Monday, June 29, 2009

PERKAWINAN

DIA menelepon sambil tersedu. Perempuan yang merungkupkan syal ke kepalanya untuk menahan hembusan angin mesin pendingin, yang duduk di sebelah saya dalam sebuah bus yang membawa kami ke Bandarlampung.

Dia menelepon sambil tersedu, dalam isak yang tertahan, dan bicara yang dipelan-pelankan. Bus sudah mau masuk pelabuhan Merak. Artinya, itu hampir jam 00. Saya sempat tidur sebentar tadi, karena playlist mp3 sudah melewatkan tiga lagu yang tak saya ingat: Sad Song, Try Not to Remember, dan Breaking The Habit, lalu terbangun karena grasak-grusuk perempuan itu mencari teleponnya.

Tak jelas benar apa yang dia obrolkan. Lagipula, telinga saya penuh oleh lagu-lagu unplugged Nirvana. Saya mencoba tidur lagi, mengingat kejadian yang sudah lewat, membayangkan kejadian yang akan datang, peristiwa berkelebatan saling susul, yang sedih, yang lucu, yang konyol, yang bikin dongkol, kenangan-kenangan masa kecil, masa setengah besar, masa besar, betapa hidup penuh kejutan, selalu ada benang merah dari setiap peristiwa, dan di luar skenario manusia ("Tuhan itu pelawak ulung," kata seorang tokoh dalam A Father's Affair, sebuah novel dari Karel Glastra van Loon, yang mengisahkan pencarian seorang ayah mencari ayah anaknya).

Saya hampir memasuki alam bawah sadar [ini istilah hipnoter Rommy Rafael yang sebelum ia terkenal, istilah itu saya temukan dalam biografi Sigmund Freud], ketika perempuan itu tiba-tiba bilang, "Maaf ya, kalau saya tadi mengganggu." Dalam rembang pikiran dan ingatan, saya menduga itu bukan suara untuk si peneleponnya. Itu maaf untuk orang lain.

Saya buka mata dan menoleh, dia melihat saya, mengangguk. Jadi jelas, itu maaf untuk saya. Daripada disebut tak sopan, saya copot earphone lalu balas mengangguk dan bilang "Oh, tak apa..." Saya menduga percakapan basa-basi itu akan berakhir sampai sana, meskipun agak aneh juga. Saya belum pernah menemukan sopan-santun Timur semacam itu: meminta maaf kepada orang asing dalam kendaraan umum karena takut mengganggu setelah bertelepon sambil menangis.

Dan percakapan itu tak berhenti sampai di sana. Dia--sampai sekarang saya tak berhasil mengingat wajahnya--bilang lagi, "Tak ada perkawinan yang sempurna." Ha? Jadi itukah yang bikin dia menangis? Apakah di telepon itu suaminya atau orangtuanya atau anaknya atau adiknya atau selingkuhannya atau ... Saya tak mau menduga-duga. Dia menunduk. Dan tentu saja saya tak menanggapi kalimat terakhir itu. Saya betulkan duduk, memeriksa sandaran kepala, memastikan tas ada di tempatnya. Jelas saya tak sedang bermimpi.

Saya tak memasang lagi earphone, kalau-kalau dia bicara lagi. Dalam kepala saya bilang, tentu saja tak ada perkawinan yang sempurna, yang ada adalah perkawinan yang disempurnakan. Dan sempurna adalah definisi yang paling absurd, untuk sebuah hubungan antar manusia. Bagaimana dua orang yang berbeda isi kepala bisa saling menaut dan mengait lalu menempuh satu tujuan yang sama. Dan perkawinan adalah hasil peradaban manusia yang paling lucu, lagi-lagi ini kutipan dari Karel van Loon. Di sini kita terbiasa berusaha melucu dengan membedakan perkawinan dan pernikahan.

