MEMBASMI korupsi bisa dimulai dari hal-hal kecil. Misalnya, jangan memberi tip kepada pramusaji sehabis makan, kepada petugas hotel, kepada tukang parkir. Di Jepang, urusan tip menjadi urusan sangat serius. Memberi tip adalah dosa dan harus dihukum. Di bandara, di restoran dan hotel, tertera jelas aturan yang melarang memberi tip. Yang ketahuan memberi akan didenda 10 persen dari harga yang kita bayar. Kalau ketahuan memberi tip kepada pramusaji, harga akan dinaikkan sebesar 10 persen, begitu juga harga kamar.
Memberi tip memang mendorong orang untuk korup. Ini bentuk suap halus atas nama jasa. Tip membuat uang yang beredar tak masuk hitungan karena itu lolos dari pajak. Di negeri tertib seperti Jepang, ekonomi bawah tanah seperti ini bisa mengganggu stabilitas. Dengan tak masuk pajak, pemerintah kesulitan mengetahui pendapatan setiap warga. Dengan begitu pemerintah jadi susah memprioritaskan program apa yang paling mendesak. Sebab pajak bisa mendorong orang sadar tentang hak berwarga negara.
Di Jepang, pajak adalah instrumen menegakkan keadilan. Uang pajak yang menjulang itu dikembalikan ke warga berupa kebijakan dan pelbagai fasilitas publik yang bikin hidup jadi nyaman. Ketika emisi karbon dioksida kian mencemaskan karena kebutuhan energi untuk industri dan rumah tangga kian tinggi, pemerintah harus punya program menguranginya. Tentu butuh uang. Maka pemerintah pun berencana memungut pajak perubahan iklim kepada industri dan setiap penduduk.
Tentu saja rencana ini ditentang. Industri tak setuju. Tapi sebuah survei oleh Kementrian Lingkungan menunjukkan warga tak keberatan jika pemerintah memungut uang setara scangkir kopi [1.800 yen] per bulan. Seorang guru bahasa Inggris warga Chiyoda yang saya tanya juga mengaku tak keberatan. "Sebab ini menyangkut hidup kita di depan," katanya.
Dengan adanya aturan pajak linkungan ini [karena itu banyak program mengurangi emisi bisa memakai uang ini], sanksi juga bisa diterapkan. Yang menghasilkan CO2 banyak akan membayar pajak banyak pula. Maka orang terdorong dengan sendirinya mengurangi emisi karbon dengan, antara lain, beralih ke teknologi ramah lingkungan atau hidup hemat energi. Daripada beli mobil yang bisa kena sepuluh jenis pajak, mending naik sepeda atau kereta saja. Industri juga jadi kreatif membuat teknologi baru karena banyak orang membutuhkannya.
Ini terbalik dengan di Indonesia. Kita justru memberi insentif kepada mereka yang mau melaksanakan program pemerintah yang manfaatnya untuk kita-kita juga. Barangkali ini beda negeri kaya sumberdaya alam dengan yang cekak. Orang Jepang dituntut kreatif karena tak banyak yang bisa mereka manfaatkan. Sementara kita tak perlu susah mikir: keluar rumah bisa metik daun untuk makan malam.
Sama halnya dengan tip atawa uang bawah tanah itu. Kita mati-matian ingin bebas dari korupsi, tapi kultur dan mekanismenya tak disiapkan. Konon underground economic semacam ini mencapai 70 persen rasio seluruh ekonomi Indonesia. Jadi, pajak yang hampir Rp 1.000 triliun itu hanya 30 persen dari uang beredar yang tercatat atau dilaporkan. Tak mengherankan karena di Jakarta setiap orang mensubsidi rakyat Rp 5.000 per hari [untuk parkir gelap, pengemis, pengamen, pak ogah].
Tarulah ada 5 juta orang di Jakarta yang begini, uang tak resmi yang beredar sudah mencapai Rp 25 miliar per hari! Jika pajak penghasilan 30 persen, berarti pemerintah kehilangan peneriman Rp 7,5 miliar. Edan.
So, mulai sekarang jangan kasih tip, plis...