Thursday, March 18, 2004

MENUNGGU BAYI



Aku menunggumu, Bayi, datang pada pelukan pada setiap sore yang anggun. Aku menunggumu, dengan debar yang tak bisa dirumuskan. Aku menunggumu, bukan karena aku telah meniupkan rabu di rahim ibumu. Aku menunggumu, karena aku mencemaskan sebuah petang yang tak tentram ketika ibumu berhenti menyulam.

Tak ada yang lebih mencemaskanku selain sore yang genting, tak ada renyai hujan, atau bau tanah basah, bayi menjerit. Mungkin hanya cemas yang umum dari debar yang memburu.

Aku suka membayangkan kamu di sana memandangku dengan mata yang masih terkatup, tersenyum, pipi yang merona lalu menguap dengan tenang, lewat pejam pelupuk ibumu. Apakah kamu tidur, Bayi, ketika aku amat ingin mengelus keningmu? Di pelupukmu itu, kelak, kecemasan-kecemasan ini, debar-debar ini, akan kukangeni sebagai sajak yang tak berjarak tentang sebuah episode yang menggagumkan.

Kusangka kamu perempuan karena ibumu kerap bermimpi tentang kupu-kupu yang menjelma tamu. Mengetuk pintu yang ditunggu. Maka kusiapkan sebuah nama, semoga kamu mau menerima. Tapi dokter menunjukan penismu lewat layar sonograf. Kamu meringkuk di sana. Ajaib bukan? Ada manusia di dalam manusia. Aku suka bertanya pada ibumu, bagaimana rasanya menghirup udara untuk dua nyawa? Seperti telah kutebak, ibumu menjawab dengan kalimat yang panjang, tak berujung, susah dicerna, tapi aku tahu maksudnya tanpa bisa merumuskannya kembali.

Maka kini aku sedang menyiapkan nama laki-laki. Agak susah, ternyata, menggabung-gabungkan huruf yang ada artinya atau tanpa artinya, yang enak didengar dan mengena. Ah, mungkin karena terlalu banyak kriteria. Padahal nama hanya satu tanda bahwa kamu orang yang berbeda, untuk kesepakatan sebuah definisi; seperti semua orang sepakat menamai bulan, agar orang bisa menceritakan keanggunanan cahayanya yang menimpa pecahan beling di pinggir kali. Shakespeare saja tak meminta nama itu pada bapaknya dulu.

Kadang-kadang, aku ingin menyerahkan saja padamu, nama yang kamu mau; yang bisa berubah setiap kali usiamu bertambah. Tapi kita lahir di dunia yang sudah bernama, karena itu dulu bapakku juga kesulitan mencari nama untukku seperti kakekku saat akan menamai bapakku. Kamu bisa saja menggugat karena aku tak memberi nama untukmu seperti teman-temanmu yang sudah bernama ketika kalian saling menyapa. Sebab itu aku kini sedang mencari nama, semoga kamu mau menerima.

Menunggumu membuatku membayangkan sebuah dunia yang tak lagi terjamah. Karena aku sendiri lupa kapan pertama kali bisa mengingat. Seandainya bisa aku ingin mendengar bagaimana rasanya berdiam dalam rahim ibu? Betapa sempitnya ternyata memori kita. Peristiwa-peristiwa seringkali lindap dan kita lupa mencatatnya. Ingatan yang menempel hanya betapa enaknya jadi anak-anak. Setelah itu dunia makin tidak enak karena ada kebutuhan dan pengetahuan. Aku khawatir tak bisa seperti Sosaku Kobayashi dalam pengalaman hidup Toto-chan.

Sebab itu, Bayi, menunggumu membuatku cemas, benarkah kamu datang sebagai sebuah pesan bahwa Tuhan belum bosan dengan manusia?

Friday, March 12, 2004

SESEORANG DI KURSI DEPAN



Seseorang di kursi depan sebuah bus yang melaju di Jalan Sudirman. Seseorang naik dari halte Ratu Plaza. Tak ada yang mencurigakan pada seseorang hingga bus tiba di halte Komdak. Penampilannya, saat naik, tak membetot mata untuk memandangnya lama-lama. Seseorang duduk begitu saja di kursi depan, dua baris diagonal di depanku. Hanya itu saja, tak lebih, sungguh, hanya itu saja.