Tapi sampai bus masuk kapal, sampai pikiran saya capek menduga-duga, dia diam saja dan terus menunduk. Ujung syal menghalangi mukanya dalam temaram lampu bus malam. Mungkin dia menyesal kelepasan ngomong, kepada orang asing yang duduk bersebelahan sekitar 6-7 jam. Mata saya yang belum terkatup dua malam mulai berat. Ketika alam atas-sadar terkumpul lagi, bus sudah hampir masuk stasiun Tanjungkarang. Saya buru-buru turun dan lupa berpamitan kepada perempuan yang bertelepon sambil tersedu.

Thursday, June 25, 2009

WAJAH

DUNIA adalah mahaprosa dan puisi sekaligus. Nasib sering terasa begitu main-main dan kerap terlampau memaksa mengajak berpikir.

Sebelum Putu Wijaya menulis cerita tentang seseorang yang ketinggalan kepala di bandara Changi, lalu menukarnya dengan kepala seorang perempuan Amerika di Cengkareng, di Madiun seorang nenek tak punya wajah karena kanker ganas yang menggerogoti kulit mukanya.

Mula-mula tahi lalat di hidung yang gatal dan panas, lalu hidung itu hilang, kemudian mata, tulang pipi, kening, dan bibir atas. Setelah 34 tahun menahan gatal dan panas, wajah Tumini itu gerowong sedalam 10 senti.

Ia praktis tak bisa apa-apa. Selain di kamar, ia menutupkan kain ke lubang itu hingga yang tampak hanya bibir bawah saja. Bicaranya ngirung dan udara terlihat menghembus ke kain itu dari dalam kepalanya.

Suaminyalah, kakek Marko yang sabar, yang menyediakan keperluan istrinya sehari-hari: memasak nasi, menyapu halaman, merebus air, menyuapi, menuntun ke kulah di belakang rumah. Ia harus mengumpulkan satu juta tiap bulan untuk membeli obat-obat generik dari warung untuk mengurangi derita istrinya. Wajah Marko tirus tapi gurat-gurat di pipi dan keningnya menyimpan cerita tentang ketabahan dan kesetiaan.

Dan Tumini masuk televisi, wajah bolongnya tersiar ke jutaan ruang-ruang keluarga. Banyak orang datang menawarkan bantuan: sekadar memberi bekal sampai menawarkan operasi plastik. Tumini menolak.

Ia merasa sudah tua dan tak akan hidup lebih lama lagi. Ia sudah menahan panas dan gatal itu selama 34 tahun. Sakit adalah tarikan napasnya yang telah akrab dengan tubuhnya yang tipis. "Saya ingin menghabiskan sisa hidup dengan suami saya, di sini, di gubuk ini," katanya.

Di televisi itu Tumini juga tertawa. "Nasib telah begitu tertib, pada Sakit dia juga telah jadi karib..."

Monday, June 22, 2009

PADA BHISMA, JUGA AMBA

EPOS Mahabharata menjadi kisah menyedihkan sebab ada begitu banyak orang mau berkorban untuk sesuatu yang musykil, karena itu nasib seperti mengutuknya.

Salah satunya Bhisma. Ketika namanya masih Dewabhrata, ia seorang putra mahkota Hastinapura. Ia copot sendiri gelar itu karena rasa hormat kepada ayahnya, Baginda Sentanu, yang ingin menikah lagi. Tak cuma itu, pangeran tampan yang pendiam dan suka merenung ini bersumpah tak akan kawin seumur hidup agar keturunan istri baru ayahnya itulah yang meneruskan dinasti. Konon, para dewa menarik napas dalam-dalam mendengar sumpah itu. Bhisma, Bhisma...

Dan cerita sedih Mahabharata pun dimulai. Hastinapura kemudian diteruskan Wicitrawirya, anak sulung Setyawati, permaisuri baru itu. Agar kerajaan itu terus, agar dinasti itu tak putus, Bhisma pergi ke kerajaan Kasi yang sedang menggelar sayembara mencari suami untuk tiga anak perempuan: Amba, Ambika, dan Ambalika. Bhisma bertempur dan mengalahkan semua penantang. Ia memboyong tiga putri itu untuk adik tirinya yang segera akan dinobatkan.

