Tak hanya aurat yang bisa masuk kategori porno--bisa pornografi atau pornoaksi yang sedang diributkan itu. Tapi kesadisan, kebrutalan, dan fantasi menjijikan bisa telajang hadir persis di depan kita. Lewat televisi. Hasrat membunuh ternyata punya jenis kelamin juga.
Di Abepura, kita menyaksikan seorang polisi ditendang dengan telak pelipisnya, lalu roboh, setelah itu seseorang menghatam kepalanya dengan batu. Bisakah kita menyaksikannya sambil makan mi instan? Setelah itu saya tak tidur, tak makan. Adegan itu begitu meneror. Bahkan ketika angin ribut lewat di atap, saya merasakan malam begitu mencekam. Dahsyat. Teror itu tak hadir melalui sebuah fiksi, sebuah film, novel Stephen King, Sade atau Suskind. Teror itu ada; persis dua depa dari tempat duduk saya. Astaga!
Televisi memang bisa menyingkap ketidaktahuan, meringkas jarak, bahkan mengulang waktu. Tiba-tiba saja kita tahu begitu banyak tentang kejadian di luar sana, di luar batas dan bayangan kita sebelumnya. Televisi menghadirkan beragam kejadian yang tidak kita tahu persis seperti aslinya. Tapi, dengan begitu, televisi juga bisa membunuh kita, membunuh daya kreatif kita, membunuh fantasi kita.
Dulu kita tidak pernah tahu di suatu waktu di sebuah tempat ada anak yang membunuh ibunya lewat orang bayaran. Ada bapak yang memperkosa anaknya sendiri hingga hamil, ada banyak hal mustahil, misalnya kesurupan ramai-ramai di sekolah, yang bakal kita saksikan kini. Sekarang semuanya itu tersaji hampir setiap hari. Hampir di semua tempat kejadian itu bisa terjadi berbarengan. Bagaimana ini bisa terjadi?
Ada yang bilang bahwa ini karena televisi menjangkau ke setiap pelosok. Sehingga kita tahu apa yang sebelumnya terjadi dalam gelap. Para juru warta membuatnya jadi benderang. Toh, soal nafsu, soal hantu, soal sakit hati, sudah ada sejak manusia pertama. Ini impuls paling purba yang dimiliki manusia. Benarkah? Apakah benar kejadian-kejadian itu tidak terjadi hanya di zaman sekarang? Benarkah televisi bisa begitu sakti?
Apakah bukan karena pornografi itu sendiri? Kita melihat apa yang terjadi di luar sana. Begitu jelas, begitu "telanjang". Lalu datanglah ilham seperti rumus niat dan kesempatan itu. Dan kita melakukan apa yang dilakukan orang di luar sana itu. Bukankah meniru adalah juga kesenangan manusia?
Maka alangkah benarnya sebuah anggapan bahwa pornografi berbahaya karena bisa memprovokasi orang lain melakukan hal yang sama. Kita melihat demonstrasi di manapun hampir mirip: saling dorong, nyanyi-nyanyi, spanduk, dan rusuh. Pornografi barangkali sejenis jembatan bagi mode yang sedang hangat dibincangkan. Di sekeliling, kita juga melihat bentuk tubuh, pakaian, warna dan bentuk rambut, gigi dan bentuk hidung, gaya jalan bahkan omongan yang mirip dengan yang terlihat, terdengar, terbaca di televisi, koran atau majalah.
Pornografi berbahaya karena bisa mereduksi sifat asli dan paling murni kita. Manusia selalu saja, atau tak sadar dan diam-diam, tergoda untuk meniru. Sebab, meniru bisa sebagai jalan mencari dan menjadi yang asli, meskipun berkhianat pada diri sendiri.
Sedangkan pornografi yang sedang diributkan sekarang itu menyoal definisi yang konyol. Tentang syahwat yang tak akan habis hingga kiamat. Sungguh menyebalkan.