar, meraba, merasakan, membaui dan mengalami.

Irama
Tulisan yang monoton bisa dibantu dengan perubahan irama di dalam teks. Anekdot, ku-tipan, sebuah dialog pendek atau sebuah deskripsi dapat mengubah irama di aman pem-baca bisa terikat sepanjang cerita dan membuat tulisan itu lebih hidup.

Warna dan Mood
Kamera televisi dapat menampilkan pemandangan yang sesungguhnya, dalam warna dan detil. Penulis tidak dapat menyajikan pemandangan dengan mudah, sehingga mereka ha-rus berusaha keras untuk melukis dalam pikiran pembaca. Warna meliputi: citarasa, su-ara, bau, sentuhan dan rasa. Dan tentu saja sesuatu yang dapat dilihat: gerakan usapan, detil pakaian, rupa, perasaan. Warna bukan hanya sekedar kata sifat tetapi merupakan to-talitas dari sebuah pemandangan.

Dalam menggambarkan warna, berarti Anda juga menceritakan tentang suasana (mood). Bahagia? Penuh emosi dan ketegangan? Sering hal semacam ini memberikan ketajaman perasaan terhadap cerita ketimbang bagian lain yang Anda tulis.

Anekdot
Anekdot adalah sebuah kepingan kisah singkat antara satu hingga lima alenia -- ''cerita dalam cerita''. Anekdot umumnya menggunakan seluruh teknik dasar penulisan fiksi - na-rasi, karakterisasi, dialog, suasana -- untuk mengajak pembaca melihat cerita secara on the spot.

Anekdot sering dipandang sebagai ''permata'' dalam cerita. Penulis yang piawai akan me-naburkan permata itu di seluruh bagian cerita, bukan mengonggokkannya di satu tempat.

Humor
Humor adalah bentuk ekspresi yang paling personal. Berilah pembaca sebuah senyuman, dan mereka akan menjadi sahabat Anda sepanjang hari. Dan buatlah mereka menanti tulisan Anda esok harinya. Tapi hati-hati dengan humor yang tak bercita-rasa.

Panjang-pendek
Makin pendek cerita makin baik. Kisah akan lebih hidup jika awalnya berdekatan dengan akhir (klimaks), sedekat mungkin. Alenia dan kalimat harus bervariasi dalam panjang. Letakkan kalimat dan alenia pendek pada titik kejelasan terpekat atau tekanan terbesar.

Kutipan
Kutipan dalam tulisan berita memberikan otoritas. Siapa yang mengatakannya? Seberapa dekat keterlibatannya dengan sesuatu peristiwa dan masalah? Apakah kata-katanya patut didengar? Kutipan juga memberikan vitalitas karena membiarkan pembaca mendengar suara lain selain penuturan si penulis.

Dialog
Perangkat ini jarang digunakan dalam koran atau majalah berita. Tapi, bisa menjadi wa-hana yang efektif untuk menghidupkan cerita. Dalam meliput sebuah sidang pengadilan, misalnya, atau mendiskusikan permainan dengan para atlet olahraga tertentu, kita bisa menghidupkan cerita dengan membiarkan pembaca mendengarkan para partisipan ber-bicara satu sama lain.

Sudut Pandang
Kita bisa membuat sebuah cerita biasa menjadi hidup dengan mengubah sudut pandang. Cobalah untuk melihat inflasi misalnya, dari sudut pandang seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari harus mengatur anggaran keluarga.

Identifikasi
Sebuah tulisan akan lebih hidup jika pembaca merasa dilibatkan dalam cerita dan mem-buat mereka mengerti mengapa sebuah masalah bermanfaat untuk mereka ketahui. Se-cara insidental, pembaca paling mudah mengidentifikasikan diri jika cerita ditulis dalam bentuk orang ketiga -- cara kebanyakan fiksi ditulis.

Bertutur
Tulisan yang hidup memiliki irama dan nada berbincang yang baik. Memiliki suara. Kita bi-sa menghidupkan cerita yang membosankan dengan menulis sesuatu seperti kita sedang membicarakan sesuatu kepada seorang pembaca -- dengan bahasa dan ungkapan ke-seharian yang kita pakai untuk berbicara.

Kata kerja
Kata kerja adalah mesin yang mendorong berjalannya sebuah cerita. Tulisan yang buruk bisa dihidupkan dengan mengaktifkan kata kerja pasif, menyederhanakan kata kerja kom-pleks, dan memperkuat kata kerja lembek. Kita harus senantiasa merasa gagal ketika menggunakan adverb atau kata sifat, ketika tak bisa menemukan kata kerja yang benar atau kata benda yang benar. ''Kata sifat adalah musuh bebuyutan kata benda,'' kata pu-jangga Prancis Voltaire.


BOKS 1: JANGAN PUNYA BELAS KASIHAN

Untuk menghindari berpanjang lebar, penulis harus mempersoalkan setiap bagian materi yang dipakai, sebelum dan sesudah tulisan dikerjakan.

Lihat pada laporan yang dibuat reporter maupun bahan yang Anda kumpulkan sendiri. Pe-riksa setiap potong informasi, untuk mengetahui apakah itu cukup relevan, cukup punya hubungan yang jelas, dengan pokok persoalan. Bila tidak relevan atau tidak membantu Anda mencapai sasaran pokok, yaitu bercerita secara efektif, singkirkan atau coret saja, sehingga nanti tidak akan mengganggu. Jangan punya belas kasihan: bila materi tidak relevan, buang!

Setelah Anda menulis, perhatikan setiap blok materi yang Anda pakai. Apakah masih ada hubungan yang jelas dengan fokus cerita? Kalaupun relevan, apakah ia menambahkan sesuatu yang berharga dalam usaha Anda bercerita? Bila tidak, erase saja karena hal itu hanya akan mengurangi efektifitas penulisan Anda.


