Wednesday, December 31, 2003

DESEMBER

Ine, kenapa kita tidak ketemu?

31 Desember 1995. Saya kedinginan di puncak Ciremai. Ini, sejauh bisa mengingat, satu-satunya perayaan untuk menyambut matahari terbit di tahun baru, karena setelah itu setiap tahun baru berlalu begitu saja: sedang di jalan, hanya menonton televisi atau ketiduran. Waktu itu masih SMA dan kepingin juga ikut menyambut 1 Januari. Lagi pula, saya baru 17. Kalau tidak salah, pelakon Ine Febrianti juga mendaki Ciremai di akhir tahun itu, dan ketemu dengan calon suaminya. Apakah kita selisih jalan?

Berangkat dari rumah pagi-pagi sekali. Berkumpul dengan teman-teman sekelas lain di terminal di kaki gunung Ciremai. Jarak dari rumah ke terminal itu tak sampai satu jam.

Kami tak bersiap secara khusus. Ide mendaki Ciremai datang begitu saja, ketika pelajaran di kelas hampir berakhir. Hanya membawa dua jaket dan makanan untuk masing-masing orang, juga tenda sewa dari ruang OSIS. Seorang teman membeli satu slop Commodorre yang satu bungkusnya hanya lima ratus perak. Rokok dengan bungkus putih-hijau itu rasa dua hisapan pertamanya mendekati Marlboro yang harganya 3 ribu. Kelak rokok itu yang membawa perkenalan ke beberapa orang yang jauh lebih kedinginan. Seorang lagi membawa gitar

Sebelum malam, perjalanan harus sampai ke puncak. Ciremai terkenal dengan mahluk halusnya. Sering terdengar cerita para pendaki digoda penunggunya dengan hipnotis: semalaman tak menemukan jalan pulang dan hanya berputar-putar mengitari satu pohon. Jalanannya juga licin. Pada Desember, Kuningan selalu berhujan. Maka, ketika matahari belum lingsir kami sudah hampir mencapai puncak tertinggi di Jawa Barat itu. Dingin makin menusuk dan oksigen kian menipis.

Di puncak itu kami kelelahan. Hujan turun renyai. Semesta terungkup gelap. Ini puncak, lalu apa? Desember telah lewat. Pukul 0 orang tak sanggup gaduh. Ini Januari, mana matahari baru itu? Apa sebetulnya yang baru? Mungkin hanya almanak di meja belajar. Selebihnya adalah sesuatu yang rutin, sisanya menunggu. Yang berubah hanya angka-angka karena waktu toh berjalan seperti biasa. "Waktu diam, kita bergerak karena itu kita tua," sergah Michael Crichton.

Tapi apa sebetulnya arti Desember dan Januari bagi kita, orang-orang kepayahan di puncak gunung? Mungkin karena kita butuh penanda. Bahwa ada sesuatu yang harus berakhir dan bermula agar hidup tak jadi jemu. Manusia akhirnya menyadari bahwa ingatan tak selamanya panjang: harus ada batas pada sehimpun catatan. Dan ada batas lagi untuk memulai menulis catatan di lembar yang baru: bahwa jatah hidup kian berkurang.

Tahun baru disambut riang. Bukan karena itu 1 Januari, tapi karena waktu turun telah tiba. Matahari mulai memancar-mancar menerobos celas pinus yang basah. Gigil mulai hilang. Jalan tikus membentang, berkelok-kelok. Kami menyusur punggung gunung itu hingga sampai di Palutungan. Ableh, dll, ini lagu yang kita nyanyikan di tenda yang koyak itu.

December clouds are now covering me
December songs no longer I sing
[December | Collective Soul]

Thursday, December 25, 2003

OSHIN




Kenangan selalu saja datang tiba-tiba. Pada sore yang basah ini, kenangan itu datang dari Oshin--sebuah film seri yang ditayangkan TVRI tiap jam setengah tiga sore, di penghujung 1980-an. Oshin kami nanti sehabis hujan-hujanan di halaman. Saya dan adik-adik sudah berselimut di kursi panjang sementara ibu mulai menghidupkan televisi. Tak ada pilihan lain, waktu itu, selain TVRI yang acaranya masih bagus-bagus.

Oshin adalah sebuah contoh bagaimana kerja keras akhirnya berbuah. Ayako Kobayashi, yang memerankan Oshin, pas betul digambarkan sebagai prototip seorang Jepang. Saya tidak tahu kenapa Sugako Hashida memilih peran perempuan untuk menggambarkan Jepang bangkit dari keterpurukan akibat perang. Tapi, mungkin juga karena perempuan adalah sosok yang liat.

Di film yang diproduksi pada 1983 itu kita lihat, Oshin yang anak petani di desa Tohoku, Jepang Utara, mulai meninggalkan tradisi nenek moyangnya. Ia tak sekedar bercocok tanam di sana. Tapi mulai menjual sendiri hasil pertaniannya saat panen tiba. Dalam film itu proporsi Oshin menjual memang kelewat besar dibanding Oshin belanja ke kota.

Oshin juga seorang yang hemat. Saat sepatunya jebol karena melesek oleh gigil salju, ia tak membeli sebuah sepatu baru. Oshin menggantinya dengan jerami hanya agar kakinya tak keriput. Pendeknya, Oshin bukan seorang yang besar pasak daripada tiang. Ia menabung, tapi tak banyak membeli. Semangat saudagar tumbuh dalam diri seorang gadis Oshin. Kelak dari tabungan dan semangatnya, Oshin berhasil membangun sebuah jaringan pertokoan di desa dan kotanya.

Oshin tumbuh sebagai orang kaya baru di daerah itu. Para petani di Tohoku tak harus bersusah payah menjual hasil pertaniannya ke kota yang jauh dan becek oleh salju. Oshin berubah predikat dari seorang petani menjadi pedagang. Dan kita menyaksikan kemudian, Jepang tumbuh sebagai pusat dagang di dunia. Mata uang Yen bahkan diperhitungkan sebagai alat penukar di hampir seluruh negara.

Cerita Oshin, sebenarnya, adalah cerita yang juga terjadi di banyak negara. Oshin-Oshin lain tumbuh di belahan-belahan dunia lain ketika kapitalisme menjawab pelbagai soal dan menawarkan impian modern setelah perang ternyata tak memunculkan harapan ketenangan. Bukankah Nabi Muhammad sendiri datang menyampaikan Islam melalui perniagaan?

Tapi dalam soal perniagaan selanjutnya, para pedagang dianggap sebagai sosok yang menakutkna. Di Turki, konon, para pedagang disebut bazingun, istilah yang mengacu pada seseorang yang kerap berbuat culas. Kata itu kemudian sampai ke Indonesia dengan pola peluluhan "z" menjadi "j" dan "u" menjadi "a".

Stasiun televisi NHK boleh berbangga karena serial itu menempatkan Oshin sebagai serial drama yang paling dinanti penontonnya di 50 negara. Rating serial itu konon belum terkalahkan oleh serial-serial lainnya. Dan Hashida dengan bangga menyebut Oshin sebagai wakil semangat Asia. Sebuah semangat yang, sayangnya, tak mampir ke Indonesia.

