Ruang Baca edisi Maret 2006
SOLO 1927.
HARI cerah. Halaman sekolah Algemeene Middelbare School riuh. Para siswa berhamburan dari ruang-ruang kelas. Mereka bercengrama riang. Di tengah keramaian jam istirahat itu Amir Hamzah tertegun di muka kelas. Matanya menerawang jauh, menyidik-nyidik, siapakah gadis semampai di kejauhan itu?
Beberapa hari ini sosok gadis itu memenuhi benaknya. Amir pernah melihat sekali wajah oval, kulit coklat, mata jernih dan tajam itu sewaktu berangkat ke sekolah. Mereka berjalan dari arah yang sama. Tapi Amir tidak tahu di mana ia tinggal.
Mata Amir terus menguntit gerak-gerik gadis itu. Sampai gadis itu mendekat, berbicara entah apa dengan beberapa temannya, lalu melempar senyum ketika tiba di depannya. Agak tergeragap Amir membalas senyum itu. Tanpa suara tanpa menyapa. Senyum itu mendekam-membekas dalam benaknya.
Amat bersahaja cempaka bunga
putih arona, hijau nen tempuk
pantas benar suntingan adinda
terlebih pula di sanggul duduk
Mereka bertemu kembali saat pulang sekolah. Juga tetap dalam diam, menyapa hanya dengan raut dan gerak-gerik saja. Mereka mengayuh sepeda ke arah yang sama. Tempat tinggal mereka ternyata tak berjauhan, di sekitar stasiun Balapan. Amir tinggal mondok di rumah KRT Wreksodiningrat bersama beberapa siswa AMS lainnya.
Beberapa kali kesempatan pertemuan itu terus berulang hingga Amir memberanikan diri menyapa gadis itu. Mereka kemudian berkenalan. Ilik Sundari nama gadis periang yang selalu berpakaian sederhana itu. Di sekolah mereka beda kelas meskipun satu angkatan. Ia anak Raden Mas Kusumodihadjo yang rumahnya ternyata tak jauh dari tempat tinggal Amir. Kusumodihardjo seorang ahli agama yang masih ningrat Surakarta. Sejak itu keduanya jadi akrab. Amir menemui Ilik setiap kali istirahat belajar atau pelajaran usai.
Mereka langsung saja cocok. Amir pada dasarnya juga anak muda yang periang. Hanya ia suka menyendiri. Tawanya kerap terdengar menggelegar, selalu punya kelakar dan humor-humor segar jika bercengkarama dengan teman-temannya di perkumpulan Indonesia Muda. Ilik juga ternyata aktif di organisasi itu mewakili Jong Java. Mereka pun kian sering bertemu.
Ketika itu organisasi-organisasi pelajar dibentuk mengatasnamakan daerah. Sebab republik belum lagi tumbuh. Amir, yang berasal dari Langkat, Sumatera Timur, giat di Jong Sumateranen Bond bersama teman-teman sepulau lainnya. Perkumpulan siswa lain datang dari Sulawesi, Minahasa, Ambon dan Jawa sendiri. Mereka sering bertemu dan berkumpul. Amir pernah melontarkan gagasan agar setiap Jong meleburkan diri dan membentuk sebuah organisasi yang memayungi organisasi-organisasi kecil itu. Kelak, gagasan Indonesia Muda meruncing dan melahirkan Sumpah Pemuda pada 1928. Sebuah sumpah yang mengakui Indonesia dalam kesatuan dan integrasi wilayah, bahasa, dan cita-cita.
Perkumpulan, pelajaran di bangku sekolah dari guru-guru Belanda yang liberal, dan diskusi-diskusi di pondokkan, membawa anak-anak muda penuh gelora nasionalisme ini pada satu pemikiran bahwa cita-cita persatuan itu tak akan tumbuh jika tidak ada kesadaran. Kesadaran para intelektual, juga kesadaran yang sama pada orang banyak di luar sekolah. Tapi mereka tahu, kesadaran itu hanya tumbuh jika pikiran terbuka dan bersintuhan dengan dunia luar, lewat buku, lewat bacaan-bacaan. Masyarakat Jawa di pedesaan jelas tak merasakan bangku sekolah yang hanya dimasuki orang-orang mampu saja. Sebagai anak wakil sultan Langkat, Amir sepertinya satu-satunya orang terkaya di AMS Solo. Siasat pun disusun. Mereka harus turun ke desa-desa menemui para petani mengenalkan huruf agar mereka bisa membaca.
Tapi gagasan ini sudah lebih dulu dilakukan organisasi Ilik di Jong Java. Amir makin punya kesempatan. Di antara kesibukannya belajar, menulis untuk berkala Garuda Merapi, berhimpun dalam organisasi, Amir menyelangnya dengan menyelinap ke desa-desa di Solo. Bersama Ilik, mengajari para petani yang buta huruf itu makin terasa menyenangkan. Dua orang muda ini, dengan keriangan remaja, dengan semangat membara ditingkahi sedikit asmara, kesibukan yang menyedot energi itu berjalin penuh gelora.
Banyak siswa AMS yang iri melihat hubungan dua orang ini. Tak ada orang lain yang mampu menyelip di antara kerapatan mereka. Di mana ada Ilik di situ pula ada Amir. Ke mana Amir pergi, Ilik ada di sampingnya. Tapi hubungan yang akrab itu tak membuat orang lain sebal karena kecengengan hubungan remaja yang manja. Hubungan Amir-Ilik tak menyolok berlebih-lebihan dan ingin dilihat orang-orang. Hubungan ini terlihat elegan, pertemuan dua bangsawan yang masih menyimpan aristokrasi Jawa dan Melayu dengan bumbu Eropa. Inilah sumber keirian dan kecemburuan siswa-siswa AMS atas hubungan Amir-Ilik.
Suatu kali AMS mengadakan pertunjukan drama. Armijn Pane ditunjuk sebagai penyusun naskah. Tema yang dipilih adalah soal adat untuk menyadarkan orang banyak bahwa adat tak selalu mengekang. Maka lakon Siti Nurbaya dipilih Armijn yang ia sadur dari novel terkenal Marah Rusli itu. Amir terpilih memerankan Syamsul Bahri. Dan peran Siti Nurbaya jatuh pada Ilik Sundari yang pada beberapa hal punya kecocokan sifat dan karakter.
Pentas drama di gedung Schouwburg itu berlangsung meriah. Dari bangku penonton Achdiat Kartamihardja berdecak kagum. "Sungguh mengagumkan permainan Amir itu!" bisiknya. "Ia hanyut dalam inspirasi, sehingga teks tak mencukupinya lagi." Achdiat tak tahu kesempurnaan Amir memerankan Syamsul Bahri karena dilakukan sepenuh hati, segenap jiwa dan cinta yang sebenar-benarnya kepada Siti Nurbaya, kepada Ilik Sundari. Amir dan Syamsul menyatu sebagai dua sosok yang tak lagi bisa dibedakan antara cerita dan alam nyata.
Bakat Amir dalam seni peran ini tak menonjol hari-hari kemudian. Ia lebih suka menulis sajak meski masih jarang dipublikasikan. Achdiat terkejut kedua kali ketika tahu kawan baiknya yang suka berkelakar itu menulis sajak tentang kerinduan dan kesunyian. "Kau menulis puisi juga?" tanya Achdiat.
"Ya."
"Dalam apa kau menulis puisi?"
"Tentu dalam bahasa Indonesia," jawab Amir.