Seseorang menarik perhatianku ketika bus masuk terowongan jembatan Semanggi. Rambut seseorang serasa kukenal. Pekat dan kriwil-kriwil tak kenal sisir. Seseorang memakai kemeja tentara dengan bordir beraneka gambar. Lambang Nazi segala di pangkal lengan kanan. Jins seseorang juga kumal. Mendekap ransel Alpina kumal dan robak-robek di jahit-jahitannya. Gaya seseorang mengingatkanku pada Jonggi, seseorang lain di masa lalu, aktivis partai yang teriak paling depan saat demo sebelum rusuh. Tapi Jonggi sudah "insyaf". Dia sudah pulang kampung. Dia hampir bersumpah tak akan singgah ke Jakarta lagi jika tak kucegah. "Siapa tahu kau jadi caleg," begitu kuingatkan.

Seseorang memang bukan Jonggi. Badan seseorang terlalu tegap untuk orang seperti Jonggi yang merokok tak henti-henti tanpa olahraga. Jonggi tak setinggi itu jika duduk. Lagipula untuk apa dia ke Jakarta musim kampanye begini. Dia sudah benci partai kini. Tapi siapa tahu dia berubah pikiran lagi dan bergabung dengan salah satu partai di kampungnya. Aku meyakinkan diri, Jonggi tak akan mau ke Jakarta. Seseorang bukan Jonggiku.

Sikap duduk seseorang mengingatkanku pada seseorang yang lain, juga dari masa lalu. Ada sikap Coki pada duduk tegap yang angkuh seperti itu. Membusung dada dan selalu menganggap remeh pada orang lain. Orang lain dianggapnya cupet meski aku tahu dia juga sering berpikir sempit terutama jika sedang jatuh cinta. Ia kerap tak bisa membedakan mana pujian mana cacian jika ada perempuan yang berhasil membuatnya kepayang, dan tentu saja, menolak cintanya.

Tapi ia bukan Coki yang bapaknya menurunkan gen rambut keriting lidi alias lurus atawa jocong. Coki di Jakarta dan kini sudah perlente jadi pekerja sebuah bank yang mulai pulih. Ia kini wangi dan mainannya ke kafe kalau tak nongkrong di mal mencuci mata untuk melihat belahan dada dan bokong abg. Coki jadi seorang metronis dengan gaji yang lebih dari cukup. Sudah tentu seseorang di kursi depan sebuah bus yang melaju di Sudirman bukan Cokiku.

Ingatanku melayang pada Gimbal, seseorang lain yang bernama asli Muhamad Zaki. Bentuk rambut seseorang mirip benar terlihat dari belakang ketika terakhir kami bertemu. Kudengar Gimbal pulang ke Aceh dan entah jadi apa. Kami tak ketemu kontak lagi. Ia juga tak tersambung internet, mungkin dia sendiri tak menyukai peranti itu. Gimbal ke Jakarta? Mungkin juga. Untuk apa? Ini yang perlu kutanyakan. Bus makin padat dan tersendat karena iring-iringan rombongan simpatisan partai. Ah, bagaimana membayangkan sebuah pertemuan dengan kangen yang mendadak?

Aih, tiga pengamen Batak naik pula berdesak-desakan. Seseorang satu menenteng gitar dan langsung menyanyikan Sajojo. Tiga suara berbeda, bergetar di setiap ujung nada, bertimpang tindih jadi harmonisasi yang enak didengar. Tiga lagu medley: semuanya berbahasa Batak. Sampai selesai mengumpulkan receh dari tiap penumpang. Mataku kini menubruk kepala seseorang di kursi depan lagi. Harus kulihat wajahnya agar penasaranku lenyap.

Dua orang penumpang berdiri hendak turun di halte Mid Plaza. Aku menggeser lutut. Seseorang di kursi depan berdiri juga, he. Aku juga ikut berdiri. Penumpang di belakang bilang permisi mau turun juga. Aku menggeser lagi. Pintu sudah terbuka, seseorang di kursi depan turun, aku mendesak tiga penumpang yang berjalan lelet. Sekilas kulihat wajah seseorang di kursi depan. Heh, dia Marko! Aku bersegera loncat dari bus yang terus melaju pelan. Marko, Marko, kapan kau tiba di Jakarta dan untuk apa?

Aku berdiri di trotoar di luar halte. Marko, seseorang berambut gimbal, telah lenyap.