Tuesday, December 16, 2003

HP


Handphone, atau kalau di-Indonesia-kan jadi telepon genggam itu kini sudah jadi bagian dari identitas. Kalau Anda ditanya, "Lu, punya henpon? Ntar gua telpon," kurang lebih maksudnya, "Henpon lu merek apa?" Dan merek, tentu saja, berhubungan dengan berapa besar penghasilan yang punya telgam itu. Juga seberapa kuat dia mengikuti mode. Lalu penghasilan berkait erat dengan status sosial.

Identitas memang rumit. Ketika pulang kampung, dulu-dulu, pertanyaan uwa, bibi, tetangga, dan handai taulan, pasti "sudah semester berapa?" "Lulusnya kapan?" Dua tahun berikutnya, uwa, bibi, paman, tetangga dan handai taulan itu kembali bertanya, "Sudah kerja belum?" Setahun kemudian, pertanyaan si uwa, si bibi, si tetangga, dan si handai taulan, menjadi, "Kapan nikah?" Ah, ya, sekarang saya sudah menikah. Mereka itu kini bertanya, "Kapan punya anak?" dst, dst, dst. "Ah, kenapa tidak nanya saja, 'kapan meninggal?'" "Husssssssssshhhh!!!!!" Bapak menghardik.

Jika Anda bertukar kartu nama, yang dicari pertama adalah nomor telgam masing-masing orang. Setelah itu jenis pekerjaan. Maka, pertanyaan, "Bekerja di mana?" maksud sebenarnya adalah, "Berapa gaji Anda?" Karena saya wartawan, pertanyaan yang sering mampir adalah, "Di mana?" Ini ternyata pertanyaan yang lazim diterima sesama juru warta. Tempat bekerja, dalam satu soal ini, menjadi penentu seseorang disegani atau tidak. Padahal, bukan karena medianya, seseorang jadi bagus bekerja.

Dalam sebuah acara hiburan (orang jadi latah menyebutnya infotainment), seorang selebritas kebingungan memilihi tawaran kakaknya: umrah atau handphone. Umrah atau handphone! Di zaman yang ndableg seperti sekarang sesuatu yang profan jadi sulit dipilih ketika berdampingan dengan suatu yang transeden. Orang menyejajarkannya seolah-olah itu dua komoditas berbeda yang sama penting. Tapi, mungkin juga sama penting di sebuah zaman ndableg: ketika lu adalah apa yang lu punya.

Identitas ternyata ruwet. Seruwet Zahra merumuskan siapa dirinya. Dalam novel Tahar Ben Jelloun ini, siapa menjadi apa sudah tak jelas lagi. Zahra lahir sebagai perempuan yang tak diinginkan ayahnya. Maka ia dididik dan diperlakukan sebagai laki-laki. Pada umur dua tahun ia pun disunat. Agar terlihat berdarah, si bapak melukai paha si bayi. Dan Zahra pun tumbuh sebagai laki-laki.

Tapi dalam usia balig, Zahra kebingungan ketika dari dalam vaginanya merembes darah menstruasi. Tapi, pola pikir laki-lakinya menolak itu peristiwa alamiah yang dialami oleh seluruh perempuan ketika menginjak masa puber. Ia tak ambil pusing. Sejak kecil, karena didikan keras ayahnya, ia juga merentang dendam terhadap si bapak. Maka, ia kabur dari rumah dan ikut rombongan sirkus-sandiwara yang keliling dari satu kota ke kota lainnya. Dalam rombongan sirkus itu, Zahra berperan sebagai perempuan!

Mana yang lebih rumit: Zahra atau handphone? Minggu-minggu ini saya memilih handphone yang tertinggal di rumah di kampung. Satu sisi saya senang tak memegang handphone, tapi jadi ruwet karena berurusan dengan kantor. Huh!

Monday, December 08, 2003

SHOT






Ini wajah Michael Jackson sesaat setelah ditangkap polisi Santa Barbara karena dituduh mencabuli bocah laki-laki 12 tahun. Klik di sini.



Dan ini wajah bos Microsoft Bill Gates pada 1977, setelah ia ditangkap polisi karena ngebut. Masih banyak lagi wajah artis dan pesohor lainnya yang dipotret polisi karena ngebut, mabok atau main cinta dengan pelacur di pinggir jalan seperti kelakuan Hugh Grant. Arsip foto-foto polisi yang memamerkan wajih artis tanpa riasan itu didokumentasikan di situs www.thesmokinggun.com, www.mugshots.net, atau www.mugshots.com. Mari melihat-lihat.

Friday, December 05, 2003

FAIZ




Faiz, aku malu membaca sajak-sajakmu. Malu, karena sudah jauh umur belum juga bisa menulis rapi sepertimu. Seperti kata Taufik Ismail, Pak Tuomu itu, anak umur dua kali lipat dari usiamu saja belum tentu bisa menulis serapi sajak-sajakmu. Umurmu baru 8, tapi sajakmu seperti 29.

Faiz, aku menyesal setelah membaca sajak-sajakmu. Menyesal telah menyia-siakan umur. Apa yang ada di kepalamu ketika kau menulis, "Ayah Bunda, Kucintai kau berdua, seperti aku, mencintai surga." Uh, Faiz...Faiz...aku menemukan bening kata-kata dari sajak-sajakmu. Eh, boleh ya, aku kutipkan sajak-sajakmu di sini...."semoga aku tidak dipenjara karena mengutip puisimu di sini...."

JALAN BUNDA

bunda
engkaulah yang menuntunku
ke jalan kupu-kupu

(September 2003)

AYAH BUNDAKU

Bunda
engkau adalah
rembulan yang menari
dalam dadaku

Ayah
engkau adalah
matahari yang menghangatkan
hatiku

Ayah Bunda
kucintai kau berdua
seperti aku
mencintai surga

Semoga Allah mencium ayah bunda
dalam tamanNya terindah
nanti

(Januari 2002)

PUISI BUNDA 2

Engkau adalah puisi abadiku
yang tak mungkin kutemukan
dalam buku

(November 2003)

Faiz sudah menelurkan buku kumpulan puisinya berjudul Untuk Bunda dan Dunia yang menghimpun 20 sajak-sajaknya. Ini sedikit tentang Faiz yang memenangkan lomba menulis surat untuk presiden.

Tuesday, December 02, 2003

CARTI




Namanya Carti. Hanya itu. Tak ada nama kedua atau nama panjang. Di kampung kami nama kedua atau nama panjang hanya akan membebani hidup si anak kelak. Karena dia lahir Kamis maka namanya harus berawal huruf "C" atau "K". Jika tidak keduanya, hidup si anak akan sengsara atau sakit-sakitan. Maka bapaknya memberi nama Carti setelah nama Casinah tak cocok bagi si anak. Nama Casinah hanya dipakainya sampai umur enam bulan, selama ia diserang demam tak henti-henti.

Carti baru lulus sekolah dasar dua tahun lalu. Waktu saya berangkat ke Bogor untuk sekolah, dia masih suka telanjang hujan-hujanan di halaman rumahnya. Waktu mudik lebaran kemarin saya lihat ia sudah jadi gadis yang berparas bersih waktu ketemu halal bi halal dengan tetangga. Kini, Carti bukan anak yang pemalu lagi. Ia menyapa saya duluan dan menjelaskan bahwa ia Carti yang dulu kepergok mengambil jambu air di depan rumah saya; karena saya pangling melihatnya.

