Wednesday, September 28, 2005

KEBAIKAN YANG TERCECER DI JALANAN



Barangkali sudah separuh umur saya habiskan untuk berusaha melawan lupa. Dan lupa itu pula yang sering membawa pada sengsara. Pekan lalu kunci rumah lupa terbawa dari Badarlampung sehingga saya harus mondok di kantor. Siang tadi saya lupa mengisi bensin sepeda motor. Dan, aha, saya harus banyak mengeluarkan keringat mendorong sepeda itu dari Monas ke Departemen Keuangan.

Tapi selalu ada kebaikan yang tercecer di jalanan.

Betatapun jalanan Jakarta begitu absurd untuk urusan tolong menolong. Di kereta, orang-orang akan cuek padahal ada satu penumpangnya yang sedang dirampok. Ada banyak penunggang sepeda motor yang menyalip sembarangan, menerobos lampu merah dan merampas hak pejalan di trotoar. Tak sedikit juga raung klakson dari mobil-mobil yang was-was terserempet. Supir yang menghentikan mikrolet tanpa lampu sen atau penyebrang yang tak lihat kiri-kanan.

Dan dia tiba-tiba saja sudah ada di depan saya. Bertanya kenapa saya mendorong sepeda begitu rupa. Lalu menawarkan jasa. "Saya derek," katanya, "ada pom bensin di belakang gedung itu." Tangannya menunjuk. Saya yang sudah kelelahan mendorong sepeda dalam ngentab udara Jakarta sepanjang dua kilometer, mengangguk begitu saja.

Pelan-pelan dia menderek sepeda saya. Kaki hilang pegal. Napas mulai teratur di sadel itu. Pom bensin sudah terlihat. Harus antri. Rasanya, tak ada pom bensin yang tak dipenuhi para pengendara. Seandainya SBY tahu, dan ia ikut ngantri di sana, mungkin dia akan semakin bimbang memutuskan menaikkan harga bensin. Para pengendara itu sabar mengantri, hilang waktu, ditambah harga yang melangit tanggal 1 Oktober nanti. Siapa yang tidak makin gerah?

Dia pamit. Mau ke Senen, katanya. Itu jurusan yang perlu memutar lagi di Pasar Baru. Saya berkali-kali bilang terima kasih. Rasanya, kata itu belum cukup mengganti pertolongan yang sudah ia keluarkan. Dia tancap gas setelah mengangguk. Saya lupa tanya nama, bahkan tak tahu rupa karena helm pun ia tak membuka.

Saat ngantri yang panjang itu saya bersyukur entah untuk apa. Untuk sejumlah tenaga yang tak jadi dikeluarkan atau karena ada orang yang begitu ikhlas mau membantu orang lain. Mungkin kedua-duanya. Moment bersyukur kadang-kadang memang datang tiba-tiba. Seringkali itu terjadi ketika kita takjub oleh sesuatu yang kita pikirkan tak ada.

Seperti di sebuah ATM di Mayestik beberapa bulan silam. Ada anak SMA yang berlari-lari mengejar seorang bapak karena kartu ATM-nya masih tersangkut di mesin itu. Saya lihat, bapak itu begitu saja menerima kartu dari tangan anak muda itu. Mungkin ia buru-buru mau menyebrang. Padahal, ketika kartu ATM saya hilang ditelan mesin, mengurus mengeluarkan duit dari rekeningnya begitu menjengkelkan. Bahkan perlu izin tak kerja satu hari. Bapak itu mungkin sadar telah ditolong, hanya tak sempat bilang terima kasih. Mungkin sama takjub, ada orang lain yang mau rela mencegah dirinya tak bertemu susah.

Jakarta, betapapun asing dan anehnya kota ini, masih menyimpan hal-hal yang wajar. Hal yang lumrah dilakukan penduduknya, tapi jadi terasa kian aneh. Kebaikan itu [ternyata] masih tercecer di sudut-sudutnya. Atau, absurditas kota hanya ada di benak kita saja?

Tuesday, September 20, 2005

LAKI-LAKI TUA DAN UUD



Umurnya 77. Setahun lebih tua dari umur meninggal kakek saya. Punggungnya sudah bungkuk, gigi serinya tinggal satu. Sehingga kalau ngomong tedengar pelo. Tapi kulitnya bersih. Dan ini yang penting : dia bisa mengurai teori ekonomi sambil tertawa.

Saya ketemu dengan dia di balkon ruang rapat Komisi Keuangan DPR. Dia yang menghampiri, dan kami begitu saja ngobrol. Dia mengaku baru menyerahkan sebuah surat seruan ke DPR. Surat yang meminta "DPR dan pemerintah kembali ke ekonomi Undang-Undang Dasar 1945." Bagi dia, praktek ekonomi sekarang sudah tak beda dengan paham liberalisme dan kapitalisme. Aduh...

