Friday, May 29, 2009

PUISI-PUISI

SERENADE

jika engkaukah itu
yang tegak di muka pintu
katakanlah, engkau cinta
kepada kata
kepada cuaca dan gema
agar tak ada lagi duka

jika engkaukah itu
yang membawa rindu ungu
tunjukkanlah, engkau setia
kepada Usia
kepada suara yang palsa
agar tak ada lagi justa

2000

29 MEI


pada malam genting itu, perempuan
ruang menyempit dan kota jadi asing
kudengar gagak dari lorong yang hening
ini kali hari pembantaian?

tapi, tapi kaudatang dari tasik yang jauh
--seperti sebuah lagu fals tahun 80
ketika bulan utuh langit kian jenuh
menjemput kenangan yang kelak runtuh?

2008

KEPADA SIAPA


kepada siapa hujan kutitipkan
mungkin pada pagi
kepada siapa dingin kukabarkan
barangkali pada sunyi
kepada siapa sendiri kusandarkan
mungkin pada janji
kepada siapa puisi ini kunyanyikan

jika rindu tak jemujemu menghampiri

2000

KUKEMBALIKAN ENGKAU


Kukembalikan engkau pada sepi
pada gema yang pudar digubah puisi
pada purnama yang tegak sendiri
setelah kemarau sengit sebuah Juni

Jangan nangis. Sebab senja segera rimis
ketika cahaya kisut malam meningkap kabut
Adakah yang lebih sendiri
dari susut akasi musim semi?
Adakah yang paling pilu
dari keretak jarum-jarum waktu?

Maka Kuhantarkan engkau pada sunyi
setelah kita tempuh cinta yang rumit ini

1998

Thursday, May 28, 2009

PADA AKHIRNYA SENI SEPAKBOLA


BARCELONA menjadi klub terbaik Eropa dengan menjuarai Liga Champions tahun ini. Tim Joseph Guardiola itu memang layak mendapatkannya. Barcelona memainkan sepakbola sebagai sebuah seni: memadukan keindahan, kerjasama yang apik, taktik yang jitu. Manchester United yang menjadi lawannya praktis hanya bisa menyerang di 10 menit pertama. Kampiun Liga Inggris itu tak bisa membalas dua gol yang dicetak Samuel Eto'o dan Lionel Messi

90 menit sisa pertandingan menjadi milik Xavi Hernandez dan kawan-kawan. Barcelona hanya melakukan empat kesalahan mengoper bola dan tak satupun offside. Messi tak buru-buru ingin memasukan bola ke gawang Edwin van der Sar. Ia mengendurkan serangan dan menyurutkan tekanan jika peluang tak terbuka lebar, lalu mengalirkan bola-bola pendek di tengah, ke sayap, ke belakang, sebelum menusuk lini belakang United. Serangan mereka sama solidnya dengan pertahanan. Ketangguhan lini tengah sama bagusnya dengan kecermatan dari sayap.

Meski tiga bek utama Barcelona tak main karena cedera dan dihukum kartu merah, tak satupun kesalahan yang dibuat Puyol, Pique, dan Toure. Juara Liga Spanyol itu, sekali lagi, memainkan sepakbola indah bahwa pertahanan terbaik adalah dengan menyerang dan ketajaman serangan dibangun oleh kerja keras dari lini bawah. Dua gol mereka tak didapat dari serangan balik atau tendangan bebas.

Sebaliknya, satu-satunya peluang United hanya terjadi ketika Cristiano Ronaldo menendang bola mati sejauh 28 meter dari gawang Victor Valdes di menit ke-5. Selebihnya mereka grogi bermain. Ronaldo tak lagi mendapat peluang enak menendang bola. Rooney kerap tak diberi umpan bagus, Anderson sering salah mengoper, Park-Ji Sung kelihatan demam panggung, Ryan Giggs juga tak berkutik. United pun gagal menjadi klub pertama yang mempertahankan juara liga paling bergengsi di dunia itu.