Baju yang dipakai Carti bisa dibilang modis untuk ukuran gadis seusianya. Ia juga pakai bedak dan sedikit lipstik. Sandalnya berhak tinggi. Gerak-geriknya sedikit ganjen. Kami terlibat obrolan. Katanya, ia baru tiba dua hari menjelang lebaran. Di kampung saya, jika orang mengatakan pulang, itu berarti baru datang dari Jakarta atau kota lainnya. Dan Carti baru pulang dari Jakarta.

Jadi pembantu rumah tangga pada sebuah keluarga di Ibukota. "Kerja saya hanya memberi makan anjing," katanya. Anjing tuannya ada 10 dan yang paling dikenalnya hanya anjing herder. Dari pagi hingga malam, ia harus tak luput memastikan anjing-anjing itu sudah diberi makan. Selain itu tidak, karena pekerjaan rumah tangga lainnya sudah ada pembantu lain yang menanganinya. Pembantu di rumah tuannya Carti ada lima yang mengurus seluruh pekerjaan utama rumah tangga, tidak lagi membantu seperti julukannya.

Dari raut dan intonasi bicaranya Carti sepertinya senang sudah bisa bekerja. Ia jadi kebanggan keluarga. Tiap bulan separo gajinya ia weselkan ke orang tuanya. Setiap bulan ia menerima 200 ribu rupiah. Sisanya ia simpan. Jika ada keperluan mendadak, bapaknya datang ke rumah tuannya untuk meminta duit. Carti sudah jadi kepala rumah tangga urusan duit sejak setahun lalu, sejak ia pertama kali ke Jakarta.

Carti menjadi gadis kormod atau korban mode. Di kampung saya anak-anak perempuan sedang gandrung kerja di Yayasan (para tetangga selalu menjawab kerja di Yayasan jika bekerja sebagai pembantu) setelah lulus sekolah. Maksudnya, ikut mendaftar ke sebuah yayasan penyalur pembantu rumah tangga. Mang Arif, seorang yang punya kenalan dengan pekerja Yayasan bertindak sebagai makelar. Ia sudah mengirimkan puluhan anak gadis ke Jakarta. Dan rata-rata "berhasil".

Untuk lebaran tahun ini Carti membawa uang tunai 1 juta rupiah dari tabungannya. Dan semuanya ia serahkan ke orang tuanya. Baju-baju lebaran yang dipakainya merupakan baju bekas anak tuannya yang sudah tak terpakai lagi meski terlihat masih baru di tubuh Carti. Uang kerjanya itu utuh tanpa belanja apapun. Menurut sahibul cerita (di kampung tak pernah ada rahasia), uang itu akan dipakai merenovasi rumah.

Carti belum mau pacaran, kendati pada malam hari para jejaka kampung ramai-ramai berkunjung ke rumahnya. Mungkin ia akan bertahan dua tahun pada keteguhannya. Setahun ia mungkin luluh dan menjadi pacar seorang anak muda yang belum punya pekerjaan tetap. Tahun kedua rencana pernikahan dan mengundang penghulu sudah dirancang.

Lalu kemodisan Carti hilang. Wajahnya dan tubuhnya kembali ke asal: kelelahan gadis-gadis desa mengurus rumah tangga pada usia belia. Ini kronologis yang lazim bagi gadis desa yang sudah dianjangi jejaka desa. Seperti juga Minah, Emun, Een, dan banyak gadis-gadis lain senior Carti

Carti adalah sebuah cerita bagaimana kemiskinan terpelihara. Ada banyak ribuan Carti di desa-desa di Indonesia. Seusai pensiun jadi pembantu, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Keahlian Carti yang tertinggal dari bekerja, ya, memberi makan anjing itu. Lainnya tidak. Para tuan itu tak pernah memikirkan bagaimana jika Carti sudah tak bekerja lagi di rumahnya suatu saat. Mereka tidak pernah diajari mandiri dengan diberi keahlian khusus selain jadi pembantu.

Pulang dari Jakarta, Carti dkk. itu hanya membawa selepit uang yang bisa dihabiskan dalam waktu seminggu. Kesenangan dan kebanggaan itu hanya dinikmati sampai rumah direnovasi. Setelah itu hidup kembali sempit dan pendek, sependek nama Carti, yang tak punya arti apapun selain hanya sepenggal nama.

Friday, November 21, 2003

MUDIK



MUDIK barangkali sama tuanya dengan umur kota-kota. Karena mudik berarti pulang ke kampung--sebuah tempat, yang kadang-kadang diartikan, selain Jakarta. Bisa juga hanya berarti pulang. Tapi, jika bukan untuk berlebaran, pulang ke kampung jarang disebut mudik. Kata mudik, sepertinya, asosiasi artinya hanya saat lebaran, bukan pada "pulang" itu sendiri.

Kata mudik itu sendiri berasal dari udik, sebuah kata yang merujuk pada wilayah yang bukan kota, tertinggal, terbelakang--yang mendapat tambahan awal meng-. Mengudik kemudian meluluh menjadi mudik, karena bukan saja tak enak dilafalkan, tapi tak pas sebagai bentukan baru.

Mungkin hanya di Indonesia saja, lebaran dirayakan dengan mudik. Saya belum mendengar di belahan negara lain ketika menjelang lebaran atau hari raya ada migrasi manusia dalam jumlah yang gila-gilaan dari suatu tempat ke tempat lain. Di Amerika ada Thanksgiving Day, di mana semua keluarga juga harus kumpul. Tapi, tak pernah terdengar, di California tiket pesawat ludes menjelang hari istimewa itu dan orang rela antri untuk dapat selembar karcis.

Kata Umar Kayam, sosiolog yang sering bisa lucu ini, mudik itu "Suatu ritus yang tidak jelas apakah itu suatu keajaiban fenomena agama, fenomena sosial, atau fenomena budaya (1993)." Mungkin ketiganya sekaligus. Barangkali juga sudah bisa dijadikan satu, ya, fenomena lebaran di Indonesia.

Lebaran bisa membuat semua orang repot. Tapi, itulah bedanya di sini. Meski umur mudik sudah tua, dan selalu berulang setiap tahun, macet dan antri tiket masih tetap saja terjadi. Antisipasi itu jauh panggang dari api.

Tapi orang tak peduli. Pemerintah mau peduli atau tidak, mudik adalah kewajiban. Ketemu keluarga setelah setahun ditinggalkan itu yang utama, juga rada-rada pamer sesuatu dari hasil jerih payah di kota. Pokoknya saat lebaran, para tetangga di kampung harus tahu, bekerja di Jakarta atau di kota memang gampang menghasilkan uang. Itu buktinya; ada mobil, sepeda motor, atau penampilan terlihat lebih baik.

Barangkali di situ jeleknya. Setiap kali arus balik terjadi, jumlah pebalik (kalau mudik disebut pemudik) jauh lebih besar dibanding pemudik. Kota makin penuh oleh orang yang mengadu untung, atau sekedar tergiur dan iri. Bisa jadi mereka sengsara ketika sampai di kota, tak punya ongkos untuk pulang lagi, jadi gelandangan yang mencemaskan. Mungkin dari situ, Koes Ploes bilang "Jakarta memang kejam, hu...hu...hu..."

