Setiap orang punya tahun yang penting. Meskipun tahun, meskipun waktu, tak mendesak menjadi sesuatu yang penting. Tapi kita punya ingatan. Seperti sebuah pikiran purba yang tak kunjung terjawab: apakah kenangan yang membentuk kita, ataukah kita, manusia, yang menentukan kenangan. Barangkali tak penting benar memikirkan sesuatu yang berjalan tanpa bisa dikendalikan ini. Tapi mengganggu benar.
Setiap orang punya tahun yang penting. Setiap orang punya kenangan yang genting. Ia merasuk--dan untuk beberapa segi--membentuk kenangan-kenangan lain yang akan datang. Peristiwa yang terjadi hari ini bisa saja terjadi karena sebuah peristiwa dalam waktu tertentu di masa lalu. Karena sejarah, konon, bukan sebuah garis lurus--ia melingkar dan kita terperangkap di dalamnya.
Dua paragraf ini belum minta berhenti. Tapi baiknya saya sudahi. Sebelum mual, sebelum membosankan. Karena ini tahun 2006. Sebuah tahun yang penting, mungkin juga genting. Terutama dimulai hari ini.
28 konon jadi umur yang genting. Ia menuntut sebuah ketegasan tentang pilihan besok. Karena pada 30 hidup harus sudah pasti. Saya tidak tahu, setidaknya belum bisa menyetujuinya hingga detik ini, apakah memang benar seperti itu. Bahwa hidup harus sudah pasti pada umur sekian, barangkali hanya sebuah patokan saja. Toh hidup memang sudah pasti atau harus pasti. Tentu saja jika kita percaya takdir. Tapi percaya atau tidak percaya takdir, besok memang harus direncanakan.
Syahdan, ada sebuah cerita ringan dari teman di seberang. Ada dua orang kawan yang sifatnya saling bertolak belakang. Satu orang senang dengan kenangan, karena itu ia senang difoto dan doyan menulis catatan harian. Orang ini selalu khawatir ada momen penting yang tidak masuk katalog kenangannya. Ia ingin mencatat dan membuat setiap peristiwa jadi abadi. Karena itu orang ini gampang sekali terharu. Baginya, masa lalu adalah masa depan itu sendiri. Sebuah rumusan yang ganjil. Saya berkerut mendengarnya. Saya menduga ia pernah membaca Ouspensky, setidaknya Iqbal.
Seorang lagi menganggap masa lalu hanya nonsens. Ia tipikal orang yang menyenangani rencana. Ia suka masa depan. Orang ini menganggap para penulis blog, para penulis catatan harian yang dianggapnya grafomaniak malu-malu itu, adalah tipe manusia yang tidak bisa menikmati hidup. Ia tak suka foto-foto kenangan. Ia ogah menuliskan kesan-kesan di buku-buku tahunan. Sebab, kata dia, hidup adalah bagaimana besok. Hidup harus direncanakan agar tak sia-sia. Dari orang macam ini saya menemukan rumusan yang masuk akal meskipun terasa pongah. Mungkin ia pernah mendengar Zeno yang dikutip para penulis lain di abad 20.
Maka keduanya tak pernah akur. Keduanya saling mengolok sifat masing-masing. Aneh juga, seharusnya mereka bisa jadi teman yang cocok karena bisa saling tukar cara pandang. Tapi begitulah, mereka tak pernah cocok, meski tetap jadi teman.
Aduh, tulisan ini sudah menyebut hidup, rencana, kenangan, sejarah. Sesuatu yang apa perlunya dipikirkan. Sesuatu yang bukan pilihan menjadi teman menikmati sore yang sejuk. Sebuah parade klise yang tak berkesudahan jika deretnya ditambah lagi. Apalagi jika ditambah pameran deritan sms tentang selamat ulang tahun. Tapi, biarlah. Rasanya menulis ini terasa menyenangkan untuk merayakan 28.