Barcelona layak mendapat trofi dan gengsi itu. Mereka telah menyajikan sebuah drama ketika menundukkan Chelsea di semifinal. Bermain dengan sepuluh pemain ketika mereka kalah 0-1 justru--dengan kesabaran dan keuletan--mereka bisa membalas gol itu di menit-menit akhir. Di stadion Olympico Roma itu mereka seolah-olah hanya tinggal memanggul trofi itu saja. United sudah kalah jauh sebelum peluit ditiup.

Dan begitulah sepakbola. Olahraga ini diciptakan sebermula memang untuk keindahan. Tentara Cina dan Jepang memainkan olahraga ini tahun 5.000 sebelum masehi untuk memahirkan kungfu dan tontonan yang menghibur. Eropa mencuri dan mengadopsinya justru dengan sejarah kelam kekerasan. Kebrutalan itu kini telah sirna dari lapangan dan pindah ke luar stadion: kekerasan justru dilakukan oleh para penonton.

Tak heran jika sepakbola mendapat perhatian serius para pemikir. Albert Camus merasa berutang budi kepada olahraga ini karena, katanya, mempertontonkan soal moral dan tanggung jawab. Pada akhirnya sepak bola, kata Milan Kundera, adalah panggung teater terbesar yang menyajikan drama, moral, sejarah, peradaban manusia, sepanjang 2 x 45 menit.

Wednesday, May 27, 2009

LAGU ANAK


ANAK-anak sekarang tak tumbuh dengan lagu-lagu tentang sawah yang hijau, gunung yang rimbun, laut, atau senja yang ceria, tentang liburan ke rumah kakek lalu main lumpur dan menggembala kerbau. Kini lagu-lagu mereka tentang cinta dan patah hati. Anak saya menolak menyanyikan lagu Tasya dan lebih hapal lagu-lagu Peterpan atau Derby Romero, atau ST12, atau Hijau Daun.

Saya yang tak rajin menonton televisi tercengang-cengang setiap dia menyanyikan lagu yang belum pernah saya dengar. Saya memelototi tivi untuk tahu syair dan nada lagu itu jika hari libur. Tapi gagal. Lagu itu belum masuk televisi, baru diputar di stasiun-stasiun radio. Dan Mikail menyerapnya dari angkutan kota yang mempopulerkan lagu lebih dulu ketimbang televisi.

Tentu saja dia tak mengerti apa yang dia nyanyikan. Berbeda dengan puisi, kekuatan sebuah lagu tak terletak pada syairnya. Asosiasi dan harmonisasi bunyi itulah yang lebih dulu merasuk ke bawah sadar kita. Toh kita bisa menikmati sebuah lagu berbahasa Inggris atau Spanyol tanpa harus mengerti apa sebenarnya yang diucapkan penyanyinya. Pada sebuah lagu, kenangan tak tersimpan pada kata dan kalimatnya.

Dan syair lagu tak menuntut keteraturan logika. Syair lagu Sakura itu sungguh tak bisa dimengerti tanpa dinyanyikan. Karena itu, betapapun syair sebuah lagu berantakan secara tata bahasa ia tak mempengaruhi cara bertutur kita.

Barangkali karena itu saya tak terlalu cemas. Anak-anak menyukai bernyanyi. Otaknya jauh lebih gampang menyerap hal ihwal yang tersampaikan dengan nada. Mikail jauh lebih cepat menghapal bilangan 1-10 dalam bahasa Inggris dengan menyanyikannya mengikuti jingle film kartun-kereta Thomas and Friends, ketimbang mengingat bahwa enam itu dilafalkan "six".

Dan zamannya mungkin memang sudah lain. Lagu-lagu agraris yang memuja alam dan hidup ala Hindia Molek sudah selesai. Generasi sekarang adalah generasi yang tak lahir dengan cerita tentang liburan ke kampung. Dan kampung tak lagi melahirkan para petani, melainkan pedagang dan orang kantoran. Urbanisasi (sekaligus ruralisasi) telah memangkas satu generasi yang lebih dekat ke alam industri. Dan ini zaman Internet ketika patah cinta diumumkan di blog dan status Facebook. Saya baru mengetik di laptop ketika umur 20, Mikail sejak 2 tahun sudah leha-leha nonton video tentang truk di You Tube.

