Monday, August 11, 2003

DI SELAT SUNDA




Jarak terminal Rajabasa-Bakauheuni serasa jauh sekali. Saya sudah tidur untuk membunuh waktu, tapi ketika terbangun karena jerit-tangis anak-anak, perjalanan masih belum juga sampai Kalianda. Padahal, rasanya, saya sudah tidur agak lama. Saya rasakan, jalan bus itu memang pelan sekali. Si supir tak henti-hentinya menguap. Mungkin ia baru bangun dan mandi, kalau dilihat dari rambutnya yang masih basah dengan bekas-bekas sisiran yang masih rapi. Pagi itu jam menunjuk pukul 9.30 WIB.

Seharusnya, jarak Bakauheuni-Rajabasa itu hanya makan waktu 1 jam. Sepanjang jalan lintas Sumatera yang lurus dan berlubang-lubang itu tak banyak penumpang yang menyetop bus. Tapi, karena bus berjalan pelan, baru pukul 12.30 bus AC itu masuk pelabuhan Bakauheuni.

Saya turun dan langsung menuju loket kapal cepat. Tiketnya Rp 25.000. Mahal juga, kalau dibanding kapal gede biasa yang cuma 2.000 perak kelas ekonomi. Di atas kapal bisa nego lagi dengan uang seribu kalau mau naik ke kelas bisnis yang ada bangkunya. Tapi, kalau dihitung perbandingan kecepatan, agak sepadan juga. Kapal cepat melintas Selat Sunda itu hanya 1 jam. Kapal ferry yang berisi mobil dan bus dua lantai dan penumpang di lantai 3 dan 4 makan waktu 2 jam. Belum ngetem, menunggu penuh dulu.

Saya memilih tempat duduk di dekat lorong jalan. Pilihan ini agar mudah saja kalau tiba-tiba kebelet pipis dan berjalan ke toiliet di belakang ferry Srikandi itu yang di pintunya betuliskan "Toilet, Man". Lagipula dari sana gampang juga melihat layar televisi yang menyiarkan Patroli. Ini juga termasuk pilihan. Karena di bagian depan yang hanya disekat oleh jalan masuk itu, dua layar tv menayangkan karaoke dangdut Uut Permatasari dengan goyang ngecornya. Saya belum baca koran, mungkin ada berita bagus di Liputan 6 siang atau Seputar Indonesia. Operator memutar gelombangnya ke SCTV, usai siaran Patroli.

Orang-orang mulai berdatangan dan mengisi bangku-bangku di perahu motor yang berisi 100 kursi itu. Kapalpun jadi riuh karena banyak sekali ibu-ibu menggendong anak. Mereka berteriak-teriak menyuruh anak yang paling besar diam, menyuruh duduk saja tanpa harus meloncat-loncat di atas kursi melihat laut. Sementara anak di gendongan juga tak henti meraung-raung karena perubahan suhu dari panas ke dingin. Bapak-bapak sibuk mengatur tas dan oleh-oleh.

Bangku di sebelah saya masih tersisa dua. Bangku di kapal itu tersusun empat-empat tiap baris. Di ujung baris saya dekat jendela, seorang anak muda yang rambutnya dikuncir sibuk mengirim sms. Dia juga tetangga bangku saya di bus Rajabasa itu. Tapi, kami tak saling menyapa karena juga tidak saling sapa sejak di bus.

Belum separo ngetem, datang seorang bapak dengan rambut yang tipis-beruban. Di tangan kanan dan kirinya dua tas bergelantungan. Dia behenti di depan saya sehingga menghalangi pandangan saya ke layar televisi yang sedang menyiarkan berita gelar doa di reruntuhan hotel JW Marriott.

"Permisi," katanya. Saya mendongak, menggeser duduk lebih merapat ke kursi, dan mengangkat tas di pangkuan. Tak lupa saya mengangguk.
"Silahkan."
Dia masih berdiri dan memandang saya. Saya lebih merapatkan kedua paha dan melipatkan betis di kolong kursi. "Silahkan, Pak." Saya mengulang perkenanan itu.

Dia menyeruduk membanting dua tas di tangan kanannya ke kursi di sebelah saya, sementara tas di tangan kiri menghantam kepala saya. Saya melotot, kaget campur marah. Dia berdiri di samping kiri-depan saya.
"Eh, kamu jangan macam-macam, ya.."
Saya tertegun, belum mengerti buat apa dia sebegitu marah.
"Kalau saya bilang permisi, kamu geser duduknya," dia melotot, napasnya terengah.
Saya menyungging, mencoba tenang.
"Lho, saya kan sudah bilang 'silahkan'".
"Iya, kalau ada yang bilang permisi, kamu geser duduknya. Kamu belum tahu saya?"
Saya memalingkan muka ke arah televisi lagi. Saya tak berniat meladeni orang yang tiba-tiba jadi gila. Dari ujung mata, saya lihat semua orang di dek itu melihat ke arah kami. Si bapak tua itu masih juga mengomel sambil membereskan tasnya.
"Jangan coba jadi berandal...kamu kira saya takut..."

Sambil mendengarkan celoteh itu, saya mencoba mencari penyebab kenapa dia marah. Tapi saya tak berhasil. Di mana-mana, yang pertama boleh memilih tempat duduk. Di tiket ferry itu tak tercantum nomor duduk. Jika ada penumpang belakangan, dipersilakan mengisi bangku yang kosong di sebelahnya. Asal tak saling terganggu, oke-oke saja. Di bus-bus di Jakarta juga begitu. Yang jaraknya dekat, memilih duduk di dekat pintu agar gampang turun. Tapi, si bapak ini kok begitu marahnya. Mungkin ia tipe orang yang tertutup dan menyangka semua hal yang tak sesuai keinginannya adalah bahaya, karena itu harus dilawan.

Setadinya saya ingin melihat bagaimana ia dikerubuti calo-calo Merak di terminal yang suka maksa dan tak segan memarahi penumpang jika tak menurut diajak ke busnya. Kalau menimpa si bapak tua ini asyik juga melihatnya, mungkin akan terjadi pertumpahan darah atau paling tidak bertengkar. Lumayan, buat tontonan lucu. Tapi, hari keburu siang, saya memutuskan berjalan cepat ke terminal dan menghindari calo dengan cepat masuk ke dalam bus jurusan Kampung Rambutan.