Wednesday, July 24, 2013

GEOGRAFI KEBAHAGIAAN


PERTANYAAN paling purba yang menjadi pencariaan seumur hidup manusia adalah kebahagiaan. Kita tak pernah tahu mengapa kita bisa bahagia. Apakah hewan dan tumbuhan juga bisa bahagia seperti manusia. Puisi Dingin Tak Tercatat yang bercerita tentang kesetiaan manusia pada dunia, karena keindahaan cahaya berenang mempermainkan warna, meski hari beku, adalah pertanyaan pokok di stanza terakhir: Tuhan, mengapa kita bisa bahagia?

Dan jawaban atas pertanyaan filosofis itu dicari Eric Weiner ke sepuluh negara. Ia ingin tahu apa rumusan bahagia orang-orang di negara itu dan kenapa mereka bisa bahagia. Alasan apa yang membuat mereka bahagia dibanding orang-orang di negara lain. Mengapa manusia bisa bahagia di tempat yang satu dan ada yang menderita di tempat yang lain. Apakah tempat yang mempengaruhinya? Atau sistem pemerintahan, atau agama, kepercayaan ataukah semata karena tiap manusia bisa menciptakan bahagianya sendiri?

Hasilnya adalah buku The Geography of Bliss yang mengesankan. Ini catatan jurnalistik Eric Weiner, setelah sepuluh tahun menjadi koresponden National Public Radio di banyak negara. Ia orang Amerika, yang tentu saja punya rumusan bahagia yang khas Amerika. Ia lalu membanding-bandingkannya dengan konsep kebahagiaan di negara lain. Amerika menjadi salah satu bab, sehingga ada 9 negara lain yang ia kunjungi. Beda antara laporan jurnalistik Eric dengan laporan sejenis lain adalah bahwa liputannya bertendens: Eric menetapkan angle dan tema sebelum ia mengunjungi negara-negara itu. Sebaik-baiknyaangle tulisan dirumuskan dalam bentuk pertanyaan: apa dan bagaimana bahagia di negara-negara itu.

Pertama kali ia mengunjungi Belanda, karena di negeri ini ada seorang ilmuwan yang mengurutkan negara berdasarkan indeks kebahagiaan penduduknya. Lalu Swiss, tentu saja. Negara Skandinavia umumnya punya indeks kebahagiaan tinggi, meski pajak di sana mencekik. Tapi pajak itu kembali ke masyarakat dalam bentuk jalan yang rapi, kota yang cantik, masa lalu yang terawetkan pada gedung dan batu padas di kota-kota, bahkan Swiss mengklaim punya toilet kereta paling bersih di dunia.

Pembentukan kota dan sejarah ini kemudian menumbuhkan konsep bahagia, ada istiadat, serta alam pikiran pada orang Swiss. Di Swiss pamer kekayaan itu tak sopan, karena tak ada orang miskin. Justru pamer itu menunjukkan orang itu sedang punya masalah keuangan. Ini terbalik dengan di Amerika yang orang-orangnya berlomba menonjolkan kekayaan dan kebahagiaan. Karena itu tak ada Switzerland Idol atau Finland Idol di negara-negara macam ini.

Orang Islandia juga bahagia, padahal negeri ini selamanya gelap dan beku. Namanya saja "tanah es". Negerinya ngungun, kotanya murung, desa-desanya susut kelabu. Tapi orang-orangnya bahagia. Dalam kemurungan dan kesepian dan dingin kota seperti itu, mereka jadi punya banyak waktu merenung. Imajinasi jadi liar. Dongeng peri, jin, dan dunia lain macam Lord of the Ring muncul dari negeri-negeri sekitar Islandia. Kelakar di Islandia adalah kelak mereka akan mendirikan patung orang Islandia yang tak pernah bikin puisi, sebab semua orang adalah penulis dan penyair--dua pekerjaan dan profesi paling terhormat.

Tapi tak hanya ke negeri bahagia, Eric berkelana. Ia mengunjungi Moldova. Negara pecahan Soviet ini punya indeks kebahagiaan terbawah. Ini seperti sebuah negeri yang tak punya harapan. Seperti ukuran bahagia di negara lain, Eric mereportase kafe, makanan, berbaur dengan orang-orangnya, menyesap sejarah beberapa kota. Di Moldova, masa depan seperti tak ada. Orang-orang akan menerima keadaan kacau akibat politik dan birokrasi yang korup, seolah-olah itu keadaan yang tak bisa diubah.

Ungkapan terkenal di Moldova adalah "Itu bukan urusan saya". Semua orang tak peduli pada kebobrokan situasi. Makanan utama orang Moldova, kata Eric, adalah vodka, korupsi, dan nepotisme. Di negara gagal, harapan sirna, dan orang seperti Eric bersumpah kapok mengunjunginya.

Buku ini kuat dengan riset, juga cara pandang Eric yang menyebrang dari cara pandang umum. Subjudul buku ini adalah "pencariaan kebahagiaan oleh seorang penggerutu". Eric datang ke sebuah negara mencari konsep bahagia, tapi tiap kali ketemu ia mengkritik, menyoal, menyanggah konsep itu. Ia jurnalis yang terlalu skeptis. Karena itu bahagia tak selamanya seperti yang ia rumuskan. Di Moldova tentu ada bahagia menurut ukuran orang-orangnya. Jika tidak, orang-orang di sana pasti sudah bunuh diri. Seperti di Indonesia.

Sayangnya Eric tak ke Jawa. Jika datang ke sini ia pasti tahu bahagia tak semata diciptakan pemerintahan yang bersih. Orang Indonesia tak kurang persediaan untung meski sudah celaka keliwat-liwat. Untung tak mati meski terjerembab lubang jalan karena ongkos perawatannya dikorupsi, untung masih bisa ke kantor meski telat karena jadwal kereta kacau. Sebab bukan demokrasi yang menciptakaan kebahagiaan, tapi orang bahagia lebih mungkin menciptakan demokrasi dan pemerintahaan bersih. Toh Dominique Lapierre menulis City of Joy tentang kebahagiaan para pastor menolong kusta di Kalkuta yang rudin dan brengsek.

Juga ukuran-ukuran sepele namun berasil dipotret Eric. Misalnya, negara-negara tak bahagia karena kekacauan politik adalah terlalu rewel pada mata uang asing negara maju. Di Swiss penjaga toko tak peduli menerima dolar sobek, sementara di imigrasi Moldova atau Pakistan, dolar cacat menurunkan nilainya. Dengan begitu Eric seperti memanggul kamera untuk kita. Deskripsinya melimpah, gerutuannnya kocak dan ngawur tapi terasa benar, kutipan-kutipan filosofisnya mendalam.

Setiap buku bagus selalu mengundang iri kita bisa menulis tema itu seperti itu. Geography of Bliss masuk kategori buku seperti ini.