Setiap anak, setiap orang, punya romantisme dan kenangannya sendiri.

Tuesday, May 26, 2009

KEMATIAN-KEMATIAN YANG MENGERIKAN

KEMATIAN kini tersaji kian brutal. Seorang bocah empat tahun mati tersiram kuah bakso mendidih dari gerobak ibunya ketika sepasukan pamong praja menghardik para pedagang di Jalan Boulevard, Surabaya. Siti Khoiyaroh, bocah itu, tewas setelah dirawat empat hari di rumah sakit.

Di Tangerang, seorang pelacur meninggal karena ketakutan ditangkap polisi sipil lalu menceburkan diri ke sungai. Alih-alih menolong, para polisi itu ramai-ramai merajam tubuh Fifi Ahyani, 42 tahun, yang megap-megap tergulung arus. Fifi tewas dan tubuhnya ditemukan esoknya.

Saya bisa bayangkan ketakutan itu. Suatu Ahad pagi di Monas, ketika orang-orang bersepatu Nike terengah berlari, para pedagang terengah karena semobil petugas dengan wajah mengeras datang merazia. Di depan saya, seorang ibu yang panik menabrakan gerobak dagangannya kepada dua pembeli yang belum sempat memberinya uang. Ia terbirit menyeret gerobak itu, meninggalkan anak bayinya yang menjerit ketakutan.

Kita pun pasti ingat Sukardal, dari tahun 1980, yang menggantung diri karena petugas tibum merampas becaknya. Kekerasan itu, kekerasan itu ternyata tak putus-putus. Mereka terbunuh dengan rasa takut yang kalut. Mungkin juga rasa marah yang tertahan. Sebelum mati, Sukardal menulis makian dengan darah di tembok rumahnya.

Bagi Ibu Siti, untuk Fifi Ahyani, buat Sukardal, dorongan bakso, menjual selangkangan, dan becak adalah hidup, alat mereka menyongsong hari esok. Dari bakso dan mengayuh pedal itulah harapan untuk masa depan anak-anak mereka tumbuh. Dan harapan itu dibunuh oleh mereka yang mewakili negara, yang hidupnya kita tanggung dengan pajak yang kita bayar.

Tapi mengeluh seperti ini rasanya sudah terdengar klise. Kita sudah sama tahu negara tak pernah peduli kepada kita. Negara sudah lama absen menjamin hari esok yang menjanjikan. Mungkin orang-orang seperti Siti dan Fifi dan para pedagang di Monas atau Sukardal salah, atas nama peraturan, ketertiban dan kebersihan kota. Tapi kenapa harus dengan cara brutal itu mereka diburu. Dan untuk siapa ketertiban dan kebersihan itu sebenarnya?

Di Solo, walikotanya tak bosan-bosan membujuk para pedagang kaki lima agar mau diatur dan ditata. Ia undang mereka sarapan di rumahnya, ia datangi mereka di tempat mangkal, seraya terus membujuk bahwa lokalisir tempat kuliner itu baik buat mereka juga. Baru pada pertemuan ke-59, para pedagang itu setuju dengan ide Pak Walikota. Tak ada kekerasan, tak ada yang mati dengan rasa takut yang akut.

Hidup memang bukan sebaris headline, tapi dari kematian dan kejadian macam itulah kita menempuh dan mengisikan makna ke dalamnya.

Monday, May 18, 2009

SETELAH MENONTON ANGELS & DEMONS


AGAK repot juga membuat film berdasarkan sebuah novel. Ron Howard pasti ingin membuat kejutan bagi yang belum membaca bukunya seraya memberi tontonan yang tak membosankan bagi mereka yang sudah membaca Angels and Demons. Karena itu ia membumbui misteri pembunuhan empat kardinal calon Paus dengan gemuruh suara efek, sehingga ini film Holywood sekali. Seolah-olah ia ingin menebus kekurang-tegangan ketika bikin Da Vinci Code.

