Wednesday, December 17, 2014

DUNIA TANPA HURUF 'F'

Bagja Hidayat*

Majalah Tempo, 8 Desember 2014

BENAR juga apa yang ditulis seseorang entah siapa pada sebuah meme di Internet: “Siapa bilang orang Sunda tak bisa bilang ‘F’? Pitnah!”



Sebagaimana umumnya mimikri, ia mengandung kelakar. Barangkali yang menulisnya juga orang Sunda, suku di Jawa Barat yang suka banyol hingga melahirkan tokoh dongeng yang cerkas semacam Kabayan. Karena itu, kelakar di sana juga sekaligus pengakuan: meledek cacat diri sendiri secara kocak.

Sulit melacak asal-usul orang Sunda tak bisa melafalkan kata-kata yang mengandung huruf “F”, “V”, “X”, dan “Z”. Jika nama-nama lama orang Sunda diulang-ulang, mungkin itu karena pengaruh pupuh, tembang, seloka, pepatah, dan syair yang mengandung rima. Misalnya dipoyok dilebok, dihina-hina tapi diambil juga, dan ngarawu ku siku, mengambil dengan siku, peribahasa tentang keserakahan. Lalu berpengaruh pada nama: Didin Hapidin, Yandi Rofiyandi, Iyan Bastian. Tapi kesulitan melafalkan “F” susah dicari sejarahnya.

Barangkali karena alfabet bahasa Sunda tak mengandung huruf-huruf itu. Ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la. Sedangkan abjad yang dibuat orang Funisia, penghuni wilayah Libanon, lalu dikembangkan bangsa Yunani, telah memuat “F”, “V”, dan “P” sejak awal. “Z”, “W”, “X”, dan “Y” masuk kemudian, ketika para pemikir mengembangkan aljabar, dan menggenapi abjad menjadi 26 seperti yang kita kenal sekarang. Artinya, kebudayaan Funisia dan Sunda tak memiliki irisan dalam soal bahasa.

Masalahnya, orang Sunda yang mempelajari bahasa asing tetap tak bisa menghindari kesulitan melafalkan “F”. Seorang teman yang fasih berbahasa Inggris dan Prancis masih kisruh ketika mengucapkan akronim Fakultas Pertanian: Faperta. Keberadaan huruf “F” dan “P” di sana menelingsut lidahnya hingga terdengar ia mengeja “Paferta”, bahkan “Paperta”.

Dan problem pengucapan ini sejak dalam pikiran karena banyak yang keliru memakai “F” dan “V” saat menuliskannya, terutama pada kata-kata serapan. Banyak yang menulis “aktifis” untuk maksud “aktivis” dari “activist”. “Aktivitas” ditulis “aktifitas”. Bahkan, saking takutnya “F” dan “P” tertukar, ada yang menulis “nafas”, alih-alih “napas”, dan “faham”, semestinya “paham”.

Untungnya, huruf “X” diterjemahkan ke dalam kata-kata Indonesia menjadi “eks” sehingga tangan orang Sunda selamat menuliskannya, meskipun ketika mengucapkannya tetap saja terdengar “ekpor” untuk “ekspor” atau “eklusi[p]” untuk “eksklusif”. Sebagai orang Sunda yang bekerja sebagai wartawan, saya harus melipatkan kewaspadaan dan bolak-balik memeriksa kamus tiap kali menulis berita, apalagi jika mengandung banyak istilah asing. Karena pusing tertumpuk bahan dan mepet tenggat, ada saja kata-kata yang mengandung empat huruf itu keliru saya tulis.

Belum lagi mewaspadai penulisan kalimat pasif akibat struktur bahasa Sunda yang mengedepankan predikat. Di Jawa Barat lebih pas “gebug sia ku aing” (pukul kamu oleh saya) daripada “aing gebug sia” (saya pukul kamu) karena tak lazim. Struktur ini menyebabkan tarik-menarik yang rusuh dalam pikiran saat saya menulis dalam bahasa Indonesia. Sebab, sebaik-baiknya menulis adalah memakai kalimat aktif agar lebih bertenaga dan menggugah.

Dan, agaknya, “cadel primordial” ini tak hanya melanda orang Sunda. Suku-suku lain di Indonesia punya cadelnya sendiri yang berpengaruh pada budaya lisan dan baca-tulis. Teman-teman Bugis kerap kebablasan ketika menuliskan kata-kata yang berakhiran huruf “n” karena abjad ini dilafalkan “ng” dan kata yang berakhiran “ng” malah diucapkan “n”. Saharuddin, seorang teman sekolah asal Enrekang, ketika pertama bertemu mengenalkan diri, “Saharudding, tanpa ‘G’.”

Saharuddin dan saya kerap saling menertawai kekurangan kami masing-masing. Menurut dia, pengucapan itu harus pula diwaspadai ketika menulis. Acap kali, tak hanya untuk bahasa asing, kata-kata Indonesia saja ia sering terbalik-balik menuliskannya. Karena itu, di Bugis ada marga Ambong yang leluhurnya berasal dari Ambon, Maluku.

Orang Semendo di pesisir Krui, Lampung Barat, juga tak bisa mengucapkan “R” jika bercakap dalam bahasa daerah mereka. Krui diucapkan “K-ghr-ui”. “R” dalam bahasa mereka dilafalkan dari tenggorokan, dalam dan bergetar. Pelafalan “R” itu berimbas ketika mereka berbicara dalam bahasa Indonesia. Selama dua bulan tinggal di sana, saya gagal mengucapkan “R” seperti mereka dengan benar.

“Cadel-cadel primordial” ini kian menegaskan bahwa bahasa Indonesia, sebagai bahasa persatuan, harus dipelajari secara sungguh-sungguh. Setiap kata yang ditulis dan diucapkan akan bertempur dalam pikiran setiap orang, terutama yang punya bahasa-ibu bukan Melayu. Maka, tak aneh, di sana-sini kerap kita jumpai kesalahan gramatika, pelafalan, hingga makna-makna yang memuai. Indonesia: sebuah negeri yang menuntut dipelajari terus-menerus oleh bangsanya sendiri.

*) Wartawan Tempo