"Kau menulis dalam bahasa Indonesia?" pemuda dari Bandung itu kian terbengong-bengong.
"Habis dalam bahasa apa aku harus berlagu?"
Menulis dalam Indonesia adalah sebuah kemustahilan waktu itu. Para pemuda dan pelajar lebih senang menyampaikan gagasan melalui bahasa Belanda. Bahasa Indonesia masih sebuah bahasa yang asing. Majalah Timboel yang dibaca luas di kalangan pelajar masih separuh memakai Indonesia dan separuhnya Belanda. Hanya Mohamad Yamin dan Sanusi Pane yang mulai menulis dalam Indonesia.
Achdiat makin tercengang setelah membaca sajak-sajak Amir. "Kau sangat pandai menyusun kata-kata menjadi rangkaian yang merdu," katanya. Ia memuji karena sajak Amir menggabungkan dua kekuatan anasir puisi dengan tepat: suara dan kiasan. Sehingga puisinya terasa kuat dalam bangunan imaji maupun ide-idenya. Selain Melayu sebagai bahasa-ibu, Amir dengan ringan menukil kosakata Jawa, Sansekerta, dan Kawi ke dalam sajak-sajaknya.
Pujian teman dan hubungan yang kian mesra dengan Ilik pecah oleh kabar dari kampung. Ayahnya, Tengku Muhamad Adil, mengirim telegram bahwa ibunya, Tengku Mahjiwa, sakit keras. Hati Amir remuk. Ia ingin hari itu juga berangkat ke Langkat agar masih bisa melihat ibunya untuk terakhir kali. Tapi hari ujian sudah dekat. Amir harus memilih: tertinggal dalam pelajaran atau menumui ibunya. Pilihan yang amat berat. Amir memilih yang kedua. Ia yakin ibunya akan merestui pilihannya itu. Ibunya yang kerap muncul dalam sajak-sajaknya sebagai salah satu orang yang paling ia cintai selalu menekankan belajar dan mendorong dirinya bersekolah.
Buah hati jauh permainan mata
hendak diseru suara tak daya
hendak dipanggil kuasa taala
duduklah bonda berhati iba...
SOLO 1931.
AMIR lulus dengan nilai baik. Ia berkemas-kemas dan bersiap mendaftarkan diri pada Recht Hogere School di Betawi—sekolah ini menjadi cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Sekolah hakim tinggi itu dipilihnya untuk mendapat gelar sarjana. Ia memberi kabar ke kampung soal pilihannya. Tengku Adil merestui sekolah yang akan dituju anaknya itu.
Tentu saja ini ikhtiar yang agak berat. Ia harus berpisah dari Ilik yang belum menentukan pilihan sekolah selepas lulus dari AMS. Ayahnya belum memberi sinyal ke mana anak perempuannya itu melanjutkan studi. Amir dan Ilik saling berjanji bercakap melalui surat.
Amir berangkat dari Solo naik kereta bersama beberapa temannya. Dua lainnya langsung berlayar ke Medan dari Tanjungpriok. Sedangkan Amir mampir ke sekolah hakim di Kramat Raya. Amir mencatatkan diri sebagai siswa di sana dan mencari tempat tinggal di Laan Holle yang kini bernama Jalan Sabang.
Setelah semua persiapan selesai, Amir berangkat ke Langkat. Menemui ibu yang sudah lama diimpikannya. Ibu yang hanya bisa ditemui batu nisannya karena sakit itu telah merenggut jiwa dari dunia. Amir terpekur di makam ibunya. Tapi ia tak boleh larut. Cita-cita pergerakkan, kerinduan pada Ilik, kecintaannya pada gelora nasionalisme telah membakarnya tetap tegar. Ia harus bangkit dan kembali ke Jakarta untuk menyerap pengetahuan.
DI Jakarta Amir semakin giat. Ia kian jauh terlibat dalam pergerakkan. Bersama teman-temannya yang kelak memimpin negara dan pelopor pembebasan bayi republik dari cengkraman penjajah mengasah ide dan merumuskan masa depan. Banyak nama yang bisa disebut seperti Asaat, Hatta, Wilopo, Soebardjo, Yamin yang aktif di Indonesia Muda. Organisasi ini kini tak lagi gabungan dari organisasi-organisasi kedaerahan, tapi perkumpulan pelajar dari pelbagai sekolah: AMS, RHS, bahkan THS dari Bandung. Anak-anak muda menjadikan Gedung Kramat 106 yang kini terlihat mengkhawatirkan berdebat mematangkan gagasan.
Amir tak meninggalkan kebiasaanya menulis rutin di majalah Timboel. Di Jakarta ini pula ia berkenalan dengan Sutan Takdir Alisjahbana, yang dikenalkan Armijn Pane. Sementara pemuda lain memikirkan bergerak secara politik melawan Belanda, tiga pemuda ini berbincang mengenai kebudayaan.
Perbincangan yang alot itu sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat perlu sebuah media yang menyerukan bentuk kebudayaan Indonesia. Pada 1933 sebuah wadah kebudayaan diproklamasikan dalam nama Poejangga Baroe. Majalah dengan nama yang sama terbit pertama kali pada Juli 1933.
Para penyair dan penulis dari pelbagai daerah berkumpul di sini dan mengisi majalah. Ada J.E Tatengkeng yang menulis sajak dengan semangat Nasrani; Amir, Yamin dan Ali Hasjmi yang bernapas Islam. Dalam ranah prosa, ada Sanusi dan Armijn Pane serta Takdir yang berkilau menulis dalam Melayu.
Dalam kesibukan belajar dan organisasi, sebuah kabar baik datang ke Jakarta. Dari Solo Ilik memberitahu bahwa ia akan segera berangkat ke Lembang untuk belajar menjadi guru di Hogere Kweekschool. Bukan main girang hati Amir. Meski tetap ada jarak, tapi bentangan itu kian susut. Lembang-Jakarta bisa ditempuh dalam sekejap. Surat-surat pun tak akan mendapat pengawasan yang ketat dari ayah Ilik seperti ketika masih di Solo.
Ayah Ilik luluh juga ketika anaknya meminta bersekolah di Pasundan. Di tanah Parahyangan ini Kusumodihardjo meninggalkan keluarga. Sebelum menikah dengan ibunya Ilik, ia pernah menikahi perempuan Sunda dan punya anak perempuan. Ibu dan saudara tiri Ilik itu tinggal di Majalengka. Ilik amat menyayangi kakak tirinya itu. Ia berjanji akan menengoknya setiap libur sekolah.
Saking gembiranya, Amir kini sudah berani membumbui sapaan pada Ilik dalam surat dengan satu-dua kata dan kalimat gairah kerinduan. Toh sensor surat sudah tak seketat dulu, bukan? Juga syair. Amir mencantumkan beberapa bait syair dalam surat-suratnya.
Setiap libur sekolah Amir pasti ngabur dari Jakarta. Teman-temannya tak banyak yang tahu ke mana Amir menghilang. Mereka tak tahu Amir berangkat ke Majalengka menemui Ilik di rumah kakaknya. Di sana mereka bercengkrama menumpahkan kerinduan. Percakapan-percakapan yang hanya ditulis dalam surat kini secara leluasa diungkapkan dengan mimik, gestur dan bahasa tubuh yang nyata.
Tak hanya di Majalengka. Amir juga membawa Ilik beberapa kali ke Jakarta. Mereka mampir ke rumah Maria Ulfah yang juga teman mereka semasa di AMS dan masih kerabat dengan Ilik. Ulfah dan Santoso, tunangannya, akrab baik dengan Amir maupun Ilik. Kepada Amir, anak bupati Kuningan ini bahkan belajar private bahasa Indonesia dan Melayu. Ulfah kelak menjadi Menteri Sosial di kabinet Presiden Soekarno.