Dan efek suara itu hanya berhenti di gelegar dan gemuruhnya saja. Jika Dan Brown meracik misteri itu dengan melemparkan pertanyaan, menunda kesimpulan, menghadirkan sejarah perseteruan iman dan sains, serta memainkan sangkaan-sangkaan kita dengan keragu-raguan Robert Langdon mengungkai simbol-simbol Illuminati, film Howard alfa memasukkan unsur ini. Atau berupaya tapi gagal.

Pada film, Langdon seperti manusia yang--mengutip kata-kata seorang pastor-- "dikirim Tuhan untuk menyelamatkan Vatikan". Hebat betul profesor macam dia: tak pernah ragu dengan pikirannya. Simbol-simbol itu seperti datang sendiri menunjukkan batang hidungnya. Tiap Langdon bingung, selalu saja tanda itu muncul sehingga profesor dari Universitas Harvard ini bisa menemukan tempat-tempat empat kardinal itu dieksekusi, tanpa pikir dua kali. Hanya sekali ia salah ketika menafsirkan simbol "lubang iblis" tempat eksekusi pertama.

Barangkali karena dua jam tak cukup memasukkan soal-soal ini ke dalam bahasa gambar. Itupula sebabnya, Langdon terlalu banyak omong untuk menjelaskan kepada kita konteks sebuah simbol, kenapa Illuminati membalas dendam, sejarah sebuah lukisan atau geometri Galileo Galilei. Howard juga hanya sedikit menyinggung soal ketegangan antara gereja dan sains. Padahal ini konteks peristiwa yang melatari terbentuknya kelompok rahasia Illuminati.

Tapi, barangkali juga, ini pikiran seorang penonton yang pernah menikmati bukunya, yang sudah tahu sejak awal siapa pelaku utama sesungguhnya dari rangkaian peristiwa yang mengiringi pemilihan Paus itu. Penonton yang sudah terlalu banyak diberi plot kebetulan yang dirancang Dan Brown, sehingga ketegangan pada film sudah tak terasa lagi karena ending sudah diketahui di 15 menit pertama.

Dan, tentu saja, tak adil membanding-bandingkan film dan buku. Jadi, lebih baik kita nikmati saja kemegahan dan keagungan Vatikan, sudut-sudut gerejanya yang purba, lorong-lorong rahasia Santo Petrus seraya berpikir: hebat sekali ilmuwan Illuminati ini--jika memang mereka pernah ada--merencanakan hidup dan merancang sejarah dengan pelbagai tanda yang saling berhubungan dan berlaku umum. Tak baik juga repot-repot memikirkan plot film di hari Senin begini.

Thursday, May 14, 2009

CATATAN NAM

Kau pasti ingat mimpi kita: tentang jembatan putus pada suatu sore yang gerimis, sehabis kita naik gunung, dan kau bersalin serupa Amba. Amba, Amba yang sedih...

Jembatan itu, jembatan yang tua itu, adalah jembatan masa kecil yang hidup dalam angan-anganku. Jembatan yang menghubungkan masa yang belum sudah. Aku gagal menangkap tubuhmu yang melayang dari gawir itu, tapi aku bisa memapahmu menembus banjir sungai ini. Kita menemukan gubuk di seberang, mengeringkan kuyup, mengubur kecemasan-kecemasan: sebuah tikungan menghadang di depan.

Dan kita menempuh tikungan itu, menaklukkan kecemasan itu. Tikungan Nam: belokan yang berliku karena ujungnya tidak satu. Kita merayapinya, mengeja setiap sudutnya. Tapi apa nam apa bukan nam. Kau bilang setiap tikungan adalah permulaan. Baiklah. Karena hitungan tak penting benar pada akhirnya. Ada banyak pengkolan dan kita lupa atau sengaja alpa mencatatnya. Sebab, bukan menaja jumlah itu yang utama, tapi bagaimana kita menempuhnya dan waspada memasuki tikungan berikutnya.

Jembatan dan tikungan itu, cintaku, adalah sebuah jeda agar kita memutar ulang seluruh kenangan dan harapan kita....

Tuesday, May 12, 2009

KEPADA ANAK YANG BERMIMPI MEMBUAT RUMAH ABU-ABU

TADI ia berkata, "Ayah, aku mau bikin ruang tamu, kamarku, dan ruang keluarga. Aku mau bikin ruang buku juga lemari dan rak untuk menampung kenangan-kenangan kita. Aku akan bikin meja agar kita bisa mencatat semua masa depan kita. Ayah, aku mau bikin rumah abu-abu.

