Tuesday, February 23, 2016

MENGEJAR 'SELFIE'



Di majalah Tempo edisi 30 November-6 Desember 2015, ada kartun Hariprast tentang peringatan Hari Guru. Hari menggambar seorang guru memakai baju Korpri sedang memegang telepon seluler di depan murid-muridnya, yang juga memegang telepon seluler. Teks kartun itu adalah "Guru ngetweet berdiri, murid selfie berlari".

Kalimat itu adalah pelesetan dari peribahasa guru kencing berdiri, murid kencing berlari". Kartun itu punya dua aktualitas sekaligus: Hari Guru dan apa yang terjadi kini ketika semua orang punya akun Twitter. Dan kalimat itu pas sebagai kartun, parodi atas kejadian sehari-hari, juga pas sebagai contoh di zaman Internet ini: bahasa bisa begitu lentur mengadopsi satu sama lain.

Kalimat itu sepenuhnya campuran bahasa Indonesia, bahasa slang, dan bahasa Inggris, plus bahasa istilah. "Ngetweet" adalah bahasa slang dari "men-tweet", yang diturunkan dari "tweeting" dengan arti harfiah "mencuit" yang mengacu pada suara burung, lambang aplikasi Twitter. "Selfie" adalah bahasa Inggris yang dibentuk dari "self", diri-sendiri. "Selfie" istilah yang populer setelah kebiasaan memotret diri sendiri dengan telepon seluler yang mengacu pada memfoto diri sendiri.

Hari memilih bahasa percakapan ketika menuliskan kalimat untuk kartunnya. Ia tak setia pada kaidah pemadanan kata yang sesungguhnya sudah mulai dicoba dipopulerkan. "Mencuit" ketika mengacu pada akun Twitter akan dipahami sebagai "membuat kalimat 140 karakter pada media sosial Twitter". Dalam kamus, tentu saja, "mencuit" dengan arti seperti ini belum tertampung.

Ada juga yang mencoba memadankan "selfie" dengan "swafoto", yang merujuk pada "pemotretan yang dilakukan sendiri". Sebab, jika kamera dipegang orang lain, ia bukan "selfie" kendati obyek fotonya hanya seorang diri. Kegiatan itu disebut "pemotretan" saja. Kini ada lagi istilah turunannya, yakni "wefie", yang terbentuk dari "we" (kami, kita) dan "fie"—kependekan dari "selfie". Artinya: pemotretan oleh diri sendiri secara bersama-sama.

Ada anjuran kalimat asing dipadankan, seperti Ahmad Sahidah yang setuju menyebut "komedi tunggal" untuk stand-up comedy di lembar ini di edisi 30 November 2016—mengacu pada padanan lain semacam "organ tunggal". Sahidah kurang setuju dengan "jenakata", yang lebih merujuk pada pemakaian kata-kata sebagai senjata humor oleh pelawak. Sebab, sebelum televisi memakai "stand-up comedy" sebagai judul acara, Butet Kertaradjasa hanya disebut seniman "monolog".

Di televisi dan media sosial, juga kalangan anak muda, pelawak tunggal itu disebut "komika", yang diserap begitu saja dari "comic" dalam bahasa Inggris, yang berarti "pelawak", bukan "komedian tunggal" atau "jenakatawan". "Komika" mulai populer kendati menyalahi kaidah turunan kata dan kisruh dengan "komik", cerita bergambar di media massa. Penggambarnya tak disebut "komika", melainkan "komikus", karena "-kus" dalam aturan baku menyebut orang dari sifat yang diterangkannya. "Komika" bukan pula sifat dari "komik", karena adjektivanya adalah "komikal".

Agaknya saling kejar padanan dengan istilah di zaman Internet seperti membandingkan deret ukur dan deret hitung. Terlalu banyak istilah gabungan dari pelbagai kata yang diturunkan lagi menjadi kata baru dan menabrak kaidah bahasa Indonesia. Kamus selalu telat merespons perkembangan bahasa, bentukan, bahkan kata baru yang muncul dengan arti yang spesifik dan melenceng dari arti kata yang sudah ada.

Sebab, "wefie" itu, jika dirujuk pada kegiatannya, pada faktanya, ya, itu foto bareng belaka. Bahwa pemotretannya tak dilakukan oleh fotografer yang tak ada dalam obyek kamera, hasilnya adalah tetap foto bersama-sama. Dan "wefie" kian populer, meninggalkan istilah "foto bareng", apalagi "swafoto", yang terasa ketinggalan zaman meski terbentuk dari frasa yang sangat lokal.

