Tubuhnya kecil. Sewaktu berdiri berdampingan dengan Presiden Yudhoyono cuma setengah kepalanya yang lebih tinggi dari pundak presiden kita itu. Jalannya agak bungkuk, tapi sorot matanya tajam. Jasnya itu, aduh. Celana dan jasnya ngatung. Tanpa dasi cuma kemeja putih. Sederhana betul orang ini. Saya menyaksikannya dari jarak satu meter.
Dialah Mahmud Ahmadinejad, seorang Presiden Iran. Ia sedang mengunjungi Jakarta lalu akan ke Bali menghadiri pertemuan puncak negara-negara berkembang. Setelah mengucapkan salam, ia mencium Yudhoyono tiga kali: dua di pipi kiri, satu di pipi kanan. Keduanya lalu melakukan pertemuan tertutup.
Satu-setengah jam kemudian mereka muncul ke hadapan puluhan kamera. Ahmadinejad diam dan jarang senyum. Nada bicaranya datar. Penjelasan soal kerjasama ekonomi hanya seperti selingan dan basa-basi kunjungan pertamanya ini. Sebab yang pokok adalah penjelasan soal nuklir.
Ahmadinejad berbicara panjang lebar untuk menjawab pertanyaan singkat dan sederhana seorang wartawan dalam bahasa Parsi yang diterjemahkan ke dalam Inggris. Tapi, agaknya inilah hal pokok yang ia bawa ke Indonesia. Ia sedang menggalang dukungan karena negerinya sedang dirutuk Amerika.
Ia mengulang pernyataan-pernyataan sebelumnya soal program nuklir dan kelakuan Amerika yang menentangnya. Meski dengan nada datar, dari bibirnya keluar makian "pembohong besar" untuk Amerika. Ia kukuh menjalankan programnya karena merasa itu haknya Iran sebagai negara berdaulat. "Kami, setiap negara di dunia ini, punya hak mengembangkan teknologi tinggi," katanya.
Agaknya yang pokok kini bukan lagi soal nuklir, tapi sikap Ahmadinejad itu. Ia menyuguhkan satu contoh yang tepat tentang keberanian dan kekuatan. Ia merecok Amerika dengan menukik ke jantung ketakutan negara-negara Barat dengan membuat isu nuklir.
Bekas walikota Teheran yang gemar membagikan sup kepada orang miskin, memotong tunjangan pejabat tinggi untuk dibagikan kepada mereka yang melarat, itu merasa perlu menghembuskan isu itu karena dunia sudah jenuh dengan sikap arogan Amerika. Ia ingin menciptakan dunia yang damai, karena itu Amerika harus diimbangi. Sebab, ketika Amerika melaju sendirian mereka tak terbendung. Amerika akan selalu mencari "musuh" baru setelah Uni Soviet tumbang untuk mencapai cita-cita sebagai polisi-dunia. Maka terciptalah hantu teroris, rezim Saddam dan seterusnya.
Eropa yang punya potensi tak bisa diharapkan. Aliansi Jerman dan Prancis yang menentang invasi ke Irak melempem. Asia tak kunjung bersatu. Negeri-negeri Islam tercerai sudah sejak lama. Afrika sibuk membebaskan diri dari jerat kemiskinan dan amuk perang saudara. Maka Ahmadinejad tampil menyeru dunia.
Ia pasti tahu saat dunia vakum ketika Amerika dan Soviet sudah berhadapan di Teluk Kuba. Dua-duanya ingin menyerang dan pamer kekuatan. Tapi toh sifat manusia akhirnya muncul. Ketika rudal-rudal siap ditembakkan, ketika bom siap diledakkan, dunia terdiam. Keduanya mundur dan kiamat tak datang lebih cepat. Konon, jika dua kekuatan nuklir itu meledak berbarengan, tujuh bumi saja tak sanggup menampung letusannya.
