Cerpen Bagja Hidayat
Dimuat di Lampung post 26 Maret 2006
KAMI adalah orang-orang asing. Ia datang sebagai turis yang baru datang dari Bugis. Sedang aku setengah-turis-setengah-peneliti. Ia mungkin datang dengan sebuah harapan: akan ada lagi pantai yang nyaman untuk berselancar. Sedangkan aku datang ke pantai ini dengan sebuah hipotesis dan sehimpun pertanyaan. Kami adalah orang asing yang dipertemukan senja Pantai Krui.
Jika pantai tempat mempertemukan orang-orang asing maka losmen mengukuhkannya.
Di pantai itu, di senja itu, aku melihatnya tertegun, di sebuah pelabuhan lama yang bacin karena bersebelahan dengan pasar ikan. Ia membiarkan kakinya yang putih tertampar sisa ombak yang mulai pasang. Rambutnya digerai; pakai tank-top yang tak ketat. Dan celana pendek setengah paha. Ia menjinjing sandal jepitnya. Kutebak usianya tak lebih dari 30.
Lalu ia menyusuri panjang pantai ini. Seolah ingin melihat di mana matahari bersembunyi, usai memancarkan cahaya keemasannya yang anggun. Setiap pantai selalu merangsang pendatang dengan cahaya senja. Apalagi di sebuah pelabuhan kecil yang menyisakan jangkar abad lalu. Di antara gudang, rumah tua, pada cerita, tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut, menghembuskan diri dalam mempercaya mau berpaut. Aku merasakan, Chairil Anwar sedang tertegun di sini ketika menuliskan larik-larik itu.
Senja sudah meredup ketika kulihat lagi ia di beranda losmen yang kutempati: sebuah losmen paling mewah sekaligus paling murah. Hanya 25 ribu perak semalam. Kami ternyata tetangga kamar. Maka ini bukan hanya sebuah kebetulan, atau sekadar pertemuan, ini sebuah peristiwa yang mungkin akan menyusun sebuah cerita.
Dan cerita itu tersusun tanpa kehendakku sendiri. Kami jadi manusia asing yang asyik hidup di sebuah pelabuhan kecil di ujung pulau ini. Senja selalu saja kami nanti selain waktu-waktu yang lain. Sebenarnya matahari terbit bagus juga. Hanya saja, kemunculan matahari sebuah tanda pantai ini memulai hari dan sambutan para nelayan juga pasar yang bacin. Tidak seperti senja yang menutup hari lalu melepas para nelayan dan gerimis yang mempercepat kelam. Di sebuah pelabuhan, gerimis menyimpan pesonanya sendiri. Karena laut akan berpaut, karena pasir menghentikan langkah para pasasir.
Begitulah. Cerita ini kutulis untuk mengenang seseorang. Karena sebuah cerita yang terlampau lama mengendap akan menguap. Maka kutuliskan cerita ini untuk mengenang senja yang berkesan dalam sebuah ingatan yang cepat lekang. Tapi cerita yang kutulis ini hanya dua episode saja dari banyak episode yang tak bisa kutolak. Aku dan ia pelakon utamanya.
***
IA duduk di beranda losmen memandangi jalanan yang mulai lengang karena terik yang amat menyengat. Keberadaannya mengundang mata beberapa orang yang lewat meliriknya. Dari penjaga losmen ini kutahu ia baru tiba. Orang Kanada, katanya. Tapi kulitnya sudah gelap, merah di pipinya hampir lenyap. Mungkin ia terlalu lama berdiang di bawah matahari. Setiap turis yang datang ke tanah tropis selalu punya tujuan yang sama: memburu matahari. Aneh juga. Kami di sini amat menghindari matahari, meski terik itu sudah jadi akrab. Kami tak ingin matahari karena khawatir kulit menjadi bersisik dan gelap, meski para nelayan amat membanggakan kulit semacam itu. Kulit legam menunjukan bahwa laut sudah menyatu dengan darah mereka: satu zat satu urat. Tapi legam kulitnya menunjukkan sebuah kasta, bahwa ia pernah berkunjung ke sebuah negeri yang pantainya tersimbah panas matahari.
Kusapa, dari mana, sepertinya kau sedang berduka. Ia tersenyum. Lalu ia bercerita–kami begitu saja langsung akrab, mungkin karena ia juga menangkap isyarat bahwa aku juga orang asing di sini–ia baru datang dari tanah K. Bisa juga. Di peta, pulau Sulawesi memang mirip huruf “K” yang berkepala (guru sekolahku dulu mengajarkan menulis huruf itu dengan kepala yang terlihat seperti ekor). Kamu datang sendiri? Tidak, katanya. Kupikir memang begitu. Ia tersenyum. Temannya, ya, peta itu. Boleh juga. Kamu punya selera humor juga rupanya.