Setiap mudik, jarang sekali saya menemukan ada anak lulus sekolah dasar ketika ditanya pekerjaannya gembala kerbau atau sapi atau ternak lainnya. Rata-rata bujang-bujang tanggung tetangga itu dengan sedikit bangga bilang telah kerja di Jakarta. Kerjanya macam-macam, dari buruh bangunan, pembantu rumah tangga, dll. Teman-teman sekolah dulu, sehabis lulus mereka pasti pergi ke ladang.

Dengan menggembala kerbau, si anak dapat satu anak kerbau setiap tahun dari majikannya. Jika lima tahun gembala, si anak sudah punya modal untuk kawin karena ongkos mas kawin cukup jual satu kerbau, sisanya buat beli tanah pertanian. Dengan nyicil satu rumah bilik sudah bisa dibangun pada tahun ke dua. Tapi ke kota, anak-anak muda itu hanya dapat Levi's palsu dari Tanah Abang. Gaya dan prestise lebih penting dibanding masa depan yang jelas.

Tapi, jangan pusing-pusing dengan kalkulasi ini. Ini bulan baik. Mudik juga sesuatu yang baik. Jadi, selamat mudik, selamat lebaran, maaf lahir dan batin. Maaf jika ada kesalahan-kesalahan selama menulis di blog ini. Konon, kesalahan itu seperti kentut: tidak terlihat tapi terasa, tidak bersuara tapi terdengar, kadang ditahan-tahan tapi juga seringkali sengaja dilakukan. Karena seperti kentut, mudah-mudahan kesalahanitu juga segera cepat hilang.

ULANG TAHUN

Tepat saat lebaran, 25 November nanti, blog ini juga merayakan hari jadinya yang pertama. Mudah-mudahan, seraya mendoakan diri sendiri, yang punya blog terus punya tenaga untuk terus menulis di sini. Posting pertama sebuah petikan novel yang tidak jadi dan kedua seputar pengalaman mudik di Pantura setahun yang lalu.

Friday, November 14, 2003

FILM




"Umur seseorang ditentukan oleh apa yang dibacanya pertama kali di koran". Kalimat ini tentu saja datang dari sebuah film Hollywood. Judulnya Murder at 1600. Ceritanya seputar aksi detektif mengungkap siapa pembunuh Carla Town. Carla adalah seorang yang sedang magang di Gedung Putih dan terlibat cinta segitiga dengan presiden, dan anak presiden. Mirip apa yang terjadi dengan Monica Lewinsky. Film ini mungkin juga sepenuhnya diadapatasi saat Gedung Putih dikendalikan Bill Clinton.

Kalimat itu diucapkan oleh Alvin Jordan, seorang penasihat sekaligus kepercayaan Presiden Neil. Jordan ketika itu sedang dikorek keterangannya oleh detektif Sergis yang pusing menghubung-hubungkan semua kejadian dan data yang dimilikinya seputar Carla yang mati di kloset Gedung Putih dengan luka tusukan di sekujur tubuh. "Apa yang kau baca pagi ini?" tanya Jordan. "Berita kematian," jawab Sergis. Saat itu, semua mata media di Amerika sedang tertuju ke istana karena kematian Carla menyisakan teka-teki skandal apa yang terjadi di Gedung Putih. Ini bisa fatal, tahun depan Neil akan kembali mencalonkan diri, juga 9 orang tentara ditawan Korea Selatan.

Jordan tertegun. Upaya mengalihkan perhatian Sergis tak mempan. Sambil memulai joging, ia menimpali setengah menasihati, "Bacalah komik, agar umurmu lebih panjang." Ini dialog yang cerdas, karena misteri Carla lambat-laun terkuak. Hollywood selalu punya cara agar para penonton tak beranjak sebelum tanda tanya itu selesai terjawab. Maka di sana-sini misteri-misteri bermunculan, data-data berhamburan, pendeknya penonton diajak berpusing laiknya si Sergis dan Nina Chance (diperankan Diane Lane, agen rahasia Gedung Putih yang membelot ke Sergis). Tidak lupa dialog-dialog menggelitik juga disusupkan.

Ini bukan film baru dari segi tema. Hollywood selalu punya cara bagaimana mereka mengolok-olok penghuni Gedung Putih. Seorang pejabat di Jakarta berseloroh soal perbedaan film Indonesia dengan Barat [mungkin yang mau dikatakannya Hollywood itu] ketika berapi-api menjelaskan suatu topik yang sedang kontroversial. "Kau tahu apa bedanya?" tanyanya. Kami tahu pertanyaan itu akan dijawabnya sendiri, kami diam saja. "Film Indonesia itu sudah tahu akhirnya 1/4 sebelum selesai; kalau film Barat di akhir cerita masih ada pertanyaan," ia belaga sok benar.

Tapi mungkin juga benar, bagi pejabat yang rambutnya licin karena pomade Italy itu, film Indonesia tak mengajak orang berpikir. Keadaannya pas, buat apa mikirin film, mikirin perut saja setengah ampun. Maka lebih baik menonton film Hollywwod saja yang katanya bagus itu, sambil nyeruput teh tubruk pada larut malam di televisi. Toh, film yang bagus juga tak jadi jaminan pikiran kita akan jadi pintar setelah keluar dari rumah, ketemu banyak orang, naik bus dan waspada dari copet dan pemalak. Karena bisa jadi benar, umur seseorang ditentukan apa yang dibacanya pertama kali di koran.

Sunday, November 09, 2003

PUASA



Awal pekan lalu saya belanja ke Carrefour Lebak Bulus. Ada beberapa alat rumah yang harus dibeli. Lumayan, sekedar mulai nyicil. Masuk ke sana sekitar jam 4 sore. Mak, penuhnya tempat belanja ini. Tangga berjalan penuh-sesak. Susah bergerak. Masuk ke dalam sami-mawon. Saya harus menyeret-seret tangan istri agar terbebas dan mendapat tempat yang lumayan lengang. Dan itulah tempatnya : rak pisau dapur. Ini satu-satunya tempat yang lengang di Carrefour.

Pekan lalu kelompok wartawan ekonomi diundang buka puasa bersama oleh seorang pejabat Bank Indonesia. Tempatnya di restoran Pulau Dua, Senayan. Saya datang ke restoran karena tak punya pilihan buka puasa ketika sedang liputan di DPR. Di tengah jalan adzan sudah terdengar. Saya telat masuk Pulau Dua. Alamak, penuhnya restoran ini. Saya dan beberapa teman yang telat, makan dan minum es kelapa muda duduk di pagar pembatas restoran.

Akhir pekan lalu kami buka puasa di rumah makan Ayam Bakar Wong Solo di Bogor. Istri saya ngebet ingin nyoba ayam bakar yang kata orang enak dan, terutama, ada jus poligami. Di tayangan hiburan televisi, jus ini disebut-sebut sebagai khas Wong Solo. Maka kami ke sana selepas magrib. Aduh, ini tempat sama juga, kursi yang kosong hanya tempat kasir yang berdiri karena kerepotan meladeni orang yang mau bayar. Saya menunggu orang yang sudah selesai. Setelah ada, saya pesan ayam bakar dan udang goreng kesukaan. Selain makannya biasa saja, bumbunya pun tak pas di lidah. "Sambalnya manis," kata istri saya. Wong Solo ternyata biasa saja. Merek (poligami pemiliknya yang beristri empat) dan tayangan tivi yang membantu Wong terdengar begitu nikmat.

