Wednesday, May 28, 2014

SINDROM KABAYAN


Ketika ujian nasional pekan lalu, di media sosial beredar lembar soal yang sudah dijawab seorang murid sekolah dasar. Nilai ujiannya nol karena siswa itu hanya menjawab “benar” dan “jujur” untuk setiap pertanyaan mata ajaran pendidikan kewarganegaraan. Guru yang menilainya menganggap dua jawaban tersebut keliru dan kesalahan itu menunjukkan kegagalan siswa memahami petunjuk soal.

Benarkah begitu? Petunjuknya memang berbunyi “Jawablah pertanyaan dengan jujur dan benar”. Apa yang keliru? Anak itu telah melaksanakan petunjuk dengan patuh. Dan ia mendapat nilai nol untuk kepatuhannya itu. Tak ada yang bisa melakukan verifikasi apakah lembar soal dan jawaban itu benar-benar terjadi atau keisengan seseorang untuk menertawai petunjuk soal dalam ujian nasional yang tak jelas dan lebih rumit daripada pertanyaannya.

Makna yang dihasilkan dari susunan kalimat dalam petunjuk itu tak sama dengan pemahaman si anak atas makna yang hendak disampaikan penulisnya. Bagi pembuatnya, petunjuk itu bermakna perintah agar para siswa menjawab setiap pertanyaan secara jujur dan benar mengacu pada isi pertanyaannya. Siapa yang keliru dalam memahami makna kalimat yang terkandung dalam petunjuk soal itu? Bahasa Indonesia menyediakan ruang saling salah paham memaknai sebuah kalimat karena arti ganda yang dihasilkannya.

Barangkali benar apa yang disimpulkan oleh Richard D. Lewis dalam When Cultures Collide. Ahli komunikasi dari Inggris yang fasih berbicara dalam sebelas bahasa ini menyimpulkan bahwa para penutur bahasa Indonesia kerap memakai kata dan kalimat yang ambigu dan eufemistis. Dalam buku yang edisi ketiganya terbit akhir tahun lalu itu, Lewis menyimpulkan bahwa bahasa Indonesia tak cukup efektif dalam diplomasi dan negosiasi ketika lawan bicaranya seorang penutur bahasa yang terbiasa memakai kalimat denotatif.

Untuk sebagian orang Indonesia, bahasa Indonesia adalah bahasa asing. Ia berawal dari bahasa Melayu Riau yang dipilih sebagai bahasa pemersatu oleh para aktivis dan politikus pada 1928. Sejak itu, para penutur bahasa dari suku lain memakainya dalam percakapan resmi, selain karena diajarkan di sekolah. Bahasa-ibu hanya dipakai dalam pembicaraan-pembicaraan informal. Maka bahasa Indonesia perlu dipelajari sungguh-sungguh.

Dalam perkembangannya, bahasa ini berubah dalam struktur dan kaidah pemakaiannya. Sampai 1980, bahasa Indonesia mengacu pada bahasa Belanda. Kini bahasa Indonesia lebih berkiblat pada bahasa Inggris, karena bahasa Inggris merupakan bahasa asing yang paling banyak dipelajari orang Indonesia. Menurut Lewis, bahasa Inggris cenderung menghindari konfrontasi, santun, dan humor yang tak efisien.

Penutur bahasa Indonesia terbanyak adalah orang Jawa dan Sunda, karena populasi dan persebaran suku ini hampir ada di seluruh wilayah. Bagi orang Jawa dan orang Sunda, bahasa adalah seloka: kata dan kalimat tak mesti mengacu pada makna sebenarnya. Konon, bahasa Jawa dan Sunda paling banyak punya padanan untuk menyebut penis dan vagina. Dengan undak-usuk yang ada dalam bahasa-ibu mereka, bahasa Indonesia yang berasal dari suku yang suka blakblakan menjadi cenderung eufemistis. Budaya yang menganggap tak berbicara langsung pada makna sebenarnya sebagai ukuran kesopanan kian mendorong bahasa Indonesia menjadi ambigu.

Bagi orang Jawa dan Sunda, kata “aku” dan “kau” agak kasar karena menunjuk langsung, sementara “anda” terlampau formal. Dalam pidato-pidato, kita sering mendengar seorang pembicara berkata, “Salam sejahtera untuk kita semua.” Alih-alih “anda”, “kita” dipakai untuk menyembunyikan kekurangajaran berbicara secara langsung karena penutur menjadi terlibat menerima salam. Bagaimana bisa salam ditujukan untuk diri sendiri?

