Thursday, May 15, 2014

BAHASA POLITIK



Dalam buku When Cultures Collide, Richard D. Lewis menganalisis 65 bahasa dari cara bertutur pemakainya dalam diplomasi dan negosiasi. Untuk bahasa Indonesia, ahli komunikasi dari Inggris yang fasih berbicara dalam sebelas bahasa itu menyimpulkan bahwa kita cenderung eufimistik dan ambigu. Jika berbicara, kalimat orang Indonesia tak langsung pada makna dan maksud sebenarnya.

Tentu saja Richard Lewis menganalisis pemakaian dan tuturan bahasa Indonesia modern. Edisi ketiga buku ini terbit akhir tahun lalu dan mendapat penghargaan Klub Buku Eksekutif di Amerika Serikat. Ia mengamati bahasa Indonesia yang sudah terpengaruh oleh bahasa Jawa atau Sunda, bahasa-ibu penutur terbesarnya. Kecuali bagi orang Riau, bahasa Indonesia adalah bahasa asing.

Bagi orang Jawa atau Sunda, bahasa adalah séloka, kata tak mesti diucapkan sesuai dengan makna sebenarnya. Konon, bahasa Jawa dan Sunda paling banyak punya padanan istilah untuk penis dan vagina, sebagai cara kita bersopan santun. Dan eufimisme pada era Orde Baru menjadi alat politik yang efektif untuk memanipulasi keadaan. Tentara yang menangkap dan menginterogasi seseorang disebut "mengamankan", kenaikan harga diumumkan sebagai "penyesuaian".

Politik bahasa lebih dari tiga dekade itu berpengaruh ke dalam bahasa politik kita hari-hari ini. Sampai sebulan sebelum pemilihan legislatif, kita tak tahu dan terus menebak-nebak apakah Joko Widodo akan dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dan sampai hari ini kita tak tahu apakah Jokowi punya keinginan dan niat yang tulus menjadi seorang presiden. Dalam pernyataan publiknya, Gubernur Jakarta ini selalu mengelak, "Copras, capres, copras, capres, ora urus!"

Dalam mandat yang diberikan Ketua PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pun Jokowi disebut sebagai "petugas partai". Artinya, ia hanya menjalankan titah pihak lain, seorang yang sejak awal tak punya niat menggapai kedudukan itu. Padahal, dari banyak liputan media, kita tahu di belakang dia ada sebuah tim siber yang menyiapkan pencalonannya sejak ia menjabat Wali Kota Solo. Mungkin itu semacam strategi politik, strategi politik di Indonesia.

Sebab, orang yang sejak awal berterus-terang ingin menjadi presiden segera dicemooh sebagai gila kekuasaan. Popularitas politikus semacam ini akan selalu rendah. Pada Jokowi, sejak ia ikut bertarung dalam pemilihan Gubernur Jakarta pada 2012, popularitasnya sebagai calon presiden selalu di atas 40 persen. Di sini, ambisi politik adalah sebuah aib. Dan kita punya kata peyoratif untuk mencemooh pejabat publik yang bekerja sungguh-sungguh: pencitraan.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dihujat ketika ia menangis dalam acara televisi Mata Najwa dan apa yang dilakukannya membereskan ibu kota Jawa Timur itu dicurigai sebagai upaya mendapat simpati publik untuk meraih kekuasaan yang lebih tinggi. Di zaman ketika kenyinyiran disebarkan dengan mudah dan cepat ini, dan kebebalan dipertontonkan 24 jam, kita terbiasa tak mudah percaya.

Dengan cara berkomunikasi kita seperti itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa yang mendua dan penuh sopan santun yang sering kali menipu. Sebagai bahasa yang lahir karena politik, bukan alat politik sejak mula, pemakaian bahasa Indonesia ditentukan oleh elite yang bermain peran di dalamnya.


Kolom di Koran Tempo, 12 Mei 2014