Di perempatan itu, sebuah simpang empat yang sibuk di Jalan Matraman dan Proklamasi, anak usia 6 atau 7 tahun menggendong bayi, menengadahkan tangan kepada para pengendara yang menunggu lampu hijau. Ia mengemis, katanya buat makan. Bayi di gendongannya yang melorot-mungkin usianya baru setahun-tidur terkulai. Bekas ingus mengering di pipinya, lehernya penuh daki.
Di perempatan itu, sebuah simpang empat yang padat oleh sepeda motor dan mobil, dekat Masjid Al-Azhar di Kebayoran Baru, seorang bapak menyeret anak 2 tahun yang kelelahan dipanggang terik Jakarta, mengetuk pintu mobil ke mobil. Mereka mengemis, katanya buat makan anak kecil itu. Laki-laki ini, sekitar 40 tahun, dengan tangan kiri buntung dan jalan pincang, mencoba membujuk setiap pengendara agar memberinya uang seribu-dua ribu perak.
Saya tak perlu meneruskan deskripsi grotesque itu. Di Jakarta, adegan di Matraman dan Kebayoran Baru tersebut bisa meruyak di banyak perempatan. Para pengemis patah tumbuh hilang berganti. Anak-anak yang turun ke jalan kian banyak.
Siapa ibu-bapaknya? Kenapa mereka tak sanggup membuatnya menikmati hidup? Saya juga tak perlu meneruskan pertanyaan klise ini. Yang terang, di perempatan Al-Azhar itu ada juga yang memberikan koin Rp 500 atau seribu rupiah, dan lebih banyak yang melambaikan tangan. Namun, di depan saya, laki-laki buntung dan anak kecil itu mendapatkan kurang-lebih Rp 5.000. Saya tak menengok ke belakang berapa orang lagi yang memberikan koin kepadanya.
Jarak waktu dari lampu merah ke hijau, dan dari lampu hijau ke merah, sekitar tiga hingga lima menit. Lima menit Rp 5.000. Jika si bocah dan laki-laki bertangan buntung ini mengemis 10 jam sehari, ia akan menengadahkan tangan dalam 120 kali lampu merah. Jika tiap kali lampu merah ia mendapatkan Rp 5.000, penghasilannya sehari bisa sampai Rp 600 ribu. Saya bolak-balik memeriksa kalkulator. Ini sama dengan, kira-kira, gaji sebulan seorang manajer yang ke mana-mana diantar sopir dan menyandang predikat kelas menengah.
Matematika mungkin hanya eksak di buku pelajaran. Jika sepertiga dari 13 juta penghuni Jakarta pada siang hari memberikan koin Rp 500 kepada para pengemis ini, ada Rp 2 miliar dalam sehari berputar di jalan-jalan raya, bus-bus reyot, juga perempatan-perempatan untuk "Pak Ogah" yang mengatur lalu lintas. Subsidi "dari rakyat untuk rakyat itu" dalam setahun berarti Rp 730 miliar-setengah nilai subsidi kesehatan gratis di seluruh rumah sakit Jakarta.
Kini presiden baru dan presiden lama saling lempar soal siapa yang seharusnya mencabut subsidi bahan bakar, yang dikonsumsi oleh mereka yang memberikan "subsidi" kepada para pengemis di jalanan. Dan pencabutan subsidi berakibat harga bensin yang naik. Itu berarti harga angkut beras bakal melonjak, dan harga nasi di Jakarta, yang menjadi bahan bakar para pengemis, akan naik pula. Artinya, para pengemis harus lebih giat mengemis agar bisa tetap makan.
Dengan inflasi yang naik, sementara kemampuan belanja setiap orang tak beringsut, yang lahir adalah orang miskin, anak-anak dan laki-laki bertangan buntung itu. Akan makin banyak orang yang punya alasan turun ke jalan menjadi pengemis. Dengan anjuran dan pahala tentang kebaikan sedekah di televisi, dorongan kemiskinan lewat pemangkasan subsidi, lampu-lampu merah akan kian penuh oleh orang yang meminta-minta-dengan sandiwara atau mimik yang begitulah memang faktanya.
Kolom di Koran Tempo edisi 01 September 2014
Kolom di Koran Tempo edisi 01 September 2014