Eufemisme kian meluaskan kesalahan berbahasa karena penutur bahasa Indonesia kerap keliru memakai kata ganti. “Kita sudah laporkan situasi ekonomi kepada presiden” kerap kita dengar. Padahal, semestinya, kata ganti yang tepat adalah “kami”. Di beberapa daerah Jawa Barat, demi sopan santun, “kita” bahkan dipakai untuk kata ganti orang kedua, “kamu”.

Maka beginilah bahasa Indonesia hari ini: mengacu pada struktur bahasa Inggris dan penutur terbanyaknya orang Jawa dan Sunda. Dua-duanya punya kecenderungan eufemistis dan ambigu. Siswa sekolah dasar yang menjawab “jujur” dan “benar” itu hanya bisa ditandingi oleh Kabayan, bodor-jenius yang lahir dari kesenangan orang Sunda berkelakar. Alih-alih menimba air, Kabayan tidur di bak mandi ketika disuruh Abah, mertuanya, mengisi kulah.

*) Bagja Hidayat, Wartawan Tempo

Kolom Bahasa di majalah Tempo edisi 26 Mei - 1 Juni 201.

Friday, May 16, 2014

PARALISIS




Manakah yang lebih menyeramkan*: sebuah novel horor atau tayangan berita kriminal di televisi? Barangkali kita sulit membedakan mana yang lebih mengejutkan di tengah zaman ketika cerita yang seharusnya hanya ada dalam prosa meruyak dalam kehidupan nyata, mengisi halaman-halaman berita. 

Seorang guru di Wates, Jawa Tengah, menusuk guru lain yang sedang mengajar di depan kelas, di depan puluhan murid-muridnya. Pembunuhan itu berlangsung cukup lama karena korbannya melawan dan terjadi perkelahian, darah membanjir, guru itu meregang nyawa dengan 25 tusukan, disaksikan murid-muridnya sendiri! Sukar dibayangkan, berapa lama adegan horor ini akan melekat dalam ingatan dan menghantui siswa-siswa itu. 

Dunia adalah mahaprosa yang tak tepermanai. Dunia dan manusia telah melampaui imajinasi para penulis prosa, dengan lebih banal. Dunia seperti sedang membangkitkan kembali Nikolai Chernyshevsky yang meyakini realitas jauh lebih mengejutkan, jauh lebih mengagumkan, ketimbang karya seni. Gagasan abad ke-19 itu kini menemukan muaranya lewat televisi, Internet, dan telepon pintar.

Betapa kini realitas telah merebut apa yang dulu diimajinasikan orang-karena dulu kabar-kabar kriminal tak menyebar melalui media massa. Sebuah peristiwa pembunuhan kini lebih mencengangkan dibanding sebuah cerita pendek di halaman koran pada hari Minggu. Di halaman prosa, kita tak mendapat kejutan pada pagi hari seraya menyesap kopi di beranda. Cerita-cerita berhamburan tak membekas dan nama-nama berseliweran tanpa berhenti menjadi "tokoh". 

Para "tokoh" telah diambil alih oleh pelaku nyata di luar beranda rumah kita, di luar halaman-halaman fiksi. Di Wates, guru itu membunuh karena tersinggung dimaki temannya yang ia bunuh itu, dan ia melakukannya di sekolah-tempat anak-anak membekali diri dengan imajinasi dan kearifan, tempat mereka berlindung pada sosok yang layak digugu dan ditiru. Di Jakarta, ada sekolah yang menjadi sarang predator seks yang bertahun-tahun pelakunya tak tersentuh oleh hukum. Di Sukabumi, seorang remaja menyodomi anak empat tahun hingga tewas, dan korbannya mencapai lebih dari 100 orang.

Daftar itu bisa diperpanjang hingga kita akrab lalu melupakan kengerian-kengerian itu, karena sebuah kebrutalan akan tertindih oleh kebrutalan lain. Paralisis itu akan menumbuhkan frustrasi karena kita seolah tak punya andalan terakhir menghentikan kesakitan massal itu. Kita dipaksa siap menerima kesakitan dan kengerian yang sedang terjadi di tempat lain dan di waktu yang lain. 