Barangkali itu karena bahasa asing, terutama Inggris, kian tak asing bagi orang Indonesia. Pola pengajaran di sekolah yang memakai dua atau tiga bahasa pengantar membuat generasi kini tak hanya akrab dengan bahasa asing, tapi juga memakainya sebagai bahasa kedua. Dengan Internet yang menghilangkan sekat-sekat negara, pemakaian bahasa Inggris kian luas.

Istilah-istilah pun diserap begitu saja dan dipercakapkan tanpa peduli silsilah dan padanannya. Bahasa memang kesepakatan bersama karena serapan bahasa asing sudah terjadi sejak manusia mulai bisa berbicara. Tapi kekacauan yang saling meniadakan dari bahasa asal dengan bahasa lokal membuat makna kata dan istilah baru itu kian melenceng. Dari sisi ini, Internet agak mencemaskan.

Bagja Hidayat, Wartawan Tempo

Dimuat majalah Tempo edisi 1 Februari 2016.

Wednesday, February 17, 2016

KISAH DAUS: DARI PENCUCI PIRING MENJADI JURAGAN RESTO DI LONDON



Rupanya Pak Daus makin terkenal. Setelah saya tulisprofilnya pada 2012, ia menjadi bintang tamu acara Hitam Putih Trans7 dengan pemandu mentalis Deddy Corbuizer dan dua kali nampang di koran Kompas dan diliput TVOne. Pak Daus layak untuk itu karena ia inspirasi tentang semangat pantang menyerah dan kerja keras.

Nama lengkapnya Firdaus Ahmad. Ia lahir 57 tahun lalu dari keluarga Betawi di Sentiong, Jakarta Pusat. Ayahnya adalah sekretaris Wahid Hasyim jika Menteri Agama pertama ini (1949-1952) menjadi Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang kantornya di Kramat itu. Tapi Pak Daus buru-buru menjelaskan bahwa jabatan sekretaris zaman itu tak usah dibayangkan sebagai orang hebat. “Tugasnya menyediakan koran dan membuat kopi,” katanya.

Setelah mengenalnya cukup lama, saya tahu itu kalimatnya yang merendah, tapi bisa jadi kenyataannya seperti itu. Pikiran Pak Daus sangat sederhana. Ia tak melihat dunia dari sisi yang rumit. Ia tak suka melebih-lebihkan sesuatu, bahkan cenderung apa adanya, meski yang apa adanya itu sebetulnya tinggi juga.

Misalnya, kepada semua tamu Wisma Indonesia ia selalu menyebut dirinya sopir tiap kali menjemput mereka dari bandara Heathrow atau Gatwick. Biasanya orang percaya karena mereka berhubungan dengan Usya Suharjono, istri Pak Daus. Padahal, justru Daus pemilik penginapan 10 kamar bertarif 25 pound semalam di Colindale, London, itu. Ketika saya menyindirnya “sok merendah”, dia bilang, “Kan kenyataannya saya menjemput, menyopiri, mengantar tamu sesuai tujuan mereka.” Benar juga, sih…

Pak Daus mungkin memilih sudut pandang seperti itu. Dan saya kira itu cara berpikir yang mengantarnya sukses seperti sekarang. Tentu saja, sukses itu ukuran menurut saya, yang kagum menyimak perjalanan hidupnya yang berwarna: dari seorang kondektur mikrolet jurusan Kampung Melayu-Bekasi menjelma pengusaha restoran Indonesia yang besar di London, salah satu kota termahal di dunia.

Setelah lulus SMA 1 Indramayu, Jawa Barat, Daus kembali ke Jakarta. Tak punya pekerjaan dan tak bisa kuliah, ia menjadi kondektur mikrolet itu. Di Indramayu sebetulnya dia “dibuang” gurunya karena berkelahi di sekolah. Ia tinggal di rumah neneknya yang sudah meninggal, sehingga harus menyediakan keperluan sekolah dan biaya sendiri. Maka sepulang sekolah ia suka ikut truk sayuran agar bisa dapat tips dari sopir karena ikut menurunkannya di pasar.

Pada pertengahan 1981, Daus membaca berita rencana perkawinan Putri Diana dan Pangeran Charles di koran yang disebut “perkawinan abad ini”. Pak Daus suka punya pikiran nyeleneh tapi serius. Ia bilang ke ibunya, ingin bisa melihat langsung perkawinan Putri Diana. Ibunya tertawa mendengar omongan anak sulungnya. Daus dianggapnya sedang mengigau.