BOKS 2: TULISAN DESKRIPTIF VS TELEVISI

Dalam beberapa hal, televisi menang terhadap media cetak karena ia bisa meng-gambarkan bentuk fisik orang atau sesuatu barang dengan jelas di layar kaca. Pirsawan bisa menangkap dan menilai tokoh di TV, sedangkan pembaca koran harus mempunyai gambaran dari kata-kata yang tercetak (atau lewat potret kalau ada), yang bisa me-nunjukkan tokoh dalam cerita.

Tapi, dalam beberapa hal, penulis yang baik bisa mengubah kelemahan media cetak ini menjadi kemenangan. Yakni, dengan penulisan deskriptif. Gambaran yang ditangkap ka-mera hanya dangkal dan satu dimensi. Kelemahan TV adalah bahwa ia sangat terikat waktu yang sangat berharga, sehingga reporter TV jarang bisa memperoleh gambaran yang mendalam. Dan kalaupun waktu cukup tersedia untuk film dokumenter, katakanlah 1/2 jam, kehadiran kamera TV akan mengurangi suasana yang wajar dan realistis.

Kamera TV bisa menangkap gambaran yang baik pada feature yang menampilkan wajah orang, tapi penulis yang trampil bisa membuat feature lebih menarik dan memberikan gambaran sesungguhnya tentang tokoh masyarakat pada saat ia tidak disorot lampu TV. Yang lebih penting, penulis feature bisa memberikan gambaran tentang tabiat, gaya, le-wat pengamatan yang terlatih baik, dan menekankan karakteristik orang, yang menye-babkan kita memperoleh pandangan ke dalam watak dan personalitas tokohnya.

Penulis feature tidak hanya memberikan pembacanya gambaran satu dimensi, tapi ke-seluruhan personalitas dan juga citra seseorang tokoh. Atau, bila menyangkut ''barang'', misalnya gambaran setelah ada musibah atau massa yang bersuka-ria, penulis bisa menampilkan mood (suasana).


BOKS 3: MEMILIH DAN MENULIS KUTIPAN

Kutipan adalah cara yang paling indah untuk menyajikan cerita dalam kerangka yang ma-nusiawi. Dan kutipan hanya akan bagus jika:

  • Menggambarkan aktivitas secara lebih lebih hidup atau lebih tepat daripada yang bisa digambarkan dengan cara lain.
  • Menjawab pertanyaan yang mungkin diajukan oleh pembaca.
  • Berusaha memberikan gambaran sekilas tentang pribadi pembicara.
  • Untuk memberikan citarasa kesegaran dan kredibilitas pada sebuah cerita.


Untuk menentukan apakah Anda akan mengutip langsung atau t idak, inilah pedomannya:

  1. Apakah kutipan itu kata-katanya tidak berantakan, ringkas dan jelas? Bila jawab-annya tidak, Anda harus memakai kalimat tidak langsung.
  2. Apakah kutipan langsung itu akan memperkuat efek, memperjelas siapa yang bi-cara, atau menambah kesan sebagai pendapat dari orang yang memang layak di-kutip? Bila jawabannya ya, pakailah kalimat kutipan langsung.
  3. Apakah cerita yang mengawalinya cenderung untuk under-quote? Bila jawaban-nya ya, pakailah kutipan langsung. Bila over-quote, pakailah bentuk kutipan tidak langsung.


Kadang-kadang pilihannya malah lebih sulit. Yakni bila hanya sedikit bagian kutipan yang dapat diangkat, yakni bagian kecil yang sangat bagus. Bila demikian halnya, baiklah kita memakai bentuk kutipan tidak langsung untuk menuliskan sebagian besar ucapan si subyek, dan baru kita pakai tanda kutipan langsung pada bagian yang menarik perhatian itu:

    Walikota mengutuk Komisi Pelayanan Masyarakat yang cara kerjanya ''tolol dan brengsek'' dalam menjalankan petunjuk-petunjuk DPRD.


Kadang-kadang kutipan yang bagus bisa lemah karena ditulis terlalu panjang:

    ''Karena sikap warga yang tidak kooperatif, selalu mengganggu kami dengan keluhan kecil-kecil, seperti gong-gongan anjing, radio stereo yang berisik, anak-anak yang ribut, perkelahian pribadi, kucing hilang, bau yang tidak enak dari pabrik, saya mengundurkan diri,'' kata Ketua RT itu.

    Pak Ketua RT itu terlalu berkepanjangan, sehingga wartawan bisa memilih begini:

    ''Karena sikap warga yang tidak kooperatif, yang selalu mengganggu kami dengan keluhan kecil-kecil... saya mengundurkan diri,'' kata Ketua RT itu.

    Dalam bagian atas sudah kita bicara perlunya alinea pendek. Tapi kadang-kadang, sebu-ah kutipan yang bagus memerlukan tempat panjang. Nah, seorang penulis yang baik akan membagi kutipan itu menjadi beberapa alinea.

    ''Kesulitan kami muncul setelah saya dipecat. Uang kami habis tiga minggu kemudian, sehingga kami tidak bisa membayar sewa. Pemilik rumah meng-usir kami, meskipun sebelumnya kami tidak pernah menunggak pembayaran. Kami tinggal di bawah jembatan, semacam gelandangan,'' kata Abdul Gafur.


Bila penulis memutuskan memakai kutipan itu supaya efektif, ia harus memotongnya menjadi paling tidak dua alinea. Ini bisa dilakukan dengan tidak menutup kutipan pada akhir satu aliena dan menambahkan tanda kutip pada awal alinea berikutnya:

    ''Kesulitan kami muncul setelah saya dipecat,'' kata Abdul Gafur. ''Uang kami habis tiga minggu kemudian, sehingga kami tidak bisa membayar sewa. Pemilik rumah mengusir kami, meskipun sebelumnya kami tidak pernah menunggak pembayaran.

    ''Saya mencoba kemudian untuk pergi ke Kantor Jawatan Sosial, tapi mereka mengatakan saya tidak berhak dapat bantuan karena saya menolak tawaran pekerjaan di luar kota. Saya tidak ada pilihan lain karena saya tidak punya uang untuk ongkos bis.