Wicitrawirya memilih Ambalika, putri sulung yang kelak melahirkan putra mahkota berwajah pucat: Pandu. Konon, bukan dari benih Wicitrawirya sebenarnya Pandu lahir. Wiyasa, seorang resi, lewat ke keputren dan diam-diam meniupkan sukma ke rabu Ambalika. Dan begitulah sebermula kemunculan putra Pandawa, lima pangeran yang menempuh hidup sengsara karena berselisih dengan Kurawa--cucu-cucu Wicitrawirya dari percintaan gelapnya dengan Ambika.

Perselisihan itu dimulai ketika Pandu, raja baru, tiba-tiba meninggal ketika lima anaknya masih bayi. Destarastra, pangeran buta dari rahim Ambika, naik tahta. Mahabharata pun kian membingungkan tentang siapa sebenarnya yang berhak atas kerajaan itu. Pandawa dan Kurawa saling klaim, menaruhkan kekayaan, harga diri, istri, sampai kerajaan, lalu mengakhirinya di padang Kurusetra dalam sebuah perang brutal 15 tahun kemudian. Bhisma ada di pihak Kurawa. Ia juga yang menjadi panglima tentaranya.

Bhisma mati oleh puluhan anak panah yang menghujam seluruh sendi, hingga ia tak bisa mencium tanah karena panah-panah itu menyangga tubuhnya. Tapi pangeran bijak itu, menurut sais keretanya yang menyusun laporan untuk Destarastra, meninggal dengan tersenyum. Matanya berbinar ketika anak panah terakhir menembus merihnya.

Ia tahu siapa yang menembaknya: seorang ksatria cantik ramping yang melesat mengendarai kuda dengan akurasi bidikan panah setara Arjuna, putra tengah Pandawa. Dialah Srikandhi. Tapi ketika panah pertama menembus belikatnya yang tak terlindung lalu roboh bertelekan lutut, Bhisma tengadah dan berseru, "Amba..."

Dan Bhisma mati dengan senyum, seolah telah menuntaskan dan menutup penyesalan yang pedih. Dan ia menyeru Amba.

Memang, putri itu telah ia kembalikan ke istananya, setelah sebuah pengakuan yang mengharukan. Amba bersumpah tak akan menerima pinangan siapapun, kecuali Pangeran Salya, kekasih yang amat ia cintai. Tapi Salya yang bimbang menolak karena menganggap Amba sudah tak suci lagi dan malu telah kalah dalam pertarungan sayembara itu. Amba pun linglung. Ia keluar istana sebagai orang yang ditolak dan direnggut. Ia masuk hutan, menjadi pertapa, dan menderita.

Sejak itu Bhisma menyesali perbuatannya. Penyesalan yang selamanya menggelayuti wajahnya yang teduh. Ia tak bisa menelan tapi juga tak sanggup memuntahkan penderitaan Amba. Maka Bhisma menyeru namanya pada napas yang penghabisan. "Amba telah menyongsongku," katanya kepada Arjuna. "Amba telah menebusku..."

Friday, June 19, 2009

CITA-CITA

APA salahnya menjadi wartawan. Ini pertanyaan yang pantas untuk Megawati, anak kedua Soekarno--pendiri Republik, orator ulung, dan penulis yang menggetarkan. Megawati, di podium itu, berdiri menyimak pertanyaan seorang mahasiswa. Seperti seorang Ibu, ia bertanya apa cita-cita mahasiswa itu? Mahasiswa itu menjawab: menjadi wartawan. Megawati menimpalinya tak seperti seorang Ibu: cita-cita kok cuma jadi wartawan.

Saya tak tahu adakah satu cita-cita melebihi cita-cita yang lain, sehingga cita-cita menjadi wartawan adalah cita-cita yang lebih rendah ketimbang cita-cita, misalnya, menjadi presiden. Saya tak tahu juga, setidaknya belum pernah membaca, apakah Megawati bercita-cita jadi presiden--keinginan yang luhur menurutnya--ketika seumuran mahasiswa itu.

