Thursday, October 27, 2011

MANGGA

CINTA seringkali tak masuk akal. Ibu saya mengirim SMS memberitahu pohon mangga di depan dan belakang rumah di kampung sedang berbuah. Katanya, tiap mangga berbuah dia ingat saya yang memang doyan memakannya. Dan ia menyisakan lima butir. "Kalau-kalau kamu pulang," katanya.

Saya tertawa mendengarnya. Tentu saja saya tak akan pulang dalam waktu dekat ini. Dan kalaupun akan pulang saya pasti memberitahu. Sekarang sudah ada telepon seluler. Dan sejak menikah saya pulang hanya saat Lebaran. Artinya, jadwal pulang saya pasti, jika tak ada urusan gawat dan mendesak yang mengharuskan saya mudik. Jadi, menyimpan lima mangga untuk saya terdengar aneh karena mangga-mangga itu bakal membusuk sebab Lebaran masih sepuluh bulan lagi.

Tapi itulah cinta, yang sering tak masuk akal.

Ibu saya selalu saja berpikir ini tahun 1996. Di tahun itu, dan tahun-tahun sesudahnya, saya meninggalkan rumah untuk sekolah. Komunikasi kami hanya melalui surat. Kalau liburan semester saya bisa tiba-tiba nongol di depan pintu karena, meski sudah diberitahu jadwal libur dan ujian, tetap saja mereka lupa kapan saya pulang. Dan ibu kerap menyesal jika saat liburan, musim mangga sudah habis dan ia tak menyisakan satupun untuk saya. Sejak itu ia menyimpan mangga saat berbuah karena takut saya pulang sewaktu-waktu sementara musim sudah habis.

Mungkin cinta memang tak masuk akal.

Barangkali karena setiap orang punya memori tentang peristiwa yang paling membekas dalam hidupnya. Bagaimanapun, sejak anak-anaknya sekolah keluar kampung, hidup ibu dan bapak jadi berat karena kebutuhan bertambah.

Dan ibu masih saja memandang saya seperti tahun 1996. Hampir setiap hari menelepon atau ditelepon, nasihatnya selalu sama: jangan telat makan, jaga kesehatan, berhenti merokok, selalu bersyukur. Untung saja ia tak menambah satu nasihat yang dulu wajib ia katakan: rajin belajar!

Dan memori itu melahirkan cinta yang tak masuk akal, bagi saya. Bagi ibu semua itu muncul dari bawah sadarnya, sesuatu yang tak dipaksakan. Cinta itu lahir dari fitrahnya sebagai ibu yang protektif terhadap anak-anaknya. Sebab bapaklah yang selalu mengingatkan dengan nalarnya agar tak usah terlalu pusing memikirkan hidup anak-anak yang sudah memisahkan diri, yang sudah punya urusannya sendiri. Setelah punya anak sekarang, saya jadi paham kenapa larangan kepada anak-anak lebih banyak keluar dari ibu. Bapak cenderung longgar dan menuruti kemauan anak. Mungkin karena ibu punya hubungan jauh lebih dekat kepada anak-anaknya. Setiap anak akan mengikatkan dan mengukuhkan batinnya saat menyusu.

Dengan segala susah payahnya mengurus kita, ia akan lebih cemas karena ikatan itu. Ketika anak-anaknya susah, itu menohok benteng proteksi yang dibangunnya selama kita tumbuh itu. Maka jika ibu melarang jangan minum es di musim hujan karena bisa flu, bapak akan mengijinkannya karena flu toh ada obatnya dan bisa sembuh segera. Jika ibu melarang jangan memanjat atau main pisau, karena ia cemas kita akan terluka dan kesakitan. Sementara bapak akan membiarkan karena anak-anak suka mencoba banyak hal. Ibu akan melarang karena ia akan bekerja lebih keras jika anak-anak mereka sakit: menjaga, merawat, dan menyembuhkan. Ia akan lebih banyak terjaga malam-malam.

Dari situlah tumbuh cinta protektif yang kerap tak masuk akal.

Seorang teman mengingatkan, momen mangga itu akan begitu membuat kangen saya suatu saat nanti. Ibu teman ini meninggal dua tahun lalu. Berbahagialah, kata teman ini, yang masih punya ibu dengan cinta yang luar biasa, betapapun tak masuk akal dan nalar kita yang suka berpikir selintas dan enteng-entengan.

KRL, 25102011