    ''Maka, selama 2 minggu terakhir ini, kami tinggal di bawah jembatan, se-macam gelandangan.''

Anda perhatikan bahwa penyebutan nama hanya sekali pada awal alinea karena kutipan masih berlanjut. Dalam hal-hal lain, bila ada kutipan baru, nama yang dikutip harus disebutkan lagi:

    ''Kesulitan kami muncul setelah saya dipecat,'' kata Abdul Gafur. ''Uang kami habis tiga minggu kemudian, sehingga kami tidak bisa membayar sewa. Pemilik rumah mengusir kami, meskipun sebelumnya kami tidak pernah menunggak pembayaran.''


Untuk meneruskan cerita itu setelah pengecekan secukupnya, penulis mencampur kutipan langsung dan kutipan tidak langsung:

Pertama:
Mudjono, kepala bagian di tempat Abdul Gafur bekerja di Koperasi Pertanian Meguwo, mengatakan bahwa Gafur dipecat setelah terbukti menggelapkan uang pupuk. Gafur membantah tuduhan itu.

    Yang empunya rumah tempat Gafur tinggal, Cecep Suganda, membantah kata-kata Gafur, bahwa ia selalu membayar sebelumnya. Menurut Cecep, Gafur belum membayar 4 bulan.

Kedua:
    ''Saya mencoba ke Kantor Jawatan Sosial, tetapi mereka mengatakan saya tidak berhak dapat bantuan karena saya menolak tawaran pekerjaan di luar kota. Saya tidak ada pilihan lain, karena tidak punya uang untuk ongkos bis,'' kata Gafur.

    Sri Sukatni seorang petugas di Kantor Jawatan Sosial, mengatakan bahwa Gafur menolak tiga tawaran pekerjaan, termasuk di sebuah toko, 2 km jauhnya dari jembatan tempat tinggalnya kini.


Ketiga:
''Maka, selama dalam dua minggu terakhir ini, kami tinggal di bawah jembatan, semacam gelandangan,'' kata Gafur.

Di kampung Jambe, Kelurahan Karangkobar, Nyi Fatimah, ibu Gafur, tinggal dalam sebuah rumah yang punya 4 kamar. Para tetangga mengatakan bahwa Gafur dan isterinya menyusup ke rumah ibunya segera setelah matahari tenggelam dan tinggal di sana sampai matahari terbit.

OVER ATAU UNDER QUOTE?

Dalam menulis kutipan, banyak problem teknis yang dihadapi. Kebanyakan penulis muda cenderung terlalu banyak mengutip (over-quote) atau terlalu sedikit mengutip (under-quote).

Dalam over-quoting, penulis hanya sekadar menyusun kutipan, seraya kadang-kadang menysipkan kata penyambung.

Cara pengutipan seperti ini sering tidak bisa diterima. Sedikit orang yang menggunakan kata-kata secara ringkas dalam percakapan. Sebagai penulis, wartawan harus mampu menyampaikan pesan itu dengan lebih jelas dan ringkas dengan cara membuat menjadi kalimat kutipan tak langsung.

Over-quoting juga menghancurkan salah satu tujuan baik dalam pengutipan: mengha-puskan kejemuan karena gaya yang sama. Dengan over-quoting, penulis hanya meng-ganti gaya monoton dirinya dengan gaya monoton seorang lain.

Unverquoting juga merusak. Banyak penulis baru yang tidak yakin akan kemampuannya mengambil kutipan, sehingga ia selalu membuat kutipan tidak langsung. Cara ini juga menghilangkan tujuan baik pengutipan.


BOKS 4: AKURASI, KUNCI KREDIBILITAS

Informasi yang penting adalah informasi yang akurat dan jelas.

Penulis dan pembaca mempunyai keperluan yang berbeda, namun bisa bekerjasama. Pe-nulis tak ada artinya tanpa pembaca, dan pembaca masuk dalam sebuah cerita dengan harapan besar bisa memahami semuanya.

Tanggung jawab yang terbesar terletak pada penulis. Jika penulis mengkhianati harapan pembaca dengan membuat sejumlah kesalahan atau kekurang-tepatan, dia merusak ker-jasama yang telah terbentuk.

Ketidak-akuratan biasanya disebabkan karena kecerobohan, kemalasan, penipuan atau ketidakpedulian reporter dalam menuliskan hasil reportasenya.

Pengecekan ulang sebelum kita menulis, membaca kembali dengan hati-hati dan mengeceknya kembali setelah kita menulis adalah benteng terbaik terhadap ketidak-akuratan.

MENGUJI AKURASI

Berikut ini adalah elemen-elemen utama dalam mencermati sebuah fakta atau detil.

Jangan menebak
Penulis harus memegang betul apa saja yang diketahui dan apa saja yang dimengerti. Jika kita tidak benar-benar memahami, cek kembali hal itu atau tinggalkan sama sekali. Jangan pernah mengira-kira.

Angka
Ceklah dua kali semua angka dan jumlah. Sebuah angka seringkali tak memiliki makna, kecuali diletakkan pada konteks yang mudah dipahami pembaca. Angka tentang omset penjualan misalnya, tak punya makna jika tak disertai omset penjualan tahun lalu, berapa prosentase kenaikan atau penurunan dari tahun-tahun sebelumnya.

Angka juga seringkali lebih bermakna jika disertai penjelasan yang menyentuh pembaca:

  • Seberapa jauh melampaui standar pencemaran udara?
  • Seberapa mahal dibanding APBN Indonesia tahun ini atau dibanding harga mobil Kijang yang rata-rata dimiliki pembaca?
  • Seberapa luas dibanding lapangan sepakbola?

Dengan kata lain, angka yang ada sebaiknya disertai ekuivalennya yang mudah diserap pembaca.