Dari Lembang Ilik sering membawa oleh-oleh yang mahal dan bagus-bagus untuk Ulfah dan Santoso. "Aih, kami iri hati jadinya," kata Ulfah tergelak. Bagi Ulfah, Amir-Ilik merupakan pasangan yang serasi.
Pertemuan-pertemuan itu sampai juga ke Solo. Kusumodihardjo tak suka anaknya bertemu diam-diam dengan bekas temannya di AMS. Ayah yang ketat ini memperingatkan Ilik agar tak terlalu sering bertemu Amir. Keluarga sudah mencium bau asmara antara dua muda-mudi ini, bukan lagi hubungan bekas teman sekolah yang selalui diakui Ilik.
"Ingat," tulis Kusumodihardjo dalam suratnya, "Amir adalah bangsawan besar Melayu. Dia tak mungkin memilih jodoh orang biasa, Jawa pula. Dia tentu sudah disediakan jodoh di kampungnya, yang setara, yang sekasta."
Kusumodihardjo bukan tak sadar keluarganya juga berdarah ningrat. Tapi bukan ningrat utama seperti Amir. Ilik pun dipanggil pulang saat libur catur wulan. Kusumodihardjo kembali menasihati anak perempuannya itu agar sadar, hubungan mereka tak bakal langgeng. Sebelum patah karena hati sudah terpaut lebih baik putuskan sejak sekarang. Ayah ini meminta anaknya tak lagi membalas surat-surat dari Amir. Ilik hanya menunduk. Sebagai gadis Jawa, ia tak boleh membantah titah ayahanda. Ilik juga tak memberitahu penolakan keluarganya terhadap Amir. Surat-surat pun terus mengalir.
Tak hanya keluarga yang memperingatkan Ilik. Sebagai teman, Ulfah juga pernah menyangsikan hubungan Amir-Ilik. Sama seperti Kusumodihardjo, Ulfah tak yakin Amir tak bakal dijodohkan di kampung halamannya. Tapi diperingatkan dari beragam penjuru, Ilik cuek. Mereka tetap bertemu dan berbalas surat. "Maklumlah, namanya cinta," kata Ulfah.
UNTUK kedua kali kabar duka kembali hinggap di telinga Amir. Keluarga di Langkat memberitahu, ayahnya meninggal dunia, tepat setahun setelah ibunya wafat. Amir kembali murung. Orang tua yang dihormati dan dicintainya meninggal tanpa sempat ditunggui dirinya.
Meninggalnya Tengku Adil membawa persoalan baru bagi Amir. Uang sekolah dan ongkos hidup di Jakarta tak lagi terjamin. Kiriman dari Langkat praktis berhenti sepeninggal ayahnya. Untuk mempertahankan sekolah, Amir mengajar di beberapa sekolah "swasta" seperti Muhammadiyah, Perguruan Rakyat, dan Taman Siswa di Kemayoran. Meski gaji mengajar jauh dari cukup Amir bisa bertahan beberapa bulan dari tambahan honorarium tulisan di majalah.
Surat-surat kepada Ilik pun sudah tak lagi sering. Selain Ilik tak membalas semua surat, ongkos perangko juga tak mudah didapat seperti dulu. Dalam kesulitan keuangan itu Amir berkirim surat ke Langkat. Ia meminta keluarganya mempertimbangkan kelanjutan studi dirinya yang baru separuh jalan. "Jika keluarga tak sanggup menanggung biaya, Amir rela meninggalkan bangku sekolah," ia menulis dalam surat.
Tetapi engkau orang biasa
merana sahaja tiada berguna
malu bertalu kerana aku
ganjil terpencil berpaut terdahulu
Dan kiriman uang itu datang. Sejumlah uang yang cukup untuk mengongkosi hidup beberapa bulan. Surat yang menyertainya menerangkan bahwa uang itu dikirim Sultan Mahmud, pamannya sendiri, adik Tengku Adil. Sultan Mahmud adalah Sultan Langkat yang ketiga. Dibanding sultan-sultan daerah lain di Sumatera, Sultan Mahmud paling kaya karena mendapat bagi hasil pengeboran minyak di bumi Langkat. Pamannya inilah yang siap menanggung seluruh biaya sekolah Amir. Bukan hanya pada Amir, sebenarnya. Sultan-sultan Langkat terdahulu bermurah hati menyekolahkan pemuda-pemuda Langkat hingga ke Universitas Al Azhar di Mesir.
Dalam suratnya Sultan meminta Amir pulang dulu ke Langkat. Ada banyak hal yang ingin dibicarakan, begitu tertulis dalam surat. Ongkos naik kapal sudah disiapkan. Maka Amir pun pulang setelah bertemu kembali dengan Ilik di Lembang dan menceritakan kegembiraan hatinya.
Amir menghadap Sultan dengan sepenuh hormat dan jalan menunduk. Rupanya "banyak hal yang ingin dibicarakan" itu menyangkut syarat-syarat yang harus dipenuhi Amir atas tanggungan biaya sekolah. Sultan meminta kemenakannya itu menggiatkan belajar. Syarat yang tak berat.
Hati Amir berdegup ketika Sultan meminta syarat kedua: ia harus menjauhi organisasi pergerakkan. Juga syarat ketiga: menjauhi perempuan. Rupanya Sultan sedikit tahu hati Amir sudah tertawan seorang perempuan di perantauan. Dua syarat yang makin membuat kicut anak yang tak pernah kepikiran membangkang ini.
Maka Amir berangkat kembali ke Jakarta dengan pikiran lesu. Ia harus menjauhi Poejangga Baru. Juga menjauhi Ilik dengan mengurangi frekuensi kunjungan ke Majalengka atau Lembang. Kepada Takdir, Amir meminta namanya tak dicantumkan sebagai penanggung jawab majalah. Ia hanya ingin ditulis sebagai pembantu tetap. Amir meyibukkan diri dengan belajar.
Beberapa waktu berselang seorang kawannya dari Jepang berkirim surat. W.J.S Poerwodarminto, pelopor penyusun kamus Indonesia yang sedang mengajar bahasa di Negeri Sakura yang terkenal itu, meminta Amir menggantikan posisinya. Poerwo tahu Amir orang yang minatnya kelewat besar pada keajaiban bahasa.
Surat Poerwo berbarengan dengan telegram dari Sultan Mahmud. Telegram yang kian membuat hati Amir kesut. Sultan meminta Amir pulang ke Langkat dan menikah dengan anak sulungnya, Tengku Kamaliah. Astaga, apatah daya hatiku? Kamaliah bukan tak dikenalnya. Tapi sepintas dalam pertemuan-pertemuan keluarga. Ia hanya ingat segaris mata sepupunya itu.
Amir kian bimbang
Ia mengadu kepada kakak sepupunya yang juga sekolah di Jakarta, Tengku Burhan.
"Kenapa kau tak terima saja pekerjaan di Jepang itu," kata Burhan.
"Aku berutang budi kepada Sultan," Amir menukas.
"Kau balaslah budi itu lain waktu," dengan ringan Burhan memberi saran. "Sekarang pikirkanlah dirimu sendiri, Adikku. Berangkatlah ke Jepang, setelah mapan kau datangkan Ilik, lalu kawin. Di sana juga ada orang Islam yang bisa menikahkan kalian."
