Wednesday, December 16, 2015

MENTERI SUSI DAN BAHASA BIROKRASI



Menteri Susi Pudjiastuti memulai bekerja dari pangkal soalnya: bahasa. Ia membuat surat edaran melarang bawahannya di Kementerian Perikanan dan Kelautan memakai “kata-kata bersayap” dalam menyusun program dan anggaran. Kata-kata bersayap, kata jebolan SMA kelas 2 ini, “bikin saya pusing”.

Sesungguhnya bukan hanya Susi yang pusing. Semua orang telah dibuat pusing oleh kata-kata dan gaya bahasa birokrat kita yang sering kali melenceng dari makna sebenarnya. “Harga bensin disesuaikan” kenyataannya dinaikkan. “Pencuri diamankan polisi” seolah-olah masyarakat lebih buas dan suka main hakim sendiri. “Telah menjadi tersangka laki-laki atas nama Pulan” padahal orang itu memang bernama Pulan.

Susi tengah mempertanyakan kemampuan berbahasa kita, yang gemar memakai kata dan bahasa “tinggi” yang ujungnya tak bisa dimengerti. Kita beranggapan berbicara dan menulis secara ruwet akan menunjukkan kepintaran kita. Padahal semakin ruwet ia berbicara, bisa dipastikan semakin tak paham ia dengan masalah yang dibicarakannya. Karena mereka yang memahami materi justru akan sesederhana mungkin menuturkannya karena berharap orang lain bisa mengerti.

Dan lebih celaka lagi, kata-kata tak dimengerti itu membuat kerja tak efektif. Susi menemukan kegiatan yang dikemas memakai kata bersayap makna itu membuat anggaran Kementeriannya terhambur percuma. Setelah menyetip program yang memakai “kata-kata bersayap” di kementeriannya, Susi bisa memangkas Rp 200 miliar tahun depan. Luar biasa.

Dalam birokrasi kita yang rigid, kata-kata bersayap adalah eufimisme, sopan-santun untuk menyembunyikan niat sebenarnya. “Pendampingan nelayan”, yang terjadi adalah pengecatan perahu-perahu. Tentu saja pengecatan adalah proyek. Dan proyek adalah uang. Apa manfaat bagi nelayan? Jelas tak ada karena nelayan lebih memerlukan harga solar yang terjangkau, aturan yang simpel dan jelas, juga harga dan pasar tangkapan mereka yang terjamin.

Di Jakarta, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama juga mencoret anggaran kegiatan tak penting sampai Rp 2 triliun tahun depan dengan nama yang gagah. Program berjudul “ekstensifikasi sampah” sebenarnya adalah seminar di hotel. Ahok mencoretnya dan meminta anak buahnya pelatihan di kantor saja atau di gedung pemerintah yang gratis

Menteri Susi melaporkan hasil penyetipan itu ke Presiden. Jokowi setuju dan meminta ide Susi itu tak hanya disosialisasikan ke Kementerian lain, tapi “Kementerian lain disusialisasikan”. Ia sendiri meminta tiap kementerian langsung menyebut nama kegiatan yang kongkrit dengan anggaran yang jelas dan birokrat tak gemar menghamburkan anggaran di akhir tahun yang mengakibatkan anggaran sisa jadi melonjak karena sisa anggaran menunjukkan pembangunan tak berjalan.

Kerja politik adalah kerja bahasa karena ia memerlukan manajemen yang efektif. Birokrasi, yang di Indonesia begitu menentukan, adalah gergasi ganas yang siap mengerkah kepalamu yang kosong. Jika birokrasi yang besar itu masih dibebani oleh kata-kata yang tak jelas maksudnya, atau justru menyembunyikan niat jahat di baliknya, ia akan semakin sulit bergerak. Jangan-jangan birokrasi kita melempem pangkal masalahnya karena bahasa yang dipakai adalah bahasa formal yang gagah tapi tak efektif, yang seolah-olah berwibawa padahal kosong makna. Tapi mungkin berlebihan juga berharap birokrasi bisa efektif.

Karena itu ada seorang filsuf Tiongkok yang akan membereskan nama-nama di hari pertama jika ia berkuasa. Tentu ia bercanda, tapi gurau yang menohok karena penting. Kejelasan bahasa itu perlu dan utama sebelum kerja-kerja besar dalam politik. Sebab realita tak terbentuk dari jargon. Apa yang bisa kita pahami dari 9 Nawacita?

Ada satu cerita yang saya dapat dari Amarzan Loebis, redaktur senior Tempo. Konon ini ceritanya nyata, di Jambi. Syahdan, ada pengarahan Bupati di sebuah desa. Bupati ini senang mengutip bahasa Inggris dan menyelipkannya dalam pembicaraan, seperti pejabat pusat yang sering ia saksikan di televisi.

Para kepala desa menyimak dengan takzim, dengan pensil dan buku catatan. Bupati itu mengatakan bahwa “Di zaman sekarang kita harus mengedepankan tujuh poin”. Para kepala desa itu bersiap menuliskan poin-poin tersebut. Namun sampai akhir, Pak Bupati tak menyebutkan satu pun poin-poin tersebut.

Terdorong penasaran, seorang kades memberanikan diri bertanya apa saja tujuh poin yang dimaksud Pak Bupati. Bupati itu kebingungan di tanya begitu. Setelah dijelaskan kalimat mana yang membingungkan, Bupati itu menerangkan bahwa ia bermaksud mengatakan “to the point”.

Bahasa mencerminkan bangsa, konon begitu kata peribahasa. Indonesia masih kusut barangkali karena pemakaian bahasanya kibang-kibut.