Kabarnya, di mana-mana selalu begitu. Saat beduk magrib, tempat makan enak dan mahal diserbu orang. Jalanan lengang pada jam buka. Kemacetan yang rutin pindah ke jam 4 sore atau 9 malam. Pada puasa orang berlomba meladeni nafsu makan yang tertahan sejak subuh. Dan pada magrib itulah saat melampiaskannya. Padahal, makanan enak dan tak enak terbayang menjelang detik-detik adzan magrib saja. Perut toh sudah kenyang hanya dengan segelas teh manis dan semangkuk kolak pisang. Bukankah Nabi berbuka hanya dengan beberapa biji kurma?

Konsumsi jadi lebih tinggi pada bulan Ramadan. Uang beredar naik Rp 5 triliun. Saya curiga ini data di Jakarta dan kota besar saja. Puasa saatnya makan enak. Aneh juga. Di beberapa negara lain, kabarnya, puasa justru menurunkan tingkat konsumsi. Warung-warung tutup karena tak ada pembeli. Pemiliknya ingin merayakan puasa juga tanpa harus lelah kerja. Orang lebih senang berbuka di rumah. Kumpul dengan keluarga. Saya tidak tahu apakah di sana ada tradisi buka puasa bersama. Bukankah puasa artinya mengekang? Mengekang hawa nafsu termasuk keinginan membeli, menghambur duit, dll. Benar juga kata seorang teman, Indonesia ini yang krisis hanya negaranya, bukan individu-individunya. Negara hanya punya duit Rp 349,9 triliun untuk mengelola negara sebesar ini.

Puasa di sini juga telah jadi bahasa birokrat. Ada buka puasa bersama, ada magrib bersama, tarawih bersama. Ini maksudnya bersama antara menteri dan bawahannya. Bersama antara petinggi dan bawahannya. Kenapa tak ada sahur bersama? Dan semua ini konotasinya senang-senang. Hikmah puasa tak lagi memahami derita si miskin. Dulu ada safari Ramadan yang jadi ajang kampanye. Sekarang sudah hilang tapi bahasa birokratnya masih lekat. Ritual puasa telah jadi seragam.

Wednesday, November 05, 2003

PENGGUSUR TERBAIK




Setelah dinobatkan sebagai negara terkorup, Indonesia kini juga mendapat penghargaan sebagai negara penggusur perumahan warga terbaik bersama Guatemala dan Serbia-Montenegro.

PRESS RELEASE
THE COHRE HOUSING RIGHTS AWARDS 2003



Download Press Kit (Microsoft Word 245kb)

Indonesia, Guatemala and Serbia & Montenegro Criticised for Severe Housing Rights Violations; Scotland Praised; American Activist Killed Protecting a Palestinian Home Posthumously Honoured.

Thursday, October 30, 2003

JARIG



: buat Arline

Barangkali hidup tak bisa ditebak. Atau kita yang tak bisa menebak. Kita berdua saja, waktu itu, merumuskan hal ihwal tentang masa depan. Dan kita kini, berusaha menyusur jejak di taman kenangan itu: bahwa akhirnya kita bisa juga hidup sejalan-setujuan--tidak seperti sajak yang pernah kubuat khusus untukmu, lima atau enam tahun silam. Maka puisi itu kini, Cintaku, tersusun seperti ini :


Hujan mendaras
pada pagi yang memburu
waktu bergegas
kita cemburu

Di sini
malam pun singgah sebentar
menghapus mimpi tak usai
di parasmu yang masai

Cepatlah berkemas
agar hari berangkat siang
membantun rindu cemas
melantun kisah riang

("Rindu ini juga tak boleh takluk.
Seperti sajak ini abadi. Kutulis
kutulis pada pintu yang kelak kita ketuk :
selamat pagi".)

Senja tinggal gerimis
tak lagi ritmis
tapi dingin ini, dik, amat mencekam
terus meniris
tak lekanglekang

Sebab itu rumah yang teduh
flaneur melabuh
hinggap di bungabunga dan kolam
bercakap tentang hujan barusan
dan kau, di sana, tekun menyulam

Wednesday, October 15, 2003

IMAM




Imam Samudra tidak saja piawai meledakan bom di Bali, tapi juga seorang penulis yang impresif dengan diksi yang memukau. 11 bulan dalam penjara ia menghasilkan catatan harian 200 halaman yang berisi curahan hatinya tentang jihad, Islam, teroris dan bom. Dari catatannya, kita tahu, ia meledakan Bali dan mengangkat senjata di Afganistan tidak dengan otak kosong. Kepalanya disaput ideologi, Tuhan, dan harum surga.

Suatu saat catatan itu mungkin akan dibukukan. Barangkali, harus. Ia akan menjadi saksi bagaimana kilatan pikiran Imam pada detik-detik horor 12 Oktober itu, juga keyakinan yang sampai ke sum-sum. Saya baru baca sekilas dari uraian wartawan Tempo yang mendapat catatan itu. Tapi, yang sekilas itu saja mampu menghadirkan sosok Imam yang teguh keyakinan.

Ditulis dengan huruf kecil, satu baris diisi oleh dua baris kalimat, dengan huruf-huruf kapital, Imam menorehkan memoarnya yang ia sebut Biografi (Setengah Hati). Di sana ia menceritakan bagaimana hari-hari masa kecilnya dilewatkan di "sekolah sekuler". "Sekolah agama yang tak terlalu ketat, dengan meja-meja yang sudah dimakan rayap," tulisnya.

Sewaktu SMP ia tak seperti anak lain yang masih gemar petak umpet. Imam kecil lebih senang duduk berlama-lama di perpustakaan. Dalam belia ia sudah menyelesaikan novel Di Bawah Lindungan Ka'bah karangan Buya Hamka. Saat di SMP 4 Serang, Banten, itu pula, ia berkenalan dengan Dr. Abdullah Azzam melalui bukunya Aayaturahman Fie Jihadil Afganistan (Tanda-tanda Kekuasaan Allah dalam Perang Afganistan). Ia terpesona oleh cerita Azzam hingga bermimpi bisa bergabung dengan para mujahiddin itu.

Menginjak besar ia berkenalan dengan internet. Dia bisa betah duduk sehari-semalam untuk surfing dan menemukan aneka gambar penderitaan rakyat Palestina juga Afganistan. Ia pun membagi ilmunya tentang Hacking, Darimana Mulai?. Ia jadi hacker yang membajak dan merusak situs-situs yang dianggap "musuh-musuh" imannya. Gelora jihadnya terus berkobar hingga pada 1990 sebuah kesempatan datang dan ia pergi ke tanah sengketa itu.

Kenapa Bali? Itu pertanyaan yang dilontarkannya sendiri. Maka ia pun menjawabnya sendiri. "Bali hanyalah sekeping tempat berlindungnya teroris Amerika dan sekutunya." Kenapa tak dilakukan di Amerika, Australia, Prancis, Jerman, Belanda? "Karena aku wanted, wanted, dan wanted. Kalau tidak wanted pun bukan urusan mudah mendapatkan visa dari negara-negara itu." "Manusia yang tak mengerti jihad pasti akan mengutuk dan memberi komentar yang mengelirukan, menyesatkan dan menyakitkan."

