Monday, August 04, 2003
PALESTINE ATAWA JURNALISME KOMIK
Seno Gumira Ajidarma
Majalah internasional Time edisi 12 Maret 2001, melaporkan pembantaian mengerikan yang berlangsung di Sampit. Peristiwa itu menjadi cover story. Namun perhatian saya terbelokkan oleh penemuan lain, sebuah laporan empat halaman dari Hebron, kota di Tepi Barat Jalur Gaza yang delapan puluh persen wilayahnya (H1) dikontrol oleh Otoritas Palestina, sedangkan sisanya (H2) diduduki militer Israel. Laporan empat halaman itu berwujud komik dengan tata warna, namun tanpa kesan lucu (comic) sama sekali. Laporan berwujud komik itu sama serius dan meyakinkannya seperti setiap laporan jurnalistik yang lain, dan komikus atau pekomiknya disebut sebagai wartawan komik (comic journalist). Komik di sini sudah tidak berarti lucu lagi, melainkan nama untuk suatu bahasa, yakni bahasa komik. Jadi sarana penuturan dalam jurnalisme bukan hanya tulisan, foto, atau siaran langsung audio dan visual, tetapi juga komik : panil-panil bermuatan gambar, teks, dan komentar, yang disusun sebagai suatu tuturan.
Tidak ada yang saya ketahui mengenai Joe Sacco, wartawan komik itu, sampai beberapa bulan kemudian saya temukan sejumlah komik dalam bahasa Inggris bertajuk Palestine dengan embel-embel di bawahnya: mature readers (pembaca dewasa). Biasanya predikat macam itu terdapat dalam komik bersubyek seksualitas, seperti tanda PG atau parental guidance (didampingi orangtua) bagi sebuah film, karena komik terbiasa diandaikan hanya merupakan bacaan anak-anak, tapi yang dimaksud dewasa di sini rupanya sama sekali lain. Komik ini, seperti yang saya temukan di majalah Time, adalah sebuah seri laporan jurnalistik dari wilayah pendudukan militer Israel di Palestina. Angka tahun menunjukkan 1993, artinya pengetahuan saya sudah terlambat lebih dari tujuh tahun, dan semoga ini tidak mewakili pengetahuan para wartawan Indonesia. Komik itu disebut secara resmi sebagai magazine, dari kalimat lengkap No part of this magazine may be reproduced without written permission from Fantagraphics Books or Joe Sacco, dan kredit nama Joe Sacco sampul depan ditulis kecil sekali. Boleh dibilang tidak proporsional kecilnya, seperti ingin menegaskan bahwa tidak ada kepengarangan (authorship) dalam laporan jurnalistik berbentuk komik itu. Dalam jurnalisme komiknya, sebagai wartawan Joe Sacco berkonsentrasi kepada penindasan militer Israel di wilayah H2 atas penduduk Palestina, yang telah menghuni tempat itu selama 700 tahun, sampai Israel menguasainya pada 1967.
Mereka mendatangkan para pemukim Yahudi sebagai bagian gerakan Zionisme pasca Perang Dunia II, yang merasa berhak menempatinya sebagai Tanah yang Dijanjikan, dan berlangsunglah konflik tak berkesudahan yang salah satu dampaknya adalah hancurnya Menara Kembar New York pada 11 September 2001. Dilaporkan dalam jurnalisme komik itu, kehidupan sehari-hari yang tidak terdapat di tempat manapun di dunia. Betapa warga Palestina hidup terus menerus dalam penindasan yang mirip Nazi gaya baru, karena militer Israel bersikap diskriminatif, kejam, dan barangkali justru ketakutannya menimbulkan kecurigaan berlebihan. Diceritakan misalnya bagaimana seorang perempuan Paletina bisa ditangkap, disekap, dan disiksa, karena dicurigai sebagai anggota pergerakan, tanpa alasan yang mendasar. Lantas begitu saja dilepaskan karena tidak pernah bersedia membuka mulut. Joe Sacco keluar masuk rumah-rumah warga Palestina di H2, mondar-mandir antara H1 dan H2, untuk melakukan wawancara, dan menuturkan kembali apa yang didengar dan dilihatnya dalam bentuk komik.
