Bagja Hidayat*
Majalah Tempo, 8 Desember 2014
BENAR juga apa yang ditulis seseorang
entah siapa pada sebuah meme di Internet: “Siapa bilang orang Sunda tak
bisa bilang ‘F’? Pitnah!”
Sebagaimana umumnya mimikri,
ia mengandung kelakar. Barangkali yang menulisnya juga orang Sunda, suku di
Jawa Barat yang suka banyol hingga melahirkan tokoh dongeng yang cerkas semacam
Kabayan. Karena itu, kelakar di sana juga sekaligus pengakuan: meledek cacat diri
sendiri secara kocak.
Sulit melacak asal-usul orang
Sunda tak bisa melafalkan kata-kata yang mengandung huruf “F”, “V”, “X”, dan “Z”.
Jika nama-nama lama orang Sunda diulang-ulang, mungkin itu karena pengaruh
pupuh, tembang, seloka, pepatah, dan syair yang mengandung rima. Misalnya dipoyok
dilebok, dihina-hina tapi diambil juga, dan ngarawu ku siku,
mengambil dengan siku, peribahasa tentang keserakahan. Lalu berpengaruh pada
nama: Didin Hapidin, Yandi Rofiyandi, Iyan Bastian. Tapi kesulitan melafalkan
“F” susah dicari sejarahnya.
Barangkali karena alfabet bahasa
Sunda tak mengandung huruf-huruf itu. Ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la. Sedangkan
abjad yang dibuat orang Funisia, penghuni wilayah Libanon, lalu dikembangkan bangsa
Yunani, telah memuat “F”, “V”, dan “P” sejak awal. “Z”, “W”, “X”, dan “Y” masuk
kemudian, ketika para pemikir mengembangkan aljabar, dan menggenapi abjad
menjadi 26 seperti yang kita kenal sekarang. Artinya, kebudayaan Funisia dan
Sunda tak memiliki irisan dalam soal bahasa.
Masalahnya, orang Sunda yang
mempelajari bahasa asing tetap tak bisa menghindari kesulitan melafalkan “F”.
Seorang teman yang fasih berbahasa Inggris dan Prancis masih kisruh ketika
mengucapkan akronim Fakultas Pertanian: Faperta. Keberadaan huruf “F” dan “P”
di sana menelingsut lidahnya hingga terdengar ia mengeja “Paferta”, bahkan
“Paperta”.
Dan problem pengucapan ini sejak
dalam pikiran karena banyak yang keliru memakai “F” dan “V” saat menuliskannya,
terutama pada kata-kata serapan. Banyak yang menulis “aktifis” untuk maksud “aktivis”
dari “activist”. “Aktivitas” ditulis “aktifitas”. Bahkan, saking
takutnya “F” dan “P” tertukar, ada yang menulis “nafas”, alih-alih “napas”, dan
“faham”, semestinya “paham”.
Untungnya, huruf “X”
diterjemahkan ke dalam kata-kata Indonesia menjadi “eks” sehingga tangan orang
Sunda selamat menuliskannya, meskipun ketika mengucapkannya tetap saja terdengar
“ekpor” untuk “ekspor” atau “eklusi[p]” untuk “eksklusif”. Sebagai orang Sunda
yang bekerja sebagai wartawan, saya harus melipatkan kewaspadaan dan
bolak-balik memeriksa kamus tiap kali menulis berita, apalagi jika mengandung banyak
istilah asing. Karena pusing tertumpuk bahan dan mepet tenggat, ada saja
kata-kata yang mengandung empat huruf itu keliru saya tulis.
Belum lagi mewaspadai
penulisan kalimat pasif akibat struktur bahasa Sunda yang mengedepankan
predikat. Di Jawa Barat lebih pas “gebug sia ku aing” (pukul kamu oleh
saya) daripada “aing gebug sia” (saya pukul kamu) karena tak lazim.
Struktur ini menyebabkan tarik-menarik yang rusuh dalam pikiran saat saya
menulis dalam bahasa Indonesia. Sebab, sebaik-baiknya menulis adalah memakai
kalimat aktif agar lebih bertenaga dan menggugah.
Dan, agaknya, “cadel primordial”
ini tak hanya melanda orang Sunda. Suku-suku lain di Indonesia punya cadelnya
sendiri yang berpengaruh pada budaya lisan dan baca-tulis. Teman-teman Bugis
kerap kebablasan ketika menuliskan kata-kata yang berakhiran huruf “n” karena
abjad ini dilafalkan “ng” dan kata yang berakhiran “ng” malah diucapkan “n”.
Saharuddin, seorang teman sekolah asal Enrekang, ketika pertama bertemu mengenalkan
diri, “Saharudding, tanpa ‘G’.”
Saharuddin dan saya kerap
saling menertawai kekurangan kami masing-masing. Menurut dia, pengucapan itu
harus pula diwaspadai ketika menulis. Acap kali, tak hanya untuk bahasa asing,
kata-kata Indonesia saja ia sering terbalik-balik menuliskannya. Karena itu, di
Bugis ada marga Ambong yang leluhurnya berasal dari Ambon, Maluku.
Orang Semendo di pesisir Krui,
Lampung Barat, juga tak bisa mengucapkan “R” jika bercakap dalam bahasa daerah
mereka. Krui diucapkan “K-ghr-ui”. “R” dalam bahasa mereka dilafalkan dari
tenggorokan, dalam dan bergetar. Pelafalan “R” itu berimbas ketika mereka
berbicara dalam bahasa Indonesia. Selama dua bulan tinggal di sana, saya gagal
mengucapkan “R” seperti mereka dengan benar.
“Cadel-cadel primordial” ini
kian menegaskan bahwa bahasa Indonesia, sebagai bahasa persatuan, harus
dipelajari secara sungguh-sungguh. Setiap kata yang ditulis dan diucapkan akan
bertempur dalam pikiran setiap orang, terutama yang punya bahasa-ibu bukan
Melayu. Maka, tak aneh, di sana-sini kerap kita jumpai kesalahan gramatika,
pelafalan, hingga makna-makna yang memuai. Indonesia: sebuah negeri yang menuntut
dipelajari terus-menerus oleh bangsanya sendiri.
*) Wartawan Tempo