Imam barangkali seorang yang mudah tergugah. Ia seorang anak kampung yang terbuka mata dan hatinya oleh bacaan-bacaan. Karena itu ada banyak pertanyaan hinggap di kepalanya tentang agama, hidup, dan Tuhan. Ia jadi terlampau cepat dewasa dan menemukan jawab dari pelbagai pertanyaan itu lewat buku Azzam. Kita tidah tahu apa jadinya jika ia tak terpesona oleh lukisan di perpustakaan itu lalu matanya tertumbuk pada buku Azzam, tapi tatapnya jatuh pada komik Gareng dan Petruk karangan Tatang S yang legendaris itu.

Bagi anak kampung yang sudah berkenalan dengan bacaan sejak mula, umur akil balig memang seperti persimpangan. Imam meyakini jalan yang diyakininya benar. Maka tidak saja niat yang tumbuh di kepalanya dari doktrin Azzam itu, tapi keyakinan dan ideologi. Ia ciptakan, mungkin juga sudah tercipta, jalan yang memudahkan tetap mengobarkan keyakinannya itu. Jalan hidupnya terus menerus membawanya ke arah sana: arah Jihad yang diyakininya.

Friday, October 03, 2003

MENUNGGU SITA




Kantor kami mau disita untuk alasan yang kabur dan salah alamat. Kami menunggu: SELAMAT DATANG JURU SITA KEBEBASAN PERS.





Tapi tidak jadi. Posting ini masih dikirim dari komputer di dalam kantor milik kami. Sah. Batal jatuh ke tangan para juru sita.

Foto : TEMPO/Santirta M

LINK
Karyawan Koran Tempo Sambut Juru Sita dengan Spanduk
Koran Tempo Batal Disita
Giliran Gedung Koran Tempo Disita
Dubes AS Datangi Kantor TEMPO

Wednesday, October 01, 2003

DONGENG

SAYA tumbuh dengan dongeng. Karya sastra kedua yang saya dengar dan saya serap, setelah dongeng bapak sebelum tidur, adalah dongeng Mang Jaya. Dongeng memenuhi keseharian saya sejak kecil, sejak sebelum meninggalkan kampung untuk sekolah. Barangkali, tidak hanya saya, bahasa lisan orang Kuningan dan sekitarnya sangat dipengaruhi oleh cerita-cerita Mang Jaya lewat dongeng entengnya. Disebut dongeng enteng karena ceritanya dipungut dari keseharian orang Sunda yang banyak canda.

Dongeng Mang Jaya mengalir melalui gelombang radio AM. Waktu itu tak ada gelombang FM. Radio Mang Jayalah satu-satunya gelombang yang kami dengarkan. Belakangan radio swasta banyak muncul di Cirebon. Ketika saya pulang, gelombang FM juga sudah banyak. Gelombang ini khusus menjaring pendengar anak muda. Tapi, Mang Jaya tetap tak dilupakan. Dengan suara yang sudah tua, ia masih setia menyapa pendengarnya tiap jam 11 siang, 3 sore dan 8 malam dengan cerita yang berbeda-beda. Jika Anda pernah dengar Linggarjati di pelajaran PSPB, kantor radio Mang Jaya berada tak jauh dari rumah yang dipakai perundingan antara pemerintah Indonesia dan Belanda itu.

Satu buah dongeng bisa sampai bersambung hingga lebih dari satu bulan. Setiap episode panjangnya satu jam. Mang Jaya membawakan sendiri teks iklan yang diselipkan di setiap dongengnya. Meski suaranya tua, ia masih bisa membedakan suara perempuan, orang setengah baya, nenek-nenek, anak muda atau juragan yang berwibawa tapi culas. Tiap suara itu menunjukan bagaimana karakter tokoh-tokoh itu.

Saya masih ingat begitu penasarannya, hingga harus bolos sekolah, karena ingin tahu cerita lanjutan Bandara yang berhasil diperdaya Nini Kalingking yang jahat. Atau saya menyangka bahwa Lodaya ti Pakidulan itu ada, nun jauh di kaki Gunung Ciremai. Cerita Mang Jaya begitu dekat, karena itu kami menyukainya. Di antara ceritanya, biasanya, Mang Jaya selalu menyelipkan petuah-petuah jika kebetulan ada orang jahat yang pikirannya diliput dengki dan hasut. Ia mengingatkan bahwa orang jahat tak akan bisa langgeng dan tenang hidup di dunia.

Karena itu dongeng Mang Jaya sarat dengan pesan, pesan moral tentu saja. Tapi, ia tak melupakan jalinan ceritanya. Tokoh-tokoh saling bersahutan dalam cerita itu. Saya paling suka jika ceritanya tentang jawara yang guguru di hutan lalu turun gunung menumpas kejahatan. Mang Jaya begitu deskriptif menceritakan pertaruangan antara penjahat dan tokoh baik. Kami bisa membayangkan bagaimana sebuah pukulan mengena tulang iga lalu tubuh si penjahat ambruk.

Mang Jaya tahu, cerita yang dibawakannya berupa dongeng yang dilisankan. Karena itu kalimat-kalimatnya lebih banyak deskriptif. Ia menunjukan, tidak hanya menceritakan. Mang Jaya bisa larut dengan cerita yang dibawakannya sendiri. Ia bisa sampai nangis jika tokoh utamanya sedang menderita. Jika suatu kali nangis, Mang Jaya absen selama dua hari. Kami tak mendengarkan program apapun di radio itu. "Mang Jaya mungkin malu," kata Umi.

Sebelum saya menyerap pelajaran bahasa Sunda di sekolah, Mang Jaya sudah mengajarkannya. Ia mengajarkan bagaimana omong halus dan kasar. Bagaimana sebuah idiom dan peribahasa dipakai untuk sebuah suasana dan kesempatan. Bahasanya kaya dan membuka peluang bentukan bahasa Sunda baru yang dipungut dari bahasa buhun yang lama tak terpakai lagi.

Waktu nikah saya mengusulkan agar memanggil Mang Jaya saja untuk hiburannya, daripada menyewa grup dangdut yang hanya mengundang keributan antar kampung saja. Suruh saja Mang Jaya mendongeng semalaman. "Orang-orang pasti suka," kata saya. Tapi, dua-duanya ditolak, bapak lebih suka mengundang seorang ustad untuk memberi petuah pernikahan. Padahal, Mang Jaya, juga pasti bisa memberi petuah-petuah. Tapi, saya menurut, karena saya tahu bapak ingin memberi kesan saat mulung mantu pertama kali.

Karena Mang Jaya, juga dongeng bapak, saya jadi suka cerita. Kadang-kadang kangen mendengarkan suara Mang Jaya muncul jika lama tak pulang kampung. Seperti sekarang....

Sunday, September 28, 2003

KAMPUS KITA


Ini survei kecil-kecilan di kantor. Beberapa teman, saya tanya tentang kebanggaan terhadap almamaternya. Saya terkejut bahwa mereka ternyata lebih banyak mengatakan kecewa. "Masuk ke sana bikin patah semangat," kata alumni Unpad. "Tak ada yang saya dapat dari 7 tahun kuliah selain pertemanan yang menyenangkan," ini suara alumni ITB. "Bagaimana, ya, 4 tahun belajar di sana setara dengan setahun belajar di sini, bahkan lebih banyak yang bisa diserap di sini," alumni IPB juga mengatakan hal yang tak beda.

Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah bahwa setiap alumni itu mengira sekolah di kampus lain lebih menyenangkan. Alumni IPB, misalnya, menganggap kuliah di UI lebih menyenangkan karena lebih terbuka dan demokrtis, meski penilaian itu jadi bahan tertawaan alumni UI sendiri. Tapi, begitulah, walau ini survei yang jauh dari mewakili apa yang sebenarnya terjadi. Ini survei yang hanya obrol-obrolan saja.

Barangkali, memang, belajar tidak menyenangkan di sini. Mereka merasa telah salah masuk fakultas bahkan salah masuk perguruan tinggi. Seorang teman yang menyukai sastra dan humaniora tentu saja jengkel saat kuliah di IPB yang isinya hanya menghapal dan menghapal. Ia punya daya ingat yang lemah terhadap angka-angka dan definisi.

Apa boleh buat, soal ujian memaksanya bekerja keras menghapal definisi dan pengertian dari suatu istilah yang diucapkan si dosen. Akhirnya indeks prestasinya anjlok saat mau wisuda. Padahal, saya tahu, ia seorang yang cerdas karena punya perspektif sendiri tentang sesuatu. Ia selalu punya sudut pandang berbeda jika kami berdiskusi, dan pikirannya terasa benar. Mereka merasa tertipu dengan gambaran yang dijual universitas tentang jurusan dan produk yang dihasilkan saat masih SMA dulu.

Maka si teman ini, saya tahu, menenggelamkan diri dengan bacaan yang tak ada hubungannya dengan pelajaran di ruang kuliah. Selama 4,5 tahun kuliah, setahu saya, tak satupun buku teks yang ia punya. Waktu ujian ia sibuk mencari fotocopy catatan kuliah teman lain yang rajin mencatat apa kata si dosen. Ia hanya berbekal bahan itu saja untuk menjawab setiap soal ujian. "Toh, tak ada hal lain di luar catatan ini," katanya, "tak ada persepektif yang harus digali di soal ujian dengan membaca buku teks aslinya."

Mungkin saya salah menanyai orang yang kini bekerja tak sesuai dengan ilmu [jika benar itu disebut ilmu] yang didapatnya di bangku kuliah. Rata-rata orang yang bekerja di kantor ini mengaku menempuh jalan yang salah tapi menyenangkan. Mereka melamar jadi wartawan dan kemudian bekerja jadi pewarta hanya karena dorongan keinginan untuk jadi penulis. Alasan lainnya, tak ada pekerjaan lain yang lebih cocok dan menyenangkan selain jadi wartawan. Karena setiap orang di sini rata-rata punya latar belakang pernah mengelola majalah atau buletin di kampusnya.

Saya sendiri merasakan ada yang salah dengan sistem pendidikan kita. 4 tahun kuliah, yang paling saya suka dan masih teringat adalah saat kumpul-kumpul usai kuliah di kantin atau di lorong ruang-ruang kuliah. Saya bisa menyerap lebih banyak informasi dari teman lain dibanding dari dosen yang hanya sekali bertemu selama dua jam setiap minggu. Pengetahuan lainnya diperoleh saat kongkow di kos sambil lihat televisi dan baca koran atau nongkrong di warnet kalau punya uang sisa bulanan. Kuliah hanya rutinitas saja, selain karena dorongan bisa ketemu dan ngeceng cewek di kelas yang lumayan manis.

Tapi hal-hal di luar ruang kelas itu, ternyata, yang kelak menjadi bekal membentuk bagaimana cara berpikir kita. Toh, jika harus mendeteksi suatu pohon dari daun dan baunya kita bisa melihat ensiklopedi atau kamus dendrology. Maka, sungguh mengherankan, bagaimana setiap dosen mengawasi kita di ruang ujian dan memberi sanksi pada mereka yang saling berbisik di belakang atau mengintai mahasiswa yang membawa kepe-an. Padahal, di luar ruang kelas itu kita saling contek informasi dan menyerapnya jadi pengetahuan.

Dan dunia mencatat orang seperti Totto-chan yang berhasil menimba pengetahuan setelah ia diusir dari sekolah. Atau Albert Einstein yang bloon dan selalu mendapat rapor merah. Ada banyak lagi orang yang justru bisa mengubah jalan hidup banyak orang padahal mereka tak mengenyam ilmu dari sekolah. Maka, apa gunanya STPDN memukul dan menendang mahasiswa dan mengerangkeng diri di dalam tembok kampusnya, menutup terhadap akses dunia luar yang mungkin justru akan membawa sumber ilmu pengetahuan baru.

Monday, September 22, 2003

ANAK-ANAK




Setiap anak datang dengan membawa satu pesan Tuhan: bahwa manusia masih dipercaya meneruskan hidup. Itu kata-kata penyair India yang masyhur, Rabindranath Tagore. Penyair ini, begitu mencintai dunia anak-anak, dan menceritakan dengan menggugah di setiap syair dan ceritanya. Bagi Tagore, dunia anak adalah dunia yang tak menyimpan tanda tanya. Dunia yang apa adanya, terbuka, suci.

Tapi, apa yang tersirat dalam dunia setiap anak kini? Barangkali kita sulit merumuskan dunia anak yang hidup di zaman kekwahatiran para orang tua. Dunia anak adalah dunia yang sudah dirumuskan oleh mereka yang bukan anak-anak. Mereka dicetak untuk satu tujuan hidup yang menyenangkan, bukan memilih hidup yang menyenangkan.

Roland Barthes, leksikolog Prancis ini, menyebut bahwa orang dewasa seringkali menganggap anak adalah (se)orang dewasa yang lebih kecil. "Mereka menganggap dunia anak adalah tiruan dunia orang dewasa," kata Barthes. Pernyataan ini ditulisnya melalui sebuah esai pendek yang memikat berjudul Toys.

Lihatlah, kata Barthes, bagaimana orang-orang dewasa menciptakan mainan yang lebih kecil dari mainan orang dewasa. Mobil-mobilan, traktor, pesawat terbang, dan pelbagai mainan lainnya yang dimainkan pula oleh orang dewasa. Jadi apa bedanya dengan orang dewasa? Kita lupa bahwa anak-anak punya imajinasinya sendiri tentang dunianya.

Barthes mungkin salah, atau mungkin juga benar karena ia memotret mainan-mainan yang dipajang di toko-toko Paris. Dia salah karena sewaktu kecil saya malah sibuk dengan mencipta. Mainan kami adalah mainan yang dibuat sendiri. Mobil dari potongan kayu, atau kulit jeruk Bali, dengan roda bekas sandal yang dicetak bulat. Kali lain membuat orang-orangan dari lempung atau daun singkong. Lebih sering kami membuat wayang golek dari lempung. Kainnya kami jahit sendiri, lengannya kami buat sendiri. Dan wayang golek itu kami mainkan dengan kisah yang kami reka sendiri, misalnya, kami ingin punya lapang bola sendiri.

Kami bebas mengkreasi akan dibuat apa lempung-lempung itu. Meski pun mainan itu juga meniru dari objek yang sudah ada, paling tidak kami berusaha sendiri. Menginginkan mobil dari plastik yang bentuknya persis menyerupai bentuk aslinya, hanya jadi mimpi saja, karena selain mahal juga harus dicari ke kota. Orang-orang tua kami pasti tidak mau sengaja ke kota dengan ongkos mahal hanya beli mainan. Alih-alih dikabulkan, kami pasti kena marah.