Dan, astaga, ia mengutip John Maynard Keynes. Karena Keynes-lah, kata bapak tua ini, kita jadi sengsara. Sebab teori Keynes soal uang, bunga dan tenaga kerja itu yang telah melahirkan kapitalisme dan liberalisme. Pemerintah ogah campur tangan mengurus hidup rakyatnya, malah menyembah-nyembah mencari utang. Orang dibiarkan berusaha mencari penghidupan sendiri. Sehingga sedikit ada orang kaya dan lebih banyak orang miskin karena mereka tak punya uang.

Karena Keynes pula, harga minyak akan disesuaikan dengan harga di pasar. Subsidi akan dicabut. Dengan kata lain, pemerintah ogah menyediakan kebutuhan rakyatnya dengan harga murah. "Ini menyimpang dari UUD 1945," ia berseru. UUD, menurut dia, sudah menyuruh pemerintah "memanfaatkan sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

Menurut bapak tua yang mengaku cuma tamat SMA ini, Indonesia jadi terlihat sebagai negeri yang aneh. Dasar negaranya memanjakan rakyat tapi prateknya malah ingin menjauhi rakyat.

"Wah, bapak pendukung sosialisme, ya?" kata saya.
"Bukan!" ia menoleh ke arah saya. "Saya katakan, ini ekonomi UUD 1945." Saya diam.

Ia terus saja ngomong, tak memberi kesempatan saya menimpali. Terus dan terus, hingga rapat selesai. Saya berdiri hendak pamit. Ia merogoh saku celananya dan menyodorkan kartu nama. "Siapa tahu perlu." Saya mengangguk. Tapi, baiknya, namanya tak usah ditulis di sini. Karena di DPR, orang seperti bapak tua ini banyak sekali, entah datang dari mana.

Sunday, September 11, 2005

11 SEPTEMBER



Empat tahun lalu, tanggal ini bikin geger, lalu kini dikenang. Barangkali sebutan 11/9 atau 9/11 jadi generik. Setiap mengingat tanggal ini, orang akan menghubungkannya dengan horor yang tak ada bandingannya.

Tapi kini kita makin merasa, 11 September adalah awal malapetaka di mana-mana. Kita, seolah-olah diigiring atau makin mengiyakan nujum Samuel Huntington bahwa inilah abad peperangan Islam vs Barat. Bukankah, ketika dia meramalkan itu lebih dari 10 tahun lalu, kita sangsi adakah ramalan itu benar. Dan ramalan itu benar, bukan karena perhitungannya yang mantap, tapi karena kita gagal mencegahnya.

Dalam pidatonya, 9 jam setelah kejadian--dari film Fahrenheit 9/11 kita tahu, Presiden Bush tak cepat tanggap mendapat serangan sangat mendadak itu--Bush berkata, "Mulai sekarang dunia akan berbeda". Berbeda, paling tidak tak ada lagi menara kembar hampir setengah kilometer menjulang di langit New York. Dan kita tahu, dunia memang berbeda, karena Bush menyerbu Afghanistan yang tak tahu apa-apa lalu Irak dengan alasan yang mengada-ada. Para pembisik presiden memang orang-orang yang mengganggukan kepala pada Huntington lalu paranoid di tengah mimpi menguasai minyak.

Dan dunia makin tak menentu setelah itu. Bencana rasanya datang bertubi-tubi. Langsung maupun tak langsung kepada kita : minyak langka, listrik padam tiba-tiba, rupiah jadi loyo, kebutuhan makin mahal, kita makin susah. Kita masih was-was, suatu kali bom meledak tiba-tiba di tempat umum. Pemerintah juga kelihatannya bingung memecahkan soal sehari-hari yang ruwet.

Yang lebih mencekam adalah, orang jadi gampang marah lalu dengan leluasa merasa punya hak membungkam orang lain. Orang Islam ramai-ramai menutup tempat sembahyang orang lain. Mereka lupa, jika satu masjid saja ditutup demonya tak surut-surut. Orang makin merasa paling benar dan paling merasa punya hak masuk sorga. Orang-orang cemas, jika Tuhan tak dibela, kita akan terkutuk laknat.

Kita tentu masih ingat, tanggal 12 September semua koran hampir memuat judul yang sama pada headline: Amerika Diserang! dan sejenisnya. Seolah-olah, memang, Amerika punya musuh yang selama ini sembunyi lalu muncul menyerang. Dan sekarang, kitalah yang sedang diserang.