Megawati pasti generasi agraris yang mewarisi cara pandang feodal. Ia masih mengidentikkan cita-cita dengan jabatan atau gelar, atau sesuatu yang berhubungan dengan prestise dan status sosial. Sehingga yang terbayang dari "gantungkan cita-citamu setinggi langit" adalah bukan membuat keinginan yang tak mungkin digapai tapi mengharapkan suatu jabatan paling tinggi. Dengan punya jabatan tinggi, karena itu uang banyak, kau akan bisa memerintah dan membayar apapun untuk keinginan dan hidupmu.

Anak-anak sekarang akan menjawab "menjadi presiden" tiap ditanya apa cita-citanya. Tak ada, atau belum pernah saya dengar, ada yang bilang bercita-cita menjadi petani. Sebab petani, di negeri agraris tapi bergaya industri ini, berada jauh di level paling rendah status sosial kita. Petani identik dengan kemiskinan dan kerja otot yang tak keren. Kecuali Mikail, anak saya.

Sejak dua tahun ia sudah punya cita-cita. Mula-mula ia bilang "aku ingin menjadi tukang parkir" karena kagum pada tukang parkir di sebuah rumah sakit yang sanggup memundur dan memajukan mobil tanpa menyentuhnya. Lalu menjadi supir truk karena berjuta-juta kali menonton video Adventures of Zimmo. Kini, hampir lima tahun, ia ingin menjadi supir angkot sebab bisa memodifikasi mobil semau-maunya, memutar lagu keras-keras, lalu dibayar penumpang. Neneknya pernah mengajari agar menjawab "menjadi dokter" kalau ditanya orang apa cita-citamu. Mikail tak mau, dan saya mendukungnya.

Karena itu apa salahnya menjadi wartawan? Bukan karena ini profesi mulia, tapi karena tak ada profesi yang lebih luhur dari profesi yang lain.

Wednesday, June 17, 2009

DARI SEBUAH BUKU HARIAN

SESEORANG menulis kalimat-kalimat ini, pada sebuah buku harian, atau buku coretan karena ia menampung apa saja, tentang apa saja: kisah sehari-hari, jumlah pengeluaran dan belanja bulanan, puisi, aforisme, sketsa, outline sebuah--agaknya--cerpen dan novel, juga catatan perjalanan, tanpa tanggal:


Dulu, saya suka bangun pada sepertiga malam, hanya untuk memandang wajahmu. Wajahmu. Menyidik-nyidik adakah wajahku, gurat keakuanku, di sana. Saya tak ingat apakah saya berhasil. Selalu setiap mencari aku pada kamu, saya menemukan bahwa kita justru seperti buku yang terbuka, buku yang akan menampung halaman-halaman untuk kita isi bersama.

Dulu, saya rutin bangun pada akhir malam, hanya untuk mengecup pelupukmu. Mencari pandang yang telah menaklukanku. Sebab masih kusimpan tatapmu itu di uluhatiku. Kusimpan dan kukumpulkan ia untuk bekal perjalanan panjang ini. Atau kubuka jika aku kangen pada hujamannya, pada bentang kenangannya.

Dulu, saya bangun sebelum subuh, hanya untuk mematri rautmu yang teduh. Rautmu yang mengingatkanku pada Ibu. Aku mencintai raut itu, raut yang lembut dan tabah dan teguh, raut yang menjadi rumah tempat saya istirah selepas tetirah dari jauh benua-benua.

Dulu, saya hentikan mimpi sebelum pagi, cuma untuk mengelus keningmu yang senggigi. Kening yang meredam kecemasan tentang esok yang tak sempurna. Kening yang menampung segala mimpi tentang beranda yang penuh bunga-bunga.

Dulu, aku sudahi malam setelah memasukimu....

