KAMPUNG-kampung selalu mengejutkan setiap mudik Lebaran. Jalan-jalan makin
sibuk dengan sepeda motor dan mobil, berkode polisi B atau D atau F. Tak ada
yang naik sepeda atau jalan kaki. Anak-anak muda dengan rambut dicat dan model spike serta telinga ditindik mengebut di
jalanan kecil yang kini beraspal.
Pada hari kedua Idul Fitri tahun ini para
tetangga saling berkunjung dengan keluhan yang sama: tak ada gas sehingga tak
ada bahan bakar untuk memasak. Gas-gas melon 3 kilogram sudah habis isinya
untuk menanak ketupat dan obor juga sayur cabe hijau sehari sebelum Lebaran.
Sementara warung-warung kehabisan stok gas karena pemasoknya di pasar kecamatan
masih tutup.
Seorang tetangga menertawakan keluhan akan kebutuhan pokok itu. Katanya, ketika masih memakai hawu mereka tak mengeluh tak ada gas. Ketika butuh untuk memasak mereka tinggal ke hutan mencari kayu bakar. Kini hawu sudah ditinggalkan karena orang-orang kampung mengikuti program pemerintah beralih memakai gas yang konon ramah lingkungan. Dan program itu punya konsekuensi tak sedikit.
Gas membutuhkan uang tunai karena bahan bakar ini tak bisa diproduksi sendiri. Dan uang tunai tak cocok dengan sistem hidup orang kampung. Saya baru sadar kakek-nenek dulu bahkan tak punya dompet untuk menyimpan uang. Simpanan mereka adalah huma dan sawah, juga kebun di hutan, yang dipanen bergiliran selama setahun.
Setiap kali mendapat uang dari hasil menjual palawija—karena padi disimpan di lumbung untuk makan sehari-hari—uang panen itu dijadikan deposit di toko-toko alat pertanian. Ketika membutuhkan pupuk untuk musim tanam berikutnya mereka tinggal ambil dari toko itu. Sisanya disimpan di bawah bantal untuk membayar upah nyangkul. Itu pun jika ia dan menantunya tak cukup punya tenaga menggarap semua ladang.
Hidup sehari-hari pun nyaris tak perlu uang tunai. Padi mengambil di lumbung, sayuran memetik di kebun, ikan mengambil di balong dekat rumah, atau menyembelih ayam dari kandang, bahan bakarnya mengambil ranting-ranting di hutan sambil lalu pulang dari ladang. Hari-hari berjalan dengan rutin, kenyang, tanpa beban pikiran.
Seorang tetangga menertawakan keluhan akan kebutuhan pokok itu. Katanya, ketika masih memakai hawu mereka tak mengeluh tak ada gas. Ketika butuh untuk memasak mereka tinggal ke hutan mencari kayu bakar. Kini hawu sudah ditinggalkan karena orang-orang kampung mengikuti program pemerintah beralih memakai gas yang konon ramah lingkungan. Dan program itu punya konsekuensi tak sedikit.
Gas membutuhkan uang tunai karena bahan bakar ini tak bisa diproduksi sendiri. Dan uang tunai tak cocok dengan sistem hidup orang kampung. Saya baru sadar kakek-nenek dulu bahkan tak punya dompet untuk menyimpan uang. Simpanan mereka adalah huma dan sawah, juga kebun di hutan, yang dipanen bergiliran selama setahun.
Setiap kali mendapat uang dari hasil menjual palawija—karena padi disimpan di lumbung untuk makan sehari-hari—uang panen itu dijadikan deposit di toko-toko alat pertanian. Ketika membutuhkan pupuk untuk musim tanam berikutnya mereka tinggal ambil dari toko itu. Sisanya disimpan di bawah bantal untuk membayar upah nyangkul. Itu pun jika ia dan menantunya tak cukup punya tenaga menggarap semua ladang.
Hidup sehari-hari pun nyaris tak perlu uang tunai. Padi mengambil di lumbung, sayuran memetik di kebun, ikan mengambil di balong dekat rumah, atau menyembelih ayam dari kandang, bahan bakarnya mengambil ranting-ranting di hutan sambil lalu pulang dari ladang. Hari-hari berjalan dengan rutin, kenyang, tanpa beban pikiran.