: nama-nama disamarkan

Tuesday, March 09, 2004

BAHASA

SEORANG guru, Syaiful Pandu namanya, menuliskan keresahaannya di kolom surat pembaca majalah Tempo edisi terbaru. Dia bukan seorang epistoholic. Ia mungkin baru kali ini menulis surat pembaca dan mengirimkannya ke majalah terbitan Jakarta. Pak Syaiful hanya seorang guru yang cemas dengan pelajaran Bahasa Indoneisa. Pelajaran yang telah digelutinya selama dua puluh tahun lebih.

Ia cemas, karena itu ia menulis, "pelajaran ini dibenci sekaligus dipuji." Pak Guru Syaiful mengaku selama 20 tahun itu pula ia tak pernah objektif dalam memberi nilai pelajarannya pada siswa. Ia ingin memberi nilai 6 pada siswa yang tak becus membedakan "di" sebagai kata depan dan "di" sebagai awalan. Tapi rapat guru, dengan kompromi dan kekhawatiran pamor sekolah merosot, akhirnya memberi nilai minimum pada si murid itu sehingga bisa naik ke tingkat berikutnya.

Pak Syaiful protes. Ia kecam kebijakan pemerintah yang "semena-mena" menetapkan tiga pelajaran inti yang harus dikejar setiap siswa agar bisa lulus: Bahasa Indonesia, Inggris, dan Matematika. Pengkotakan ini, tulisnya, tak menjadikan siswa menguasai mata pelajaran yang disukainya. Mereka terpaksa belajar hanya agar nilai ujian tidak jeblog. Ia ingin kebijakan itu dicabut dan "jangan pilih kasih memberi nilai pelajaran."

Baginya tak jadi soal jika seorang siswa harus mendapat nilai 0 jika memang si murid tak mengusai sama sekali sebuah pelajaran. Siswa itu bisa lulus dengan sebuah nilai dari mata pelajaran yang ia sukai dan kuasai. Dengan begitu, katanya, setiap siswa akan terarah minat dan keahliannya. Pak Guru tahu bahwa sekolah bukan pabrik atau penjara (seperti yang dicemaskan di jauh hari oleh Tagore dan Ivan Illich). Sekolah adalah tempat pertemuan para siswa, tempat berbagi cerita, dan melakukan hal-hal yang mereka suka. "Kita hanya mengarahkan saja," tulisnya.

Pak Guru itu cemas regulasi tak mendukung sekolah sebagai tempat untuk memahami. Ia tinggal di Riau dan ia mencemaskan pelajaran Bahasa Indonesia. Agak mengkhawatirkan juga karena Riau adalah tempat bahasa Indonesia berasal. Dari sini banyak lahir para penulis yang punya minat dan jadi "perajin" yang tekun. Jika dari Riau saja seorang gurunya mencemaskan pelajaran ini, bagaimana dengan daerah lain yang baru mengenal bahasa Indonesia setelah Sumpah Pemuda?

Anak-anak Sunda atau Jawa yang setiap hari mendengar bahasa ibu mereka dan berpikir dengan bahasa daerah itu lalu diminta menuliskan pengalamannya dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Anak-anak Sunda agak kebingungan jika mereka harus menuliskan "Saya memukul dia" karena dalam bahasa Sunda struktur kalimat itu jadi rancu. Di Sunda yang ada adalah "gebug sia ku aing". Mereka harus memutar "lidah" agar kalimat pasif di kepala mereka jadi kalimat aktif dalam tulisan bahasa Indonesia.

Pak Guru Syaiful pasti tahu bahasa Indonesia tidak cukup yang baik dan benar saja, tapi juga bahasa yang hidup: bahasa yang mampu menunjukan emosi dan nama-nama dengan tepat. Ia mungkin cemas tentang gejala ini ketika para siswa banyak terengaruh tayangan sinetron yang penulis skripnya tak bisa membedakan "di" itu, ketimbang pengajaran yang diberikannya. Karena itu ia perlu menulis kecemasannya di kolom surat pembaca.

Wednesday, March 03, 2004

YANG LEBIH INDAH



Grey is my favorite color
I felt so symbolic yesterday


[Mr Jones | Counting Crows]

Manakah yang lebih indah, puisi atau teks lagu, sebuah prosa atau tayangan kriminal di televisi? Barangkali kita sulit membedakan mana yang lebih mengagumkan di tengah zaman ketika cerita yang seharusnya hanya ada dalam prosa meruyak dalam kehidupan nyata, mengisi halaman-halaman berita. Kita sulit menentukan mana yang lebih bagus ketika sebuah lagu kini dihargai pada seberapa bagus seseorang menciptakan liriknya, tidak sekedar nada yang mengalun-alun.

