Monday, September 28, 2015

LURAH YANG MEMBEBASKAN DESANYA DARI ASAP ROKOK



Rancangan Undang-Undang Kebudayaan memasukkan kretek sebagai warisan budaya Indonesia. Artinya, kretek disamakan dan sederajat dengan Borobudur, sendra tari, angklung, wayang golek, wayang kulit, batik. Karena sejajar itu pula kretek harus dipromosikan agar warisan itu tak menghilang ditelan zaman.

Tentu saja ini kontraproduktif. Pasal tentang kretek itu baru muncul beberapa pekan lalu ketika Rancangan itu akan dibahas di paripurna DPR. Sejak rancangan ini masuk ke parlemen pada 2007, soal kretek tak pernah ada. Pasal itu masuk seiring dengan tak kunjung dibahasnya RUU Pertembakauan, yang pada 2012 juga masuk ke DPR tanpa melalui jalur legislasi yang resmi.

Kontraproduktif karena negara ini sedang berupaya mengendalikan produk tembakau. Kretek tentu salah satunya. Undang-Undang Kesehatan 2009 jelas menyebut bahwa produk tembakau adalah zat adiktif yang harus dikendalikan peredaran dan konsumsinya. Peraturan Pemerintah juga sudah membatasi iklan luar ruang, televisi, cetak, dan audio-visual. Jika kretek dipromosikan atas nama warisan budaya, ia akan bertabrakan dengan banyak beleid lain.

Urusan rokok, tembakau, dan produk turunannya memang tak henti menuai kontroversi. Ada cukai Rp 100 triliun per tahun tapi kerugian akibat merokok Rp 200 triliun—menurut Kementerian Kesehatan. Industri rokok membuka lapangan pekerjaan, dan orang paling kaya datang dari industri ini, tapi rokok juga jadi salah satu pengeluaran terbesar penduduk miskin dibanding biaya pendidikan.

Tanpa perlu membaca stastistik yang rumit, tersebutlah Idris yang melihat bagaimana rokok membuat anak-anak tak sekolah. Dia Kepala Desa Bone-Bone di Enrekang, Sulawesi Selatan. Laki-laki ceking ini memulai sesuatu dari yang kecil tapi mengubah hidup orang di desanya. Ia membuat aturan radikal melarang rokok pada 2000. Saya bertemu dia pada suatu hari yang berhujan di rumahnya, di lereng Gunung Latimojong, yang dingin pada 2012.

Bagi saya, Idris adalah contoh bagaimana pemimpin yang bekerja sesuai porsi dan semestinya dengan cara yang efektif. Sebermula ia melihat anak-anak di desanya kian banyak di sawah dan kebun, menggembala sapi atau membantu ayah-ibu mereka mencangkul.

Anak-anak itu tak bersekolah dengan alasan tak punya biaya. Itu dalih orang tua mereka dengan mulut mengepulkan asap rokok. Idris, waktu itu baru lulus kuliah dari Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Alauddin Makassar, tak habis pikir dengan cara pandang tetangganya: bagaimana bisa mereka mampu membeli rokok tapi ogah mengeluarkan uang untuk pendidikan anak-anak mereka.

Ia sendiri delapan bersaudara. Ayah-ibunya petani tapi lima anaknya bersekolah hingga perguruan tinggi. Setelah bolak-balik gagal tes pegawai negeri sipil, dan bekerja di beberapa perusahaan di luar Sulawesi, Idris pulang kampung. Ia sampai pada kesimpulan: rokok telah memiskinkan orang Bone-Bone sehingga anak-anak tak terjamin pendidikannya.

Idris bukan sarjana yang rumit dengan teori. Ia tak berpikir bahwa sekolah bisa mengubah hidup seseorang karena ijazah bisa mendatangkan kekayaan. Bagi dia, pendidikan itu penting sebagai bekal hidup, pembentuk jalan berpikir, menjadi kaya atau miskin. “Jika kita jadi kaya akibat sekolah, itu bonus saja,” katanya. Sebuah pernyataan yang tak saya duga.

Dan Idris kemudian terpilih jadi Kepala Desa, karena Bone-Bone memekarkan diri sewaktu ia menjabat kepala dusun, bergaji Rp 1 juta. Sehari-hari ia berkebun jagung dan kopi, juga beternak sapi. Dan yang dia lakukan pertama kali adalah membuat aturan larangan merokok di Bone-Bone. Tamu atau warga lokal mesti keluar kampung jika ingin merokok. Sanksinya kerja sosial membersihkan got dan meminta maaf saat salat Jumat.