Peristiwa-peristiwa itu hanya menunggu giliran diberitakan karena Internet dan telepon pintar memungkinkan sebuah peristiwa tersiar tanpa melalui pena wartawan. Pada akhirnya, dan mungkin ini yang sedang terjadi, kita akan menjadi bebal bersama. 

Toh, berita-berita kekerasan itu kita lihat dan baca sambil bergelantungan di kereta malam, minum cappucino yang hangat di kafe yang gemerlap, lalu membagi dan memberi komentar kengerian itu melalui media sosial, kemudian beralih membaca atau menonton berita lain tentang kuliner yang lezat atau menganalisis langkah elite-elite partai memperdagangkan perolehan suara dalam pemilihan umum.
Kolom di Koran Tempo, 8 Mei 2014.
----
* edit dari versi asli

Thursday, May 15, 2014

BAHASA POLITIK



Dalam buku When Cultures Collide, Richard D. Lewis menganalisis 65 bahasa dari cara bertutur pemakainya dalam diplomasi dan negosiasi. Untuk bahasa Indonesia, ahli komunikasi dari Inggris yang fasih berbicara dalam sebelas bahasa itu menyimpulkan bahwa kita cenderung eufimistik dan ambigu. Jika berbicara, kalimat orang Indonesia tak langsung pada makna dan maksud sebenarnya.

Tentu saja Richard Lewis menganalisis pemakaian dan tuturan bahasa Indonesia modern. Edisi ketiga buku ini terbit akhir tahun lalu dan mendapat penghargaan Klub Buku Eksekutif di Amerika Serikat. Ia mengamati bahasa Indonesia yang sudah terpengaruh oleh bahasa Jawa atau Sunda, bahasa-ibu penutur terbesarnya. Kecuali bagi orang Riau, bahasa Indonesia adalah bahasa asing.

Bagi orang Jawa atau Sunda, bahasa adalah séloka, kata tak mesti diucapkan sesuai dengan makna sebenarnya. Konon, bahasa Jawa dan Sunda paling banyak punya padanan istilah untuk penis dan vagina, sebagai cara kita bersopan santun. Dan eufimisme pada era Orde Baru menjadi alat politik yang efektif untuk memanipulasi keadaan. Tentara yang menangkap dan menginterogasi seseorang disebut "mengamankan", kenaikan harga diumumkan sebagai "penyesuaian".

Politik bahasa lebih dari tiga dekade itu berpengaruh ke dalam bahasa politik kita hari-hari ini. Sampai sebulan sebelum pemilihan legislatif, kita tak tahu dan terus menebak-nebak apakah Joko Widodo akan dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dan sampai hari ini kita tak tahu apakah Jokowi punya keinginan dan niat yang tulus menjadi seorang presiden. Dalam pernyataan publiknya, Gubernur Jakarta ini selalu mengelak, "Copras, capres, copras, capres, ora urus!"

Dalam mandat yang diberikan Ketua PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri pun Jokowi disebut sebagai "petugas partai". Artinya, ia hanya menjalankan titah pihak lain, seorang yang sejak awal tak punya niat menggapai kedudukan itu. Padahal, dari banyak liputan media, kita tahu di belakang dia ada sebuah tim siber yang menyiapkan pencalonannya sejak ia menjabat Wali Kota Solo. Mungkin itu semacam strategi politik, strategi politik di Indonesia.

Sebab, orang yang sejak awal berterus-terang ingin menjadi presiden segera dicemooh sebagai gila kekuasaan. Popularitas politikus semacam ini akan selalu rendah. Pada Jokowi, sejak ia ikut bertarung dalam pemilihan Gubernur Jakarta pada 2012, popularitasnya sebagai calon presiden selalu di atas 40 persen. Di sini, ambisi politik adalah sebuah aib. Dan kita punya kata peyoratif untuk mencemooh pejabat publik yang bekerja sungguh-sungguh: pencitraan.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dihujat ketika ia menangis dalam acara televisi Mata Najwa dan apa yang dilakukannya membereskan ibu kota Jawa Timur itu dicurigai sebagai upaya mendapat simpati publik untuk meraih kekuasaan yang lebih tinggi. Di zaman ketika kenyinyiran disebarkan dengan mudah dan cepat ini, dan kebebalan dipertontonkan 24 jam, kita terbiasa tak mudah percaya.

