Kolom Bahasa di Tempo edisi 2-9 Maret 2015
Bagja
Hidayat*)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
“meninggal” dibentuk dari kata “tinggal”, yang artinya berdiam. Di sinilah
masalahnya. Sebab “meninggal” dalam arti mati tak merujuk pada jasadnya yang
berdiam, kaku, tak bernyawa. Malah sebaliknya: “meninggal” merujuk pada roh
yang pergi dari tubuh, ke alam lain yang bukan dunia—jika merujuk pada
kepercayaan dan agama.
Meninggal,
pada lema lain di kamus, bahkan diartikan sebagai “berpulang”, yakni kembalinya
roh kepada penciptanya, jika makna ini dirujuk pada kepercayaan akan Tuhan
sebagai penyebab alam semesta. Ketika mati, roh kita yang tak mati itu keluar
dari dunia kasat mata menuju haribaan sang pencipta. Agama Islam menyediakan
istilah dunia setelah semesta adalah alam barzah.
Mengapa
kamus menetapkan “meninggal” sebagai bentukan “tinggal” yang artinya bertolak
belakang?
Kata
“tinggal” jika bergabung dengan awalan, akhiran, atau imbuhan apa pun akan
merujuk pada makna berdiam. “Meninggali” jelas tak berpindah. Bahkan
“meninggalkan” merujuk pada obyek. Kata ini tak bisa dilepaskan dari obyek yang
mengiringinya. “Dia meninggalkan anak-istri demi perempuan kaya itu.” Jika obyeknya,
yakni anak-istri, dicabut, kalimat ini rancu dan tak berarti apa-apa. Dalam
kamus, “meninggalkan” berarti “membiarkan tinggal”.
Sebelum
arsip dikenal secara umum, dalam surat-menyurat, tembusan kerap dipakai istilah
“pertinggal”. Ini pun mengacu pada surat yang tak ikut dikirimkan, yakni
salinan yang disimpan oleh pembuat surat. Sepeninggal, peninggalan,
ketertinggalan, ketinggalan, merujuk pada makna sesuatu yang tak bergerak, yang
tak pergi. Hanya pada “meninggal” makna katanya berubah menjadi “yang pergi”.
Saya
menduga, “meninggal” sebagai padanan mati diserap secara letterlijk dari istilah Jawa “tinggal
donya”. Ketika diterjemahkan ke bahasa Indonesia, istilah ini menjadi
“meninggal dunia”. Maka, di media massa, para wartawan selalu menuliskan
istilah ini untuk mewartakan kematian. Padahal, “tinggal donya” bermakna “pergi dari dunia” yang subyeknya mengacu
pada roh, bukan “tinggal di dunia” yang mengacu pada jasad.
Dengan
kesalahan penyerapan seperti itu, kata “meninggal” kian kacau maknanya ketika
kamus menyerapnya sebagai bentukan dari kata “tinggal”. Dua kekacauan:
“meninggal dunia” menjadi istilah yang lewah jika “meninggal” saja sudah
bermakna mati; tapi menuliskan hanya “meninggal” akan keliru karena makna
aslinya “berdiam diri”, bukan “pergi”.
Dari
kekacauan ini kita jadi tahu bahwa bahasa Indonesia tak cukup kaya menyerap
kata bahasa daerah. Atau penutur bahasa Jawa tak mewaspadai polisemi dari
sebuah kata yang sama dalam bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Arti tinggal dalam “tinggal donya” tak terpenuhi oleh kata
“tinggal” dalam bahasa Melayu karena maknanya malah bertolak belakang.
Dalam
bahasa Inggris “tinggal” dipadankan dengan “stay”
atau “live”, yang merujuk pada
“bermukim”, “berdiam”. Dan, tentu saja, “stay”
dan “live” bertolak belakang dengan “gone” (pergi). Dalam bahasa Inggris “gone” istilah lain dari “dead” (mati). “He has gone” bisa berarti “Dia telah mati”. Maka “meninggal” jika
dirujuk pada kata “tinggal” seperti dalam kamus akan merancukan makna, yang
akan membingungkan mereka yang mempelajari bahasa Indonesia.
Manunggal berarti menyatunya jasad yang mati dengan
bumi, dengan asal, yang bisa berarti pula menyatunya roh yang kembali kepada
penciptanya. Manunggal, yang kemudian menjadi meninggal, menyatukan dua makna
yang tarik-menarik dalam makna “meninggal” yang dibentuk dari akar “tinggal”
seperti dalam kamus.
*) Wartawan
Tempo