Monday, June 15, 2009

USIL

SAYA duduk di sebuah warung kopi di Pacifik Place, pada sebuah sore yang berangin. Menghidu Capuccino yang agak pahit. Lampu-lampu menyala bahkan di pojok-pojok yang tak perlu. Orang lalu lalang. Wangi, bersih, otot yang mengkal, rambut yang ogah tertiup angin, dada yang penuh, alis yang lancip. Seharusnya saya nikmati saja kopi dan pemandangan itu. Banyak sekali manusia bagus, mereka seperti tak lahir dari rahim ibu.

Tapi, selalu tiap kali nongkrong minum kopi--tentu saja ditraktir--di gedung yang menghabiskan ribuan watt setrum untuk sebuah kesenangan seperti itu, kepala saya penuh: apakah orang-orang ini pernah susah. Masalah hidup apa yang membuat dunia mereka jadi sempit? Terlalu sukar menebak kejumudan dalam wajah-wajah segar dan terawat semacam itu.

Mereka antri di Blitz Megaplex, memesan kopi yang rasanya tak bisa saya bayangkan, membuka Internet dengan Apple atau Blackberry, jalan bergandengan atau duduk berpelukan, tertawa renyah lalu berciuman. Di mall itu tiba-tiba saya merasa sendiri, betapa dunia kian asing. Kota melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang makin musykil.

Rupanya saya tak sendiri. Seorang teman bercerita ia habis spa di sebuah hotel bintang lima. Ketika kakinya baru masuk air mawar pada ritual paling awal pijat seluruh badan itu, pelayan yang meremas betisnya bertanya yang membuat ia ingin menceritakan rutinitas setiap Sabtu itu. "Ibu capek. Apa sih yang membuat ibu capek?" Mbak ini tak percaya di balik kulit porslen begitu ada yang bisa capek dan stres.

Saya dan mbak pijat itu berpikir yang sama: manusia menggosipkan manusia lain dalam kepalanya. Kepada teman ini--seorang bankir dengan gaji besar, tinggal di apartemen, kemana-mana selalu diantar sopir, lulusan universitas bergengsi di London, jadi member lapangan golf dan pijat hotel mewah--berulang-ulang saya bertanya, apa sih pekerjaan kamu? Maksudku, bagaimana kamu bekerja hingga digaji begitu besar?

Sebab, saya belum pernah bekerja--suatu tindakan yang ditukar dengan uang--selain pekerjaan sekarang. Kadang-kadang saya tak merasa bekerja karena pekerjaan ini terlalu banyak bengongnya, melamunnya, setelah wawancara sana-sini, mengobrol itu-ini, merangkai dan memverifikasi informasi. Waktu saya kecil dan tak begitu paham ketika ditanya apa cita-cita: bekerja itu mengajar di depan murid atau memberi penyuluhan kepada para petani tentang bagaimana membuat tanah kian gembur. Bukan duduk di depan komputer sambil memegang dagu atau kening, lalu pulang dan mendapat uang.

Bankir kita yang suka kelakar dan omong kosong ini berseru: pikiranmu usil. Tapi ia tertawa. Katanya, kurang lebih, "Saya capek karena saya juga bekerja 10 jam sehari, tanggung jawab saya besar, sehingga saya dibayar sepadan. Saya juga pernah hidup susah. Jadi, boleh dwong, saya menikmatinya."

Saya tertawa dan saya setuju. Otak manusia memang usil. Kita suka membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain. Itulah kenapa para psikolog menyebut kita mahluk sosial. Dan karena itu dunia menjadi seru dan berarti.

Wednesday, June 10, 2009

DI BATAS YOGYA

DI batas Yogya, senja mulai sempurna ke arah tenggara, ketika pesawat mengendap dan hari segera jadi malam. Saya duduk di pojok ruang tunggu Adisucipto karena pesawat telat satu jam sambil membaca Tuesdays with Morrie, sebuah buku tipis memikat yang ditulis Mitch Albom, seorang kolumnis di Detroit Free Press, yang merekam hari-hari akhir bekas dosennya--meskipun kutipan dan pemikiran Morrie Schwartz tentang cinta, harapan, hidup, mati, dan pernikahan, terasa ganjil.