Ah, alangkah senangnya punya hati seringan Kak Burhan. Amir tidak. Ia tetap berat hati jika menolak permintaan pamannya yang telah banyak jasa itu. Tapi ia juga makin berat jika harus meninggalkan Betawi, apalagi meninggalkan Ilik. Amir pun berangkat ke Lembang, menemui kekasihnya di asrama.
Tak seperti pertemuan sebelumnya, pertemuan kali ini amat hambar. Dua orang muda ini duduk berhadapan saling diam. Ada banyak soal yang ingin disampaikan, tapi tak kurang banyak juga soal yang menghambatnya. Amir tak sampai hati berterus terang tentang pinangan pamannya sendiri. Maka yang keluar hanya kata pamit. Amir akan pulang ke Langkat beberapa saat lalu kembali ke Jakarta untuk urusan keluarga.
TELEGRAM Sultan meminta pulang dilandasi satu berita dari orang Belanda bahwa Amir masih giat dalam organisasi. Ini tentu saja akan mengganggu kestabilan Langkat di kemudian hari jika Amir sudah lulus dan bekerja sebagai pegawai negeri. Agar stabilitas itu tak goncang, Amir harus kembali ke Langkat sebelum sekolahnya usai. Lalu diikat agar ia tak kembali ke Jawa. Sultan tak terlalu memaksa, sebenarnya, apakah Amir harus menikah dengan anaknya. Tapi perkawinan merupakan jalan ampuh agar Amir tetap di Sumatera.
Maka tawaran pernikahan kembali diajukan. Amir tak segera menjawab, ia minta waktu berpikir-pikir. Wajah Ilik kembali membanjir dalam benak Amir.
Kalau hujan turun rintik
laksana air mata jatuh mengalir
itulah kanda teringatkan adik
duduk termenung berhati kuatir
Amir akhirnya menerima tawaran Sultan dengan syarat sekolah harus lulus dan persoalan di Jakarta selesai lebih dulu. Maka terikatlah Amir pada Kamailah dan Kamailah pada Amir. Mereka setengah-resmi jadi suami istri. Pesta perkawinan disiapkan sepulang Amir dari Jakarta.
Di Jakarta Amir bersiap maju ujian sarjana muda. Lalu ia menemui Ilik. Mereka berkeliling ke Surakarta, mengenang masa-masa AMS, berputar-putar di Lembang dan Majalengka sebelum kembali ke Jakarta. Tapi, sepanjang perjalanan-perjalanan itu, Amir tak secuil pun mengungkapkan apa yang terjadi, bahwa ia kini milik Kamaliah, milik orang lain dan Ilik tak lagi punya peluang memilikinya. Amir diam dan berkonsentrasi menikmati kebersamaan akhir dengan "teja bunga seroja" itu.
Ia berkemas. Seluruh buku dan benda-benda ia pak jadi satu. Achdiat tiba-tiba mengetuk pintu. Dalam murung Amir menyerahkan kamus besar Maleisch-Nederland Woordenbook bertarikh 1880 kepada Achdiat. Buku yang lain, catatan-catatan harian, sajak-sajak seni sedih, ia serahkan kepada Takdir. "Tolong jaga ini untuk anak dan istriku," katanya. Sebuah kalimat perpisahan yang getir.
Amir terus berkemas menyiapkan perjalanan dan perpisahan. Tiba-tiba seseorang berseru. "Amir, ada tamu untukmu. Perempuan," seru suara itu. Amir bergegas ke pintu. Ia buka gerendelnya dan Ilik berdiri memegang tas tangan di depannya. Mematung dengan raut sedih. Amir tercekat. Amir memburu hendak memeluk. Tapi ia cuma memegang tangan Ilik yang menunduk. Tak ada suara. Diam.
Keduanya lalu berkeliling Jakarta: ke Pasar Baroe, Gedung Komidi dan bioskop. Keduanya tak sadar saat masuk pintu gedung itu ada sepasang mata lembut yang mengawasi: mata Tengku Kamailah! Mata itu diam. Sediam tubuhnya. Sediam hatinya. Kamailah menyusul Amir ke Jakarta tanpa memberitahu.
PESTA perkawinan tujuh hari tujuh malam digelar di Langkat. 1935. Semua orang bahagia, kecuali Amir. Tak ada senyum biasa yang selalu menghiasi bibir anak muda 24 tahun sepanjang pesta itu. Dan senyum itu, dan keriangan itu, memang lampus sejak itu.
Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku!
Ulurkan tanganmu, tolong aku
Amir menjerit tanpa suara. Semenjerit hati Ilik di Jawa ketika membaca reportase pesta perkawinan itu di sebuah majalah. Hatinya remuk menyaksikan pujaannya bersanding di pelaminan. Sejak itu keceriaannya hilang. Ia sering murung. Menyendiri dan sakit-sakitan. Hingga seorang aktivis PNI, Mr Iskak menyuntingnya.
Di Langkat Amir menjadi asisten residen. Ia menangani bagian ekonomi. Hari berganti dan Kamailah mengandung anak pertama. Semua bersuka cita. Tapi anak pertama ini gugur sebelum lahir. Kamailah harus ekstra hati-hati. Penyakit gula yang dideritanya sejak kecil, penyakit yang membuat badannya jadi subur, membuat bayi tak kuat bertahan di rahimnya.
Anak kedua tumbuh lagi setelah Amir diserahi anak perempuan dari sepupunya. Setelah Kamailah mengandung kembali, si anak di kembalikan dengan diberi nama: Sundari. Anak kedua lahir dengan selamat. Anak perempuan manis yang diberi nama Tengku Tahura.
Kini tiba saatnya, Amir memberi pengakuan. Pengakuan yang sudah diduga. Pengakuan yang tinggal menunggu waktu. Setelah ia menempelkan foto dirinya di album keluarga, di antara foto Ilik dan Kamailah. Di bawah foto Ilik ia menulis: yang kucintai. Di bawah foto Kamailah tertulis: yang kukasihi. Sementara di bawah foto Tahura yang diletakan di bahwa antara foto ayah dan ibunya tercetak: biji mata yang kusayangi.
"Aku tetap mencintai gadis Jawa itu," kata Amir, lirih.
Kamailah diam. Ia sudah tahu dan melihat langsung sosok perempuan yang digandeng suaminya di bioskop itu. Perempuan itu memang cantik, langsing, bermata jernih dan tajam.
"Jemputlah ia ke Jawa dan lamarlah ia pada orang tuanya," kata Kamailah tetap dengan nada lembut. Amir jadi terdiam.
Kamailah lalu membuat rencana pergi haji bertiga ke Mekah. Jika Ilik tak senang dijadikan istri kedua, Kamailah siap tak kembali ke Langkat dan tinggal di Arab bersama Tahura. Biarlah Amir dan Ilik membentuk rumah tangga yang diimpikan mereka. Kamailah sadar ia telah merenggut orang yang dikasihinya ini dari kekasih yang amat dicintainya di tanah seberang.
Tapi tawaran ini tak pernah dilakukan Amir. Ia terus bekerja hingga revolusi sosial mengoyak Langkat, mengoyak tubuh pangeran yang lahir pada 28 Februari 1911 itu dalam pancungan parang mandor kesayangannya sendiri di usia 35. Pada sebuah malam yang kelam, 20 Maret 1946.
Pangeran yang resah itu pergi bersama sayap-sayap cintanya yang patah.
