Puasa telah mengajarkan bahwa kita punya napsu yang terbatas. Begitu teng magrib, napsu kita terhenti oleh secangkir kolak pisang dan segelas teh manis hangat. Napsu yang membludak sejak siang hangus tak bersisa. Kita bahkan KO setelah makan malam.
Tapi apa yang terjadi jika tak puasa. Rasanya napsu itu tak henti-henti. Jika boleh dan ada, apapun yang bisa dimakan dan enak akan kita libas. Kita lupa menghentikan keinginan-keinginan karena memang boleh, sepanjang tak ada larangan. Tapi, dengan puasa, larangan itu tak perlu ditegas-tegaskan. Kita berhenti sendiri.
Mungkin ini hanya satu soal. Karena napsu bisa datang dalam beragam bentuk. Lihatlah ke pusat-pusat belanja. Aneh juga, ekonomi selalu menyediakan 1-2 persen ruang kenaikan inflasi akibat puasa dan lebaran. Artinya, pada bulan-bulan seperti ini, orang akan lebih banyak membeli, lebih banyak menghamburkan uang. Biasanya uang beredar selalu bertambah.
Bukankah seharusnya terjadi sebaliknya? Kita bisa menabung dan mengekang napsu dunia saat puasa. Tapi mungkin susah. Ini manusiawi, kata orang di sebelah. Apa salahnya memanjakan diri sendiri. Toh, ujungnya--seperti diulang-ulang para pendakwah--puasa melatih kita merasakan derita orang lain. Terpenting adalah kita sudah tahu bahwa lapar itu tidak enak. Karena itu "orang-orang yang menderita" tahu bahwa ini bulan yang menganjurkan peduli.
Jumlah pengemis bertambah, kata sebuah koran. Pak ogah mengepung di setiap perempatan. Gelandangan berlipat. Setiap kali kondisi seperti ini datang, saya selalu ingin menganjurkan : stop memberi orang miskin.
Orang miskin itu aneh. Bukan saja karena ada orang miskin akibat malas, tapi upaya seperti ini terasa makin memanjakan negara. Kita seperti membayar pajak dobel. Negara tak peduli dengan kewajibannya, sehingga kita yang memikulnya. Rp 100 ribu dari kompensasi kenaikan harga BBM pun bukan karena kebaikan pemerintah, tapi karena itu memang hak orang miskin.
Orang miskin akan terus berharap dan menunggu karena rezeki akan datang setiap kali bulan puasa. Orang miskin akan tiba-tiba ada setiap kali Ramadan. Sayangnya BPS tak pernah menyensus berapa banyak orang miskin saat sebelum dan sedang puasa. 15,5 juta keluarga itu data sebelum puasa. Sekarang jumlahnya mungkin sudah bertambah.