Ukuran-ukuran juga sebaiknya dikonversikan ke ukuran yang lazim dipakai pembaca: km bukan mil, rupiah bukan dolar, meter bukan kaki, kg bukan pound.

Jika Anda tak menghitung sendiri, sebutkan dari mana angka itu dikutip -- dari sumber atau dari buku statistik, misalnya.

Nama, Tanggal dan Tempat
Tak ada orang yang suka namanya ditulis secara salah. Usahakan untuk meminta sumber berita mengeja sendiri nama sekaligus gelar dan nama panggilannya. Lihat di buku rujukan yang terpercaya, misalnya buku apa siapa atau ensiklopedi. Jangan percaya ha-nya pada leaflet atau selebaran atau omongan teman Anda.

Catatan penting tentang nama sumber: sebagian besar nama orang Indonesia terdiri atas dua kata (kecuali Soeharto misalnya). Cantumkan nama lengkap ketika pertama kali Anda menyebutnya dalam laporan.

Pada saat kita menulis tentang tanggal, lihatlah kalender lebih dahulu. Ketika menulis tentang tempat, lihatlah kembali peta.

Jika mungkin, milikilah sebuah buku pintar, infopedi, tabel konversi, kalender dan peta kecil. Letakkan pada tempat yang mudah dijangkau, sehingga tak enggan kita untuk mengecek sesuatu fakta.

Kutipan
Apakah sesuatu kutipan benar-benar seperti yang dikatakan oleh sumber? Apakah catatan kita benar dan kita berani mempertahankan sampai di meja pengadilan? Jika tidak, sebaiknya dijelaskan dengan kata-kata kita sendiri saja.

Terburu-buru
Kata-kata yang sering digunakan sebagai permintaan maaf atas beberapa kesalahan adalah: ''Saya tidak punya waktu untuk mengeceknya kembali''. Alasan yang tidak bisa diterima.

Cerita Bohong
Sangat jarang penerbitan yang tidak memasukkan hal ini ke dalam beritanya. Keragu-raguan adalah perlindungan yang terbaik. Jika sebuah cerita atau kenyataan seolah-olah sangat aneh atau menakjubkan untuk dipercaya, jangan percaya hal itu sebelum ada pembuktiannya.

Kesalahan Teknis
Perhatian yang istimewa sangat dibutuhkan pada tulisan khusus seperti ilmu penge-tahuan, hukum, kedokteran, teknik, keuangan dan sejenisnya. Sediakan waktu untuk me-nelitinya, dan kemudian ceklah kembali informasi yang kita peroleh melalui pakar yang dapat dipercaya pada bidang tersebut.

Rekayasa
Manipulasi, perubahan konteks, distorsi, pemaparan yang salah, sindiran, kebencian, gosip, kabar angin dan melebih-lebihkan. Semua itu sangat tinggi ongkosnya, sementara hasilnya sangat rendah.

BAHASA JURNALISTIK INDONESIA

Goenawan Mohamad

Bahasa jurnalistik sewajarnya didasarkan atas kesadaran terbatasnya ruangan dan waktu. Salah satu sifat dasar jurnalisme menghendaki kemampuan komunikasi cepat dalam ruangan serta waktu yang relatif terbatas. Meski pers nasional yang menggunakan bahasa Indonesia sudah cukup lama usianya, sejak sebelum tahun 1928 (tahun Sumpah Pemuda), tapi masih terasa perlu sekarang kita menuju suatu bahasa jurnalistik Indonesia yang lebih efisien.

Dengan efisien saya maksudkan lebih hemat dan lebih jelas. Asas hemat dan jelas ini penting buat setiap reporter, dan lebih penting lagi buat editor. Di bawah ini diutarakan beberapa fasal, yang diharapkan bisa diterima para (calon) wartawan dalam usaha kita ke arah efisien penulisan.


H E M A T

Penghematan diarahkan ke penghematan ruangan dan waktu. Ini bisa dilakukan di dua lapisan : yaitu unsur kata, dan unsur kalimat.

Unsur kata :
1. Beberapa kata Indonesia sebenarnya bisa dihemat tanpa mengorbankan tatabahasa dan jelasnya arti. Misalnya:
- agar supaya ................. agar, supaya
- akan tetapi ................. tapi
- apabila ................. bila
- sehingga ................. hingga
- meskipun ................. meski
- walaupun ................. walau
- tidak ................. tak (kecuali diujung kalimat
atau berdiri sendiri).

2. Kata daripada atau dari pada juga sering bisa disingkat jadi dari. Misalnya: "Keadaan lebih baik dari pada zaman sebelum perang", menjadi "Keadaan lebih baik sebelum perang". Tapi mungkin masih janggal mengatakan: ''Dari hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang".

3. Ejaan yang salahkaprah justru bisa diperbaiki dengan menghemat huruf. Misalnya:
- sjah ......... sah
- khawatir ......... kuatir
- akhli ......... ahli
- tammat ......... tamat
- progressive ......... progresif
- effektif ......... efektif

Catatan : Kesulitan pokok kita di waktu yang lalu ialah belum adanya ejaan standard bahasa Indonesia. Kita masih bingung, dan berdebat, tentang: roch atau roh? zaman atau jaman? Textil atau tekstil? Kesusasteraan atau kesusastraan? Tehnik atau teknik? Dirumah atau di rumah? Mudah-mudahan dengan diputuskannya suatu peraturan ejaan standard, kita tak akan terus bersimpang-siur seperti selama ini. Ejaan merupakan unsur dasar bahasa tertulis. Sebagai dasar, ia pegang peranan penting dalam pertumbuhan bahasa, misalnya buat penciptaan kata baru, pemungutan kata dari bahasa lain dan sebagainya.

4. Beberapa kata mempunyai sinonim yang lebih pendek. Misalnya:
- kemudian = lalu
- makin = kian
- terkejut = kaget
- sangat = amat
- demikian = begitu
- sekarang = kini

Catatan : Dua kata yang bersamaan arti belum tentu bersamaan efek, sebab bahasa bukan hanya soal perasaan. Dalam soal memilih sinonim yang telah pendek memang perlu ada kelonggaran, dengan mempertimbangkan rasa bahasa.