Dan selera itu yang mendekatkan kami. Ia jadi sering bertanya tentang pantai dan pelabuhan ini yang menghidupi para nelayan di sebuah kota yang seperti bangkit dari masa lalu. Harus kuakui, aku sendiri menyimpan pertanyaan itu. Kota kecil ini terasa mistis. Bangunannya terbuat dari kayu-kayu pohon yang jenisnya sudah punah dan tak ditemukan lagi. Jangkarnya seperti terpancang dengan jarak yang amat panjang. Pasir menguburnya seperti sejak sebelum masehi. Kamu berlebihan, katanya.
Ia seperti menemukan sebuah dunia baru. Setiap pagi, ia akan bangun dan berjalan menyusuri jalan yang tembus ke bibir pantai yang bacin. Ia terus berjalan hingga menemukan sebuah oplak dengan ombak yang menjulang. Di sebuah ceruk yang tak terlalu dalam, ia meluncur di sana. Sendirian. Dia mengajakku juga. Tapi, maaf, aku tak kenal papan seluncur sejak kecil. Maka aku hanya bisa memandanginya bermain air dari bibir pantai sini. Kupandangi ia yang kuyup ditelan ombak ditingkahi suara camar sayup-sayup.
Setelah itu aku yang pergi, ke gunung, menemui para petani yang menuai getah-getah damar. Getah-getah itu telah menghidupi orang-orang sini sejak entah turunan ke berapa. Pohon-pohon itu seolah tumbuh dan ditakdirkan untuk orang-orang sini. Sebab pohon damar tak ditemukan di daerah lain, kecuali di Gunung Gede. Itu pun bukan karena proses alam. Seorang peneliti membawa bibit damar itu ke sana dan menanamnya. Tapi tak sehebat getah di sini, kata seorang petani dengan bangga. Getah itu telah menyelamatkan penduduk di lereng Bukit Barisan Selatan bertahan dari membumbungnya nilai tukar dolar yang menyengsarakan hidup orang-orang di pusat kota. Krisis ekonomi, kata para petani yang tak mengerti arti sebenarnya frase itu, telah memberi berkah karena mereka bisa membeli parabola, sepeda mesin, dan mobil. Sebab, getah damar setimpal dengan harga dolar. Jika dulu, di zaman ayem, sekilo getah damar sama dengan sekilo beras, kini sekilo damar bisa menghasilkan puluhan kilo beras. Para petani mendapat rezeki nomplok.
Aku mendatangi mereka di saung-saung bertiang tinggi di kebun. Musuh para petani bukan pencuri bukan pula babi. Tapi gajah. Jika sedang lapar, gajah-gajah dari Bukit Barisan Selatan sering turun ke kebun dan merusak tanaman. Para petani tak bisa berbuat apa-apa jika gajah telah datang. Berbuat apa berarti mati. Banyak sudah petani yang gugur diamuk gajah karena berusaha menghalau hewan besar yang lapar. Yang bisa dilakukan para petani adalah membuat penakut agar gajah tak semakin merangsek masuk ke permukiman. Agar para gajah kembali ke hutan.
Ia juga terpesona oleh temuanku. Kadang-kadang, setelah berselancar, ia sering ikut naik gunung karena di sana para petani dengan gratis memberi durian atau dukuh. Setelah itu, kami akan menyusuri lembah-lembah yang cantik sepanjang Pesisir Krui. Dari ketinggian, kami bisa melihat Samudera Hindia membentang hijau tak bertepi. Di antara bukit dan laut itulah Pesisir Krui terhampar. Sebuah perpaduan yang sungguh sempurna. Jalan raya yang menghubungkan Krui ke Bengkulu berkelok-kelok di bibir tebing pantai, melingkar seperti ular. Seekor ular besar yang hanya hidup dalam fabel.
Atau menyeberang ke pulau Pisang, sebuah pulau kecil yang tak berpenghuni, sambil berusaha melafalkan huruf “grha”, huruf “R” yang dikumur. Sehingga pelafalan Krui yang benar bukan mengikuti kata yang tercetak dalam Latin, tapi “Ke-grh-ui”–sangat susah untuk lidah seperti kami yang mengenal huruf R dalam alfabet. Anehnya, jika bicara dalam bahasa Indonesia biasa, orang Krui melafalkan “R” sama dengan kebanyakan orang Indonesia lainnya. Ia sempat berniat meneliti dengan serius pelafalan huruf itu dari sejarahnya, susunan huruf dalam aflabet cikal bakal orang Lampung, hingga pengaruhnya ke budaya baca tulis. Tapi niat itu selalu terhalang oleh keanggunan senja yang lebih memikat hatinya.
