Saturday, May 24, 2008

RUSIA DALAM GERIMIS

EMPAT orang anggota drumband Rusia, di sebuah lapangan yang penuh salju dengan latar belakang pohon oak yang kedinginan, memainkan Indonesia Raya tanpa cela. Ada juga bekas tentara yang mengagumi puisi dan cerita pendek WS Rendra. Seorang profesor bahkan menyamakan Pramoedya Ananta Toer dengan Leo Tolstoy dan Shakespeare.

Mereka itu orang-orang Rusia yang cinta mati kepada Indonesia. Mereka pernah bersinggungan dengan negeri ini, menyesap aroma dan deru Jakarta, dan kota-kota kecil di Sumatera dan Jawa, pada sebuah masa, sekitar 40 atau 60 tahun yang lalu. Pada waktu itu, Indonesia dan Rusia menjalin hubungan yang erat.

Tapi ada juga mahasiswi Universitas Moskwa yang baru bisa berharap berkunjung ke pesantren-pesantren di Jawa, yang pengetahuannya terhadap tradisi dan kepercayaan Jawa kuno begitu mencengangkan. Ia fasih mengurai filsafat agama di zaman Majapahit yang belum tersentuh pengaruh Hindu atau Budha, bahkan Islam.

Orang-orang ini hadir dan bersaksi tentang Indonesia yang mereka kenal dalam film Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan. Mereka bersaksi di depan kamera Seno Joko Suyono, teman sekantor yang dahsyat, tentang kapal-kapal selam yang masuk Indonesia di zaman Trikora. Mereka menceritakan pengalaman menjalin hubungan dengan penulis, pejabat, dan tokoh terkenal Indonesia yang sosoknya bahkan tak diajarkan di sekolah-sekolah.

Mereka berbicara dalam bahasa Indonesia yang sempurna. Mereka membandingkan Indonesia sekarang dan Rusia zaman kiwari. Seno, yang menguras tabungannya untuk membuat dokumenter ini, merekam denyut Moskow di pagi dan malam hari, ketika toko-toko suvenir mulai buka di samping butik Esprit yang mencorong, di dekat McDonald yang memajang poster Lenin di huruf M-nya. "Indonesia selalu sama dengan Rusia," kata sebuah suara.

Indonesia, kata suara yang lain, dulu dan sekarang berjalan dalam sejarah yang sama. Ketika pengaruh komunis sudah sirna, dan kapitalisme berkibar, dua negara ini punya presiden yang populer dalam pemerintahan yang kurang disukai. Dan Rusia dan Indonesia kini sama-sama menapaki jalan demokrasi yang sulit. "Orang Indonesia dan Rusia sebenarnya tak pernah ikhlas menjalankan kapitalisme."

Kelompok drumband itu baru saja menyelesaikan refrain Indonesia Raya. Kamera bergerak ke arah St. Petersburg yang tertimbun salju. Rusia, sahabat Indonesia yang kini hampir terlupakan itu, mengigil dalam gerimis.

Friday, May 23, 2008

MASA DEPAN PERS INDONESIA

Menolak dibeli di sebuah keadaan tanpa harapan adalah sebuah harapan. Goenawan Mohamad mengatakan kalimat gawat ini ketika merumuskan masa depan pers Indonesia. Ia cemas terhadap tren para pemodal yang kian tertarik menguasai media massa dewasa ini. Ia cemas membayangkan tak ada lagi suara alternatif yang datang dari pers yang bebas.

Sejak Orde Baru hancur, sensor media tak lagi datang dari kekuasaan. Negara tak lagi ikut terlibat menentukan mana yang perlu dan tidak perlu disiarkan para wartawan. Jurnalis bebas memilih apa yang ingin mereka tulis. Tapi, para juru warta kini menghadapi sensor yang lebih mengerikan, yakni publik sendiri. Mereka marah jika wartawan menyiarkan informasi yang tak mereka inginkan.

Elemen jurnalisme tentang informasi yang diingikan publik barangkali perlu direvisi. Para wartawan tak lagi bebas menentukan mana informasi publik dan mana informasi private. Ketika mereka menyiarkan penindasan terhadap kaum Ahmadiyah, ada pihak lain yang marah dan menuding pers memihak ajaran sesat. Ketika para wartawan menyiarkan korupsi seorang pengusaha, mereka digugat ke pengadilan. Publik, dalam soal ini, menjadi definisi yang sangat kabur.