Di sebelah, dua orang bule duduk berpelukan. Mungkin suami-istri, mungkin pacaran. Mungkin 30 atau 35. Mungkin mereka habis liburan, mungkin mau melanjutkan kerja di Jakarta. Saya menebak yang pertama: suami-istri 35 tahun yang akan pulang sehabis pakansi. Yang perempuan menyandarkan kepala ke dada yang laki-laki. Tangan kiri laki-laki memeluk pundak perempuan, lalu menciumi kepala, kening, dan pipi.

Saya terkejut dan tak lagi konsen membaca ketika sayup-sayup saya dengar yang perempuan bertanya: "Bahagiakah kita ini, sayang?" Saya terkedut, pertanyaan semacam ini dilontarkan seorang asing di sebuah bandara yang ramai saat pesawat telat, di sebuah negeri yang tak lama mereka singgahi, sehabis berlibur. Saya terkejut betapa ini pertanyaan serius yang tak mudah dijawab. Ada "kita" dan "bahagia".

Bagaimana "bahagia" (dengan "B") bisa melebur ke dalam dua subjek yang terpisah, yang punya sikap, pandangan, perasaan, dan pikirannya sendiri. Dan "Bahagia", mahluk jenis dan dari abad berapa ia? Bahagia adalah kata paling misterius yang berhasil dirumuskan manusia. Kita tak pernah tahu mengapa kita punya perasaan ini, seperti kita tak tahu ada rasa takut pada hantu padahal kita belum pernah melihatnya. Sebab, perjuangan hidup adalah pergulatan menjadi bahagia. Bagaimana pergulatan itu terumuskan menjadi sebuah pertanyaan yang menuntut?

Saya tak mendengar laki-laki itu menjawab. Saya lihat dia melepas earphone dari telinganya, memandang lekat-lekat perempuan di dekapannya, tatapan yang menyidik: seriuskah pertanyaanmu, sayangku? Saya tak lagi mengerti apa yang mereka obrolkan. Sepertinya serius sebab pelukan mereka lepas, mimik mereka tegang. Sementara saya tak lagi konsen membaca Morrie yang sudah sampai Selasa ke-11.

Dan pertanyaan itu mengganggu betul. Saya ingat sebuah tulisan yang terpacak di sebuah restoran dekat Hotel Hyatt di Jalan Palagan, Monjali. "Kebahagian bukan tujuan, tapi..." Saya tak tahu apalagi yang menjadi tujuan hidup penulis pamflet itu. Ia sepertinya tak berhasil menemukannya. Karena ia hanya menulis bahwa bahagia hanya sebuah antara. Dari apa? Tak ada. Bukankah bahagia adalah sebuah final? Maka saya lebih senang pada tulisan di sebuah taksi yang membawa saya ke Malioboro. Momen hidup paling penting adalah bersyukur dan berbuat baik.

Seperti Morrie Schwartz, dosen sosiologi terkemuka di Universitas Brandeis, Boston. Ketika hidupnya tinggal dua tahun, ketika ALS menyerang syarafnya perlahan-lahan hingga lumpuh dari kaki hingga ujung rambut, profesor 78 tahun yang berdansa di Harvard Square setiap Rabu sore ini tahu betapa hidup menyenangkan ketika justru tak lagi punya dan bisa apa-apa. "Aku makin menikmati ketergantungan ini," katanya kepada Albom, bekas mahasiswanya yang setia, pada Selasa ke-8, ketika ia tak lagi bisa menyeka kotorannya sendiri dan perawat itu yang mengelap tinjanya.