BAGJA HIDAYAT
/1/
Gambar dari http://puisikabur.blogspot.com |
HARI cerah. Halaman sekolah Algemeene Middelbare School riuh. Para siswa berhamburan dari ruang-ruang kelas. Mereka bercengrama riang. Di tengah keramaian jam istirahat itu Amir Hamzah tertegun di muka kelas. Matanya menerawang jauh, menyidik-nyidik, siapakah gadis semampai di kejauhan itu?
Beberapa hari ini sosok gadis itu memenuhi benaknya. Amir pernah melihat sekali wajah oval, kulit coklat, mata jernih dan tajam itu sewaktu berangkat ke sekolah. Mereka berjalan dari arah yang sama. Tapi Amir tidak tahu di mana ia tinggal.
Mata Amir terus menguntit gerak-gerik gadis itu. Sampai gadis itu mendekat, berbicara entah apa dengan beberapa temannya, lalu melempar senyum ketika tiba di depannya. Agak tergeragap Amir membalas senyum itu. Tanpa suara tanpa menyapa. Senyum itu mendekam-membekas dalam benaknya.
Amat bersahaja cempaka bunga
putih arona, hijau nen tempuk
pantas benar suntingan adinda
terlebih pula di sanggul duduk
Mereka bertemu kembali saat pulang sekolah. Juga tetap dalam diam, menyapa hanya dengan raut dan gerak-gerik saja. Mereka mengayuh sepeda ke arah yang sama. Tempat tinggal mereka ternyata tak berjauhan, di sekitar stasiun Balapan. Amir tinggal mondok di rumah KRT Wreksodiningrat bersama beberapa siswa AMS lainnya.
Beberapa kali kesempatan pertemuan itu terus berulang hingga Amir memberanikan diri menyapa gadis itu. Mereka kemudian berkenalan. Ilik Sundari nama gadis periang yang selalu berpakaian sederhana itu. Di sekolah mereka beda kelas meskipun satu angkatan. Ia anak Raden Mas Kusumodihadjo yang rumahnya ternyata tak jauh dari tempat tinggal Amir. Kusumodihardjo seorang ahli agama yang masih ningrat Surakarta. Sejak itu keduanya jadi akrab. Amir menemui Ilik setiap kali istirahat belajar atau pelajaran usai.
Mereka langsung saja cocok. Amir pada dasarnya juga anak muda yang periang. Hanya ia suka menyendiri. Tawanya kerap terdengar menggelegar, selalu punya kelakar dan humor-humor segar jika bercengkarama dengan teman-temannya di perkumpulan Indonesia Muda. Ilik juga ternyata aktif di organisasi itu mewakili Jong Java. Mereka pun kian sering bertemu.
Ketika itu organisasi-organisasi pelajar dibentuk mengatasnamakan daerah. Sebab republik belum lagi tumbuh. Amir, yang berasal dari Langkat, Sumatera Timur, giat di Jong Sumateranen Bond bersama teman-teman sepulau lainnya. Perkumpulan siswa lain datang dari Sulawesi, Minahasa, Ambon dan Jawa sendiri. Mereka sering bertemu dan berkumpul. Amir pernah melontarkan gagasan agar setiap Jong meleburkan diri dan membentuk sebuah organisasi yang memayungi organisasi-organisasi kecil itu. Kelak, gagasan Indonesia Muda meruncing dan melahirkan Sumpah Pemuda pada 1928. Sebuah sumpah yang mengakui Indonesia dalam kesatuan dan integrasi wilayah, bahasa, dan cita-cita.
Perkumpulan, pelajaran di bangku sekolah dari guru-guru Belanda yang liberal, dan diskusi-diskusi di pondokkan, membawa anak-anak muda penuh gelora nasionalisme ini pada satu pemikiran bahwa cita-cita persatuan itu tak akan tumbuh jika tidak ada kesadaran. Kesadaran para intelektual, juga kesadaran yang sama pada orang banyak di luar sekolah. Tapi mereka tahu, kesadaran itu hanya tumbuh jika pikiran terbuka dan bersintuhan dengan dunia luar, lewat buku, lewat bacaan-bacaan. Masyarakat Jawa di pedesaan jelas tak merasakan bangku sekolah yang hanya dimasuki orang-orang mampu saja. Sebagai anak wakil sultan Langkat, Amir sepertinya satu-satunya orang terkaya di AMS Solo. Siasat pun disusun. Mereka harus turun ke desa-desa menemui para petani mengenalkan huruf agar mereka bisa membaca.
Tapi gagasan ini sudah lebih dulu dilakukan organisasi Ilik di Jong Java. Amir makin punya kesempatan. Di antara kesibukannya belajar, menulis untuk berkala Garuda Merapi, berhimpun dalam organisasi, Amir menyelangnya dengan menyelinap ke desa-desa di Solo. Bersama Ilik, mengajari para petani yang buta huruf itu makin terasa menyenangkan. Dua orang muda ini, dengan keriangan remaja, dengan semangat membara ditingkahi sedikit asmara, kesibukan yang menyedot energi itu berjalin penuh gelora.
Banyak siswa AMS yang iri melihat hubungan dua orang ini. Tak ada orang lain yang mampu menyelip di antara kerapatan mereka. Di mana ada Ilik di situ pula ada Amir. Ke mana Amir pergi, Ilik ada di sampingnya. Tapi hubungan yang akrab itu tak membuat orang lain sebal karena kecengengan hubungan remaja yang manja. Hubungan Amir-Ilik tak menyolok berlebih-lebihan dan ingin dilihat orang-orang. Hubungan ini terlihat elegan, pertemuan dua bangsawan yang masih menyimpan aristokrasi Jawa dan Melayu dengan bumbu Eropa. Inilah sumber keirian dan kecemburuan siswa-siswa AMS atas hubungan Amir-Ilik.
Suatu kali AMS mengadakan pertunjukan drama. Armijn Pane ditunjuk sebagai penyusun naskah. Tema yang dipilih adalah soal adat untuk menyadarkan orang banyak bahwa adat tak selalu mengekang. Maka lakon Siti Nurbaya dipilih Armijn yang ia sadur dari novel terkenal Marah Rusli itu. Amir terpilih memerankan Syamsul Bahri. Dan peran Siti Nurbaya jatuh pada Ilik Sundari yang pada beberapa hal punya kecocokan sifat dan karakter.
Pentas drama di gedung Schouwburg itu berlangsung meriah. Dari bangku penonton Achdiat Kartamihardja berdecak kagum. "Sungguh mengagumkan permainan Amir itu!" bisiknya. "Ia hanyut dalam inspirasi, sehingga teks tak mencukupinya lagi." Achdiat tak tahu kesempurnaan Amir memerankan Syamsul Bahri karena dilakukan sepenuh hati, segenap jiwa dan cinta yang sebenar-benarnya kepada Siti Nurbaya, kepada Ilik Sundari. Amir dan Syamsul menyatu sebagai dua sosok yang tak lagi bisa dibedakan antara cerita dan alam nyata.
Bakat Amir dalam seni peran ini tak menonjol hari-hari kemudian. Ia lebih suka menulis sajak meski masih jarang dipublikasikan. Achdiat terkejut kedua kali ketika tahu kawan baiknya yang suka berkelakar itu menulis sajak tentang kerinduan dan kesunyian. "Kau menulis puisi juga?" tanya Achdiat.
"Ya."
"Dalam apa kau menulis puisi?"
"Tentu dalam bahasa Indonesia," jawab Amir.
"Kau menulis dalam bahasa Indonesia?" pemuda dari Bandung itu kian terbengong-bengong.