Kini muncul lagi tren baru yang lebih mengkhawatirkan, yakni sensor yang datang dari modal.

Dalam sepuluh tahun terakhir, peran media cetak praktis menyusut. Tak ada lagi media massa cetak yang memimpin dan mengalahkan pengaruh televisi. Tabung gambar itu begitu membius dan menciptakan pasar baru dalam hal berita dan hiburan. Ke sanalah, para pemodal dan pebinis, kini mengarahkan investasinya.

Hari Tanoe, seperti pengakuannya kepada majalah Tempo, dengan sadar mengalihkan duitnya dari bisnis keuangan ke media. Dalam media, kata pengusaha yang tadinya bikin bisnis manajemen investasi, ada unsur strategis. Benar sekali. Dalam pers yang bebas, media sangat berperan sebagai suara alternatif. Setelah modal masuk ke sana, masihkah adakah yang alternatif itu?

Ada sebuah cerita yang tak bisa diverifikasi, tapi layak disimak karena hikmah di dalamnya. Syahdan, sebuah koran di Polandia, yang getol menulis kasus korupsi pejabat negara, yang menolak membebek omongan para politisi, hampir kolap karena tak bisa bersaing dengan televisi. Seorang pengusaha datang dengan segepok uang. Pemilik dan wartawan koran itu menolak. Mereka tahu konsekuensinya.

Pengusaha itu lalu membuat media baru. Ia menawari wartawan media yang miskin itu pindah dengan gaji tiga kali lipat. Bedol desa pun terjadi. Koran itu kian besar dan menyalip tiras "kakak" tertuanya itu. Si kakak, apa boleh buat, akhirnya tutup sama sekali. Namanya tinggal legenda, sebagai sebuah koran yang penuh idealisme namun keok karena miskin.

Wednesday, May 07, 2008

SUBSIDI

Di perempatan itu, sebuah simpang yang sibuk di jalan Matraman dan Proklamasi, anak enam atau tujuh tahun itu menggendong bayi, menengadahkan tangan kepada para pengendara yang menunggu lampu hijau. Ia mengemis, katanya buat makan. Bayi di gendongannya yang melorot (mungkin baru setahun), sementara itu, tidur terkulai. Bekas ingusnya berleleran di pipi, lehernya penuh daki, ....

Saya tak perlu meneruskan deskripsi yang absurd ini. Sebab ini pemandangan umum di setiap perempatan di Jakarta. Para pengemis seperti patah tumbuh hilang berganti. Anak-anak kian meruyak. Siapa ibu-bapaknya? Kenapa orang-orang itu membikin mereka jika tak sanggup membuatnya menikmati hidup? Kenapa mereka... Ah, saya juga tak perlu meneruskan pertanyaan klise ini. Menanyakan soal ini seperti berteriak di pasar malam.

Di perempatan itu, ada juga yang memberikan koin 500 atau seribu, lebih banyak yang melambai. Di depan saya saja, anak bermuka tirus dan kumal itu mendapatkan kurang lebih Rp 5.000. Saya tak menengok ke belakang berapa orang lagi yang memberi koin kepadanya.

Jarak antara lampu merah ke hijau, dan dari hijau ke merah, sekitar 5 menit. Lima menit 5.000. Jika si bocah ini mengemis 12 jam sehari, ia akan menengadahkan tangan dalam 144 kali lampu merah. Jika tiap lampu merah dia dapat 5.000 maka penghasilannya sehari bisa sampai Rp 720 ribu. Saya bolak-balik memeriksa kalkulator setelah mengalikan angka ini. Ini sama dengan, kira-kira, gaji direktur kantor saya yang ke mana-mana diantar sopir dan menyandang predikat kelas menengah.

Matematika mungkin hanya eksak di buku pelajaran. Di jalanan Jakarta rumus-rumus penjumlahan bisa mengelabui. Sebab, menurut tayangan CNN belum lama ini yang diberi judul "Oliver Twist dari Asia", pengemis anak-anak ini setiap hari menyetor 40 persen penghasilan mereka kepada induk semangnya yang menunggu di kolong-kolong jembatan. Dan mereka tetap saja tinggal di sana seumur hidup. Kemana uang mereka itu?