“Seandainya pulau ini terpencil, maukah kamu hidup di sini?” tanyanya tiba-tiba, setelah memotret sebuah mercusuar dan ranggon yang rimbun.
“Tidak.”
“Tidak? Ah, betapa menyenangkannya hidup di sini. Sunyi. Kita bisa melakukan apa saja.”
“Maksudku, aku tidak mau tinggal sendiri,” kataku. Agak terkejut dengan kalimatnya yang menyelipkan kata “kita”. “Jadi kamu mau tinggal di sini?”
“Sayangnya, pulau ini tidak terpencil, masih bisa dijangkau orang-orang. Padahal aku sudah lama ingin tinggal terpencil.”
“Untuk apa?”
“Untuk menghidari dunia”
Lalu ia bercerita, itulah kenapa ia meninggalkan negerinya. Ia ingin mencari sebuah negeri yang tak terjangkau oleh masa lalunya. Sayang sekali, ia tak menyebut apa masa lalunya itu. “Kadang-kadang aku ingin menjadi Robinson Crusoe atau Ada Blackjack*), pergi jauh, jauh sekali dan mati atau bertahan di alam,” katanya.
Itulah akhir cerita episode pertama. Hanya sampai di situ aku bisa mengingat. Selebihnya biarlah menjadi catatan diriku sendiri saja. Bisa juga menguap tanpa sempat kucatat atau tersimpan dalam bawah sadar, yang akan muncul suatu saat entah kapan, terpancing oleh senja dan aroma hutan. Kini aku ingin menulis episode kedua, episode terakhir dalam cerita ini.
***
EPISODE kedua masih diawali oleh sebuah senja, pelabuhan lama, pasar ikan yang bacin, jangkar dan gudang-gudang tua, juga kenangan yang berkesan dalam ingatan yang cepat lekang.
Ia duduk di bibir pantai itu seperti memendam sebuah duka. Aku tidak tahu apakah itu duka atau raut gembira. Ia baru saja menerima surat entah dari mana. Orang Kanada mungkin selalu tahu alamat sanak keluarganya. Karena mereka selalu berkirim kabar, melalui surat atau telepon. Aneh juga, pikirku. Bukankah ia ingin menghilang dari negerinya? Tapi, kenapa masih mengabarkan jejak? Ah, ini bukan wilayah pengetahuanku. Yang ingin kutahu adalah surat apakah yang bisa menyebabkan ia berduka atau bergembira. Maka kuhampiri ia. Kukecup punggungnya yang terbuka dan kepalanya yang menunduk. Tanpa menoleh, ia pegang tanganku, mengecupnya, lalu menyandarkan kepalanya. Kupeluk ia dari belakang. Hening. Hanya ombak itu saja yang terdengar, mengisi setiap relung-relung hati kami: orang-orang asing yang dipertemukan oleh senja.
Kemudian aku tahu, surat itu dikirim oleh ibunya, melalui perantara entah siapa. “Sebuah surat duka,” katanya. Ayahnya meninggal sebulan lalu oleh kanker yang menggerogoti paru-parunya. Ibunya hanya mengabarkan itu, dan sebuah wasiat terakhir dari ayahnya, “Maafkan aku.” Hanya itu. Dan kalimat itu yang membikinnya berduka. Jika saja tak ada kalimat itu, katanya, hatinya tak akan terusik oleh kabar yang dikirim ibunya. Toh, dalam surat itu, ibunya tak menyuruhnya pulang. Kalimat terakhir ayahnya itu pula yang meluruhkan seluruh pertahanan niatnya untuk tak pulang. Ia sudah bersumpah tak akan pulang sebelum ayahnya minta maaf atas semua dosa yang kini membekas dalam ingatannya.
Akhirnya ia bercerita juga tentang masa lalu itu.
Ayahnya adalah seorang agen pemerintah. Ayahnya pula, oleh sebuah keteledoran yang sepele, membocorkan pengetahuan yang serba sedikit tentang aktivitas anak perempuan satu-satunya itu. Ayahnya membocorkan bahwa ia terlibat dalam satu gerakan radikal yang akan merongrong kekuasaan. Tapi, ayahnya pulalah yang kemudian memberitahu bahwa nama anaknya masuk dalam daftar hitam pencarian orang. Polisi dan intel sudah memasang mata dan telinga di setiap sudut dan celah yang memungkinkan orang ke luar dari negerinya. Dengan memalsukan identitas dan pertolongan seorang teman, ia bisa keluar melalui sebuah biro jasa yang menawarkan tur gratis ke Asia lewat internet dengan sejumlah kuisioner yang harus tepat dijawab. Aku juga terperanjat, bahwa sebenarnya, ia bukan dari Kanada. Ia mengaku dari Irlandia. Dan ia terbang ke Thailand sebelum singgah di Singapura, yang akhirnya mendarat di Bali lalu ke pulau-pulau lain di Indonesia.