Unsur Kalimat
Lebih efektif dari penghematan kata ialah penghematan melalui struktur kalimat. Banyak contoh pembikinan kalimat dengan pemborosan kata.

1. Pemakaian kata yang sebenarnya tak perlu, di awal kalimat:
- "Adalah merupakan kenyataan, bahwa percaturan politik internasional berubah-ubah setiap zaman''. (Bisa disingkat: ''Merupakan kenyataan, bahwa ................'').
- "Apa yang dinyatakan Wijoyo Nitisastro sudah jelas". (Bisa disingkat: "Yang dinyatakan Wijoyo Nitisastro...........").

2. Pemakaian apakah atau apa (mungkin pengaruh bahasa daerah) yang sebenarnya bisa ditiadakan:
- "Apakah Indonesia akan terus tergantung pada bantuan luar negeri"? (Bisa disingkat: ''Akan terus tergantungkah Indonesia.....'').
- Baik kita lihat, apa(kah) dia di rumah atau tidak''. (Bisa disingkat: ''Baik kita lihat, dia di rumah atau tidak'').

3. Pemakaian dari sebagai terjemahan of (Inggris) dalam hubungan milik yang sebenarnya bisa ditiadakan; Juga daripada.
- "Dalam hal ini pengertian dari Pemerintah diperlukan''. (Bisa disingkat: ''Dalam hal ini pengertian Pemerintah diperlukan''.
- ''Sintaksis adalah bagian daripada Tatabahasa''. (Bisa disingkat: ''Sintaksis adalah bagian Tatabahasa'').

4. Pemakaian untuk sebagai terjemahan to (Inggris) yang sebenarnya bisa ditiadakan:
- "Uni Soviet cenderung untuk mengakui hak-hak India". (Bisa disingkat: "Uni Soviet cenderung mengakui............").
- "Pendirian semacam itu mudah untuk dipahami". (Bisa disingkat: "Pendirian semacam itu mudah dipahami").
- "GINSI dan Pemerintah bersetuju untuk memperbaruhi prosedur barang-barang modal". (Bisa disingkat: "GINSI dan Pemerintah bersetuju memperbaruhi.......").

Catatan : Dalam kalimat: ''Mereka setuju untuk tidak setuju'', kata untuk demi kejelasan dipertahankan.

5. Pemakaian adalah sebagai terjemahan is atau are (Inggris) tak selamanya perlu:
- ''Kera adalah binatang pemamah biak''. (Bisa disingkat ''Kera binatang pemamah biak'').
Catatan : Dalam struktur kalimat lama, adalah ditiadakan, tapi kata itu ditambahkan, misalnya dalam kalimat: ''Pikir itu pelita hati''. Kita bisa memakainya, meski lebih baik dihindari. Misalnya kalau kita harus menterjemahkan ''Man is a better driver than woman'', bisa mengacaukan bila disalin: ''Pria itu pengemudi yang lebih baik dari wanita''.

6. Pembubuhan akan, telah, sedang sebagai penunjuk waktu sebenarnya bisa dihapuskan, kalau ada keterangan waktu :
- "Presiden besok akan meninjau pabrik ban Good year". (Bisa disingkat: ''Presiden besok meninjau pabrik.........'').
- "Tadi telah dikatakan ........'' (Bisa disingkat: "Tadi dikatakan.'').
- "Kini Clay sedang sibuk mempersiapkan diri". (Bisa disingkat: "Kini Clay mempersiapkan diri").

7. Pembubuhan bahwa sering bisa ditiadakan:
- "Pd. Gubernur Ali Sadikin membantah desas-desus yang mengatakan bahwa ia akan diganti").
- "Tidak diragukan lagi bahwa ialah orangnya yang tepat". (Bisa disingkat: "Tak diragukan lagi, ialah orangnya yang tepat").

Catatan : Sebagai ganti bahwa ditaruhkan koma, atau pembuka (:), bila perlu.

8. Yang, sebagai penghubung kata benda dengan kata sifat, kadang-kadang juga bisa ditiadakan dalam konteks kalimat tertentu:
- "Indonesia harus menjadi tetangga yang baik dari Australia''. (Bisa disingkat: ''Indonesia harus menjadi tetangga baik Australia'').
- "Kami adalah pewaris yang sah dari kebudayaan dunia''.

9. Pembentukan kata benda (ke + ..... + an atau pe + ........ + an) yang berasal dari kata kerja atau kata sifat, kadang, meski tak selamanya, menambah beban kalimat dengan kata yang sebenarnya tak perlu:
- "Tanggul kali Citanduy kemarin mengalami kebobolan". (Bisa dirumuskan: ''Tanggul kali Citanduy kemarin bobol").
- "PN Sandang menderita kerugian Rp 3 juta". (Bisa dirumuskan: ''PN Sandang rugi Rp 3 juta").
- ''Ia telah tiga kali melakukan penipuan terhadap saya'' (Bisa disingkat: ''Ia telah tiga kali menipu saya").
- Ditandaskannya sekali lagi bahwa DPP kini sedang memikirkan langkah-langkah untuk mengadakan peremajaan dalam tubuh partai''. (Bisa dirumuskan: ''Ditandaskannya sekali lagi, DPP sedang memikirkan langkah-langkah meremajakan tubuh partai'').

10. Penggunaan kata sebagai dalam konteks "dikutip sebagai mengatakan" yang belakangan ini sering muncul (terjemahan dan pengaruh bahasa jurnalistik Inggris & Amerika), masih meragukan nilainya buat bahasa jurnalistik Indonesia. Memang, dalam kalimat yang memakai rangkaian kata-kata itu (bahasa Inggrisnya ''quoted as saying'') tersimpul sikap berhati-hati memelihat kepastian berita. Kalimat ''Dirjen Pariwisata dikutip sebagai mengatakan......'' tak menunjukkan Dirjen Pariwisata secara pasti mengatakan hal yang dimaksud; di situ si reporter memberi kesan ia mengutipnya bukan dari tangan pertama, sang Dirjen Pariwisata sendiri. Tapi perlu diperhitungkan mungkin kata sebagai bisa dihilangkan saja, hingga kalimatnya cukup berbunyi: ''Dirjen Pariwisata dikutip mengatakan...........''.