Jika sepertiga dari 13 juta penghuni Jakarta pada siang hari memberi koin 500 kepada pengemis ini maka ada Rp 2 miliar dalam sehari berputar di jalan-jalan raya, gerbong kereta, bus-bus reot. Subsidi "dari rakyat untuk rakyat itu" dalam setahun berarti Rp 730 miliar--ini dua kali subsidi pemerintah untuk menekan harga pupuk.

Dan kini subsidi minyak bakal kembali dipangkas. Itu berarti harga bensin bakal naik lagi, yang mengakibatkan ongkos angkut beras naik juga, harga nasi pun jadi berlipat. Anak-anak itu--yang menurut konstitusi adalah tanggungan negara, yang terus diproduksi oleh para pengemis di kolong-kolong jembatan--harus membuat sandiwara atau menghiba lebih dalam agar bisa tetap makan.

Friday, May 02, 2008

SOAL ADIL DALAM LIPUTAN

Sebalah kaki seorang wartawan berpijak di pengadilan. Ini pameo yang sering dikutip di kalangan wartawan dan kena benar: menjadi jurnalis adalah menempuh sebuah pekerjaan yang penuh risiko. Tak hati-hati, jeruji penjara menunggu.

Belum lagi risiko saat liputan. Sejauh ini belum ada asuransi khusus kecelakaan karena meliput peristiwa dan mencari informasi.

Tapi, bukan, bukan karena penjara para wartawan takut menulis. Penjara hanyalah salah satu persianggahan saja jika memang itu pilihan terakhir yang harus ditempuh. Yang paling menakutkan para wartawan adalah runtuhnya kredibilitas. Media adalah bisnis kepercayaan. Sekali orang tak percaya tamatlah riwayat media itu. Ia tak akan mendapat tempat.

Karena itu orang meminta undang-undang yang mengatur pekerjaan wartawan itu lex specialist, tidak disamakan dengan pengadilan untuk seorang kriminal. Pengadilan pun ditempuh dengan pengadilan sebelumnya, yakni prosedur dan kode etik. Dua hal inilah yang akan menentukan kredibilitas seorang wartawan masih tegak atau runtuh. Saya kira, wartawan yang terpaksa masuk penjara setelah dua hal krusial ini terpenuhi akan melenggang dengan dada membusung.

Setiap kali selesai menulis sebuah laporan investigasi, saya selalu bertanya kepada diri sendiri: sudahkah saya menempuh prosedur itu dengan benar. Kaitan fakta-fakta, logika cerita, sampai kesimpulan yang nampak dari seluruh tulisan itu. Juga soal adil. Sudahkah saya adil terhadap fakta, data, informasi yang saya dapatkan lalu saya kunyah lalu saya muntahkan itu; dan adil kepada narasumber.

Para "tersangka" dalam sebuah tulisan jurnalistik adalah tertuduh dengan tanda kutip. Mereka, dalam jurnalisme yang sehat, juga punya hak mendapat tempat. Sebab, kebenaran terdapat di mana-mana, termasuk di tempat-tempat yang tidak kita suka. Maka lahirlah kemudian wejangan yang menyebutkan agar wartawan memelihara sikap skeptis dan mau terus menguji asumsi dan hipotesis-hipotesisnya.

Tulisan jurnalistik tentu saja bukan pengadilan publik. Kesimpulan yang ada di sana adalah kesimpulan yang terbatas pada fakta yang terungkap di sana saja. Wartawan bukan seorang penyidik--meski metode yang tempuh keduanya mirip. Penyidik, dengan segala kewenangannya yang dilindungi undang-undang, bisa meminta semua data, merokonstruksi fakta-fakta dan kesaksian, lalu menjatuhkan vonis.

Karena itu ada "kebenaran jurnalistik" ada "kebenaran hukum". Dua-duanya bisa sama, dua-duanya seringkali berbeda. Dalam jurnalistik--karena keterbatasan daya jangkau para wartawan--selalu ada ruang salah dari kebenaran-kebenaran yang ditampilkan itu.