Ada taman, kolam, ikan koi, pohon jambu, dan kursi di beranda. Setiap sore kita akan duduk di sana, menatap pucuk gunung sambil menghitung capung. Tak usah bikin pagar, biarkan angin masuk lewat halaman yang terbuka, agar rumputan selalu basah oleh embun, agar kita bisa bebas menjala matahari setiap pagi.

Di sana, di kursi itu, aku akan belajar apa saja: tentang ketulusan pada rama-rama, tentang kebahagiaan pada bunga-bunga, tentang kesederhanaan pada rerumputan, tentang keberanian pada pohonan, soal ketabahan pada siput dan lumut. Kita akan mendengar kerisik angin, menikmati kicau burung, menghayati kecipak lokan, mengemasi kesunyian.

Setiap sore, Ayah, aku akan minta kau bacakan segala cerita. Kelak akan kubingkai cerita itu untuk untuk aku bacakan kepada anak-anakku, kepada cucu dan buyutmu..."

Monday, May 11, 2009

6




nam
n a m
n a m
namnam
n a m
nam

sampai juga tikungan nam

Tuesday, May 05, 2009

ANAK-ANAK

ANAK-anak adalah tempat bergantungnya kecemasan dan ketakutan para orang tua. Tuhan memang meniupkan ruh pada setiap janin sebagai sebuah pesan bahwa Ia belum jera dengan manusia. Tapi di titik itulah beban pada setiap bayi dimulai. Ia akan menempuh takdir, membuat pelbagai pilihan, sekaligus menanggung harapan dari luar dirinya sendiri. Apalagi ini abad 21, sebuah masa yang rumit dan tak terduga--masa depan tak cukup hanya direncanakan.

Tapi, Gandhi sekalipun menentang seorang anaknya menikah di usia 18, meski ia sendiri kawin lebih muda dari itu. Sang Mahatma cemas anaknya menempuh pergulatan batin yang akan melencengkan mereka jadi orang suci. Tak heran jika istrinya menolak cara-cara Gandhi mendidik anak-anaknya: jangan paksa mereka menjadi orang juhud sebelum waktunya.

Pilihan, harapan, kebutuhan, itulah yang membuat hidup kian sempit. Para cerdik cendikia menelurkan pepatah hiduplah dengan mimpi karena mimpi adalah sebermula hidup yang dahsyat. Betapa ganjil sebetulnya kalimat ini. Sebab mimpi itu bukankah justru akan membatasi kita membuat hidup menjadi dahsyat. Tapi itulah tabiat para orang tua, seperti Daedalus.

Ia cemas Ikarus, anaknya, celaka karena keinginannya terbang menembus langit dan melihat dunia yang tak bisa ia jangkau dengan dua kaki. Daedalus cemas oleh keinginan anaknya yang mustahil, meski ia toh akhirnya ikut membantu juga membuat sayap untuk anaknya. Berhari-hari mereka mengumpulkan bulu-bulu angsa, lalu merakitnya, dengan gagal dan coba-coba. Sayap itu jadi juga.

Ikarus pun terbang. Ia memuaskan keingintahuannya, sekaligus menentang kecemasan ayahnya. Lalu ia terbuai. Anak tampan yang selalu ingin tahu ini terus terbang hingga lupa dengan ketinggian. Panas matahari membakar lilin-lilin itu hingga sayapnya merotol satu per satu. Ikarus jatuh dan tak tahu ke mana jalan pulang. Maka, dalam mitos yang agaknya diciptakan untuk menyindir hidup manusia ini, kecemasan orang tua terbukti. Ketakutan para orang tua mengalahkan imajinasi anak-anak.

Dan di titik itulah konflik seringkali dimulai: setiap anak yang ingin bebas itu terbatasi oleh ketakutan di luar dirinya. Ia akan menyerap ketakutan itu menjadi ketakutan dirinya sendiri, menjadi logikanya sendiri. Saat jatuh itu Ikarus menemukan kebenaran atas kecemasan dan ketakutan Daedalus. Sejarah logika manusia pun turun temurun dengan cara itu. Logika Daedalus telah menjadi logika Ikarus.

