Monday, December 21, 2015

BAHASA MEDIA BAHASA KITA






PADA akhirnya bahasa Indonesia adalah himpunan berbagai bahasa daerah, bukan hanya bahasa Melayu yang menjadi akarnya ketika ditetapkan sebagai bahasa persatuan 87 tahun lalu. Jika dilihat dari jumlah penuturnya, bahasa Jawa dan Sunda paling banyak mempengaruhi bahasa Indonesia. Dari 6.000 lebih bahasa di dunia, jumlah penutur bahasa Jawa menempati urutan ke-11.

Media massa adalah biang utama fusi bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia. Setelah pidato-pidato pejabat tak lagi menguasai ruang publik, media massa mengambil alih peran itu dengan mempengaruhi cara bertutur dan menulis para pengguna bahasa Indonesia. Dengan sifatnya yang populer, para wartawan menulis dengan bahasa yang sedekat mungkin dengan pembacanya.

Akibatnya pula, kosakata bahasa Jawa dan Sunda kian lazim dipakai dalam percakapan dan bahasa tulis populer. Para penulis dan wartawan berupaya mendekatkan istilah dan bahasa asing dengan padanan yang terdengar lebih lokal. Pada 1970-an, para wartawan kesulitan mencari padanan relax, kecuali memakai jurus mudah dengan menyerapnya menjadi "rileks". Adalah Bur Rasuanto, penanggung jawab rubrik ekonomi majalah Tempo ketika itu, yang memperkenalkan kata "santai" sebagai padanan relax.

Pada 1971, Tempo menurunkan liputan gaya kerja eksekutif perusahaan negara yang tak mesti datang ke kantor untuk mengendalikan perusahaannya. Mereka menetap di Bogor, padahal memimpin perusahaan gula di Medan. Wartawan Tempo melukiskan, "Di antara para direktur-direktur perusahaan negara, direktur pabrik gula yang paling bisa santai relaks."

Menurut Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi Tempo waktu itu, "santai" adalah bahasa Komering di Sumatera Selatan, kampung halaman Bur Rasuanto. Ketika itu, ia meminta para penulis mencari padanan kata asing yang populer karena sering diucapkan pejabat dan bintang film. Relax tak terlalu enak diucapkan dan bagi sebagian pembaca Tempo terdengar asing. Maka, demikianlah, relax pelan-pelan menghilang digantikan "santai", apalagi setelah Rhoma Irama membuat dan menyanyikan lagunya enam tahun kemudian.

"Betot" istilah baru di sekitar penemuan kata "santai" pada 1971 yang dipopulerkan Benjamin Sueb, penyanyi Betawi paling tenar. Dalam lagu Main Pandjat-pandjatan, ia menyebut kata itu sebagai variasi "menarik" dengan makna yang lebih spesifik. Benjamin ingin menggambarkan adegan seseorang ditarik lengannya oleh orang lain hingga terjatuh. "Betot" diterima sebagai bahasa lumrah ketika kata itu kian banyak dijumpai dalam cerita-cerita pendek Putu Wijaya, sutradara teater yang juga wartawan Tempo. Tak ada penolakan berarti dari khalayak karena, selain dijumpai di Betawi, kata ini umum di kalangan orang Sunda.

"Cuek" kini juga menjadi lumrah sebagai bahasa pergaulan variasi dari "acuh tak acuh" yang terdengar lebih formal. Tempo pertama kali menuliskannya pada 1987, mengutip penyanyi Henny Purwonegoro di rubrik "Pokok & Tokoh" tentang ketidakpeduliannya dianggap aneh bernyanyi sambil menggendong drum. Kata ini "seangkatan" dengan "ngeceng" sebagai padanan "jual tampang" dan "nongkrong" yang umum dipakai anak-anak muda Jakarta yang hobi "mejeng" di lintas Melawai, Jakarta Selatan.