“Aku harus pulang,” katanya.
“Kenapa harus?”
“Ibuku pasti ingin aku di sampingnya saat ini.” Ia mengendurkan pelukannya. Kuseka sisa air matanya. Kami jadi duduk bersisian, memandang ke arah senja laut. Camar beterbangan di sana.
Sesaat hening. Debur ombak makin keras terdengar. Angin laut makin terasa kencang. “Pulanglah, meski aku tak rela,” kataku, mencoba memecah sunyi. Dia masih diam dalam duduknya. Tatapnya kosong memandang ke arah laut yang mulai menyemburat keemasan. Angin pantai menebas-nebas rambut kami.
“Tapi…” ia menghela napas. Sebentar matanya melirik ke arahku, lalu berpaling lagi ke arah semula.
“Tapi? Tapi apa?”
“Bisakah kita berpisah?”
“Ha-ha-ha. Bisa. Toh untuk satu-dua minggu kan?”
Ia menggeleng. “Aku kira bisa lebih. Mungkin tidak tentu.”
“Kenapa?”
Ia menarik napas. “Kautahu bagaimana nasib seorang buron. Aku sendiri tidak tahu apakah bisa bertemu ibuku. Keadaan politik di sana sudah berubah memang, tapi aku sendiri tidak bisa menjamin apakah aku bisa bebas masuk ke sana, dan keluar lagi”.
“Hmm". Aku menerka-nerka situasi politik apakah yang sedang terjadi di sebuah negeri. Aku sudah lama tak terhubung dengan berita. Aku tidak yakin apakah benar ia dari Irlandia, seperti diakuinya. Mungkin dari sebuah negeri entah di mana. Bukankah seorang buron bisa rapat menutupi identitasnya? Aku telah terpedaya oleh pikiranku sendiri. Ia tak pernah cerita asul-usulnya sebelum ini. Aku sendiri yang menebak-nebak dan telanjur percaya cerita penjaga losmen itu bahwa ia orang Kanada. Dan bagaimana pula seorang aktivis bisa menitikkan air mata? Tapi bertanya soal air mata dalam situasi seperti ini bisa-bisa merontokkan romantisme yang sudah terbangun senja itu.
“Di sana juga ada anak laki-lakiku.”
“Apa?”
“Kamu kaget?”
“Hmm, ya ya. Tapi kukira pulang memang jalan paling baik.” Aku mencoba bersikap tenang.
Dia menarik napas panjang, sebelum wajahnya menghadap ke arah wajahku.
“Tapi…tapi bagaimana dengan bayi ini?” ia mengusap perutnya.
“Bayi? Bayi siapa?” Aku makin terkejut dengan setiap pernyataannya.
“Bayi kita. Benihmu sudah jadi bayi.”
“Apa?” Setengah tak percaya kutatap matanya. Tapi ia menghindar tatapanku.
“Bagaimana aku meninggalkan kamu, meninggalkan Indonesia, sementara ada manusia dalam rahimku,” suaranya lirih, frekuensinya hampir tak mencapai gendang telingaku karena lindap oleh debur-debur ombak.
Aku masih diam. Tak sanggup berkata apa pun. Aku senang mendengar kabar ia hamil. Itu berarti keturunanku tak punah. Riwayat hidupku akan abadi. Tapi, saat itu juga dadaku sesak, bagaimana memutuskan status bayi itu.
Senja makin tua. Matahari yang bulat emas sudah separo tenggelam ditelan ufuk barat. Kami masih saling diam. Angin senja mempermainkan rambut kami, mempermainkan kecamuk pikiran dan hati kami: orang-orang asing yang dipertemukan senja di Pantai Krui.
Pesisir Krui, 2000-Jakarta, 2004
Catatan:
*) Ada Blackjack dijuluki “Robinson Crusoe perempuan” karena kemampuannya bertahan dalam dingin dan asing Pulau Wrangel, Samudera Artik, Kutub Utara. Blackjack terdampar di pulau itu dalam suatu ekspedisi untuk menetapkan klaim Artik yang diperebutkan Amerika Serikat dan Inggris pada 1921. Dia satu-satunya anggota yang selamat dari lima anggota tim yang semuanya laki-laki. Adapun Crusoe adalah tokoh dalam karya fiksi Daniel Defoe yang bertahan hidup di sebuah pulau terpencil.