Karena itu sejarah seringkali berulang. Manusia menempuh kesalahan-kesalahan yang sama, mencari kebenaran-kebenaran yang itu juga. Pertanyaan paling purba yang terus menerus bergaung adalah manakah yang benar: sejarah yang menuntun manusia atau manusia yang menciptakan sejarah? Kita bisa melihatnya pada anak-anak: mereka yang menanggung kecemasan dan ketakutan para orang tua. Kita bisa belajar bahwa kitalah mestinya yang menciptakan sejarah.

Itulah, nak, yang aku pikirkan setiap menatap pelupukmu tidur. Apa sih yang Tuhan rencanakan kepadamu, hingga kau harus menanggung ketakutan dan kecemasan-kecemasanku? Aduh, lebih baik kita nikmati sore yang seru ini saja ya....

Sunday, May 03, 2009

FRAGMEN

Dimuat di Lampung Post, edisi 3 Mei 2009

Raut Tursi

RAUTNYA tursi. Mungkin karena warna bajunya, mungkin karena rambutnya, mungkin karena lampu-lampu di atasnya, mungkin bukan karena itu semua. Rautnya tursi, saya tak berani menatapnya. "Bukankah aku sudah jadi puisi?" Apa yang puisi apa yang bukan.

Kata-kata bahkan tak lagi akrab. Dan malam lunglai sehabis percintaan yang masai. Kita tak pernah punya jeda untuk menafsirkan yang mungkin dan tak mungkin. Kita berlari mengejar puisi dan selesai dengan sebuah prosa. Metafora lepas, yang ada hanya tanda-tanda yang jelas. Kita tak menciptakan enigma, hanya sebuah keruwetan yang tak mudah kita urai kembali.

Saya tak berani menatapnya karena mungkin ia memang sudah jadi puisi, untuk saya, orang di depannya, yang dalam sela-sela sisa-sisa keberanian mencuri-curi menatapnya. Saya tahu itu sia-sia. Rautnya yang tursi mengingatkan saya pada dongeng tentang topeng yang pasi.

Bapak mengisahkannya entah kapan entah sedang apa. Saya lupa pada peristiwanya. Yang menyangkut di ingatan hanya wajah topeng itu saja. Barangkali kurang tepat membandingkan raut perempuan di depan saya dengan topeng itu. Hanya dampaknya sama: saya tak berani memandangnya.

Topeng itu konon pernah hilang dari kamar Aki. Semua orang ribut. Semua orang mencari tapi bingung ke mana harus pergi. Tak ada yang pergi sampai topeng itu kembali. Aki tak lagi sering menyendiri. Temannya telah kembali. Keduanya merayapi hari-hari tua yang sepi dan sakit: tak ada anak-anak, tak ada orang-orang tua.

Saya pernah mengintipnya, sayup-sayup di umur entah berapa. Topeng itu dipasang di atas cermin tua yang gagah dengan ukiran-ukiran yang ruwet. Menatap cermin itu sudah terasa beratnya. Galuh jati. Dan topeng itu, topeng kayu yang aneh, topeng dengan kerut-kerut dahi yang gering, akan menatap Aki jika berbaring di ranjangnya. Topeng ini yang telah membikin saya ada: bikin Aki panjang umur lalu membuat bapak lahir, menyelamatkan ulu hati dari hujaman bayonet Jepang. "Saya hanya seorang pembuat topeng."

Saya bilang ini dongeng. Kisahnya mungkin nyata, dekat sekali karena nama-nama begitu akrab. Tapi kejadian-kejadiannya, keanehan-keanehannya teramat fiksi. Atau karena bapak tak bisa menjelaskannya dengan masuk akal? Saya memilih percaya dugaan ini. Sampai topeng itu dikubur dan rumah tua dibagikan ke bibi-bibi lalu dibangun yang baru. Dikubur karena semua anak, semua cucu, tak ada yang betah menatap atau menyimpannya.

