Sunday, March 29, 2015

IRONI PAGAR RUMAH KITA

Esai di Koran Tempo, 23 Maret 2015

PAGAR di rumah kita bisa menjadi tonggak yang menandai betapa ganasnya korupsi di Indonesia. 

Seorang mantan tetangga di Jakarta bercerita ia baru saja meninggikan pagar rumah, hingga ujungnya hampir menyentuh wuwungan. Celah antara tembok dengan genteng itu pun masih ia tambah lagi dengan menanam besi yang ujungnya tajam dan lancip sehingga mirip jeruji.

Berangkali bukan lagi mirip, besi itu adalah teralis yang mengerangkeng penghuni rumah itu dengan dunia luar. Tembok itu tak sekadar demarkasi, tapi telah memutus hubungan sosial dengan tetangga lain. Dengan tembok itu pergaulan  di lingkungan perumahan itu sebatas bertegur sapa saat membuang sampah, itu pun jika bukan pembantu rumah yang melakukannya. Rumah tetangga itu mirip sel karena tak jauh beda dengan penjara Cipinang. 

Cerita tetangga tentang tembok itu bukan sesuatu yang aneh. Sejak kota-kota tumbuh di Indonesia, rumah ditandai dengan pagar yang tak lagi berfungsi sebagai façadetapi benteng perlindungan. Ia dibangun bukan sebagai bagian dari estetika. 

Tentu ada sebabnya. Tetangga saya ini baru kehilangan sepeda motor untuk yang keempat kali. Ia menduga pencuri itu masuk ke garasi meloncati pagar lalu menggunting gemboknya dari dalam dan--dengan kelihaian yang tak terbayangkan--pencuri itu mendorong sepeda motor yang dikunci dan dilengkapi alarm itu ke luar halaman. Maka tetangga saya ini meningkatkan kewaspadaan dengan menutup celah di antara pagar dan wuwungan.

Tetangga saya paham belaka soal fungsi pagar yang tak pada tempatnya. Ia mengorbankan ihwal estetika itu karena merasa tak aman di rumahnya sendiri. Ia--seperti juga kita yang putus asa--merutuk peran dan fungsi negara yang tak hadir melindungi penduduknya di tempat yang seharusnya paling tak bisa disentuh kejahatan dari luar. Di akhir obrolan ketika bertamu itu ia menyimpulkan bahwa penyebab semua itu adalah korupsi.

Menurut dia, korupsi telah menciptakan pasar gelap penjualan sepeda motor sehingga ada sekelompok orang yang menampung barang-barang hasil curian lalu menjualnya di pasar barang second lengkap dengan surat asli tapi bodong. Surat-surat "asli" itu memungkinkan penjual dan pembelinya tak bisa dilacak dan dijerat secara hukum, bahkan ketika pengemudinya kena tilang.

Lingkaran setan ini yang mengabadikan pencurian dan begal selalu tak bisa ditumpas. Seandainya hukum dan kekuasaan bekerja semestinya, kejahatan klasik itu bisa dicegah dari hilir yakni deteksi atas barang-barang ilegal. Jika penjual dan pembeli barang curian akan dihukum berat, pasar gelap ini dengan sendirinya akan mati karena tak ada lagi permintaan. 

Dengan hukum yang jalan dan korupsi ditekan, tetangga saya dan kita tak akan membangun tembok rumah sedemikian ketat. Kita akan merobohkannya sehingga tak ada lagi sekat antar tetangga yang menandai rekatnya hubungan sosial antar warga negara. Korupsi mendorong kita membangun tembok yang merusak keindahan rumah, tempat yang seringkali kita dirikan dengan perjuangan kerja yang sungguh-sungguh. 

Bahkan lebih gawat dari itu, kita membangun sesuatu yang memisahkan hubungan sosial dengan tetangga, tujuan kita membangun rumah di permukiman.