Sunday, December 22, 2002

PADA KEMATIAN KAKEK (1)

Kematian mengendap-endap. Mungkin ia sudah berdiri di pintu, tapi tak jadi mengetuk. Kulihat ia menyelinap di balik bunga-bunga di teras. Mengendap ke samping rumah. Ia menghindari temaram bohlam yang kupasang di sudut atap.

"Jemputlah, jangan ragu," dia berbisik dengan erang nafas yang tak bisa diatur lagi. Udara tak lagi terpompa ritmis dari paru-paru yang dirobek hembusan asap tiap detik sepanjang 70 tahun hidupnya. "Jemputlah, aku sudah siap," suaranya bergema.

Ia mungkin ragu. Aku tak bisa menangkap jelas raut apa gerangan di balik wajah kematian yang tak nampak. "Jemputlah dia. Aku akan meneruskan sisa hidupnya," aku berbisik. Kuharap ia mendengar, agar kakekku tak menderita dengan keraguannya.

LAKI-LAKI PENUNGGU MALAM



Laki-laki penunggu malam, kapan kau berbaring, tidur untuk tubuhmu?

Saya selalu ingin mengatakan kalimat itu tiap kali berpapasan dengan laki-laki penunggu malam, yang duduk di sebuah simpang jalan dengan rutinitas yang absurd. Dia duduk di bangku satu kaki yang camping sandarannya. Membuka kancing baju bagian atas lalu mengayunkan robekan kardus bekas untuk mengundang angin. Adakah angin malam yang membuat kau selalu merindu?

Dia muncul tiap kali malam mulai menjelang, yaitu sekitar pukul 21.00. Tiba-tiba saja. Tak pernah diketahui dari mana ia datang. Dekat pos ronda, yang kosong ditinggalkan para penjudi seceng, dia selalu duduk dengan raut yang tak pernah bisa kutebak. Temaram lampu dari sudut pagar rumah di depannya tak mampu menyiram dan mengabarkan sesuatu di balik wajah laki-laki penunggu malam.

Dia selalu menghadap ke Barat. Punggungnya yang ringkih sedikit saja disandarkan pada sisa sandaran kursi yang camping itu. Sementara dua kakinya, yang terbungkus sepatu karet hitam, dibuka agak lebar untuk menahan tubuhnya agar tak goyah. Tangan kanannya, bergantian dengan tangan kiri, mengayunkan sobekan kardus tak henti-henti.

Dia agak gemuk. Rambut yang mulai rontok tapi masih hitam di usia yang kutebak tak lebih dari 40 tahun itu. Hidungnya bulat. Di keningnya, raut-raut ketuaan tak bisa disembunyikan di balik wajah tanpa ekspresi itu. Pipinya agak tembem, sehingga kerut di kedua sisi hidungnya membentuk lipatan simetris hingga ke ujung bibir. Perutnya juga membuncit.

Saya pernah lihat dia berjalan. Kakinya tampak berat melangkah, sehingga ayunan langkahnya membuat tubuhnya bergoyang ke kiri dan kanan. Lalu duduk lagi, mengayunkan sobekan kardus itu lagi. Mengundang angin Jakarta yang langka digerus polusi dan udara yang menipis. Laki-laki penunggu malam, dia tahu batas malam dan pagi, juga ketepatan gerah udara.