Nikolai Chernyshevskii mungkin akan bersorak jika ia masih melihat bulan beringsut sekarang. Ia akan menunjuk, "Lihatlah," seraya bergegas meninggalkan taman yang rimbun, "bulan tak lebih bagus dari lampu pijar di Sudirman." Barangkali, ya, barangkali saja seperti barang di kali yang mengambang, Chernyshevskii memang menulis Hubungan Seni dan Realitet untuk ini zaman yang sudah ndableg. Ia tak cocok ketika hidup di suatu masa di mana semboyan seni untuk seni menghadangnya.

Betapa kini realitas telah merampas apa yang dulu diimajinasikan orang. Dalam dunia yang telah diringkas sedimikian pendek dan tak ada sekat ini realitas jauh lebih mencengangkan dibanding sebuah cerita pendek di halaman koran pada hari Minggu. Kita tak mendapat kejutan pada pagi seraya menyesap kopi di beranda itu. Cerita-cerita berhamburan tak membekas dan nama-nama berseliweran tanpa berhenti menjadi "tokoh".

Kita lebih terkejut pada sehimpun berita yang menayangkan perampok tak berkaki melumpuhkan satpam dan anjing galak di televisi. Kita lebih terkejut ketika seseorang yang ketahuan berbohong diakui sebagai pahlawan. Dengan teknologi orang akan bisa menciptakan senja yang muram yang dulu kita jumpai dalam cerita-cerita Seno Gumira Adjidarma lalu menghadiahkannya kepada pacar sebagai kado Valentine.

120 tahun kemudian mungkin apa yang dibayangkan Tolkien dalam dunia Lord of The Rings akan menjadi kenyataan. Sekolah-sekolah semacam Hogwarts akan dibuka dan anak-anak berduyun mendaftar untuk mendapat sapu terbang. Apa yang disebut Polisi Pikiran yang dibayangkan Orwell dalam 1984 pun akan menjelma menjadi sebuah divisi sendiri di Mabes Polri. Dunia sudah menjadi prosa.

Monday, March 01, 2004

BIARKANLAH MEREMBES




: Untuk Avid yang risau

Bagi yang khawatir, pernahkah dia mengkhawatirkan kekhawatirannya? Setiap suku lahir, membentuk komunitas, tapi pernahkah mereka, pada mulanya, memproklamirkan kesukuannya. Setiap suku lahir dan nama-nama diberikan kemudian. Kata orang Jawa, kata Sunda berasal dari dua kata: asu dan anda. Dan kita ingat cerita tentang Tumang dalam hikayat Tangkuban Parahu. Setiap anak Sunda pasti tahu cerita yang terkenal ini.

Tumang menjadi tokoh yang tersisih dibanding Dayang Sumbi atau Sang Kuriang. Riwayatnya terhenti ketika Sang Kuriang, anaknya sendiri, membunuhnya saat berburu dan mencongkel hatinya untuk diberikan kepada Dayang Sumbi. Tumang tersisih, bukan karena dia sebagai anjing, tapi karena folklor itu juga, agaknya, tak menginginkan cerita besar yang ingin ditampilkannya mengusung Tumang sebagai salah satu tokohnya. Pengakuan pada Tumang hanya sebatas dia sebagai penyebab Sang Kuriang lahir.

Tumang hadir dalam cerita ini ketika ia mengambilkan "taropong", bambu penggulung benang tenun, milik Dayang Sumbi yang jatuh ke kolong gubuknya yang bertiang tinggi. Dayang Sumbi "terpaksa" menjadikan Tumang sebagai suami karena janji yang telah dibuatnya sendiri: "Bagi laki-laki yang bersedia mengambil kainku akan kujadikan suami, dan bagi perempuan akan kujadikan saudara." Putri raja ini agaknya tak memperhitungkan di hutan yang sunyi akan ada manusia lain yang mendengar janjinya itu. Maka Tumang, anjing jantan itu, datang dan lahirlah Sang Kuriang.