Dan igauan itu mulai terlihat jadi kenyataan ketika seorang kerabat jauh yang bekerja jadi sopir di Kedutaan Indonesia di London pulang ke Indonesia. Daus meminta dibukakan jalan bisa ke London, tapi tak punya uang untuk tiket.

Setelah merengek terus, kerabat itu mungkin jengkel juga. Ia mengirim tiket sekali berangkat. Sayangnya, tiket dikirim September, dua bulan setelah pernikahan akbar itu. Daus pun terbang ke London tanpa tujuan pasti. Ia hanya ingin melihat kerabatnya bekerja di negara Ratu Elizabeth tu sambil berharap siapa tahu ketemu pangeran dan putrinya sedang jalan-jalan di taman. Ya, siapa yang tahu, mereka runtang-runtung tanpa pengawalan…

Hari keberangkatan pun ditentukan dan kerabat itu berjanji menjemputnya di bandara Gatwick. Setelah perjalanan panjang 18 jam dengan Garuda Indonesia lewat Riyadh dan Paris, Daus tiba di London. Di bandara besar ini orang banyak sekali dan semua tulisan di sana tak ia mengerti. Ia tahu itu bahasa Inggris tapi tak paham artinya. Maka setelah melewati meja imigrasi ia bingung mencari pintu keluar.

Daus tak tahu harus menghubungi siapa. Ia pun duduk termangu selama dua jam. Jauh hari kemudian ia baru tahu jika si kerabat itu menunggu dengan jengkel dan putus asa di tempat jemputan. Ia hampir saja pulang dan mengira tamunya tak jadi datang seandainya Daus tak mendapatkan ide cemerlang setelah dua jam duduk.

Ia perhatikan semua penumpang. Ia berasumsi mereka yang kusut masai adalah penumpang yang baru tiba dari perjalanan yang jauh. Maka mereka pasti menuju pintu keluar untuk pulang ke rumahnya. Daus pun mengikuti mereka menuju pintu bertuliskan “EXIT”. “Saya baru tahu artinya ‘exit’, ya, hari itu,” katanya, terbahak tiap mengenang peristiwa itu. Pintu EXIT itu sudah ia lihat selama duduk dua jam itu. Haduh…

Dan mulailah perjalanan hidupnya di London. Kunjungan sebulan itu ia manfaatkan dengan ikut bekerja sebagai sopir. Jika kerabatnya berhalangan ia yang menggantikan, sampai ia mendapat pekerjaan sebagai “DJ” atawa pencuci piring di sebuah restoran Indonesia yang tukang masaknya adalah seorang koki dari Malaysia.

Tiba-tiba perusahaan itu bangkrut, setelah Daus pulang dan memperpanjang visa. Pemiliknya ketahuan mengakali pajak. Pemerintah menyita lalu menjualnya. Dan pembelinya adalah tukang masak dari Malaysia itu! Hidup benar-benar seperti roda. Restoran itu kini masih berdiri dengan tukang masak orang Indonesia yang tadinya pemilik rumah makan itu.

Seorang pengusaha Singapura lalu mendirikan restoran Nusa Dua. Daus diajak serta. Kali ini pangkatnya lebih tinggi, sebagai chef. Sewaktu menjadi “DJ” itu, Daus belajar bagaimana memasak. Masakannya enak dan pengusaha itu tertarik membuat resto baru dengan masakan racikan Daus.

Restoran baru itu juga tak berjalan lama. Pemiliknya tak meneruskan cicilan modal sehingga Royal Bank of Scotland mengambil alih. Daus, pada 1991 itu sudah memperistri Usya Suharjono, mahasiswi sekolah manajemen di London, kelimpungan tak punya pekerjaan. Ia pun punya ide yang absurd pada masa itu: mengambil alih restoran dan menjalankannya sendiri. Tapi bagaimana caranya?

Ia dan Usya mendatangi RBS untuk bernego. Usya yang menjadi negosiator karena bahasa Inggrisnya lebih lancar. Usya tinggal di London mengikuti orang tuanya yang bertugas sebagai wartawan BBC seksi Indonesia. Sejak lulus SMA 2 Jakarta pada 1983 ia pindah ke London dan kuliah di sana, lalu ketemu Daus dan menikah.

Daus menawarkan mengambil alih restoran Nusa Dua di SOHO itu, daerah elite dan pusat keramaian London. Ia bilang, daripada RBS keluar uang pajak memelihara aset yang tak menghasilkan lebih baik diberikan kepadanya. Keuntungan RBS adalah mendapat cicilan kembali dan tak perlu bayar pajak karena sudah ia tanggung. Jika dalam setahun cicilan 1.000 pound (Rp 17 juta kurs sekarang) tiap bulan macet, RBS bisa ambil kembali restoran itu dan uang yang sudah dibayarkan Daus hangus. Deal. Daus kini jadi pemilik Nusa Dua.