Jurnalisme dalam komik, bagaimanakah hal itu dilangsungkan? Kalau kita membaca berbagai edisi Palestine, beberapa hal menjadi jelas. Kita melihat gambar-gambar dalam panil dengan teks dan komentar. Teks adalah ucapan sumber berita, dan komentar adalah penjelasan sang wartawan, atau juga sumber berita. Karena ini komik, maka ucapan sumber berita tidak tampil dalam kutipan, melainkan gelembung komik atau balon kata-kata. Menarikkah komik yang hanya berisi gambar dan kata-kata sumber berita? Setidaknya dua faktor menonjol dari Palestine, pertama, bahwa Joe Sacco mempunyai cara bertutur yang meyakinkan sebagai suatu bentuk laporan jurnalistik; kedua, bahwa kehidupan sehari-hari masyarakat yang menggerakkan intifada itu memang sangat dramatik. Namun kata "menarik" untuk komik Joe Sacco tidak bisa diucapkan tanpa menanggung perasaan bersalah, karena tokoh-tokohnya adalah penduduk sipil yang menanggung derita faktual, bukan fiktif. Lebih baik dikatakan bahwa Palestine adalah laporan jurnalistik dalam bahasa komik yang mencekam.
Tentu harus dijelaskan, bagaimanakah komik yang dimaksudkan sebagai reportase itu bisa diterima sebagai penggambaran fakta. Kata-kata atau penulisannya masih bisa dipadankan dengan jurnalisme yang manapun, dari koran, radio, dan TV, tetapi apakah gambar coretan tangannya bisa mengambil alih tugas akurasi yang biasa dipikul jepretan kamera foto maupun sinefotografi? Ternyata bahwa Joe Sacco seolah-olah mampu memungut realitas secara langsung, tanpa perantaraan teknologi yang dingin, yang membuat coretan gambarnya mendenyutka kembali kehidupan di H2 yang penuh teror, karena kontrol sepenuhnya kepada setiap titik dan garis yang menjadi coretan gambar. Dalam ekspresi wajah misalnya, Joe Sacco membantu pemandangnya untuk merasakan emosi terpendam di balik kepasrahan, dalam penderitaan sekian lama, tanpa tanda-tanda akan pernah selesai. Berbagai tipe wajah ini, mulai dari aktivis, kaum ibu, maupun orang-orang di jalan, digarap dengan mempertimbangkan dampak penindasan bertahun-tahun yang terbaca dari ekspresinya.
Cara Joe Sacco menggambarkan lingkungan H2, karena ia mencoret langsung, memungkinkannya mengangkat titik-titik perhatian yang kamera tidak akan mampu melakukannya. Lubang-lubang peluru pada tembok di dalam rumah misalnya, sebagai bukti tindakan brutal militer Israel, tergambar lebih dramatis ketimbang misalnya sebuah foto yang akan memperlihatkannya sebagai dokumen otentik. Apabila dalam jurnalisme tulis terdapat teknik parafrase, ketika wartawan mengalimatkan sendiri ucapan sumber berita, karena tidak mungkin seluruh ucapan dikutip langsung, maka pernahkah dibayangkan bagaimana Joe Sacco harus memparafrase kisah sumber beritanya dalam bentuk komik?
Sebetulnya Palestine banyak menggambarkan isi kepala sumber beritanya,selain apa yang dilihat, apalagi dialami, oleh Joe Sacco. Boleh dibilang Palestine merupakan kombinasi pengalaman dari dua ekstasis waktu, yakni pengalaman masa lalu sumber berita, yang ditangkap dari wawancara; dan pengalaman masa kini Joe Sacco sendiri.
