Di majalah Tempo
edisi 30 November-6 Desember 2015, ada kartun Hariprast tentang peringatan Hari
Guru. Hari menggambar seorang guru memakai baju Korpri sedang memegang telepon
seluler di depan murid-muridnya, yang juga memegang telepon seluler. Teks
kartun itu adalah "Guru ngetweet
berdiri, murid selfie berlari".
Kalimat itu adalah pelesetan dari peribahasa “guru kencing berdiri, murid
kencing berlari". Kartun itu punya dua aktualitas sekaligus: Hari Guru dan
apa yang terjadi kini ketika semua orang punya akun Twitter. Dan kalimat itu pas sebagai kartun, parodi atas kejadian
sehari-hari, juga pas sebagai contoh di zaman Internet ini: bahasa bisa begitu
lentur mengadopsi satu sama lain.
Kalimat itu sepenuhnya campuran bahasa Indonesia, bahasa
slang, dan bahasa Inggris, plus bahasa istilah. "Ngetweet" adalah bahasa slang dari "men-tweet", yang
diturunkan dari "tweeting"
dengan arti harfiah "mencuit" yang mengacu pada suara burung, lambang
aplikasi Twitter. "Selfie" adalah bahasa Inggris yang
dibentuk dari "self",
diri-sendiri. "Selfie"
istilah yang populer setelah kebiasaan memotret diri sendiri dengan telepon
seluler yang mengacu pada memfoto diri sendiri.
Hari memilih bahasa percakapan ketika menuliskan kalimat
untuk kartunnya. Ia tak setia pada kaidah pemadanan kata yang sesungguhnya
sudah mulai dicoba dipopulerkan. "Mencuit" ketika mengacu pada akun Twitter akan dipahami sebagai
"membuat kalimat 140 karakter
pada media sosial Twitter".
Dalam kamus, tentu saja, "mencuit" dengan arti seperti ini belum
tertampung.
Ada juga yang mencoba memadankan "selfie" dengan "swafoto", yang merujuk pada
"pemotretan yang dilakukan sendiri". Sebab, jika kamera dipegang
orang lain, ia bukan "selfie"
kendati obyek fotonya hanya seorang diri. Kegiatan itu disebut
"pemotretan" saja. Kini ada lagi istilah turunannya, yakni "wefie", yang terbentuk dari "we" (kami, kita) dan
"fie"—kependekan dari "selfie". Artinya: pemotretan oleh
diri sendiri secara bersama-sama.
Ada anjuran kalimat asing dipadankan, seperti Ahmad Sahidah
yang setuju menyebut "komedi tunggal" untuk stand-up comedy di lembar ini di edisi 30 November 2016—mengacu pada
padanan lain semacam "organ tunggal". Sahidah kurang setuju dengan
"jenakata", yang lebih merujuk pada pemakaian kata-kata sebagai
senjata humor oleh pelawak. Sebab, sebelum televisi memakai "stand-up comedy" sebagai judul
acara, Butet Kertaradjasa hanya disebut seniman "monolog".
Di televisi dan media sosial, juga kalangan anak muda,
pelawak tunggal itu disebut "komika", yang diserap begitu saja dari
"comic" dalam bahasa
Inggris, yang berarti "pelawak", bukan "komedian tunggal"
atau "jenakatawan". "Komika" mulai populer kendati
menyalahi kaidah turunan kata dan kisruh dengan "komik", cerita
bergambar di media massa. Penggambarnya tak disebut "komika",
melainkan "komikus", karena "-kus" dalam aturan baku
menyebut orang dari sifat yang diterangkannya. "Komika" bukan pula
sifat dari "komik", karena adjektivanya adalah "komikal".
Agaknya saling kejar padanan dengan istilah di zaman
Internet seperti membandingkan deret ukur dan deret hitung. Terlalu banyak
istilah gabungan dari pelbagai kata yang diturunkan lagi menjadi kata baru dan
menabrak kaidah bahasa Indonesia. Kamus selalu telat merespons perkembangan
bahasa, bentukan, bahkan kata baru yang muncul dengan arti yang spesifik dan
melenceng dari arti kata yang sudah ada.
Sebab, "wefie" itu, jika dirujuk pada kegiatannya,
pada faktanya, ya, itu foto bareng belaka. Bahwa pemotretannya tak dilakukan
oleh fotografer yang tak ada dalam obyek kamera, hasilnya adalah tetap foto
bersama-sama. Dan "wefie" kian populer, meninggalkan istilah
"foto bareng", apalagi "swafoto", yang terasa ketinggalan
zaman meski terbentuk dari frasa yang sangat lokal.
Barangkali itu karena bahasa asing, terutama Inggris, kian
tak asing bagi orang Indonesia. Pola pengajaran di sekolah yang memakai dua
atau tiga bahasa pengantar membuat generasi kini tak hanya akrab dengan bahasa
asing, tapi juga memakainya sebagai bahasa kedua. Dengan Internet yang
menghilangkan sekat-sekat negara, pemakaian bahasa Inggris kian luas.
Istilah-istilah pun diserap begitu saja dan dipercakapkan
tanpa peduli silsilah dan padanannya. Bahasa memang kesepakatan bersama karena
serapan bahasa asing sudah terjadi sejak manusia mulai bisa berbicara. Tapi
kekacauan yang saling meniadakan dari bahasa asal dengan bahasa lokal membuat
makna kata dan istilah baru itu kian melenceng. Dari sisi ini, Internet agak
mencemaskan.