Tentu saja aturan itu segera ditentang. Idris mendatangi penduduk yang ngedumel. Ia ajak mereka debat. Umumnya, penduduk beralasan tak bisa bekerja jika tak sambil merokok. Apalagi udara Bone-Bone dingin. Idris mematahkan alasan itu bahwa ia pun bisa bekerja tanpa merokok. Berikutnya ia mendatangi penjual rokok yang protes karena penghasilannya berkurang.

Di sana Idris mengajak berhitung. Untung satu bungkus rokok adalah Rp 1.000-2.000. Untung ini hangus karena para pedagang menghabiskan dua bungkus rokok sehari. Jadi, sebetulnya mereka rugi menjual rokok. Kerugian itu bahkan tak sepadan dengan perjuangan mendatangkan rokok yang dibeli dari pasar. Jarak pasar ke Bone-Bone 20 kilometer, melewati jalan tanah yang berkubang jika hujan.

Fakta itu telah membuka pikiran para pedagang bahwa mereka justru menggerogoti modal warung dengan menjual rokok. Walhasil mereka setuju tak lagi menjual rokok sejak debat dengan Idris itu. Sejak pasokan rokok dihentikan, Bone-Bone pun bebas dari rokok.

Sejak aturan itu dibuat hanya sekali penduduk yang melanggar. Itu pun ia merokok di rumahnya ketika ada tamu. Tetangganya melapor kepada Idris dan ia mendapat sanksi sosial: memintaa maaf lewat speaker masjid lalu membersihkan selokan. Sejak itu penduduk ini kapok dan tak merokok lagi.

Sanksi kedua justru untuk para pejabat dari Kabupaten Enrekang. Syahdan, mereka diutus Bupati La Tinro La Tunrung untuk memberi penyuluhan bagaimana menjadikan Bone-Bone jadi desa teladan. Pemerintah pusat akan datang menilai pada desa-desa yang diusulkan. Bubar penyuluhan Idris mendapat laporan dari anak-anak yang menemukan puntung rokok di rumah terakhir sebelum perbatasan.

Idris mengadukannya kepada Bupati La Tinro, 100 kilometer jauhnya, lewat telepon seluler. Bupati dari Golkar ini sangat mendukung Idris. Ia berhenti merokok dua bungkus Marlboro putih sehari setelah berkunjung ke Bone-Bone. Mendengar aduan Idris, La Tinro memanggil semua kepala dinas yang baru pulang dari sana. Mereka mengaku telah merokok karena perjalanan tercegat hujan. “Saya suruh mereka kembali untuk minta maaf dan bayar denda,” katanya.

Di depan seluruh penduduk, para pejabat itu meminta maaf telah melanggar aturan desa. Mereka juga bersedia membayar denda. Dalam aturan, dendanya hanya Rp 100 ribu. Para pejabat itu membayar Rp 1,5 juta bahkan ada yang menanggung biaya pembuatan 30 meter jalan beton.

Dengan ketegasan dan dukungan penuh Bupati itu, pada 2012 Bone-Bone dinobatkan sebagai Desa Teladan Tingkat Nasional. Idris kian sering bepergian karena diundang ceramah ke banyak tempat untuk bercerita bagaimana ia memimpin desa dengan efektif dan berhasil.

Terutama karena anak-anak kembali ke sekolah setelah tak ada rokok di desanya. Sewaktu saya ke sana, tak ada satu pun anak yang tak sekolah. Di kebun hanya ada orang-orang tua dan anak-anak muda lulusan SMP atau SMA. Bone-Bone yang dingin kian sejuk karena hanya asap dapur yang tercium, warna senja yang sepia, juga aroma kopi Toraja….

Tulisan ini dimuat juga di Indonesiana Tempo.

Tuesday, September 22, 2015

MENGAPA MESSI GAGAL MENGEKSEKUSI PENALTI?



Lionel Messi punya syarat komplet sebagai eksekutor penalti: kidal, fokus, dan bermain sebagai penyerang. Setidaknya itu syarat yang dibuat para ahli psikologi, fisika, dan matematika, sekaligus sebagai saran untuk para pelatih dalam memilih penendang bola 12 pas. Fisikawan Inggris Stephen Hawking menambahkan satu syarat lagi: berkepala botak atau berambut warna cerah.

Messi menjadi mesin gol bagi klubnya, Barcelona, berkat tendangan kaki kirinya yang acap tak bisa dibendung kiper karena arahnya tak bisa ditebak. Ia pemain dengan teknik tinggi karena itu ia fokus sepanjang pertandingan. Umpan terobosan kerap tak terbaca oleh lawan. Begitu juga arahnya berlari menyongsong umpan pemain lain yang membuat posisinya selalu enak membuat gol.