Sehingga pertanyaan berikut menjadi masuk akal: bagaimanakah distorsi bisa dihindarkan, dan apakah suatu gambar bisa obyektif? Tetapi Joe Sacco bersikap sebagai seorang antirealis, yang tidak mengandaikan bahwa realitas yang sebenarnya mungkin ditangkap, melainkan berusaha mengungkap juga posisi dan pandangannya atas peristiwa yang digambarkan, sehingga pembaca atau pemandang bisa menafsir dan mengambil kesimpulan, untuk memahami realitas itu dengan caranya masing-masing. Itulah sebabnya, jika dalam jurnalisme komik untuk Time pembaca akan menjumpai sudut pandang orang pertama dalam tulisannya saja; maka dalam Palestine pembaca bahkan akan melihat si aku, Joe Sacco sendiri, dalam gambar. Dengan cara itulah pembaca berpeluang mempertimbangkan posisi Joe Sacco sebagai narator, sehingga realitas yang mereka terima selalu merupakan realitas dalam kesepakatan tertentu.
Dalam hal parafrase, meskipun riwayat sumber berita tidak dilihatnya sendiri, tapi harus digambarkannya kembali, tampak bahwa Joe Sacco melakukan riset yang teliti. Artinya, setiap tempat kejadian perkara bisa diperiksanya ulang, sehingga penuturannya bisa dipertanggungjawabkan. Bila perlu, ia perlihatkan juga bagaimana sumber berita menunjukkan berbagai bukti kepada dirinya, sebelum atau setelah ia menceritakan ulang kisah para saksi mata itu. Jelaslah bahwa Palestine akhirnya menjadi dokumen penindasan warga sipil oleh militer Israel, yang jam malam dan berbagai penculikannya telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari di wilayah itu. versus sipil, karena warga Palestina di situ memang penduduk Israel. Joe Sacco menampilkan konflik itu sebagai masalah orang kecil, bukan politik. Profil berbagai organisasi seperti Al-Fatah yang moderat atau juga Front Pembebasan Rakyat Palestina yang radikal dalam Palestine tampak marjinal, sesuatu yang tidak pernah muncul secara resmi. Rupanya organisasi semacam itu berada di bawah tanah. Joe Sacco juga berkisah tentang cara-cara mereka merekrut anggota yang penuh kerahasiaan. Namun adalah penduduk sipil yang menggerakkan intifada, suatu hal yang tidak pernah mampu dilakukan organisasi perlawanan manapun.
Melalui Palestine, dunia berbahasa Inggris mendapatkan sudut pandang yang sama sekali baru, karena Joe Sacco tidak berpretensi menghadirkan jurnalisme dalam konstruksinya yang baku: eksklusif, apalagi aktual, sekaligus "menjual", yang merupakan keharusan dalam bisnis jurnalistik. Seperti diketahui, dalam bisnis jurnalistik, perusahaan pers lebih mentingkan tiras penjualan, dan kepentingan inilah yang langsung-tak-langsung menentukan kebijakan peliputan. Tetapi Joe Sacco keluar masuk rumah penduduk sipil, tidak mencari nama-nama besar, melainkan mendengarkan cerita di balik dinding, dan terungkaplah sejarah penindasan yang mengalir di bawah permukaan. Tidak peduli peristiwa itu sudah berlangsung beberapa bulan, bahkan bertahun-tahun yang lalu.
Dunia internasional mungkin menyaksikan highlight intifada dan berbagai demo dalam pemakaman korban, lengkap dengan komentar para petinggi dari koran dan televisi, tetapi hanya komik Joe Sacco melaporkan teror malam hari, penculikan orang terluka di rumah sakit, dan riwayat para korban yang selamat. Joe Sacco melukiskan rumah warga Palestina dari dalam, apa yang mereka makan dan minum, ada barang apa saja di dalam rumah, serta bagaimana mereka hidup selalu dalam keadaan tertindas, dengan cara bertutur yang berada di luar konstruksi jurnalisme untuk bisnis.
