Monday, June 22, 2009

PADA BHISMA, JUGA AMBA

EPOS Mahabharata menjadi kisah menyedihkan sebab ada begitu banyak orang mau berkorban untuk sesuatu yang musykil, karena itu nasib seperti mengutuknya.

Salah satunya Bhisma. Ketika namanya masih Dewabhrata, ia seorang putra mahkota Hastinapura. Ia copot sendiri gelar itu karena rasa hormat kepada ayahnya, Baginda Sentanu, yang ingin menikah lagi. Tak cuma itu, pangeran tampan yang pendiam dan suka merenung ini bersumpah tak akan kawin seumur hidup agar keturunan istri baru ayahnya itulah yang meneruskan dinasti. Konon, para dewa menarik napas dalam-dalam mendengar sumpah itu. Bhisma, Bhisma...

Dan cerita sedih Mahabharata pun dimulai. Hastinapura kemudian diteruskan Wicitrawirya, anak sulung Setyawati, permaisuri baru itu. Agar kerajaan itu terus, agar dinasti itu tak putus, Bhisma pergi ke kerajaan Kasi yang sedang menggelar sayembara mencari suami untuk tiga anak perempuan: Amba, Ambika, dan Ambalika. Bhisma bertempur dan mengalahkan semua penantang. Ia memboyong tiga putri itu untuk adik tirinya yang segera akan dinobatkan.

Wicitrawirya memilih Ambalika, putri sulung yang kelak melahirkan putra mahkota berwajah pucat: Pandu. Konon, bukan dari benih Wicitrawirya sebenarnya Pandu lahir. Wiyasa, seorang resi, lewat ke keputren dan diam-diam meniupkan sukma ke rabu Ambalika. Dan begitulah sebermula kemunculan putra Pandawa, lima pangeran yang menempuh hidup sengsara karena berselisih dengan Kurawa--cucu-cucu Wicitrawirya dari percintaan gelapnya dengan Ambika.

Perselisihan itu dimulai ketika Pandu, raja baru, tiba-tiba meninggal ketika lima anaknya masih bayi. Destarastra, pangeran buta dari rahim Ambika, naik tahta. Mahabharata pun kian membingungkan tentang siapa sebenarnya yang berhak atas kerajaan itu. Pandawa dan Kurawa saling klaim, menaruhkan kekayaan, harga diri, istri, sampai kerajaan, lalu mengakhirinya di padang Kurusetra dalam sebuah perang brutal 15 tahun kemudian. Bhisma ada di pihak Kurawa. Ia juga yang menjadi panglima tentaranya.

Bhisma mati oleh puluhan anak panah yang menghujam seluruh sendi, hingga ia tak bisa mencium tanah karena panah-panah itu menyangga tubuhnya. Tapi pangeran bijak itu, menurut sais keretanya yang menyusun laporan untuk Destarastra, meninggal dengan tersenyum. Matanya berbinar ketika anak panah terakhir menembus merihnya.

Ia tahu siapa yang menembaknya: seorang ksatria cantik ramping yang melesat mengendarai kuda dengan akurasi bidikan panah setara Arjuna, putra tengah Pandawa. Dialah Srikandhi. Tapi ketika panah pertama menembus belikatnya yang tak terlindung lalu roboh bertelekan lutut, Bhisma tengadah dan berseru, "Amba..."

Dan Bhisma mati dengan senyum, seolah telah menuntaskan dan menutup penyesalan yang pedih. Dan ia menyeru Amba.

Memang, putri itu telah ia kembalikan ke istananya, setelah sebuah pengakuan yang mengharukan. Amba bersumpah tak akan menerima pinangan siapapun, kecuali Pangeran Salya, kekasih yang amat ia cintai. Tapi Salya yang bimbang menolak karena menganggap Amba sudah tak suci lagi dan malu telah kalah dalam pertarungan sayembara itu. Amba pun linglung. Ia keluar istana sebagai orang yang ditolak dan direnggut. Ia masuk hutan, menjadi pertapa, dan menderita.

Sejak itu Bhisma menyesali perbuatannya. Penyesalan yang selamanya menggelayuti wajahnya yang teduh. Ia tak bisa menelan tapi juga tak sanggup memuntahkan penderitaan Amba. Maka Bhisma menyeru namanya pada napas yang penghabisan. "Amba telah menyongsongku," katanya kepada Arjuna. "Amba telah menebusku..."