"Habis dalam bahasa apa aku harus berlagu?"
Menulis dalam Indonesia adalah sebuah kemustahilan waktu itu. Para pemuda dan pelajar lebih senang menyampaikan gagasan melalui bahasa Belanda. Bahasa Indonesia masih sebuah bahasa yang asing. Majalah Timboel yang dibaca luas di kalangan pelajar masih separuh memakai Indonesia dan separuhnya Belanda. Hanya Mohamad Yamin dan Sanusi Pane yang mulai menulis dalam Indonesia.
Achdiat makin tercengang setelah membaca sajak-sajak Amir. "Kau sangat pandai menyusun kata-kata menjadi rangkaian yang merdu," katanya. Ia memuji karena sajak Amir menggabungkan dua kekuatan anasir puisi dengan tepat: suara dan kiasan. Sehingga puisinya terasa kuat dalam bangunan imaji maupun ide-idenya. Selain Melayu sebagai bahasa-ibu, Amir dengan ringan menukil kosakata Jawa, Sansekerta, dan Kawi ke dalam sajak-sajaknya.
Pujian teman dan hubungan yang kian mesra dengan Ilik pecah oleh kabar dari kampung. Ayahnya, Tengku Muhamad Adil, mengirim telegram bahwa ibunya, Tengku Mahjiwa, sakit keras. Hati Amir remuk. Ia ingin hari itu juga berangkat ke Langkat agar masih bisa melihat ibunya untuk terakhir kali. Tapi hari ujian sudah dekat. Amir harus memilih: tertinggal dalam pelajaran atau menumui ibunya. Pilihan yang amat berat. Amir memilih yang kedua. Ia yakin ibunya akan merestui pilihannya itu. Ibunya yang kerap muncul dalam sajak-sajaknya sebagai salah satu orang yang paling ia cintai selalu menekankan belajar dan mendorong dirinya bersekolah.
Buah hati jauh permainan mata
hendak diseru suara tak daya
hendak dipanggil kuasa taala
duduklah bonda berhati iba...
/2/
SOLO 1931.
AMIR lulus dengan nilai baik. Ia berkemas-kemas dan bersiap mendaftarkan diri pada Recht Hogere School di Betawi—sekolah ini menjadi cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Sekolah hakim tinggi itu dipilihnya untuk mendapat gelar sarjana. Ia memberi kabar ke kampung soal pilihannya. Tengku Adil merestui sekolah yang akan dituju anaknya itu.
Tentu saja ini ikhtiar yang agak berat. Ia harus berpisah dari Ilik yang belum menentukan pilihan sekolah selepas lulus dari AMS. Ayahnya belum memberi sinyal ke mana anak perempuannya itu melanjutkan studi. Amir dan Ilik saling berjanji bercakap melalui surat.
Amir berangkat dari Solo naik kereta bersama beberapa temannya. Dua lainnya langsung berlayar ke Medan dari Tanjungpriok. Sedangkan Amir mampir ke sekolah hakim di Kramat Raya. Amir mencatatkan diri sebagai siswa di sana dan mencari tempat tinggal di Laan Holle yang kini bernama Jalan Sabang.
Setelah semua persiapan selesai, Amir berangkat ke Langkat. Menemui ibu yang sudah lama diimpikannya. Ibu yang hanya bisa ditemui batu nisannya karena sakit itu telah merenggut jiwa dari dunia. Amir terpekur di makam ibunya. Tapi ia tak boleh larut. Cita-cita pergerakkan, kerinduan pada Ilik, kecintaannya pada gelora nasionalisme telah membakarnya tetap tegar. Ia harus bangkit dan kembali ke Jakarta untuk menyerap pengetahuan.
/3/
DI Jakarta Amir semakin giat. Ia kian jauh terlibat dalam pergerakkan. Bersama teman-temannya yang kelak memimpin negara dan pelopor pembebasan bayi republik dari cengkraman penjajah mengasah ide dan merumuskan masa depan. Banyak nama yang bisa disebut seperti Asaat, Hatta, Wilopo, Soebardjo, Yamin yang aktif di Indonesia Muda. Organisasi ini kini tak lagi gabungan dari organisasi-organisasi kedaerahan, tapi perkumpulan pelajar dari pelbagai sekolah: AMS, RHS, bahkan THS dari Bandung. Anak-anak muda menjadikan Gedung Kramat 106 yang kini terlihat mengkhawatirkan berdebat mematangkan gagasan.
Amir tak meninggalkan kebiasaanya menulis rutin di majalah Timboel. Di Jakarta ini pula ia berkenalan dengan Sutan Takdir Alisjahbana, yang dikenalkan Armijn Pane. Sementara pemuda lain memikirkan bergerak secara politik melawan Belanda, tiga pemuda ini berbincang mengenai kebudayaan.
Perbincangan yang alot itu sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat perlu sebuah media yang menyerukan bentuk kebudayaan Indonesia. Pada 1933 sebuah wadah kebudayaan diproklamasikan dalam nama Poejangga Baroe. Majalah dengan nama yang sama terbit pertama kali pada Juli 1933.
Para penyair dan penulis dari pelbagai daerah berkumpul di sini dan mengisi majalah. Ada J.E Tatengkeng yang menulis sajak dengan semangat Nasrani; Amir, Yamin dan Ali Hasjmi yang bernapas Islam. Dalam ranah prosa, ada Sanusi dan Armijn Pane serta Takdir yang berkilau menulis dalam Melayu.
Dalam kesibukan belajar dan organisasi, sebuah kabar baik datang ke Jakarta. Dari Solo Ilik memberitahu bahwa ia akan segera berangkat ke Lembang untuk belajar menjadi guru di Hogere Kweekschool. Bukan main girang hati Amir. Meski tetap ada jarak, tapi bentangan itu kian susut. Lembang-Jakarta bisa ditempuh dalam sekejap. Surat-surat pun tak akan mendapat pengawasan yang ketat dari ayah Ilik seperti ketika masih di Solo.
Ayah Ilik luluh juga ketika anaknya meminta bersekolah di Pasundan. Di tanah Parahyangan ini Kusumodihardjo meninggalkan keluarga. Sebelum menikah dengan ibunya Ilik, ia pernah menikahi perempuan Sunda dan punya anak perempuan. Ibu dan saudara tiri Ilik itu tinggal di Majalengka. Ilik amat menyayangi kakak tirinya itu. Ia berjanji akan menengoknya setiap libur sekolah.
Saking gembiranya, Amir kini sudah berani membumbui sapaan pada Ilik dalam surat dengan satu-dua kata dan kalimat gairah kerinduan. Toh sensor surat sudah tak seketat dulu, bukan? Juga syair. Amir mencantumkan beberapa bait syair dalam surat-suratnya.
Setiap libur sekolah Amir pasti ngabur dari Jakarta. Teman-temannya tak banyak yang tahu ke mana Amir menghilang. Mereka tak tahu Amir berangkat ke Majalengka menemui Ilik di rumah kakaknya. Di sana mereka bercengkrama menumpahkan kerinduan. Percakapan-percakapan yang hanya ditulis dalam surat kini secara leluasa diungkapkan dengan mimik, gestur dan bahasa tubuh yang nyata.
Tak hanya di Majalengka. Amir juga membawa Ilik beberapa kali ke Jakarta. Mereka mampir ke rumah Maria Ulfah yang juga teman mereka semasa di AMS dan masih kerabat dengan Ilik. Ulfah dan Santoso, tunangannya, akrab baik dengan Amir maupun Ilik. Kepada Amir, anak bupati Kuningan ini bahkan belajar private bahasa Indonesia dan Melayu. Ulfah kelak menjadi Menteri Sosial di kabinet Presiden Soekarno.