Jurnalisme Joe Sacco adalah jurnalisme personal, karena jurnalisme komik tidak dianggap lazim, tapi justru karena itu jurnalismenya menangkap hal-hal yang luput dari perhatian para konglomerat dalam bisnis jurnalistik. Siapapun yang memperhatikan bagaimana Joe Sacco menggambarkan dirinya sendiri dalam komik itu akan percaya, bahwa pengetahuan memang hanya bisa didapatkan dengan pendekatan yang rendah hati. Palestine dari tahun 1993 sampai 1995 pun, yang terbit tiga bulan sekali, mampu eksis sebagai saksi kekejaman militer Israel sampai hari ini.
Dengan demikian, melalui Palestine ia melakukan gebrakan dalam bidang jurnalistik maupun komik. Akar komik Joe Sacco sebetulnya diinspirasikan oleh komik underground di Amerika Serikat yang menolak diperiksa Comics Code Authority yang didirikan tahun 1955. Kalaupun diperiksakan, maka kemungkinan juga akan mengalami kesulitan, mengingat kebijakan pemerintah AS yang sangat dipengaruhi oleh kubu Yahudi. Meskipun membanggakan dirinya sebagai benteng demokrasi, negeri itu tidak sama sekali bersih dari black listing: suka memprasangkai orang lain. Komik Joe Sacco ini menjadi representasi kultur underground bagi jurnalisme dunia Barat, karena empatinya yang gamblang kepada warga sipil Palestina. Tetapi apakah Joe Sacco berpihak kepada warga Palestina, dengan suatu prasangka terhadap militer Israel? Tidak juga. Dalam laporan Time, ia mewawancarai dua belah pihak dengan sangat seimbang; dan dalam salah satu edisi Palestine diperlihatkannya bagaimana seorang serdadu Israel, seorang Yahudi Amerika yang bertugas di Ansar III (kamp tahanan yang menjadi "sekolah" para anggota pergerakan) ternyata membangun hubungan akrab dengan para tahanan.
Bahwa komik Joe Sacco adalah suatu karya jurnalistik, menunjukkan perbedaan dengan komik biasa pada hilangnya uatu penanda. Pembaca tidak akan menemukan monolog interior, atau solilokui, yang biasa terwujudkan sebagai balon renungan (bukan balon kata-kata), karena Joe Sacco yang berani menggambarkan kilas-balik sumber-sumbernya, tampaknya tidak mengandaikan dirinya bisa membaca pikiran di dalam kepala sumber beritanya itu.
Barangkali Joe Sacco bukan wartawan komik yang pertama, karena Illustrated London News membangun reputasinya berdasarkan kesaksian para ilustrator yang mendampingi tulisan atas peristiwa-peristiwa dalam negeri maupun perang di luar negeri pada 1842. Namun menurut saya itu hanya karena fotografi belum mampu dimanfaatkan secara efisien dalam jurnalistik. Toh disebutkan oleh Roger Sabin (Comics, Comix & Graphic Novels, 1996), bahwa Joe Sacco engembalikan
gaya verite dari zaman pra-kamera seperti yang ditampilkan ilustrasi saksi mata majalah berita bergambar zaman Victoria. Bagi saya, Joe Sacco tidak mengulang para pendahulunya, dengan pensilnya ia mengisi ruang tak terliput oleh media jurnalistik yang canggih sekalipun dalam abad sibernetik ini, sebagai suatu alternatif baru. Sebetulnya, tidak satu bahasa pun akan mampu menggantikan bahasa lain, maupun media satu menggantikan media lain, karena secara timbal balik setiap bahasa dari setiap media membangun unikumnya sendiri, meski sama-sama diabdikan kepada satu hal: komunikasi antarmanusia.
Demikianlah catatan ini, sekadar perkenalan untuk mengundang studi mendalam kepada bahasa dan media komik, yang hampir selalu dilecehkan kemungkinannya untuk menjadi bagian dari diskursus intelektual.
Diambil dari sebuah milis yang mengutip [aikon!]edisi Februari 2002
Subscribe to:
Posts (Atom)