Dunia anak adalah dunia yang tak ada tanda tanya, kata Tagore. Maka biarkanlah ia bertanya dan menikmati dunianya.

* untuk yang mau punya bayi

BDL, 21903

Thursday, September 18, 2003

ROSEWOOD



Beberapa hari lalu Trans TV menayangkan film Rosewood. Bagi saya, film yang dibikin tahun 1997 ini, bercerita tentang Indonesia tahun itu. Kisahnya dimulai ketika veteran Perang Dunia I vet Mann (Ving Rhames) datang ke perkampungan Rosewood yang tentram tapi menyimpan hasut.

Mann ingin mengasingkan diri dari masa lalu yang dekat dengan kematian juga hiruk pikuk salak senapan. Ia ingin ngaso dari hidupnya yang capek. Mantan tentara angkatan darat kulit hitam ini kemudian berkenalan dengan keluarga Bibi Sarah (Esther Rolle) dan jatuh cinta kepada salah satu cucunya, Scrappie.

Rosewood adalah sebuah pemukiman di hutan rawa Florida abad 19 yang berisi orang kulit putih dan hitam. Mereka bertetangga, tapi tak cukup akrab. Yang kulit hitam bekerja pada kulit putih atau bertani. Yang bule bekerja sebagai sheriff, berdagang, dan pekerjaan terpandang lainnya. Selintas perkampungan ini tentram dan nyaman: orang kulit hitam pesta menari tiap malam di halaman. Orang kulit putih juga tekun bekerja dan tidur tanpa terganggu. Orang kulit hitam dan putih bekerjasama dalama tata niaga atau calo tanah.

Tapi, ketentraman itu dirusak oleh Fannie Taylor (Catherine Kellner), seorang perempuan kulit putih yang gemar berselingkuh. Ia bercinta dengan ganas dengan laki-laki kulit putih selingkuhannya ketika suaminya bekerja di perkebunan. Dasar selingkuhan, hubungan pun hanya sebatas seks, yang sedikit sadomasokis. Tiap kali selesai bercinta, tubuh Fannie biru lebam. Ia tak tahan dan kemudian ribut dengan selingkuhannya itu suatu siang. Fannie dipukuli hingga hampir telanjang. Ia menjerit tiap kali ujung sepatu selingkuhannya menghantam dagu dan punggungnya. Jeritan itu kelak terdengar oleh Bibi Sarah, yang kerja sebagai pembantu di keluarga Taylor.

Bukannya menyesal, eeh, si Fannie malah lari keluar rumah dan teriak-teriak bahwa ia diperkosa oleh seorang kulit hitam bertubuh tinggi besar. Rosewood yang damai pun gempar. Sheriff Walker (Michael Rooker), polisi yang tak dihormati warganya, segera mengumpulkan para lelaki dan anjing pelacak untuk mengendus jejak si pemerkosa. Anjing kemudian sampai di rumah seorang kulit hitam yang baru didatangi selingkuhan Fannie untuk membeli kuda. Si kulit hitam pun jadi terdakwa dan mati digantung. Dalam sekarat ia menyebut sebuah nama: Jesse Hunter, yang tak lain selingkuhan si Fannie itu.

Setelah itu adalah konflik yang diseret antara kulit hitam dan putih. Siapapun yang berkulit hitam adalah mereka yang bersalah. Siapapun lelaki negro adalah dia bernama Jesse Hunter. Keadaan jadi kacau, karena para lelaki bule jadi kerasukan setan dan membunuh siapapun kulit hitam, tak peduli anak-anak, orang cacat, atau perempuan. Rumah negro dibakar ramai-ramai. Tuduhan pun kemudian dialamatkan ke Mr Mann, seorang asing yang tak jelas tujuan kedatangannya. Ia diburu untuk satu tujuan: bunuh!

Mann kemudian terjebak dalam hidup yang tak ingin kembali dialaminya: bergerilya dan berperang. Ia harus menyelematkan anak dan cucu Bibi Sarah dari amukan orang bule. Ketika datang ia bertemu dengan John Wright (Jon Voight), seorang kuilt putih kaya yang buka toko senapan untuk berburu. Mereka punya kesamaan, karena Wright adalah veteran perang dari angkatan laut. Melalui Wright inilah, anak-cucu Bibi Sarah selamat dilarikan keluar Rosewood. Wright adalah pahlawan bagi kulit hitam, dan pengkhianat bagi kulit putih. Rumahnya nyaris dibakar karena menyembunyikan puluhan kulit hitam.

Tapi Wright bukan tanpa cacat. Ia adalah pedagang yang culas dan kemaruk. Ambisinya menguasai seluruh tanah pertanian Rosewood. Nuraninya luluh ketika menyaksikan Mann jungkir balik menyelamatkan anak-cucu Bibi Sarah yang baik menyebrang rawa-rawa yang ganas.

Film ini berakhir dengan selamatnya anak-anak kulit hitam yang kelak menggugat warga kulit putih ke pengadilan dan memenangkan perkaranya, berkat kesaksian Wright. John Singleton, sutradara film nyata ini, tak membawa kisahnya menjadi ajang balas dendam. Film yang bagus ini berakhir dengan senyum getir Mann dan kelelahan di wajahnya, sebuah sikap yang mengingatkan kita pada korban di Aceh, Ambon, Sambas, Sampit, Poso atau Papua.

Monday, September 15, 2003

BOGOR




Bogor adalah kota yang aneh. Kota ini tak pandai menyimpan kenangan. Tak ada hembus angin gunung lagi. Tak ada gerimis yang mempercepat kelam lagi. Tak ada gerimis kuning yang jatuh tersorot lampu-lampu jalan lagi. Tak ada wangi bunga randu dan gugurnya daun sonokeling yang sewaktu muda berganti warna hijau, biru, dan kuning setiap senja. Sejarah seperti lenyap.

Bogor kini sudah menjadi sebuah kota yang sebenar-benarnya kota. Sebuah lansekap, kata Aristoteles, tempat transaksi pelbagai keinginan dan ketidakinginan. Kota menyediakannya untuk para pendatang.

Rumah-rumah tua yang dulu berderet sepanjang Jalan Pajajaran kini tak lagi menampakan ketuaannya. Ia menjadi muda, modis, modern. Rumah tua bercorak tropis berganti dengan Factory Outlet yang memasang gambar perempuan pirang memakai sweater. Ketika berjalan di trotoar di depannya, pohon-pohonnya tak mampu menghadirkan kenangan-kenangan lima atau tujuh tahun lalu. Angin hanya lewat menebarkan ketergesaan. Tak ada bencong lagi di sini, yang dulu kerap menggoda mahasiswa yang melintas yang terlambat pulang sehabis nonton di bioskop.

Bau tanah basah juga tak seharum wangi gunung. Dulu, hujan dan gerimis menghembuskan angin gunung ketika saya tersiksa menghapal rumus Kimia yang tak kunjung masuk kepala karena sedang jatuh cinta. Hujan dan gerimis kini masih ada di Bogor tapi tak sanggup menghadirkan suasana itu lagi. