Memberantas korupsi bisa dimulai dengan larangan memberi dan
menerima tip. Cara sederhana yang diterapkan di Jepang.
Seorang penjamu tamu di sebuah hotel di Akasaka, jantung
keramaian Tokyo, menolak menerima selembar yen seusai mengantar koper ke kamar
saya. Dengan sopan gaya shogun, ia meminta saya memeriksa buku aturan menghuni
hotel tua itu pada buku di dalam kamar.
Di buku itu tertera pasal terakhir pada bagian tata tertib
larangan kepada tamu memberi tip kepada petugas hotel. Bagi yang melanggar akan
dikenakan denda berupa tarif kamar naik 10 persen dari harga semestinya. Dan
petugas yang menerima akan dikenai sanksi seperti yang sudah diatur dalam hukum
perusahaan.
Esoknya saya bertemu dengan manajer hotel dan bertanya,
bagaimana kalian tahu ada transaksi tip sementara pemberi dan penerimanya
berada di lorong hotel yang sunyi, tak ada saksi. Manajer itu mengatakan anak
buahnya mengecek secara rutin kamera di seluruh sudut dan lorong. Mungkin saja
tamu itu lolos dari denda, tapi petugas yang menerimanya akan ketahuan dan
diberi sanksi.
Korupsi terjadi karena ada pemberi dan penerima. Jepang
telah mencegahnya dari hal sepele tapi penting. Dan yang sepele itu memang inti
persoalan korupsi dewasa ini. Menurut seorang pejabat tinggi di Kementerian
Luar Negeri, yang saya tanya soal itu, para perumus larangan korupsi di negeri
itu tak ingin tip menjadi budaya. “Yang saya tangkap dari larangan itu, kami
tak ingin ketulusan dihargai dengan materi,” begitu katanya. "Sebab
materialisme itu pangkal segala keserakahan.”
Seorang teman mendapatkan ketulusan itu dari seorang
perempuan Jepang di Kyoto. Dompetnya jatuh entah di mana, dan ia baru sadar
setelah sampai di apatonya. Di tengah kebingungan setelah bertanya ke sana ke
mari, terutama petugas trem dan stasiun yang baru saja ia lalui, seorang
perempuan menelepon ke kamarnya. Perempuan itu menerangkan bahwa ia menemukan
dompet berisi kartu nama yang ada nomor telepon apartemen itu.
Dengan girang tak terkira, teman yang sedang kuliah di
Ritsumeikan itu, berterima kasih atas kebaikan perempuan entah siapa ini.
Keduanya membuat janji bertemu di dekat sebuah mal yang terkenal di Ibu kota
Jepang lama itu. Dan dompet itu masih utuh hingga lembar-lembar kertas yang tak
penting.
Seperti umumnya orang Indonesia, teman ini mencabut semua
lembar yen yang ada di dompetnya dan hendak diberikan kepada perempuan yang ia
taksir 45 tahunan itu. Perempuan itu menolak. Teman ini berusaha menjelaskan
bahwa ia ingin berterima kasih atas kebaikannya.
Perempuan Jepang itu tetap menolak. Menurut dia agak aneh
bahwa di Indonesia ketulusan membantu dihargai dengan uang. Setelah termangu,
teman saya ini mengangguk berkali-kali mengucapkan terima kasih, lalu pergi ke
masjid di lantai dasar sebuah toko kelontong dan menyumbangkan semua yen di
dompetnya ke sana.
Saya teringat kembali omongan pejabat di Kementerian Luar
Negeri itu. Kelancungan para koruptor tanpa rasa malu mencuri kekayaan yang
bukan haknya mungkin memang bersumber dari sifat serakah karena lingkungan yang
membudayakan materi sebagai alat tukar niat baik dan ketulusan.
Kita tak menyadari bahwa hal-hal sepele seperti itu bisa
menjadi persoalan serius dalam membentuk pola pikir, tradisi, dan pada akhirnya
menciptakan norma baik dan buruk. Pejabat Jepang itu menjelaskan lebih ilmiah
bahwa tip membuat penghasilan petugas hotel itu tak tercatat, karena itu luput
dari aturan pajak. Di Jepang pajak adalah instrumen mengatur hajat hidup orang
banyak.
Ekonomi bawah tanah dalam tip membuat penerimanya menikmati
rejeki yang bukan haknya, sebab hak dalam kekayaan terikat kewajiban kepada
negara berupa pajak. Tip berada di luar penghasilan resmi. Dan mengantar koper
telah menjadi tugas penjamu tamu di hotel di Akasaka yang diganti dengan upah
wajar yang diatur secara umum dalam peraturan pemerintah kota Tokyo. Mereka
bekerja bukan mengharap kebaikan para tamu.
Dan di luar itu semua, semangat melarang tip adalah memberi
pemahaman: upah di luar gaji dalam pekerjaan bukan rejeki yang mesti diterima.
Di Jepang, pola pikir dan tradisi ini dituangkan melalui hukum positif yang
dijalankan dengan takzim oleh penduduknya.