Dari Lembang Ilik sering membawa oleh-oleh yang mahal dan bagus-bagus untuk Ulfah dan Santoso. "Aih, kami iri hati jadinya," kata Ulfah tergelak. Bagi Ulfah, Amir-Ilik merupakan pasangan yang serasi.
Pertemuan-pertemuan itu sampai juga ke Solo. Kusumodihardjo tak suka anaknya bertemu diam-diam dengan bekas temannya di AMS. Ayah yang ketat ini memperingatkan Ilik agar tak terlalu sering bertemu Amir. Keluarga sudah mencium bau asmara antara dua muda-mudi ini, bukan lagi hubungan bekas teman sekolah yang selalui diakui Ilik.
"Ingat," tulis Kusumodihardjo dalam suratnya, "Amir adalah bangsawan besar Melayu. Dia tak mungkin memilih jodoh orang biasa, Jawa pula. Dia tentu sudah disediakan jodoh di kampungnya, yang setara, yang sekasta."
Kusumodihardjo bukan tak sadar keluarganya juga berdarah ningrat. Tapi bukan ningrat utama seperti Amir. Ilik pun dipanggil pulang saat libur catur wulan. Kusumodihardjo kembali menasihati anak perempuannya itu agar sadar, hubungan mereka tak bakal langgeng. Sebelum patah karena hati sudah terpaut lebih baik putuskan sejak sekarang. Ayah ini meminta anaknya tak lagi membalas surat-surat dari Amir. Ilik hanya menunduk. Sebagai gadis Jawa, ia tak boleh membantah titah ayahanda. Ilik juga tak memberitahu penolakan keluarganya terhadap Amir. Surat-surat pun terus mengalir.
Tak hanya keluarga yang memperingatkan Ilik. Sebagai teman, Ulfah juga pernah menyangsikan hubungan Amir-Ilik. Sama seperti Kusumodihardjo, Ulfah tak yakin Amir tak bakal dijodohkan di kampung halamannya. Tapi diperingatkan dari beragam penjuru, Ilik cuek. Mereka tetap bertemu dan berbalas surat. "Maklumlah, namanya cinta," kata Ulfah.
/4/
UNTUK kedua kali kabar duka kembali hinggap di telinga Amir. Keluarga di Langkat memberitahu, ayahnya meninggal dunia, tepat setahun setelah ibunya wafat. Amir kembali murung. Orang tua yang dihormati dan dicintainya meninggal tanpa sempat ditunggui dirinya.
Meninggalnya Tengku Adil membawa persoalan baru bagi Amir. Uang sekolah dan ongkos hidup di Jakarta tak lagi terjamin. Kiriman dari Langkat praktis berhenti sepeninggal ayahnya. Untuk mempertahankan sekolah, Amir mengajar di beberapa sekolah "swasta" seperti Muhammadiyah, Perguruan Rakyat, dan Taman Siswa di Kemayoran. Meski gaji mengajar jauh dari cukup Amir bisa bertahan beberapa bulan dari tambahan honorarium tulisan di majalah.
Surat-surat kepada Ilik pun sudah tak lagi sering. Selain Ilik tak membalas semua surat, ongkos perangko juga tak mudah didapat seperti dulu. Dalam kesulitan keuangan itu Amir berkirim surat ke Langkat. Ia meminta keluarganya mempertimbangkan kelanjutan studi dirinya yang baru separuh jalan. "Jika keluarga tak sanggup menanggung biaya, Amir rela meninggalkan bangku sekolah," ia menulis dalam surat.
Tetapi engkau orang biasa
merana sahaja tiada berguna
malu bertalu kerana aku
ganjil terpencil berpaut terdahulu
Dan kiriman uang itu datang. Sejumlah uang yang cukup untuk mengongkosi hidup beberapa bulan. Surat yang menyertainya menerangkan bahwa uang itu dikirim Sultan Mahmud, pamannya sendiri, adik Tengku Adil. Sultan Mahmud adalah Sultan Langkat yang ketiga. Dibanding sultan-sultan daerah lain di Sumatera, Sultan Mahmud paling kaya karena mendapat bagi hasil pengeboran minyak di bumi Langkat. Pamannya inilah yang siap menanggung seluruh biaya sekolah Amir. Bukan hanya pada Amir, sebenarnya. Sultan-sultan Langkat terdahulu bermurah hati menyekolahkan pemuda-pemuda Langkat hingga ke Universitas Al Azhar di Mesir.
Dalam suratnya Sultan meminta Amir pulang dulu ke Langkat. Ada banyak hal yang ingin dibicarakan, begitu tertulis dalam surat. Ongkos naik kapal sudah disiapkan. Maka Amir pun pulang setelah bertemu kembali dengan Ilik di Lembang dan menceritakan kegembiraan hatinya.
Amir menghadap Sultan dengan sepenuh hormat dan jalan menunduk. Rupanya "banyak hal yang ingin dibicarakan" itu menyangkut syarat-syarat yang harus dipenuhi Amir atas tanggungan biaya sekolah. Sultan meminta kemenakannya itu menggiatkan belajar. Syarat yang tak berat.
Hati Amir berdegup ketika Sultan meminta syarat kedua: ia harus menjauhi organisasi pergerakkan. Juga syarat ketiga: menjauhi perempuan. Rupanya Sultan sedikit tahu hati Amir sudah tertawan seorang perempuan di perantauan. Dua syarat yang makin membuat kicut anak yang tak pernah kepikiran membangkang ini.
Maka Amir berangkat kembali ke Jakarta dengan pikiran lesu. Ia harus menjauhi Poejangga Baru. Juga menjauhi Ilik dengan mengurangi frekuensi kunjungan ke Majalengka atau Lembang. Kepada Takdir, Amir meminta namanya tak dicantumkan sebagai penanggung jawab majalah. Ia hanya ingin ditulis sebagai pembantu tetap. Amir meyibukkan diri dengan belajar.
Beberapa waktu berselang seorang kawannya dari Jepang berkirim surat. W.J.S Poerwodarminto, pelopor penyusun kamus Indonesia yang sedang mengajar bahasa di Negeri Sakura yang terkenal itu, meminta Amir menggantikan posisinya. Poerwo tahu Amir orang yang minatnya kelewat besar pada keajaiban bahasa.
Surat Poerwo berbarengan dengan telegram dari Sultan Mahmud. Telegram yang kian membuat hati Amir kesut. Sultan meminta Amir pulang ke Langkat dan menikah dengan anak sulungnya, Tengku Kamaliah. Astaga, apatah daya hatiku? Kamaliah bukan tak dikenalnya. Tapi sepintas dalam pertemuan-pertemuan keluarga. Ia hanya ingat segaris mata sepupunya itu.
Amir kian bimbang
Ia mengadu kepada kakak sepupunya yang juga sekolah di Jakarta, Tengku Burhan.
"Kenapa kau tak terima saja pekerjaan di Jepang itu," kata Burhan.
"Aku berutang budi kepada Sultan," Amir menukas.
"Kau balaslah budi itu lain waktu," dengan ringan Burhan memberi saran. "Sekarang pikirkanlah dirimu sendiri, Adikku. Berangkatlah ke Jepang, setelah mapan kau datangkan Ilik, lalu kawin. Di sana juga ada orang Islam yang bisa menikahkan kalian."