"Kabar burung" istilah yang lebih tua dari itu. Pencetusnya Oey Kim Tiang, penulis cerita silat 1950-an yang tinggal di Tangerang. "Burung" di sana tak merujuk pada unggas, melainkan sebuah kata Sunda yang berarti "gila", "sumir", atau "tak jadi tumbuh". Maka "kabar burung" adalah gosip, berita yang belum jelas kebenarannya.

Setelah itu, kian banyak kata bahasa Sunda yang menjadi umum dan diterima sebagai lema baru kamus bahasa Indonesia. Kini tak ada yang tak tahu arti "ngabuburit" karena peran televisi yang mengkapitalisasi Ramadan. Ngabuburit berasal dari kata burit yang artinya "sore/petang/senja". Awalan "nga" sama dengan "me" dalam bahasa Indonesia yang berarti "menjadikan". Pengulangan "bu" menjamakkan kata dasarnya dengan merujuk pada kegiatan yang dilakukan secara massal. Maka "ngabuburit" adalah kegiatan bersama-sama ketika menunggu berbuka puasa.

"Mudik" sudah menjadi kata dasar yang dicomot dari kata "udik" yang berasal dari Betawi—barangkali karena Jakarta sebagai ibu kota diidentikkan dengan perantauan. Arti sebenarnya adalah selatan, berlawanan dengan "ilir" (utara) atau "hilir" yang menjadi muara sungai, karena laut adanya di utara Jakarta. Mungkin karena daerah selatan Jakarta dulu adalah perkampungan. "Mengudik" pelan-pelan meluluh menjadi "mudik".

"Jangkung", "buru-buru", "boro-boro", "kabur, "lumrah", "tapak", "baheula", "keukeuh", "tanjakan", "tawuran", "gering", hingga "amburadul", yang sudah dipakai orang Sunda jauh sebelum penyanyi Ruth Sahanaya mempopulerkannya, kini lumrah sebagai bahasa Indonesia. Sebentar lagi "blusukan" mungkin akan masuk kamus karena sudah diterima dan menjadi umum sejak Joko Widodo menjadi tokoh yang paling banyak diberitakan dalam pemilihan Gubernur Jakarta pada 2012. Setelah menjadi presiden, ia "mematenkan"-nya menjadi e-blusukan, pertemuan virtualnya dengan masyarakat di banyak tempat.
Kolom di Majalah Tempo edisi 7 Desember 2015

Wednesday, December 16, 2015

MENTERI SUSI DAN BAHASA BIROKRASI



Menteri Susi Pudjiastuti memulai bekerja dari pangkal soalnya: bahasa. Ia membuat surat edaran melarang bawahannya di Kementerian Perikanan dan Kelautan memakai “kata-kata bersayap” dalam menyusun program dan anggaran. Kata-kata bersayap, kata jebolan SMA kelas 2 ini, “bikin saya pusing”.

Sesungguhnya bukan hanya Susi yang pusing. Semua orang telah dibuat pusing oleh kata-kata dan gaya bahasa birokrat kita yang sering kali melenceng dari makna sebenarnya. “Harga bensin disesuaikan” kenyataannya dinaikkan. “Pencuri diamankan polisi” seolah-olah masyarakat lebih buas dan suka main hakim sendiri. “Telah menjadi tersangka laki-laki atas nama Pulan” padahal orang itu memang bernama Pulan.

Susi tengah mempertanyakan kemampuan berbahasa kita, yang gemar memakai kata dan bahasa “tinggi” yang ujungnya tak bisa dimengerti. Kita beranggapan berbicara dan menulis secara ruwet akan menunjukkan kepintaran kita. Padahal semakin ruwet ia berbicara, bisa dipastikan semakin tak paham ia dengan masalah yang dibicarakannya. Karena mereka yang memahami materi justru akan sesederhana mungkin menuturkannya karena berharap orang lain bisa mengerti.

Dan lebih celaka lagi, kata-kata tak dimengerti itu membuat kerja tak efektif. Susi menemukan kegiatan yang dikemas memakai kata bersayap makna itu membuat anggaran Kementeriannya terhambur percuma. Setelah menyetip program yang memakai “kata-kata bersayap” di kementeriannya, Susi bisa memangkas Rp 200 miliar tahun depan. Luar biasa.

