Saturday, March 15, 2003

MINYAK




15 Maret 1938. Tanggal ini menjadi penting, karena untuk pertama kalinya para insinyur menemukan ladang minyak di Arab Saudi. Sebuah penemuan yang berpuluh tahun kemudian akan mengundang petaka. "Minyak," kata seorang mantan Raja Iran, "adalah petaka bagi dunia Arab." Kita tahu ucapan yang masyhur dari seorang raja Iran sebelum dimakjulkan itu akan menjadi benar bahwa minyak menjadi alasan yang paling inti sebuah kekuasaan bisa menaklukan nyawa manusia.

Raja itu, Syah Reza Pahlevi, kemudian mendapat tentangan dan disingkirkan karena berupaya menghalangi orang untuk mendapatkan bahan bakar itu. "Cerita tentang minyak," kata dia kemudian, "adalah kisah yang paling tidak manusiawi yang pernah dikenal manusia." Minyak itu pula yang membuat ngiler setiap penguasa, dan menerbitkan pelbagai revolusi berdarah yang memakan tumbal nyawa manusia, batas, dan geografi.

Dalam The Shah's Story, sebuah biografi Pahlevi yang diterbitkan pada 1980-an, raja itu bercerita bahwa minyak melahirkan pelbagai persekongkolan ekonomi dan politik yang melahirkan teror, kudeta, dan revolusi berdarah. Untuk itu, sekali lagi, dengan tegas tapi bernada murung, ia bilang bahwa minyak adalah petaka.

Aneh juga memang, di sebuah wilayah dengan minyak yang melimpah, selalu saja ada kemiskinan sebagai korban. Minyak bukan sumber daya yang langsung berpengaruh pada hajat hidup orang banyak, seperti cabai, misalnya. Minyak perlu pengelolaan yang apik dengan teknologi. Dan teknologi bukan berasal dari wilayah yang disebut Dunia Ketiga. Teknologi berasal dari wilayah kekuasaan yang punya duit. Para insinyur berbondong-bondong bekerja di negeri asing.

Itu pula yang terjadi kini, dan mungkin seterusnya. Saat pertama kali orang menemukan minyak, masyarakat Yunani Kuno melempar minyak-minyak itu untuk membakar kapal-kapal musuh yang merapat ke pantai. Baru pada 1859, di Pennsylvania, Colonel Edwin Drake mengebor sebuah sumur sedalam 69 kaki. Sejak itu pengeboran menjadi salah satu cara untuk mendapatkan minyak bumi.

Tapi semakin tua bumi, semakin beragam kebutuhan orang. Pesatnya jumlah penduduk menjadikan teknologi menjawab pelbagai kebutuhan itu dengan beragam tawaran. Dan teknologi, tentu saja, berimbas pada semakin meningkatnya kebutuhan bahan bakar. Amerika kini sedang butuh minyak.

Diperkirakan konsumsi minyak Amerika akan meningkat 30 persen dalam dua dekade dan menjadi dua kali lipat menjelang 2020. Tapi, Kelompok Pengembangan Kebijakan Energi Nasional AS pada Mei 2001 mengumumkan bahwa produksi minyak dalam negeri akan berkurang 21 persen dalam jangka 20 tahun ke depan. Karena itu, bidikan Amerika jelas: Irak menjadi penghalang pengusaan minyak di Timur Tengah, terutama di lautan Coxswain.

Kendati Amerika menyangkal target serangan itu adalah minyak, tetapi senjata pemusnah massal, toh dugaan itu sudah menjadi rahasia umum. Strategi penaklukan Taliban di Afganistan lalu menggantinya dengan rezim pro adalah langkah yang paling gampang dicium untuk melebarkan strategi lanjutan ke Timur Tengah. Meski, Saddam Husein sendiri mempunyai catatan sejarah yang tak gampang ditolelir dalam ceruk kekuasaannya.

Orang-orang di sekeliling Presiden Bush, adalah para pembisik yang jas dan dasinya berbau solar. Sementara anggaran belanja untuk senjata dan tentara jauh lebih besar dibanding anggaran untuk kebutuhan lain. Maka, tak ada jalan lain selain memanfaatkan anggaran itu untuk memburu "hantu" teroris Usamah Bin Ladin dan menggempur Irak, serta menaklukan dunia untuk mewujudkan impian jadi globo-cop.

Ucapan Pahlevi makin terdengar benar hari-hari ini, menjelang tenggat keputusan Dewan Keamanan PBB merestui bergeraknya 200 ribu tentara Amerika yang sudah bercokol di Turki dan perbatasan Irak lainnya. Lobi yang gencar dengan iming-iming penghapusan utang, pinjaman yang besar, menggoyahkan negara miskin yang punya suara di PBB untuk berpaling mendukung Amerika.

Saya ingin menulis tentang minyak karena ini menyangkut nasib dan trauma jutaan manusia pekan depan, juga karena minyak, ternyata, ditemukan orang di Arab pada 15 Maret.