Wednesday, March 03, 2004

YANG LEBIH INDAH



Grey is my favorite color
I felt so symbolic yesterday


[Mr Jones | Counting Crows]

Manakah yang lebih indah, puisi atau teks lagu, sebuah prosa atau tayangan kriminal di televisi? Barangkali kita sulit membedakan mana yang lebih mengagumkan di tengah zaman ketika cerita yang seharusnya hanya ada dalam prosa meruyak dalam kehidupan nyata, mengisi halaman-halaman berita. Kita sulit menentukan mana yang lebih bagus ketika sebuah lagu kini dihargai pada seberapa bagus seseorang menciptakan liriknya, tidak sekedar nada yang mengalun-alun.

Nikolai Chernyshevskii mungkin akan bersorak jika ia masih melihat bulan beringsut sekarang. Ia akan menunjuk, "Lihatlah," seraya bergegas meninggalkan taman yang rimbun, "bulan tak lebih bagus dari lampu pijar di Sudirman." Barangkali, ya, barangkali saja seperti barang di kali yang mengambang, Chernyshevskii memang menulis Hubungan Seni dan Realitet untuk ini zaman yang sudah ndableg. Ia tak cocok ketika hidup di suatu masa di mana semboyan seni untuk seni menghadangnya.

Betapa kini realitas telah merampas apa yang dulu diimajinasikan orang. Dalam dunia yang telah diringkas sedimikian pendek dan tak ada sekat ini realitas jauh lebih mencengangkan dibanding sebuah cerita pendek di halaman koran pada hari Minggu. Kita tak mendapat kejutan pada pagi seraya menyesap kopi di beranda itu. Cerita-cerita berhamburan tak membekas dan nama-nama berseliweran tanpa berhenti menjadi "tokoh".

Kita lebih terkejut pada sehimpun berita yang menayangkan perampok tak berkaki melumpuhkan satpam dan anjing galak di televisi. Kita lebih terkejut ketika seseorang yang ketahuan berbohong diakui sebagai pahlawan. Dengan teknologi orang akan bisa menciptakan senja yang muram yang dulu kita jumpai dalam cerita-cerita Seno Gumira Adjidarma lalu menghadiahkannya kepada pacar sebagai kado Valentine.

120 tahun kemudian mungkin apa yang dibayangkan Tolkien dalam dunia Lord of The Rings akan menjadi kenyataan. Sekolah-sekolah semacam Hogwarts akan dibuka dan anak-anak berduyun mendaftar untuk mendapat sapu terbang. Apa yang disebut Polisi Pikiran yang dibayangkan Orwell dalam 1984 pun akan menjelma menjadi sebuah divisi sendiri di Mabes Polri. Dunia sudah menjadi prosa.