Bukankah masih terasa kesan bahwa si reporter tak mengutipnya dari tangan pertama?

Lagipula, seperti sering terjadi dalam setiap mode baru, pemakaian sebagai biasa menimbulkan ekses. Contoh: Ali Sadikin menjelaskan tetang pelaksanaan membangun proyek miniatur Indonesia itu sebagai berkata: "Itu akan dilakukan dalam tiga tahap" Harian Kami, 7 Desember 1971, halaman 1). Kata sebagai dalam berita itu samasekali tak tepat, selain boros.

11. Penggunaan dimana, kalau tak hati-hati, juga bisa tak tepat dan boros. Dimana sebagai kataganti penanya yang berfungsi sebagai kataganti relatif muncul dalam bahasa Indonesia akibat pengaruh bahasa Barat.

Dr. C. A. Mees, dalam Tatabahasa Indonesia (G. Kolff & Co., Bandung, 1953 hal. 290-294) menolak pemakaian dimana. Ia juga menolak pemakaian pada siapa, dengan siapa, untuk diganti dengan susunan kalimat Indonesia yang "tidak meniru jalan bahasa Belanda", dengan mempergunakan kata tempat, kawan atau teman. Misalnya: "orang tempat dia berutang" (bukan: pada siapa ia berutang); "orang kawannya berjanji tadi" (bukan: orang dengan siapa ia berjanji tadi). Bagaimana kemungkinannya untuk bahasa jurnalistik?

Misalnya: ''Rumah dimana saya diam'', yang berasal dari "The house where I live in", dalam bahasa Indonesia semula sebenarnya cukup berbunyi: "Rumah yang saya diami". Misal lain: "Negeri dimana ia dibesarkan", dalam bahasa Indonesia semula berbunyi: "Negeri tempat ia dibesarkan".

Dari kedua misal itu terasa bahasa Indonesia semula lebih luwes, kurang kaku. Meski begitu tak berarti kita harus mencampakkan kata dimana sama sekali dari pembentukan kalimat bahasa Indonesia.

Sekali lagi perlu ditegaskan: penggunaan dimana, kalau tak hati-hati, bisa tak tepat dan boros. Saya ambilkan 3 contoh ekses penggunaan dimana dari 3 koran:

Kompas, 4 Desember 1971, halaman I:
"Penyakit itu dianggap berasal (dan disebarkan) oleh serdadu-serdadu Amerika (GI) dimana konsentrasi besar mereka ada di Vietnam".

Sinar Harapan, 24 November 1971, halaman III:
"Pihak Kejaksaan Tinggi Sulut di Menado dewasa ini sedang menggarap 9 buah perkara tindak pidana korupsi, dimana ke-9 buah perkara tsb. sebagian sudah dalam tahap penuntutan, selainnya masih dalam pengusutan.''

Abadi, 6 Desember 1971, halaman II:
"Selanjutnya dinyatakan bahwa keadaan ekonomi dan moneter dunia dewasa ini masih belum menentu, dimana secara tidak langsung telah dapat mempengaruhi usaha-usaha pemerintah di dalam menjaga kestabilan, baik untuk perluasan produksi ekonomi dan peningkatan ekspor".

Dalam ketiga contoh kecerobohan pemakaian dimana itu tampak: kata tersebut tak menerangkan tempat, melainkan hanya berfungsi sebagai penyambung satu kalimat dengan kalimat lain. Sebetulnya masing-masing bisa dirumuskan dengan lebih hemat:

"Penyakit itu dianggap berasal (dan disebarkan) serdadu-serdadu Amerika (GI), yang konsentrasi besarnya ada di Vietnam''.

"Pihak Kejaksaan Tinggi Sulut di Menado dewasa ini sedang menggarap 9 perkara tindak pidana korupsi. Ke-9 perkata tsb. sebagian sudah dalam tahap penuntutan, selainnya (sisanya) masih dalam pengusutan''.

Perhatikan :
1. Kalimat itu dijadikan dua, selain bisa menghilangkan dimana, juga menghasilkan kalimat-kalimat pendek.
2. "Dewasa ini sedang" cukup jelas dengan "dewasa ini".
3. Kata "9 buah" bisa dihilangkan "buah"-nya sebab kecuali dalam konteks tertentu, kata penunjuk-jenis (dua butir telor, 5 ekor kambing, 7 sisir pisang) kadang-kadang bisa ditiadakan dalam bahasa Indonesia mutahir.

"Selanjutnya dinyatakan bahwa keadaan ekonomi dan moneter dewasa ini masih belum menentu. Hal ini (atau lebih singkat: Ini) secara tidak langsung telah dapat .......... dst".
Perhatikan: Kalimat dijadikan dua. Kalimat kedua ditambahi Hal ini atau cukup Ini diawalnya.

12. Dalam beberapa kasus, kata yang berfungsi menyambung satu kalimat dengan kalimat lain sesudahnya juga bisa ditiadakan, asal hubungan antara kedua kalimat itu secara implisit cukup jelas (logis) untuk menjamin kontinyuitas. Misalnya:
- "Bukan kebetulan jika Gubernur menganggap proyek itu bermanfaat bagi daerahnya. Sebab 5 tahun mendatang, proyek itu bisa menampung 2500 tenaga kerja setengah terdidik''. (Kata sebab diawal kalimat kedua bisa ditiadakan: hubungan kausal antara kedua kalimat secara implisit sudah jelas).
- "Pelatih PSSI Witarsa mengakui kekurangan-kekurangan di bidang logistik anak-anak asuhnya. Kemudian ia juga menguraikan perlunya perbaikan gizi pemain" (Kata kemudian diawal kalimat kedua bisa ditiadakan; hubungan kronologis antara kedua kalimat secara implisit cukup jelas).

