Tuesday, April 18, 2006

MERUBAH SEGALANYA



Lirik lagu memang tak bisa dijadikan rujukan berbahasa yang benar. Seorang teman kebingungan ketika akan menukil sebuah larik lagu Manusia Biasa yang dibuat Radja.

Di sana tertulis, lalu dilafalkan penyanyinya :

...merubah segalanya
mungkin ada kesempatan
untukku...


"Merubah" tentu saja beda dengan "mengubah". Karena merubah bisa berarti "menjadi rubah". Seperti kata "merupakan" yang kini jamak dipakai sepadan dengan "adalah". Tentu saja, Ian Kasela tak berniat menceritakan metamorfosis dirinya menjadi rubah dengan meminta kesempatan sekali lagi... kepada kekasihnya.

Merubah, agaknya, kata yang paling sering disalahpahami. Kata ini muncul tidak saja dalam beragam tulisan, tapi juga pelbagai ucapan. Penyebabnya mungkin karena orang keliru sebab ada kata lain yang mengecoh, yaitu perubahan. Dua aturan harus dijelaskan untuk kata ini tidak saja awal pe- dan akhiran -an.

Dalam teks-teks pidato Bung Karno yang disalin dari pidato-pidatonya di mimbar, kata itu ditulis dengan merobah, seperti umumnya surat-surat yang ditulis para orang tua kita. Juga "di" sebagai kata depan. Pada zaman orang tua kita tak ada beda antara "di" sebagai kata depan dan "di" sebagai awalan. Orang tak sadar, mungkin juga tak tahu, kini dua kata itu sudah dipakai untuk fungsi yang berbeda.

Bahasa Indonesia memang bahasa yang asing. Saya baru berkenalan dengan bahasa ini pada sekitar akhir sekolah dasar. Di kampung saya, jika ada orang bicara memakai bahasa ini akan disebut sebagai orang Jakarta. Tentu saja, si orang Jakarta ini juga memakai langgam Betawi dengan logat Sunda. Walhasil, bahasa Indonesia makin asing saja ketika saya mulai mempelajari bahasa dan sastra memakai rujukan buku Bapak Keraff yang ruwet.

Ada banyak kata--jangankan hasil bentukannya kemudian jika bertemu dengan imbuhan--yang tak dimengerti artinya. Saya, setidaknya, ketika itu masih menerjemahkan bahasa Indonesia dalam rumusan bahasa Sunda di kepala baru menuliskan atau mengucapkannya.

Bahasa Indonesia memang bahasa yang asing. Ada banyak panduan dibuat, tapi kita tetap berdebat menulis "mempunyai" atau "memunyai". Ada kaidah peluluhan kata dasar yang berhuruf awal s, p, k dan t. Tapi untuk beberapa kata tertentu kita juga mengkhianatinya. Kekisruhan ini makin memperumit pemakaian bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia diproklamirkan memang untuk mempersatukan. Sehingga, agaknya wajar, jika centang perenang pemakaiannya terus terjadi hingga hari ini. Belum lagi bahasa asing. Konon, 9 dari 10 kata Indonesia adalah asing. Mungkin benar.

Kita memperlakukan dan menyerap bahasa asing dengan semena-mena. Istilah handphone kini sudah jadi umum. Ini istilah asli yang dibuat orang Indonesia ketika telepon seluler mulai marak. Sebutlah istilah itu di negeri asalnya, pasti orang akan kebingungan. Ada juga yang menyebutnya telepon genggam. Si pembuat istilah ini lupa, telepon di rumah belum sampai digigit ketika dipakai.

"Kita akan makin tahu betapa miskinnya kosakata Indonesia jika menulis teknologi," kata seorang teman yang menjaga rubrik teknologi. Ah, maklumlah, kita tak pandai menciptakan barang sehingga bingung memberi nama benda yang siap pakai.

Sewaktu skripsi, ada yang mempersoalkan istilah yang saya pakai tidak memakai istilah asing dalam tanda kurung. Padahal, istilah itu sudah tersedia dalam kamus dan lebih pas. Misalnya, pembuat keputusan harus mencantumkan pula decision maker. Belakangan saya tahu, yang menganjurkan itu tak punya alasan jelas kecuali hanya agar terlihat lebih keren.

Barangkali inilah penyebab bahasa Indonesia kian terasa asing. Juga aneh.