DUNIA adalah mahaprosa dan puisi sekaligus. Nasib sering terasa begitu main-main dan kerap terlampau memaksa mengajak berpikir.
Sebelum Putu Wijaya menulis cerita tentang seseorang yang ketinggalan kepala di bandara Changi, lalu menukarnya dengan kepala seorang perempuan Amerika di Cengkareng, di Madiun seorang nenek tak punya wajah karena kanker ganas yang menggerogoti kulit mukanya.
Mula-mula tahi lalat di hidung yang gatal dan panas, lalu hidung itu hilang, kemudian mata, tulang pipi, kening, dan bibir atas. Setelah 34 tahun menahan gatal dan panas, wajah Tumini itu gerowong sedalam 10 senti.
Ia praktis tak bisa apa-apa. Selain di kamar, ia menutupkan kain ke lubang itu hingga yang tampak hanya bibir bawah saja. Bicaranya ngirung dan udara terlihat menghembus ke kain itu dari dalam kepalanya.
Suaminyalah, kakek Marko yang sabar, yang menyediakan keperluan istrinya sehari-hari: memasak nasi, menyapu halaman, merebus air, menyuapi, menuntun ke kulah di belakang rumah. Ia harus mengumpulkan satu juta tiap bulan untuk membeli obat-obat generik dari warung untuk mengurangi derita istrinya. Wajah Marko tirus tapi gurat-gurat di pipi dan keningnya menyimpan cerita tentang ketabahan dan kesetiaan.
Dan Tumini masuk televisi, wajah bolongnya tersiar ke jutaan ruang-ruang keluarga. Banyak orang datang menawarkan bantuan: sekadar memberi bekal sampai menawarkan operasi plastik. Tumini menolak.
Ia merasa sudah tua dan tak akan hidup lebih lama lagi. Ia sudah menahan panas dan gatal itu selama 34 tahun. Sakit adalah tarikan napasnya yang telah akrab dengan tubuhnya yang tipis. "Saya ingin menghabiskan sisa hidup dengan suami saya, di sini, di gubuk ini," katanya.
Di televisi itu Tumini juga tertawa. "Nasib telah begitu tertib, pada Sakit dia juga telah jadi karib..."
Sebelum Putu Wijaya menulis cerita tentang seseorang yang ketinggalan kepala di bandara Changi, lalu menukarnya dengan kepala seorang perempuan Amerika di Cengkareng, di Madiun seorang nenek tak punya wajah karena kanker ganas yang menggerogoti kulit mukanya.
Mula-mula tahi lalat di hidung yang gatal dan panas, lalu hidung itu hilang, kemudian mata, tulang pipi, kening, dan bibir atas. Setelah 34 tahun menahan gatal dan panas, wajah Tumini itu gerowong sedalam 10 senti.
Ia praktis tak bisa apa-apa. Selain di kamar, ia menutupkan kain ke lubang itu hingga yang tampak hanya bibir bawah saja. Bicaranya ngirung dan udara terlihat menghembus ke kain itu dari dalam kepalanya.
Suaminyalah, kakek Marko yang sabar, yang menyediakan keperluan istrinya sehari-hari: memasak nasi, menyapu halaman, merebus air, menyuapi, menuntun ke kulah di belakang rumah. Ia harus mengumpulkan satu juta tiap bulan untuk membeli obat-obat generik dari warung untuk mengurangi derita istrinya. Wajah Marko tirus tapi gurat-gurat di pipi dan keningnya menyimpan cerita tentang ketabahan dan kesetiaan.
Dan Tumini masuk televisi, wajah bolongnya tersiar ke jutaan ruang-ruang keluarga. Banyak orang datang menawarkan bantuan: sekadar memberi bekal sampai menawarkan operasi plastik. Tumini menolak.
Ia merasa sudah tua dan tak akan hidup lebih lama lagi. Ia sudah menahan panas dan gatal itu selama 34 tahun. Sakit adalah tarikan napasnya yang telah akrab dengan tubuhnya yang tipis. "Saya ingin menghabiskan sisa hidup dengan suami saya, di sini, di gubuk ini," katanya.
Di televisi itu Tumini juga tertawa. "Nasib telah begitu tertib, pada Sakit dia juga telah jadi karib..."