Tak perlu diuraikan lebih lanjut, bahwa dalam hal hubungan kausal dan kronologi saja kata yang berfungsi menyambung dua kalimat yang berurutan bisa ditiadakan. Kata tapi, walau atau meski yang mengesankan ada yang mengesankan adanya perlawanan tak bisa ditiadakan.


J E L A S

Setelah dikemukakan 16 pasal yang merupakan pedoman dasar penghematan dalam menulis, di bawah ini pedoman dasar kejelasan dalam menulis. Menulis secara jelas membutuhkan dua prasyarat:
1. Si penulis harus memahami betul soal yang mau ditulisnya, bukan juga pura-pura paham atau belum yakin benar akan pengetahuannya sendiri.
2. Si penulis harus punya kesadaran tentang pembaca.

Memahami betul soal-soal yang mau ditulisnya berarti juga bisa menguasai bahan penulisan dalam suatu sistematik. Ada orang yang sebetulnya kurang bahan (baik hasil pengamatan, wawancara, hasil bacaan, buah pemikiran) hingga tulisannya cuma mengambang. Ada orang yang terlalu banyak bahan, hingga tak bisa membatasi dirinya: menulis terlalu panjang.

Terutama dalam penulisan jurnalistik, tulisan kedua macam orang itu tak bisa dipakai. Sebab penulisan jurnalistik harus disertai informasi faktuil atau detail pengalaman dalam mengamati, berwawancara dan membaca sumber yang akurat. Juga harus dituangkan dalam waktu dan ruangan yang tersedia.

Lebih penting lagi ialah kesadaran tentang pembaca. Sebelum kita menulis, kita harus punya bayangan (sedikit-sedikitnya perkiraan) tentang pembaca kita: sampai berapa tinggi tingkat informasinya? Bisakah tulisan saya ini mereka pahami?

Satu hal yang penting sekali diingat: tulisan kita tak hanya akan dibaca seorang atau sekelompok pembaca tertentu saja, melainkan oleh suatu publik yang cukup bervariasi dalam tingkat informasi. Pembaca harian atau majalah kita sebagian besar mungkin mahasiswa, tapi belum tentu semua tau sebagian besar mereka tahu apa dan siapanya W. S. Renda atau B. M. Diah.

Menghadapi soal ini, pegangan penting buat penulis jurnalistik yang jelas ialah: buatlah tulisan yang tidak membingungkan orang yang yang belum tahu, tapi tak membosankan orang yang sudah tahu. Ini bisa dicapai dengan praktek yang sungguh-sungguh dan terus-menerus.

Sebuah tulisan yang jelas juga harus memperhitungkan syarat-syarat teknis komposisi:
a. tanda baca yang tertib.
b. ejaan yang tidak terlampau menyimpang dari yang lazim dipergunakan atau ejaan standard.
c. pembagian tulisan secara sistematik dalam alinea-alinea. Karena bukan tempatnya di sini untuk berbicara mengenai komposisi, cukup kiranya ditekankan perlunya disiplin berpikir dan menuangkan pikiran dalam menulis, hingga sistematika tidak kalang-kabut, kalimat-kalimat tidak melayang kesana-kemari, bumbu-bumbu cerita tidak berhamburan menyimpang dari hal-hal yang perlu dan relevan.

Menuju kejelasan bahasa, ada dua lapisan yang perlu mendapatkan perhatian: yaitu unsur kata dan unsur kalimat

Unsur kata :
1. Berhemat dengan kata-kata asing. Dewasa ini begitu derasnya arus istilah-istilah asing dalam pers kita. Misalnya: income per capita, Meet the Press, steam-bath, midnight show, project officer, two China policy, floating mass, program-oriented, floor-price, City Hall, upgrading, the best photo of the year, reshuffle, approach, single, seeded dan apa lagi.

Kata-kata itu sebenarnya bisa diterjemahkan, tapi dibiarkan begitu saja. Sementara diketahui bahwa tingkat pelajaran bahasa Inggris sedang merosot, bisa diperhitungkan sebentar lagi pembaca koran Indonesia akan terasing dari informasi, mengingat timbulnya jarak bahasa yang kian melebar. Apalagi jika diingat rakyat kebanyakan memahami bahasa Inggris sepatah pun tidak.

Sebelum terlambat, ikhtiar menterjemahkan kata-kata asing yang relatif mudah diterjemahkan harus segera dimulai. Tapi sementara itu diakui: perkembangan bahasa tak berdiri sendiri, melainkan ditopang perkembangan sektor kebudayaan lain.

Maka sulitlah kita mencari terjemahan lunar module feasibility study, after-shave lotion, drive-in, pant-suit, technical know-how, backhand drive, smash, slow motion, enterpeneur, boom, longplay, crash program, buffet dinner, double-breast, dll., karena pengertian-pengertian itu tak berasal dari perbendaharaan kultural kita. Walau begitu, ikhtiar mencari salinan Indonesia yang tepat dan enak (misalnya bell-bottom dengan "cutbrai") tetap perlu.

2. Menghindari sejauh mungkin akronim. Setiap bahasa mempunyai akronim, tapi agaknya sejak 15 tahun terakhir, pers berbahasa Indonesia bertambah-tambah gemar mempergunakan akronim, hingga sampai hal-hal yang kurang perlu. Akronim mempunyai manfaat: menyingkat ucapan dan penulisan dengan cara yang mudah diingat.

Dalam bahasa Indonesia, yang kata-katanya jarang bersukukata tunggal dan yang rata-rata dituliskan dengan banyak huruf, kecenderungan membentuk akronim memang lumrah. ''Hankam'', ''Bappenas'', ''Daswati'', ''Humas'' memang lebih ringkas dari ''Pertahanan & Keamanan'' ''Badan Perencanaan Pembangunan Nasional'', ''Daerah Swantantra Tingkat'' dan ''Hubungan Masyarakat''.