Semua syarat itu rupanya tak berlaku. Kesimpulan eksak yang dibuat dari ribuan data tendangan penalti para pemain sepak bola tak mempan pada Messi. Sejak 2009, di Liga Spanyol dan Liga Champions Eropa, Messi menendang bola penalti sebanyak 40 kali. Hanya 34 yang sukses menjadi gol. Enam gagal di titik yang sama yakni target kiri bawah gawang lawan.

Skysport menghitung rasio keberhasilan penalti Messi hanya 85 persen. Bandingkan dengan Ronaldo, kapten Portugal dan bintang Real Madrid, di periode sama yang rasionya 89,5 persen. Padahal Ronaldo kurang syarat sebagai penendang penalti karena ia tak kidal. Di Liga musim ini, Messi menjadi pemain terbanyak yang gagal mengeksekusi penalti. Kejadian terakhir ketika Barca mengalahkan Levante 4-1 kemarin malam. Sekali penaltinya gagal yang membuatnya tak jadi mencetak hattrick dalam pertandingan itu.

Sasaran favorit Messi adalah pojok gawang atas. Menurut Hawking, tingkat keberhasilan mengarahkan bola ke titik ini adalah 84 persen. Bahkan ahli matematika menyebutkan rasio suksesnya 100 persen karena hampir tak ada penjaga gawang yang bisa menjangkau bola di titik ini kendati ia bisa membaca arahnya.

Dengan kecepatan bola di atas 25 meter per detik, sangat mustahil bagi seorang kiper menepis bola di pojok itu. Ia hanya punya waktu 0,41 detik untuk terbang dan menjangkau bola. Tapi di situ pula kegagalan Messi. Dalam video 15 kegagalan penalti Messi selama 2005-2015 di pelbagai turnamen—saat membela Argentina atau Barcelona—umumnya gagal di titik itu. Sebab, meski peluang keberhasilannya 84-100 persen, ini titik tersulit bagi penendang bola.

Syarat bisa menendang bola ke titik ini cukup rumit. Menurut penelitian John Moore’s University Liverpool, Inggris, jarak ancang-ancang kaki penendang ke bola antara 4-6 langkah. Posisi berdiri ke bola membentuk sudut 20-30 derajat, dan bola harus ditendang 25-29 meter per detik. Hawking menambahkan bahwa peluang keberhasilannya 10 persen lebih tinggi jika penendang memakai sisi-kaki-dalam ketimbang punggungnya.

Dari semua tayangan video kegagalan penalti Messi jelas terlihat benang merahnya. Ancang-ancang Messi terlalu dekat atau terlalu jauh. Itu yang terjadi saat ia gagal mengeksekusi penalti kedua ketika melawan Levante. Bola melayang jauh di atas mistar dan penjaga gawang sebetulnya bisa membaca arahnya.

Pada penalti pertama ia sukses karena hanya empat langkah sampai ia menenendang. Bola bersarang di sudut kiri kiper yang meloncat ke kanan. Para ahli matematika punya alasan soal ini. Empat hingga enam langkah membuat kiper tak bisa menebak ke arah mana bola akan ditendang.

Seorang penendang bola yang baik bisa memanfaatkan kesempatan sempit kurang dari 0,25 detik untuk memutuskan ke mana bola ditendang dengan melihat gerakan jatuh para kiper. Para pelatih menyarankan agar penendang bola penalti sejak awal fokus ke titik mana bola akan ditendang. Tapi cara ini kerap bisa dibaca dari gerakan dan posisi kaki yang tak menendang.

Saat itulah beban psikologi kerap menentukan. Messi gagal membawa Barcelona mengalahkan Chelsea dalam penentuan tiket final Liga Champions 2012/2013 karena bola penaltinya membentur mistar kiri-atas Petr Cech. Bahkan legenda Italia Roberto Baggio menendang bola penalti jauh di atas mistar dalam Piala Dunia 1994 sehingga negara calcio itu harus menyerahkan trofi kepada lawan mereka di final: Brazil.

Salah satu yang bisa mengecoh adalah warna kostum kiper. Kesebelasan dunia dan klub top membuat kostum kiper mereka dengan warna cerah, berbeda jauh dengan kostum utama 10 pemain lain. Salah satu tujuannya adalah mempengaruhi konsentrasi para penendang penalti. Karena itu, menurut Hawking yang mengumpulkan banyak data untuk sampai pada kesimpulan ini, cara terbaik melawan pengacau pikiran itu adalah dengan membuat kostum yang terang pula.