Dengan kata lain, bahagia dalam kasus Morrie adalah suatu masa ketika ia siap kehilangan segalanya. "Hidupmu akan terasa lebih indah," katanya, "ketika kamu mengerti bahwa kamu akan mati besok. Dan ketika kau siap dengan kematian, kau akan mensyukuri hidup." Pada perempuan bule itu, ia mempertanyakan kebahagiaan justru ketika ia sedang memiliki lelakinya. Karena itu pertanyaan semacam ini mengesankan bahwa ia tak bahagia ketika ia takut kehilangan. Sikap ketergantungan yang agak berbahaya, sebetulnya. Sebab di dunia, memiliki adalah sebuah kefanaan yang pasti. Sebab hidup bukan lagi sebuah syukur yang tulus.

Tentu saja, saya hanya bisa menebak apa gerangan yang terjadi dalam hubungan dua orang asing itu. Mungkin hubungan mereka sedang kritis sehingga butuh berlibur berdua yang sayangnya tak memulihkan keadaan, mungkin hanya pertanyaan iseng, atau sekadar bumbu dalam percintaan. Saya ingin menyodorkan sebuah kutipan Morrie yang ganjil tentang sebuah hubungan pada pagina 93. "Jika kau ingin tahu bagaimana mencintai dan punya ikatan mendalam dengan pasanganmu, kalian harus punya anak." Tapi, sebelum kepala saya penuh menebak-nebak, sebelum pikiran saya sempurna menyanggah kutipan Morrie, petugas memberi tahu waktu boarding telah tiba.

Di batas Yogya, senja tak lagi kentara, ketika pesawat menderu dan hari benar-benar telah malam.

Tuesday, June 09, 2009

SEKADARNYA TENTANG ADONIS

IA datang ke kantor dan berbicara tentang puisi, agama, dan kebebasan. Adonis adalah penyair Arab paling penting saat ini. Buku puisinya Songs of Mihyar The Damamscene menjadikannya kandidat penerima hadiah Nobel tahun lalu. Ia kalah suara dari Orhan Pamuk, penulis Turki yang menulis Snow dan Istanbul dengan memikat: memadukan cerita politik dengan misteri dan percintaan yang ganjil.

Adonis datang ke Jakarta, berceramah di Komunitas Salihara, dan berbicara soal ketegangan seni dan agama. Ia sendiri tak percaya Tuhan. "Saya percaya pada kebebasan, bukan Allah," katanya melalui penerjemah. Penyair kelahiran Suriah 1930 ini berbicara dalam Arab dan Prancis--tanah air kedua yang ia tinggali lebih dari 30 tahun, setelah eksil karena keberpihakan politiknya yang sosialis. Adonis sempat mengajar di Universitas Sorbonne dan menjadi profesor sastra Arab di sana.

Meski tak percaya Tuhan ia tak menjawab pertanyaan soal apakah ia atheis. Katanya, atheis adalah istilah agama yang jelek maknanya. Karena percaya kebebasan ia tak ingin mengecam orang beragama karena mengecamnya sama saja seperti orang beragama yang mengecam para atheis. "Saya di luar agama, di luar atheis, mari kita bicara dengan bebas."

Nama aslinya Ali Ahmad Said Esber. Anak petani miskin ini menulis puisi sejak usia 13. Tiap kali mengirim puisi dengan nama Ali, redaktur koran di kota selalu menolaknya. Ia kemudian membaca cerita tentang Adonis, laki-laki tampan yang mati dimakan babi yang melahirkan orang Suriah. Ini juga nama sungai di Libanon--negeri lain yang ia tinggali cukup lama--yang berwarna merah jika musim panas. Ali kemudian menempelkan Adonis di bawah puisi-puisinya. Ajaib, redaktur koran menerima dan memuat syair-syair itu. Sejak itu nama Adonislah yang dikenal dunia untuk merujuk laki-laki kecil gondrong dengan mata menyala ini.

Yang menarik tentu saja pembahasannya soal ketegangan antara syair dan ajaran, meski bukan sesuatu yang sama sekali baru. Bagi Adonis, syair adalah teks yang melampaui dan ada setelah agama. Jika agama memberikan jawaban, syair atau seni pada umumnya mengusung pertanyaan. Karena itu agama adalah keyakinan dan kepercayaan, sesuatu yang sudah final dan selesai. Kita beragama karena agama itu menyediakan jawaban tentang Tuhan dan kebenaran. Sementara kebenara puisi tak memberikan jawaban. Kebenarannya akan terus berubah dan tak selesai.