Tapi kiranya akan teramat membingungkan kalau kita seenaknya saja membikin akronim sendiri dan terlalu sering. Di samping itu, perlu diingat : ada yang membuat akronim untuk alasan praktis dalam dinas (misalnya yang dilakukan kalangan ketentaraan), ada yang membuat akronim untuk bergurau, mengejek dan mencoba lucu (misalnya di kalangan remaja sehari-hari: ''ortu'' untuk ''orangtua''; atau di pojok koran: ''keruk nasi'' untuk ''kerukunan nasional'').

Tapi ada pula yang membuat akronim untuk menciptakan efek propaganda dalam permusuhan politik (misalnya "Manikebu" untuk "Manifes Kebudayaan", "Nekolim" untuk "neo-kolonialisme". "Cinkom" untuk "Cina Komunis", "ASU" untuk "Ali Surachman").

Bahasa jurnalistik, dari sikap objektif, seharusnya menghindarkan akronim jenis terakhir itu. Juga akronim bahasa pojok sebaiknya dihindarkan dari bahasa pemberitaan, misalnya "Jagung" untuk "Jaksa Agung", "Gepeng" untuk "Gerakan Penghematan", "sas-sus" untuk "desas-desus".

Saya tak bermaksud memberikan batas yang tegas akronim mana saja yang bisa dipakai dalam bahasa pemberitaan atau tulisan dan mana yang tidak. Saya hanya ingin mengingatkan: akronim akhirnya bisa mengaburkan pengertian kata-kata yang diakronimkan, hingga baik yang mempergunakan ataupun yang membaca dan yang mendengarnya bisa terlupa akan isi semula suatu akronim.

Misalnya akronim "Gepeng" jika terus-menerus dipakai bisa menyebabkan kita lupa makna "gerakan" dan "penghematan" yang terkandung dalam maksud semula, begitu pula akronim ''ASU''.

Kita makin lama makin alpa buat apa merenungkan kembali makna semula sebelum kata-kata itu diakronimkan. Sikap analitis dan kritis kita bisa hilang terhadap kata berbentuk akronim itu, dan itulah sebabnya akronim sering dihubungkan dengan bahasa pemerintahan totaliter dan sangat penting dalam bahasa Indonesia.

Tapi seperti halnya dalam asas penghematan, asas kejelasan juga lebih efektif jika dilakukan dalam struktur kalimat. Satu-satunya untuk itu ialah "dihindarkannya kalimat-kalimat majemuk yang paling panjang anak kalimatnya"; terlebih-lebih lagi, jika kalimat majemuk itu kemudian bercucu kalimat.

Pada dasarnya setiap kalimat yang amat panjang, lebih dari 15-20 kata, bisa mengaburkan hal yang lebih pokok, apalagi dalam bahasa jurnalistik. Itulah sebabnya penulisan lead (awal) berita sebaiknya dibatasi hingga 13 kata. Bila lebih panjang dari itu, pembaca bisa kehilangan jejak persoalan. Apalagi bila dalam satu kalimat terlalu banyak data yang dijejalkan.

Contoh:
Harian Kami, 4 Desember 1971, halaman 1:
''Sehubungan dengan berita 'Harian Kami' tanggal 25 November 1971 hari Kamis berjudul: 'Tanah Kompleks IAIN Ciputat dijadikan Objek Manipulasi' (berdasarkan keterangan pers dari Hamdi Ajusa, Ketua Dewan Mahasiswa IAIN Djakarta) maka pada tanggal 28 November jbl. di Kampus IAIN tersebut telah diadakan pertemuan antara pihak Staf JPMII (Jajasan Pembangunan Madrasah Islam & Ihsan - Perwakilan Ciputat) dengan Hamdi Ajusa mewakili DM IAIN dengan maksud untuk mengadakan 'clearing' terhadap berita itu.''

Kalimat itu terdiri dari 60 kata lebih. Sebagai pembaca, saya memerlukan dua kali membacanya untuk memahami yang ingin dinyatakan sang wartawan. Pada pembacaan pertama, saya kehilangan jejak perkara yang disajikan di hadapan saya. Ini artinya suatu komunikasi cepat tak tercapai. Lebih ruwet lagi soalnya jika bukan saja pembaca yang kehilangan jejak dengan dipergunakannya kalimat-kalimat panjang, tapi juga si penulis sendiri.

Contoh:
Pedoman, 4 Desember 1971, halaman IV:
''Selama tour tersebut sambutan masyarakat setempat di mana mereka mengadakan pertunjukan mendapat sambutan hangat.''

Perhatikan : Penulis kehilangan subjek semula kalimatnya sendiri, yakni sambutan masyarakat setempat. Akibatnya kalimat itu berarti, "yang mendapat sambutan hangat ialah sambutan masyarakat setempat."

Sinar Harapan, 22 November 1971, halaman VII:
"Di kampung-kampung kelihatan lebaran lebih bersemarak, ketupat beserta sayur dan sedikit daging semur, opor ayam ikut berlebaran. Dari rumah yang satu ke rumah yang lain, ketupat-ketupat tersebut saling mengunjungi dan di langgar-langgar, surau-surau ramai pula ketupat-ketupat, daging semur, opor ayam disantap bersama oleh mereka."

Perhatikan: Siapa yang dimaksud dengan kata ganti mereka dalam kalimat itu? Si penulis nampaknya lupa bahwa ia sebelumnya tak pernah menyebut "orang-orang kampung". Mengingat dekat sebelum itu ada kalimat ketupat-ketupat tersebut saling mengunjungi dan kalimat surau-surau ramai pula ketupat-ketupat, kalimat panjang itu bisa berarti aneh dan lucu: "daging semur, opor ayam disantap bersama oleh ketupat-ketupat.