Ia belanja sendiri dan masak sendiri juga menservis tamu sendiri. Ia bekerja keras mengembalikan pelanggan-pelanggan yang kabur akibat restoran tutup. Karena kualitas masakan tak berubah, pelanggan lama kembali dan pelanggan baru datang. Para pesohor dunia jadi pelanggannya, seperti gitaris Beatles Paul McCartney, Simon Cowell, Sade… Daus bisa mencicil utang 100 ribu pound secara rutin hingga lunas enam tahun kemudian.

Ia jadi pemilik mutlak restoran itu. Saya bertemu Pak Daus di restorannya pada 2012. Sewaktu diundang pemerintah Inggris melihat persiapan Olimpiade, seorang humas Kedutaan Inggris menyelipkan namanya karena saya minta kontak orang Indonesia di London yang bisa dijadikan bahan tulisan.

Awalnya saya tak berminat karena menyangka Daus tak menarik. Dari namanya dan nama istrinya yang tak umum untuk nama Indonesia biasa, saya menduga mereka pasangan dari keturunan keluarga tajir yang buka restoran di London sekadar iseng saja. Maka sewaktu janjian bertemu, saya membayangkan sebuah wawancara yang garing. Pak Daus mungkin orang kaya ngehek yang tak berkeringat mendapat kekayaan melimpah.

Dugaan itu buyar begitu bertemu. Restorannya masih tutup karena masih siang, sebab koki masih memasak untuk jam makan malam. Ia memakai kemeja kotak-kotak lengan pendek yang agak lusuh, bukan jas mahal. Hanya bercelana jins dan kalau tertawa malu-malu. Ketika berbicara ia juga lebih banyak menunduk. Sewaktu mulai sesi wawancara ia menolak dan malah menyilakan makan. “Sudah seminggu makan sandwich terus kan?” katanya.

Waktu itu memang menggiurkan. Di meja penuh masakan Indonesia: sayur asam, ayam kremes, krupuk, terong balado, soto ayam. Tiap kali mau wawancara yang serius dengan menggali profilnya, Daus melengos dan merasa tak pantas diberitakan. “Saya ini dulu penggemar Tempo, Pak,” katanya. “Saya suka baca di kantor Bapak saya. Yang jadi berita kan orang-orang hebat, masak saya ditulis di Tempo?”

Gaya bicaranya ceplas-ceplos dan kental dengan logat Betawi, logat yang melekat ketika ia bicara Inggris dengan pelanggannya. Ia berpikir lama sampai akhirnya setuju profilnya dimuat. Bagi wartawan, mendapat narasumber seperti Daus ibarat perjaka bertemu pacarnya yang menempuh hubungan LDR. Menggairahkan. Profil Daus sungguh berwarna, dramatis, unik, nekad. Tak banyak orang seperti dia.

Bersama Usya mereka punya dua anak perempuan dan satu laki-laki. Dua anak perempuannya sudah bekerja di lembaga-lembaga internasional di lain negara. Si bungsu masih kuliah di London.

Dan Usya agaknya setipe dengan Daus. Perempuan 52 tahun inisukses menggelar “Hello Indonesia”, program promosi Indonesia di London sejak2014 yang ia bikin dan biayai sendiri. Ia sudah melobi pemerintah tapi tak kunjung ada bantuan. Kalaupun ada hanya secarik memo dari Kedutaan yang menyatakan ia memang benar penyelenggara Hello Indonesia.

Pemerintah Kota London menilainya sukses menggelar acara di Trafalgar Square. Jika tahun-tahun sebelumnya Usya harus antri menyewa landmark Kota London itu, tahun ini pemerintah yang bertanya apakah ia akan memakainya lagi dan menyediakan waktu 14 Agustus 2016.

Usya beberapa kali bertemu Wali Kota London Boris Johnson. Alih-alih mengundang pemerintah Indoensia, Boris malah mengundangnya dalam perayaan Idul Fitri tahun lalu. Maka Usya satu-satunya orang yang bukan ofisial pemerintahan di antara banyak undangan.

Tahun ini Nusa Dua pindah ke ruangan yang lebih luas di China Town yang lebih ramai, di jantung London. Daus kini sedang mengincar sebuah gedung besar bekas mal yang disita pemerintah karena bangkrut. “Saya mau bikin bangunan itu jadi hotel,” katanya. *


Tulisan ini juga dimuat di Indonesiana Tempo
.