Akibat kebohongan Sang Kuriang yang memberikan hati anjing itu pula, bukan hati kijang, Dayang Sumbi kemudian mengusir anaknya dengan satu tanda ayunan sinduk ke kepala Sang Kuriang. Luka di kepala itu kelak yang membuat Dayang Sumbi tak sangsi, pemuda yang melamarnya tak lain anaknya sendiri. Garis cerita kemudian berkutat antara cinta Sang Kuriang yang ditolak kepada ibunya, pembuatan perahu yang tak rampung, dan seterusnya. Setiap anak Sunda mengira kilat yang mengguntur di langit saat hujan adalah penanda Sang Kuriang hampir berhasil menangkap Dayang Sumbi.

Dalam libretto Sang Kuriang (1959), Utuy Tatang Sontani meyakini anjing di sana bukan binatang, melainkan manusia tanpa daksa, yang tuli, yang bisu, tapi setia. Manusia golongan rendah yang pasrah, tak bisa mengelak, saat tombak anaknya sendiri menghantam tubuhnya yang ringkih. Hingga kini belum ada yang menganalisis kenapa hikayat itu menciptakan anjing sebagai asal mula sebuah cerita, bukan hewan lain yang lebih terhormat, misalnya. Karena dalam Islam anjing digolongkan ke dalam hewan najis. Juga babi, yang menjadi ibu Dayang Sumbi. Ajip Rosidi dalam Manusia Sunda (1980) menolak anekdot Jawa yang tak ilmiah itu. Karena hikayat bukan sejarah, katanya. Tapi ia tak membahas lebih detil kenapa anjing yang mempersonfikiasikan Tumang.

Terlepas dari itu, dongeng-dongeng yang hidup di kalangan orang Sunda selalu melukiskan gunung dan sawah, baik sastra klasik, sebelum atau sesudah kemerdakaan, bahkan hingga kini. Dalam sebuah sajaknya, Acep Zamzam Noor menghubungkan seorang petani yang mengayun cangkul, berkutat dengan lumpur di sawah, dalam kesunyian dan kesendirian, dengan gerakan orang yang sedang sembahyang. Dalam Priangan si Jelita, Ramadhan KH menulis sajak panjang yang mempesona tentang lembah-lembah, sawah, pematang, gunung yang cantik.

Jarang sekali para penayir itu melukiskan Sunda sebagai sebuah metro. Sifat-sifat tokoh dalam sastra Sunda pun tak ada yang keluar dari watak dalam folklor yang dimiliki Si Kabayan, Mundinglaya di Kusumah, Purbasari Ayu Wangi, atau Sang Kuriang yang teguh pendirian. Sosok Kabayan muncul dalam Cepot yang doyan banyol dalam wayang golek atau Karnadi dalam cerita Rusiah Nu Goreng Patut (1927) karangan Joehana. Sifat Mundinglaya sebagai ksatria muncul dalam diri Raden Yogaswara sebagai Mantri Jero karya R Memed Sastrahadiprawira. Atau sifat kedewian Purbasari muncul dalam Dewi Pramanik dalam wawacan Purnama Alam karya R Suriadiredja. Agaknya folklor di manapun, selalu muncul seiring dengan keinginan komunitas itu untuk menampilkan identitasnya dalam bentuk sastra lisan. Kota, agaknya, dianggap tak membumi.

Orang Sunda juga tak pernah ekslusif. Setiap cerita dalam sastra atau folklor selalu menampilkan tokoh utama yang keluar dari tanah kelahiran--meski agak mengherankan kenapa orang Sunda tak terkenal sebagai bangsa perantau. Padahal, dalam satu cerita tertua yang mengisahkan penemuan agama Islam mula-mula di Cirebon, tokoh utama sejarah itu melanglang hingga ke Jawa. Islam kemudian memang agama yang paling diterima oleh orang Sunda yang masih menganut Hindu atau Wiwitan. Barangkali, karena orang Sunda--juga seperti orang Jawa--menganut falsafah "mangan ora mangan asal kumpul".