Kebutuhan akan uang tunai di zaman sekarang itu
mendorong orang kampung tak lagi bertani. Mereka lebih senang pergi ke kota: ke
Depok, Bandung, Jakarta, Cikarang, Cibitung. Jika bukan berdagang es cingcau
keliling, mereka tetap punya pekerjaan karena kota membutuhkan tenaga mereka
saat membangun infrastruktur dengan menjadi buruh bangunan. Tiga-empat bulan
penghasilannya melebihi pendapatan satu musim bertani.
Menanam kacang tanah atau jagung perlu waktu tiga bulan dengan hasil panen tak seberapa. Ayah saya punya 500 bata atau sekitar 7.000 meter persegi sawah yang ditanami jagung dan kacang tanah. Sekali panen hanya menghasilkan Rp 7 juta. Setelah dikurangi modal (ongkos pekerja, biaya pupuk), untungnya cuma Rp 2 juta. Ia tak pernah menghitung tenaganya sendiri mengontrol ladang saban hari.
Untung Rp 2 juta itu bisa dihasilkan dalam waktu satu hingga dua bulan bagi buruh kasar. Penghasilan lebih besar lagi dari berdagang asongan atau bergiliran menjaga warung gerobak di Jakarta. Uang tunai itu pun bisa dipakai untuk membeli gas buat memasak bagi keluarganya di kampung. Jika gas habis mereka tinggal jajan. Untuk pertama kali sejak tahun lalu, ada tetangga yang membuka warung nasi dan lauk-pauknya!
Maka bertani bukan pilihan dengan gaya hidup seperti itu. Apalagi bertani zaman sekarang jauh lebih berat. Saat malam takbir, orang-orang malah menginap di sawah karena cemas tanaman mereka diserbu babi yang lapar dari gunung.
Karena hutan tak lagi digarap, bukit-bukit jadi rimbun akibat tak terjamah manusia. Babi bersarang di sana dan turun ke ladang mencari makanan ketika malam. Kini Pasir Muncang nyaris tak bisa disambangi karena jalan setapak yang dulu licin tak ada lagi. Jalan Rupit sepi seperti dihuni kembali oleh hantu-hantu.
Dulu tak ada babi karena orang kampung menggarap kebun hingga bukit-bukit di jauh hutan, yang perjalanannya saja menghabiskan dua jam jalan kaki. Babi-babi pun terhadang tak bisa masuk kampung. Kini hutan-hutan itu tak digarap, atau dibiarkan dengan hanya ditanami jati atau jabon, menjadi habitat babi yang kian dekat dengan persawahan. “Sekarang gunung-gunung sudah dijual ke investor dari Jakarta,” kata seorang tetangga. Tak ada orang kampung yang tak paham arti kata “investor”.
Di sawah dan hutan memang tak terlihat lagi anak-anak muda. Soalnya, selain tak ada mereka yang menggarap sawah, tak ada lagi remaja selepas SD menjadi gembala kerbau atau sapi. Teman-teman SD saya punya siklus hidup yang bisa ditebak: sekolah untuk bisa baca-tulis, lalu menggembala kerbau milik orang lain, kawin dengan pekerjaan sebagai petani, dan menjalani hidup nyaris tanpa gelombang.
Upah menggembala kerbau itu bukan uang, tapi anak kerbau. Dengan sistem bagi hasil itu, dalam lima atau tujuh tahun seorang remaja lulusan SD punya dua kerbau hingga ia siap kawin dan memulai hidup mandiri sebagai petani.
Siklus itu tak ada lagi kini. Mereka yang masih menggarap sawah bahkan membajak memakai mesin. Tak ada lagi kandang kerbau atau sapi di ladang yang mengepulkan asap sepanjang malam meruapkan bau jerami kering yang dibakar oleh gembala yang pulang menjelang magrib. Tak ada lagi cahaya cempor yang kelap-kelip dari kadang kerbau di punggung-punggung bukit.
Menanam kacang tanah atau jagung perlu waktu tiga bulan dengan hasil panen tak seberapa. Ayah saya punya 500 bata atau sekitar 7.000 meter persegi sawah yang ditanami jagung dan kacang tanah. Sekali panen hanya menghasilkan Rp 7 juta. Setelah dikurangi modal (ongkos pekerja, biaya pupuk), untungnya cuma Rp 2 juta. Ia tak pernah menghitung tenaganya sendiri mengontrol ladang saban hari.