Dengan cara berkomunikasi kita seperti itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa yang mendua dan penuh sopan santun yang sering kali menipu. Sebagai bahasa yang lahir karena politik, bukan alat politik sejak mula, pemakaian bahasa Indonesia ditentukan oleh elite yang bermain peran di dalamnya.


Kolom di Koran Tempo, 12 Mei 2014

Thursday, May 01, 2014

CEPOT




ASEP Sunandar Sunarya meninggal di usia 58, Senin lalu. Dalam dunia wayang golek, dia seperti Srimulat bagi para pelawak. Asep menjadi pionir dan kiblat mendalang di zaman modern. Inovasi panggungnya sangat terkenal: cepot berkaki satu dengan kepala bisa mengangguk, Gareng sebagai tambahan punakawan, buta copot kepala hingga wayang bisa memuntahkan mi.

Dan bukan hanya karena itu Asep dikenang banyak orang. Ia menghibur karena memenuhi daya khayal penonton akan dunia lain yang disediakan pewayangan. Kita datang ke pertunjukan Asep tak hanya untuk menonton nayaga dan panggung Giri Harja III yang megah, tapi juga menyimak "dunia lain" yang dimodifikasi Asep dari kisah Ramayana dan Mahabharata dengan sangat lokal dan kontekstual.

Di antara sekian banyak tokoh wayang yang berkarakter karena suaranya berbeda-beda, agaknya Asep identik atau mengidentikkan diri dengan Cepot. Inovasinya mendalang sangat bertumpu pada tokoh ini. Asep menciptakan kaki dan kepala Cepot bisa mengangguk, yang membuatnya terkenal ke seluruh dunia. Dan Cepot komplet sebagai tokoh. Meski memanggil Semar dengan "ayah", Cepot bukan anaknya. Ia bayangannya sehingga selalu ada di sisi Semar tiap kali tampil. 

Astrajingga bermuka merah karena ia gampang naik darah. Ia pemarah yang lucu. Muka merah itu berkombinasi dengan hidung minimalis dan bibir menyeringai tertawa lebar menunjukkan satu gigi. Ia punakawan paling lucu dan pintar sekaligus paling filosofis. Ada satu cerita Cepot patah hati serius karena cintanya ditolak seorang putri dan kemarahannya membuat Tumaritis dan Hastinapura guncang.

Tentu saja Cepot tak ada dalam cerita asli Ramayana atau Mahabharata. Cepot kreasi asli dalang-dalang di Jawa Barat untuk dua epos besar India itu. Dan dalang yang berhasil adalah dalang yang bisa memainkan Cepot dengan sempurna: lucu, gampang marah, cerdas, sekaligus omongannya penuh renungan. Sebab, dengan sifat yang witty seperti itu, Cepot ditunggu penonton.

Dalam sebuah jeda perang Ayodya dan Alengka memperebutkan Dewi Shinta, Cepot tampil dengan pikirannya yang unik. Ia berdebat dengan seorang kesatria tentang perlunya berdoa di zaman perang "konyol" itu. Kesatria itu menyergah bahwa doa tak diperlukan manusia karena Tuhan telah menggariskan nasib dan Ia mahatahu apa yang ada dalam hati dan pikiran kita. Dengan gaya humornya, Cepot sampai pada jawaban-jawaban filosofis yang masuk akal dan membumi.

Bagi Cepot, berdoa tak semata meminta dan memohon pertolongan dari sesuatu di luar akal manusia, kekuatan yang tak teraba pancaindra. Bagi dia, berdoa adalah cara bersyukur dan mendekat kepada Tuhan. Pada momen berdoa, kata Cepot, ada pengalaman individual yang transenden dan kejujuran pengakuan sebagai makhluk yang dhaif. Dan itulah iman, sesuatu yang membedakan manusia di mata Tuhan. 

Dengan cara berpikir seperti itu, Astrajingga sesungguhnya tokoh sentral dalam wayang golek. Ia tak melulu arif seperti Semar, tak selamanya bijak seperti Kresna, atau selalu melucu layaknya Gareng. Astrajingga paduan itu semua. Ia mengingatkan pada Nasruddin Hoja atau Abu Nuwas, filsuf yang berpikir dari sisi humor. Asep Sunandar mentransformasikannya dalam kesenian yang amat digemari di Jawa Barat. *


Kolom di Koran Tempo edisi 2 April 2014.