BARANGKALI begitu
alurnya: mencari Tuhan pada akhirnya akan sampai pada humor. Seperti Abu Nuwas
atau Nasruddin Hoja, juga film P.K.
India beruntung sekali punya Rajkumar Hirani yang bisa bikin film bagus banget seperti ini. Sutradara ini bisa menyerap hal ihwal yang terjadi di sekelilingnya secara kontekstual dengan bahasa gambar yang memikat. Tentang kita dan India: rumah bagi banyak agama dengan misteri dan kearifannya.
India beruntung sekali punya Rajkumar Hirani yang bisa bikin film bagus banget seperti ini. Sutradara ini bisa menyerap hal ihwal yang terjadi di sekelilingnya secara kontekstual dengan bahasa gambar yang memikat. Tentang kita dan India: rumah bagi banyak agama dengan misteri dan kearifannya.
Ini film yang lengkap: humornya tak menohok, satir
yang tak mengolok, cerita yang padu, ending mengejutkan, akting yang natural,
tema universal, dan cerita ringan yang mempertanyakan soal-soal filosofis
secara jenaka. Humor yang berhasil selalu mengundang kita bersetuju pada cara
dan sudut padangnya mempertanyakan realitas, meski tak harus akur dengan kesimpulannya.
Film P.K mempertanyakan cara kita melihat dan menghidupkan Tuhan, lewat seorang alien yang tersesat di bumi karena remot pemanggil piring terbangnya raib dicuri orang. Cerita P.K adalah cerita pencarian remot itu yang bermuara pada cara manusia memelihara harapan, sering kali lewat agama, dari kacamata seorang alien yang asing dan jolong.
Film P.K mempertanyakan cara kita melihat dan menghidupkan Tuhan, lewat seorang alien yang tersesat di bumi karena remot pemanggil piring terbangnya raib dicuri orang. Cerita P.K adalah cerita pencarian remot itu yang bermuara pada cara manusia memelihara harapan, sering kali lewat agama, dari kacamata seorang alien yang asing dan jolong.
Di India, dan rupanya di mana pun, para penganut
agama menyerahkan segala urusan dunia kepada Tuhan, jauh sebelum apa yang bisa
dilakukannya. Maka ketika alien ini bertanya di mana ia menemukan remot
itu—tentu setelah ia menyerap bahasa Hindi lewat transfer energi dari seorang
pelacur—manusia yang ditemuinya selalu mengarahkannya bertanya kepada Tuhan. Di
mana Dia? Orang menunjuk ke kuil.
Alien ini pun pergi ke kuil, membeli makanan dan
mengantri bersama ribuan jemaat, untuk menyampaikan permohonan. Tapi yang ia
dapat dari kuil itu malah kelapa, bukan remot. Tuhan di kuil itu tak bisa berbuat apa-apa
dengan permohonannya. Ia pun mandi di sungai Gangga, membawa susu sapi, dan
menyiramkan ke tubuhnya. Remotnya tetap tak kembali.
Di gereja juga sama saja, meski ia sudah membawa
dua botol anggur dan selapis roti, melebihi apa yang dianjurkan pendeta. Begitu ke
masjid ia malah dikejar-kejar karena membawa alkohol. Pendeknya Tuhan di semua
agama tak bisa menolongnya mendapatkan kembali remotnya. Ia pun menangis di rumah seorang pengrajin patung Tuhan: dari semua dewa dan Tuhan di sini siapa yang
bisa menolongku?
Sebab tiap Tuhan melarang dan menganjurkan hal yang
berbeda dan bertolak belakang. Tuhan Muslim melarang umatnya makan babi,
sementara Tuhan Nasrani membolehkannya. Tuhan Hindu melarang makan sapi, tapi
penganut agama lain malah menyembelihnya. Tuhan mana yang benar dan harus ia
ikuti agar remot itu kembali dan ia bisa pulang ke planetnya?
Jawabannya datang berhari-hari kemudian, setelah ia
bertemu seorang reporter televisi, dan tinggal di rumahnya. Ia lihat reporter
ini setiap hari menerima telepon yang salah sambung, menanyakan nasib operasi
seseorang. Jengkel karena tak tahu apa yang ditanyakan, perempuan itu menjawab
bahwa orang yang dicari si penelepon itu sudah meninggal. Alien itu terkejut.
“Mengapa kau tega membohongi dia?” katanya. “Bukan membohongi, saya justru
memberikan kebahagiaan. Betapa bahagianya orang itu ketika mendapati temannya
masih segar bugar.”
Begitulah kita selama ini: bertahan dan memohon
kepada Tuhan lewat nomor yang keliru. Tuhan palsu di ujung sana bercanda dengan
memberikan kenyataan tak sesuai permintaan kita. Seperti seorang pemuka Hindu
yang punya ribuan jemaat. Ia menganjurkan seorang jemaat bersemedi di Himalaya
untuk mengobati istrinya yang lumpuh. Bagi pendeta ini, penyakit akan hilang
dengan berdoa di dekat rumah-Nya.
Bagi alien itu, bersemedi adalah cara salah sambung
yang dianjurkan Tuhan palsu. Menurut dia, yang harus dilakukan jemaat itu adalah
kembali ke istrinya ketimbang pergi ribuan mil meningalkan yang sakit. Dari
situlah, jemaat yang mendengar ceramah alien itu mengubah cara pandang terhadap Tuhan dan agama mereka. Bagi alien ini,
Tuhan dan ajaran agama sering disampaikan secara salah sambung melalui
ketakutan.
Dan pikiran seperti ini segera dicap atheis yang
membahayakan stabilitas iman. Maka pendeta yang punya jutaan pengikut itu
mengecam alien ini dan menantangnya debat tentang Tuhan di televisi, karena khawatir umat
yang memberinya sedekah dan kekayaan itu akan meninggalkannya setelah mendengar pikiran-pikiran alien sesat yang terdengar kian masuk akal. Pendeta ini bertekad
menjungkirkan pendapat alien itu untuk “melindungi Tuhan dalam iman kita.” “Jika kamu
ingin menghilangkan Tuhan dari hati manusia, akan diisi apa kekosongan itu?”
“Yang mulia,” kata alien yang menuliskan namanya
sebagai P.K (baca: pi-kai, bahasa Hindi yang berarti "slebor") di surat perpisahan kepada reporter televisi itu, “Kalian menyebut
Tuhan hanya satu, padahal dua: Tuhan yang menciptakan semesta dan Tuhan yang
kalian ciptakan. Tuhan pencipta selamanya tak terjangkau karena maha luas dan
maha besar. Tuhan yang kita ciptakan sempit dan tak asyik: menuntut dilindungi,
dibela dengan darah dan nyawa….”
Dan jika ulasan ini jadi tak selucu filmnya,
barangkali karena humor yang bagus tak bisa diulang sebab ia mengandung
renungan yang kompleks...