Ah, alangkah senangnya punya hati seringan Kak Burhan. Amir tidak. Ia tetap berat hati jika menolak permintaan pamannya yang telah banyak jasa itu. Tapi ia juga makin berat jika harus meninggalkan Betawi, apalagi meninggalkan Ilik. Amir pun berangkat ke Lembang, menemui kekasihnya di asrama.
Tak seperti pertemuan sebelumnya, pertemuan kali ini amat hambar. Dua orang muda ini duduk berhadapan saling diam. Ada banyak soal yang ingin disampaikan, tapi tak kurang banyak juga soal yang menghambatnya. Amir tak sampai hati berterus terang tentang pinangan pamannya sendiri. Maka yang keluar hanya kata pamit. Amir akan pulang ke Langkat beberapa saat lalu kembali ke Jakarta untuk urusan keluarga.
/5/
TELEGRAM Sultan meminta pulang dilandasi satu berita dari orang Belanda bahwa Amir masih giat dalam organisasi. Ini tentu saja akan mengganggu kestabilan Langkat di kemudian hari jika Amir sudah lulus dan bekerja sebagai pegawai negeri. Agar stabilitas itu tak goncang, Amir harus kembali ke Langkat sebelum sekolahnya usai. Lalu diikat agar ia tak kembali ke Jawa. Sultan tak terlalu memaksa, sebenarnya, apakah Amir harus menikah dengan anaknya. Tapi perkawinan merupakan jalan ampuh agar Amir tetap di Sumatera.
Maka tawaran pernikahan kembali diajukan. Amir tak segera menjawab, ia minta waktu berpikir-pikir. Wajah Ilik kembali membanjir dalam benak Amir.
Kalau hujan turun rintik
laksana air mata jatuh mengalir
itulah kanda teringatkan adik
duduk termenung berhati kuatir
Amir akhirnya menerima tawaran Sultan dengan syarat sekolah harus lulus dan persoalan di Jakarta selesai lebih dulu. Maka terikatlah Amir pada Kamailah dan Kamailah pada Amir. Mereka setengah-resmi jadi suami istri. Pesta perkawinan disiapkan sepulang Amir dari Jakarta.
Di Jakarta Amir bersiap maju ujian sarjana muda. Lalu ia menemui Ilik. Mereka berkeliling ke Surakarta, mengenang masa-masa AMS, berputar-putar di Lembang dan Majalengka sebelum kembali ke Jakarta. Tapi, sepanjang perjalanan-perjalanan itu, Amir tak secuil pun mengungkapkan apa yang terjadi, bahwa ia kini milik Kamaliah, milik orang lain dan Ilik tak lagi punya peluang memilikinya. Amir diam dan berkonsentrasi menikmati kebersamaan akhir dengan "teja bunga seroja" itu.
Ia berkemas. Seluruh buku dan benda-benda ia pak jadi satu. Achdiat tiba-tiba mengetuk pintu. Dalam murung Amir menyerahkan kamus besar Maleisch-Nederland Woordenbook bertarikh 1880 kepada Achdiat. Buku yang lain, catatan-catatan harian, sajak-sajak seni sedih, ia serahkan kepada Takdir. "Tolong jaga ini untuk anak dan istriku," katanya. Sebuah kalimat perpisahan yang getir.
Amir terus berkemas menyiapkan perjalanan dan perpisahan. Tiba-tiba seseorang berseru. "Amir, ada tamu untukmu. Perempuan," seru suara itu. Amir bergegas ke pintu. Ia buka gerendelnya dan Ilik berdiri memegang tas tangan di depannya. Mematung dengan raut sedih. Amir tercekat. Amir memburu hendak memeluk. Tapi ia cuma memegang tangan Ilik yang menunduk. Tak ada suara. Diam.
Keduanya lalu berkeliling Jakarta: ke Pasar Baroe, Gedung Komidi dan bioskop. Keduanya tak sadar saat masuk pintu gedung itu ada sepasang mata lembut yang mengawasi: mata Tengku Kamailah! Mata itu diam. Sediam tubuhnya. Sediam hatinya. Kamailah menyusul Amir ke Jakarta tanpa memberitahu.
/6/
PESTA perkawinan tujuh hari tujuh malam digelar di Langkat. 1935. Semua orang bahagia, kecuali Amir. Tak ada senyum biasa yang selalu menghiasi bibir anak muda 24 tahun sepanjang pesta itu. Dan senyum itu, dan keriangan itu, memang lampus sejak itu.
Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku!
Ulurkan tanganmu, tolong aku
Amir menjerit tanpa suara. Semenjerit hati Ilik di Jawa ketika membaca reportase pesta perkawinan itu di sebuah majalah. Hatinya remuk menyaksikan pujaannya bersanding di pelaminan. Sejak itu keceriaannya hilang. Ia sering murung. Menyendiri dan sakit-sakitan. Hingga seorang aktivis PNI, Mr Iskak menyuntingnya.
Di Langkat Amir menjadi asisten residen. Ia menangani bagian ekonomi. Hari berganti dan Kamailah mengandung anak pertama. Semua bersuka cita. Tapi anak pertama ini gugur sebelum lahir. Kamailah harus ekstra hati-hati. Penyakit gula yang dideritanya sejak kecil, penyakit yang membuat badannya jadi subur, membuat bayi tak kuat bertahan di rahimnya.
Anak kedua tumbuh lagi setelah Amir diserahi anak perempuan dari sepupunya. Setelah Kamailah mengandung kembali, si anak di kembalikan dengan diberi nama: Sundari. Anak kedua lahir dengan selamat. Anak perempuan manis yang diberi nama Tengku Tahura.
Kini tiba saatnya, Amir memberi pengakuan. Pengakuan yang sudah diduga. Pengakuan yang tinggal menunggu waktu. Setelah ia menempelkan foto dirinya di album keluarga, di antara foto Ilik dan Kamailah. Di bawah foto Ilik ia menulis: yang kucintai. Di bawah foto Kamailah tertulis: yang kukasihi. Sementara di bawah foto Tahura yang diletakan di bahwa antara foto ayah dan ibunya tercetak: biji mata yang kusayangi.
"Aku tetap mencintai gadis Jawa itu," kata Amir, lirih.
Kamailah diam. Ia sudah tahu dan melihat langsung sosok perempuan yang digandeng suaminya di bioskop itu. Perempuan itu memang cantik, langsing, bermata jernih dan tajam.
"Jemputlah ia ke Jawa dan lamarlah ia pada orang tuanya," kata Kamailah tetap dengan nada lembut. Amir jadi terdiam.
Kamailah lalu membuat rencana pergi haji bertiga ke Mekah. Jika Ilik tak senang dijadikan istri kedua, Kamailah siap tak kembali ke Langkat dan tinggal di Arab bersama Tahura. Biarlah Amir dan Ilik membentuk rumah tangga yang diimpikan mereka. Kamailah sadar ia telah merenggut orang yang dikasihinya ini dari kekasih yang amat dicintainya di tanah seberang.
Tapi tawaran ini tak pernah dilakukan Amir. Ia terus bekerja hingga revolusi sosial mengoyak Langkat, mengoyak tubuh pangeran yang lahir pada 28 Februari 1911 itu dalam pancungan parang mandor kesayangannya sendiri di usia 35. Pada sebuah malam yang kelam, 20 Maret 1946.
Pangeran yang resah itu pergi bersama sayap-sayap cintanya yang patah.
BAGJA HIDAYAT