Begitulah. Ada kerut gering dalam raut yang tursi itu. Kerut pasi topeng itu. "Bukankah aku sudah jadi puisi?" Ya, ya, kamu mungkin sebuah puisi.

Jeda

BARANGKALI kita memang perlu jeda, terutama pada gairah yang menggebu, pada hidup yang menderu, pada sengkarut soal yang tak akan bisa kita pecahkan. Pada jeda itu kita bisa berharap--atau tidak berharap, sekadar membuka peluang stop pada sesuatu yang belum usai--kita bisa kembali kepada sesuatu yang sudah lama kita lupakan: harum pagi, bening embun, atau bau tanah basah sehabis hujan yang sebentar. Hanya pada jeda kita bisa meresapi, mungkin malah bisa memasuki keheningan—barangkali kesunyatan: sebuah sumber energi untuk kita bisa mengambil jarak pada yang ada dan tiada.

Pada dunia yang hiruk pikuk ini jarak itu senantiasa nol. Kita nyaris tak bisa membedakan mana yang profan dan mana yang imanen. Kita melewatkan usia, tak sempat mencium dan menyesap uap kopi pagi, mendengar dengus napas, bahkan bau liur di bantal kita sendiri. Kita tak sadar liur itu menandakan sebuah kenikmatan: kenikmatan bahwa manusia memang terbatas, kita butuh istirah dan berbuat adil pada otot dan sendi kita sendiri. Tanpa jeda, rutinitas itu senantiasa akan jadi jadwal yang tetap: seperti para sipir yang membangunkan para tahanan karena senam pagi adalah bagian dari hukuman.

Barangkali kita memang perlu berhenti, singgah sebentar, menghela napas, mengatur energi, untuk berlari lagi esok hari....

Sore yang Genting

TAMAN yang bisu, bangku-bangku kosong, tak ada deru klakson atau anak yang meniup harmonika. Burung-burung menjauh ke langit jenuh. Cuaca pun kesumba ketika udara menggetarkan bulu-bulu mata. Bahkan bunga-bunga ini, cintaku, tak lagi menghadang gerimis yang jadi kuning.

Kita pernah duduk di sini, menaja duka yang datang tiba-tiba. Barangkali memang tak ada yang kekal, kecuali sehimpun doa--seperti kau percaya bahwa lupa kelak membebaskan kita.

Arung

AKU tak bisa melihat dunia di depanku. Segalanya pekat. Dunia yang terlalu besar. Mataku tersungkup. Frekuensi retinaku tak sanggup menangkap bayangan apa gerangan yang melintas tiba-tiba.

Situasi ini mirip dengan apa yang dialami Sika Bhayandara ketika dia hampir saja mati dan merasa berada di persimpangan surga dan neraka. Tapi Sika tak ingat lagi ketika persimpangan itu tiba-tiba hilang dan dia kembali ke bumi. Barangkali itu hanya mimpi, atau semacam alusi yang merangsek ke wilayah sadarnya.

Yang kualami ini jelas bukan mimpi. Aku sadar. Aku bisa merasakan bumi yang bergetar, harum pagi, dan dengus napasku sendiri. Tapi, ini gelap tak juga lindap.

Dan bayangan yang melintas tiba-tiba itu mungkin tuhan. Seperti yang pernah dicurigai guru sekolahku ketika kecil.

Dia mengajarkan bagaimana melihat tuhan dengan mata terbuka. "Tutupkan telapak tanganmu ke matamu, kau akan melihat tuhan di sana." Di sanalah tuhan akan kautemui. Dalam kegelapan, dalam ketakterjangkauan, kau akan ketemu tuhan. Tuhan tak terjangkau maka kau harus menemuinya dengan ketakterjangkauan pula. Tapi tuhan begitu dekat. Sedekat napas atau sedekat retina matamu sendiri.

Tapi aku tak melihat tuhan. "Tapi-kau-tak-akan-tahu-tuhan." Begitulah. Suara itu datang dari masa lalu. Terngiang kembali seperti gema yang datang pelan-pelan.

"Tapi kau tak akan sampai tuhan."