Menurut Hawking pemain dengan kostum cerah cenderung sukses mengeksekusi penalti. Kostum utama Barca atau Argentina, negara Messi, tak memakai warna cerah. Saat memakainya itulah Messi acap gagal mengeksekusi. Jika kita percaya pada kesimpulan itu, penalti rupanya tak ditentukan urusan teknik menendang bola semata.

Tulisan ini ditayangkan juga di Indonesiana Tempo.

Sunday, September 13, 2015

IRONI BON JOVI



Bon Jovi datang ke Jakarta bukan untuk membangkitkan kenangan. Mereka ingin mengenalkan lagu-lagu baru di album Burning Bridges yang baru dirilis dalam rangkaian tur 8 kota—Shanghai dan Beijing batal karena mereka ditolak Tiongkok. Karena itu dari 20 lagu selama 2 jam, penonton hanya bersorak tanpa ikut bernyanyi di empat lagu pertama.

Untung Jon menyelipkan lagu-lagu hit di antara lagu baru itu, setelah jeda pertama.

Penonton mereka adalah generasi 80-90 yang kini berusia rata-rata 30-40 tahun. Dan, agaknya, selera penonton bercampur aduk setelah tak ada lagi lagu hit Bon Jovi pasca 2000, di tengah zaman yang berubah sangat cepat ini, dan penyanyi baru bisa muncul tanpa lewat "dapur rekaman" (betapa jadulnya frase ini!). Lagu-lagu Bon Jovi yang ada di kepala mereka semacam Bad Medicine, Always, Keep The Faith, It's My Life, Never Say Goodbye.

Jon menyapa apa kabar setelah tiga lagu dalam bahasa Indonesia. "It been a long time since the last time..." Jon terakhir ke Jakarta di konser Ancol tahun 1995.

Pada lagu-lagu hit itu semua ikut bernyanyi. Barangkali untuk lagu-lagu itu pula penonton mengeluarkan Rp 500 ribu hingga Rp 1,5 juta dan antri masuk sejak jam 15 di Gelora Bung Karno, padahal Jon baru muncul pukul 20.34, Jumat malam kemarin.

Promotor juga agaknya kurang jeli. Selain tak ada lagu cinta yang menjadi alasan Bon Jovi digemari, promotor menghadirkan band pembuka seorang penyanyi muda, Sam Tsui, yang konon terkenal di You Tube. Dia jadi asyik nyanyi sendiri. Ketika ia bilang masih dua lagu ia nyanyikan, penonton memintanya turun kendati Sam berkali-kali bilang "I love you".

Penonton tak datang untuknya, anak muda yang 20 tahun lebih muda. Mereka ingin Jon. Jon Bon Jovi. Dan mereka tak datang untuk menyanyikan lagu baru Bon Jovi, semacam We don’t Run. Suara Jon baru diputar sekarang untuk membangkitkan kenangan masa SMA dan kuliah atau mengingat suasana hari pertama kerja.

Jon, di usianya yang ke-53, juga sudah terengah di nada tinggi. Someday I'll be Saturday Night diaransemen ulang dengan akustik sehingga nada tinggi dirombak menjadi rendah. Di tribun penonton memaksa menyanyikan lagi versi asli yang tinggi. Walhasil Jon geleng-geleng tiap kali nada rendahnya tak diikuti karena penonton asyik mencapai oktaf paling membumbung.

Dan agaknya ketiadaan Richard Sambora tak jadi soal. Mereka, kami, generasi yang beranjak tua ini, ingin menyanyikan It's My Life, Bad of Roses, Keep The Faith tanpa perlu benar lengkingan gitarnya. Aksi duo Phil X dan Matt O'Ree tetap diberi applaus ketika melodi Keep The Faith meraung-raung.

Opa Tico tampil paling prima. Dengan otot bisep yang menggelambir dia stabil menggebuk drum sampai konser ditutup Bad Medicine. Semua penonton berdiri dan bernyanyi.

Jon bilang "thank you" berkali-lali lalu menyelinap ke balik panggung yang jadi gelap. Dan penonton berseru "we want more", sebagai ritual konser menjelang akhir. Tiga menit panggung masih gelap. Lima menit Jon tak muncul lagi. Hari makin malam.

Lalu mereka menghentak dengan She's a Little Run Away. Jon main gitar dan memakai jaket, tak lagi tengtop yang basah karena udara lembab. Ya, Jon, malam kian malam, Bon Jovi adalah kenangan....

Tulisan ini ditayangkan juga di link ini