Untung Rp 2 juta itu bisa dihasilkan dalam waktu satu hingga dua bulan bagi buruh kasar. Penghasilan lebih besar lagi dari berdagang asongan atau bergiliran menjaga warung gerobak di Jakarta. Uang tunai itu pun bisa dipakai untuk membeli gas buat memasak bagi keluarganya di kampung. Jika gas habis mereka tinggal jajan. Untuk pertama kali sejak tahun lalu, ada tetangga yang membuka warung nasi dan lauk-pauknya!
Maka bertani bukan pilihan dengan gaya hidup seperti itu. Apalagi bertani zaman sekarang jauh lebih berat. Saat malam takbir, orang-orang malah menginap di sawah karena cemas tanaman mereka diserbu babi yang lapar dari gunung.
Karena hutan tak lagi digarap, bukit-bukit jadi rimbun akibat tak terjamah manusia. Babi bersarang di sana dan turun ke ladang mencari makanan ketika malam. Kini Pasir Muncang nyaris tak bisa disambangi karena jalan setapak yang dulu licin tak ada lagi. Jalan Rupit sepi seperti dihuni kembali oleh hantu-hantu.
Dulu tak ada babi karena orang kampung menggarap kebun hingga bukit-bukit di jauh hutan, yang perjalanannya saja menghabiskan dua jam jalan kaki. Babi-babi pun terhadang tak bisa masuk kampung. Kini hutan-hutan itu tak digarap, atau dibiarkan dengan hanya ditanami jati atau jabon, menjadi habitat babi yang kian dekat dengan persawahan. “Sekarang gunung-gunung sudah dijual ke investor dari Jakarta,” kata seorang tetangga. Tak ada orang kampung yang tak paham arti kata “investor”.
Di sawah dan hutan memang tak terlihat lagi anak-anak muda. Soalnya, selain tak ada mereka yang menggarap sawah, tak ada lagi remaja selepas SD menjadi gembala kerbau atau sapi. Teman-teman SD saya punya siklus hidup yang bisa ditebak: sekolah untuk bisa baca-tulis, lalu menggembala kerbau milik orang lain, kawin dengan pekerjaan sebagai petani, dan menjalani hidup nyaris tanpa gelombang.
Upah menggembala kerbau itu bukan uang, tapi anak kerbau. Dengan sistem bagi hasil itu, dalam lima atau tujuh tahun seorang remaja lulusan SD punya dua kerbau hingga ia siap kawin dan memulai hidup mandiri sebagai petani.
Siklus itu tak ada lagi kini. Mereka yang masih menggarap sawah bahkan membajak memakai mesin. Tak ada lagi kandang kerbau atau sapi di ladang yang mengepulkan asap sepanjang malam meruapkan bau jerami kering yang dibakar oleh gembala yang pulang menjelang magrib. Tak ada lagi cahaya cempor yang kelap-kelip dari kadang kerbau di punggung-punggung bukit.
Mereka yang masih giat ke kebun adalah
orang-orang beruban dengan kulit keriput dan mata lamur, generasi seangkatan
bapak saya. Orang-orang tua kian sadar pentingnya sekolah untuk anak-anak
mereka, selain pemerintah kian banyak mendirikan sekolah menengah dan atas di
kampung-kampung. Dan agaknya bukan zamannya lagi sepulang sekolah anak-anak itu
mencari rumput untuk makan kambing.
Sepulang sekolah mereka bermain game, di telepon seluler atau kios PlayStation. Lagi-lagi main games membutuhkan pulsa dan uang tunai. Bisnis paling laris di kampung sekarang adalah berjualan pulsa dan nomor telepon.
Sepulang sekolah mereka bermain game, di telepon seluler atau kios PlayStation. Lagi-lagi main games membutuhkan pulsa dan uang tunai. Bisnis paling laris di kampung sekarang adalah berjualan pulsa dan nomor telepon.
Setelah lulus SMA atau SMK anak-anak itu
mencari pekerjaan di kota. Jika tak mendapat pekerjaan formal di perusahaan di
Cikarang atau Cibitung, mereka berdagang. Beberapa yang lain sukses membuka
bisnis dengan ratusan karyawan di kota kabupaten. Mereka pulang ke kampung tiap
Lebaran dengan mobil dan sepeda motor.
Saya menjadi bagian dari gelombang urbanisasi itu, yang mengutuk macet di balik kemudi, seraya mencemaskan kejutan-kejutan dari kampung setiap mudik Lebaran...
Saya menjadi bagian dari gelombang urbanisasi itu, yang mengutuk macet di balik kemudi, seraya mencemaskan kejutan-kejutan dari kampung setiap mudik Lebaran...