Sejarah Sunda juga mengisahkan keterbukaan menerima budaya dari bukan Sunda. Ketika pasukan Mataram mendarat di pesisir Banten, misalnya, kemudian melahirkan barter barang antara tentara Mataram dengan orang Kanekes di sana. Mataram yang pesisir menukarkan ikan dan hasil laut lainnya dengan kebutuhan dari hasil pertanian. Orang Sunda, mula-mula, hidup di gunung-gunung. Mereka terdesak oleh budaya Utara yang lebih radikal. Mereka selalu menghargai tamu--bahkan menghormatinya sebagai pembawa budaya yang lebih maju (paling tidak tamu adalah orang yang berpesiar)--sesuai dengan falsafah "datang katempo tarang, indit katempo birit". Tamu yang menghormati sopan santun akan lebih dihormati lagi, bahkan secara tak sadar, jika ia menyebarkan misi budayanya. Para penulis sastra kuno di Sunda pun, begitu catatan Ajip, bukan lahir dari orang Sunda murni. Mereka datang ke Sunda karena salah satu orang tuanya kawin dengan orang Sunda lalu menentap di sana. Mien Resmana yang carita-carita pondok-nya selalu menarik punya Bapak orang Bugis.

Karena itu Avid, menampilkan Sunda dengan lebih terhormat, menurut saya, bukan dengan memunculkan ekslusifitas, gaya, dan bungkusnya. Budaya Sunda, sejak lahir, sudah mendekam dan muncul dalam komunitas Sunda sendiri. Sebab itu juga, menurut saya, kesundaan juga tak akan punah. Jika sekarang Bandung, sebagai pusat Sunda (benarkah penyebutan ini?) sudah didominasi oleh sifat-sifat metro, itu hanya karena ke Bandung telah menyerap apa yang disebut lanskap kota. Kota, kata Raymond Williams, (adalah lanskap besar yang) selalu menampilkan kesunyian dan keterpencilan dari identitas asalnya. Cobalah kita tengok ke selain Bandung, apa yang disebut Kesundaan di sana masih muncul. Dulu, di depan Balai Kota Bogor setiap malam minggu selalu ditampilkan wayang golek atau calung. Orang Bogor berduyun menonton pentas itu.

Saya khawatir Kesundaan yang dibungkus dengan ekslusifitas, yang mentereng, hanya akan memberhentikan Kesundaan sebatas panggung--lengkap dengan birokratisasi segala. Maka biarkanlah Kesundaan itu muncul dan merembes di setiap jiwa orang-orang Sunda baik yang di komunitas yang getol, mapun di luarnya. Saya kira, Mangle yang berkertas Cosmopolitan itu agak aneh juga jika cerita pendek di sana menceritakan bagaimana orang seperti Karnadi ngadu untung ka kota. Lakon Perjuangan Suku Naga WS Rendra agaknya pas melukiskan itu. Di sana apa yang "kota" pada akhirnya memenangkan pergulatan. Tapi ini zaman ketika kapitalisme sudah diamini banyak orang baik sadar atau tak sadar, dan gaungnya sampai ke pelosok dibawa oleh "Karnadi-Karnadi" yang pulang kampung. Jika anak-anak Sunda sekarang jarang berbahasa Sunda, itu karena sedikitnya orang Sunda yang mau menulis dengan getol dan melahirkan tulisan-tulisan yang punya ruh Sunda yang kuat. Sebagai "pemerhati" tentu saja dikau harus tertantang.

Ada banyak hal yang belum terungkap dalam sejarah Sunda yang panjang. Ada bahan perdebatan menarik, sebenarnya, ketika Ayatrohaedi meragukan nenek moyang orang Sunda. Menurut tulisannya di Pikiran Rakyat, nenek moyang orang Sunda bukan Ciung Wanara. Seharusnya ini didebatkan, karena dalam pantun lisan, kita tahu, Ciung Wanara adalah orang yang diklaim nenek moyang orang Sunda, yang bertempur melawan Hariang Banga di tepi sungai Cipamali. Menurut Ayat, pengakuan itu barangkali dipicu oleh asal turunan. Ciung Wanara adalah anak dari istri yang sah Ranghyang Sanjaya, bukan anak selir seperti Banga. Ini baru praduga yang seharusnya ditelusuri untuk menemukan mana yang benar. Juga sejarah Ciung Wanara sendiri yang namanya tenar hingga ke Bali--di sana I Gusti Ngurah Rai memimpin laskar yang diberi nama Ciung Wanara. Ini dunia yang tak habis-habis untuk diteliti dan diperbincangkan. Karena itu, Vid, pernahkah khawatir dengan kekhawatiranmu?

UPDATE:

Avid menuliskan tanggapannya di sini