Jika kebenaran pada agama ada di belakang teks, kebenaran puisi berada di depan teks. Pada agama, kebenaran ditemukan, pada puisi kebenaran itu dicari. Dan syair yang bagus adalah puisi yang membakar bahkan melampui keyakinan zamannya. Syair-syair Al Hallaz membakar kepercayaan manusia tentang Tuhan yang transeden dan di luar alam semesta ini. Sebab, syair-syair Hallaz justru membumikan Tuhan yang hidup dalam keyakinan dan iman--karena itu abstrak--menjadi dekat dan ada di sekitar kita.

Maka Quran adalah syair pada zamannya, abad ke-6. Ketika Quran berubah menjadi ajaran yang sakral ia selesai sebagai seni. Ia berubah menjadi ajaran dan agama. Ia memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pada zaman ketika wahyu diturunkan. Lalu tidakkah syair akan berubah juga menjadi agama jika puisi membakar dan melampui keyakinan zamannya? Adonis menjawab bahwa seni punya batas. Ia tak akan menjelma menjadi ajaran, karena seni selamanya melempar pertanyaan.

Karena itu agama bukan sumber puisi. Para penyair yang mencari bahan puisi dari agama, dalam keyakinan Adonis, akan melahirkan puisi-puisi kelas dua. Tak hanya agama, puisi yang lahir dari ideologi tertentu, bahkan dari keyakinan tertentu niscaya melahirkan puisi yang dibebani oleh keyakinan itu. Padahal puisi mencari kebenarannya sendiri. Maka seorang penyair, sebermula, selain menaklukan bahasa, adalah bebas dari segala hal ihwal. Sebab keterkekangan akan melahirkan sensor-diri sejak mula.

Saya tidak tahu bisakah kita menjadi manusia yang murni dan terlepas dari segala hal? Adonis mungkin bisa. Ia lalu mengutip sebuah puisi Ommar Khayyam:

kalau kau siksa aku karena dosaku
apa bedanya aku dengan engkau, tuhanku?

Monday, June 08, 2009

HUJAN BULAN JUNI

SAPARDI Djoko Damono pasti menulis puisi itu ketika dunia dan bumi masih normal, ketika musim tertib dan cuaca masih karib. Maka penyair ini menyebut hujan bulan Juni sebagai rintik air yang tabah, bijak, dan arif, karena ia turun membasahi tanah yang kering untuk memberi napas kepada akar pohon bunga itu. Dulu, hujan bulan Juni seperti cinta ibu yang selalu menunggu.

Kini, hujan bulan Juni adalah guruh yang sengit dan tak bisa ditebak, petir yang salah musim, rintik yang keliru waktu. Matahari tak sekadar cahaya, tapi dengus medusa yang menghisap titik embun ke langit yang tengadah lalu mengubah udara di bumi yang merekah. Hujan bulan Juni hari-hari ini seperti rindu seorang anak yang kelewat membludak.

Tuesday, June 02, 2009

SAD SONG









Sing a sad song
In a lonely place
Try to put a word in for me
It's been so long
Since I found this place
You better put in two or three
We as people, are just walking 'round
Our heads are firmly fixed in the ground
What we don't see
Well it can't be real
What we don't touch we cannot feel

Where we're living in this town
The sun is coming up and it's going down
But it's all just the same at the end of the day
And we cheat and we lie
Nobody says it's wrong
So we don't ask why
Cause it's all just the same at the end of the day
We're throwing it all away
We're throwing it all away
We're throwing it all away at the end of the day

If you need it
Something I can give
I know I'd help you if I can
If your honest and you say that you did
You know that I would give you my hand
Or a sad song
In a lonely place
I'll try to put a word in for you
Need a shoulder' well if that's the case
You know there's nothing I wouldn't do