Kita tidak tahu babak akhir drama ini. Ahmadinejad sudah mengirim surat 18 halaman ke Presiden Bush tentang kemunduran nilai-nilai demokrasi dan diacuhkan. "Kami tak peduli," katanya. Arogan dan nakal memang harus dilawan dengan sikap itu juga.
Dialah Mahmud Ahmadinejad, seorang Presiden Iran. Ia sedang mengunjungi Jakarta lalu akan ke Bali menghadiri pertemuan puncak negara-negara berkembang. Setelah mengucapkan salam, ia mencium Yudhoyono tiga kali: dua di pipi kiri, satu di pipi kanan. Keduanya lalu melakukan pertemuan tertutup.
Satu-setengah jam kemudian mereka muncul ke hadapan puluhan kamera. Ahmadinejad diam dan jarang senyum. Nada bicaranya datar. Penjelasan soal kerjasama ekonomi hanya seperti selingan dan basa-basi kunjungan pertamanya ini. Sebab yang pokok adalah penjelasan soal nuklir.
Ahmadinejad berbicara panjang lebar untuk menjawab pertanyaan singkat dan sederhana seorang wartawan dalam bahasa Parsi yang diterjemahkan ke dalam Inggris. Tapi, agaknya inilah hal pokok yang ia bawa ke Indonesia. Ia sedang menggalang dukungan karena negerinya sedang dirutuk Amerika.
Ia mengulang pernyataan-pernyataan sebelumnya soal program nuklir dan kelakuan Amerika yang menentangnya. Meski dengan nada datar, dari bibirnya keluar makian "pembohong besar" untuk Amerika. Ia kukuh menjalankan programnya karena merasa itu haknya Iran sebagai negara berdaulat. "Kami, setiap negara di dunia ini, punya hak mengembangkan teknologi tinggi," katanya.
Agaknya yang pokok kini bukan lagi soal nuklir, tapi sikap Ahmadinejad itu. Ia menyuguhkan satu contoh yang tepat tentang keberanian dan kekuatan. Ia merecok Amerika dengan menukik ke jantung ketakutan negara-negara Barat dengan membuat isu nuklir.
Bekas walikota Teheran yang gemar membagikan sup kepada orang miskin, memotong tunjangan pejabat tinggi untuk dibagikan kepada mereka yang melarat, itu merasa perlu menghembuskan isu itu karena dunia sudah jenuh dengan sikap arogan Amerika. Ia ingin menciptakan dunia yang damai, karena itu Amerika harus diimbangi. Sebab, ketika Amerika melaju sendirian mereka tak terbendung. Amerika akan selalu mencari "musuh" baru setelah Uni Soviet tumbang untuk mencapai cita-cita sebagai polisi-dunia. Maka terciptalah hantu teroris, rezim Saddam dan seterusnya.
Eropa yang punya potensi tak bisa diharapkan. Aliansi Jerman dan Prancis yang menentang invasi ke Irak melempem. Asia tak kunjung bersatu. Negeri-negeri Islam tercerai sudah sejak lama. Afrika sibuk membebaskan diri dari jerat kemiskinan dan amuk perang saudara. Maka Ahmadinejad tampil menyeru dunia.
Ia pasti tahu saat dunia vakum ketika Amerika dan Soviet sudah berhadapan di Teluk Kuba. Dua-duanya ingin menyerang dan pamer kekuatan. Tapi toh sifat manusia akhirnya muncul. Ketika rudal-rudal siap ditembakkan, ketika bom siap diledakkan, dunia terdiam. Keduanya mundur dan kiamat tak datang lebih cepat. Konon, jika dua kekuatan nuklir itu meledak berbarengan, tujuh bumi saja tak sanggup menampung letusannya.
Kita tidak tahu babak akhir drama ini. Ahmadinejad sudah mengirim surat 18 halaman ke Presiden Bush tentang kemunduran nilai-nilai demokrasi dan diacuhkan. "Kami tak peduli," katanya. Arogan dan nakal memang harus dilawan dengan sikap itu juga.