Dalam birokrasi kita yang rigid, kata-kata bersayap adalah eufimisme, sopan-santun untuk menyembunyikan niat sebenarnya. “Pendampingan nelayan”, yang terjadi adalah pengecatan perahu-perahu. Tentu saja pengecatan adalah proyek. Dan proyek adalah uang. Apa manfaat bagi nelayan? Jelas tak ada karena nelayan lebih memerlukan harga solar yang terjangkau, aturan yang simpel dan jelas, juga harga dan pasar tangkapan mereka yang terjamin.

Di Jakarta, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama juga mencoret anggaran kegiatan tak penting sampai Rp 2 triliun tahun depan dengan nama yang gagah. Program berjudul “ekstensifikasi sampah” sebenarnya adalah seminar di hotel. Ahok mencoretnya dan meminta anak buahnya pelatihan di kantor saja atau di gedung pemerintah yang gratis

Menteri Susi melaporkan hasil penyetipan itu ke Presiden. Jokowi setuju dan meminta ide Susi itu tak hanya disosialisasikan ke Kementerian lain, tapi “Kementerian lain disusialisasikan”. Ia sendiri meminta tiap kementerian langsung menyebut nama kegiatan yang kongkrit dengan anggaran yang jelas dan birokrat tak gemar menghamburkan anggaran di akhir tahun yang mengakibatkan anggaran sisa jadi melonjak karena sisa anggaran menunjukkan pembangunan tak berjalan.

Kerja politik adalah kerja bahasa karena ia memerlukan manajemen yang efektif. Birokrasi, yang di Indonesia begitu menentukan, adalah gergasi ganas yang siap mengerkah kepalamu yang kosong. Jika birokrasi yang besar itu masih dibebani oleh kata-kata yang tak jelas maksudnya, atau justru menyembunyikan niat jahat di baliknya, ia akan semakin sulit bergerak. Jangan-jangan birokrasi kita melempem pangkal masalahnya karena bahasa yang dipakai adalah bahasa formal yang gagah tapi tak efektif, yang seolah-olah berwibawa padahal kosong makna. Tapi mungkin berlebihan juga berharap birokrasi bisa efektif.

Karena itu ada seorang filsuf Tiongkok yang akan membereskan nama-nama di hari pertama jika ia berkuasa. Tentu ia bercanda, tapi gurau yang menohok karena penting. Kejelasan bahasa itu perlu dan utama sebelum kerja-kerja besar dalam politik. Sebab realita tak terbentuk dari jargon. Apa yang bisa kita pahami dari 9 Nawacita?

Ada satu cerita yang saya dapat dari Amarzan Loebis, redaktur senior Tempo. Konon ini ceritanya nyata, di Jambi. Syahdan, ada pengarahan Bupati di sebuah desa. Bupati ini senang mengutip bahasa Inggris dan menyelipkannya dalam pembicaraan, seperti pejabat pusat yang sering ia saksikan di televisi.

Para kepala desa menyimak dengan takzim, dengan pensil dan buku catatan. Bupati itu mengatakan bahwa “Di zaman sekarang kita harus mengedepankan tujuh poin”. Para kepala desa itu bersiap menuliskan poin-poin tersebut. Namun sampai akhir, Pak Bupati tak menyebutkan satu pun poin-poin tersebut.

Terdorong penasaran, seorang kades memberanikan diri bertanya apa saja tujuh poin yang dimaksud Pak Bupati. Bupati itu kebingungan di tanya begitu. Setelah dijelaskan kalimat mana yang membingungkan, Bupati itu menerangkan bahwa ia bermaksud mengatakan “to the point”.

Bahasa mencerminkan bangsa, konon begitu kata peribahasa. Indonesia masih kusut barangkali karena pemakaian bahasanya kibang-kibut.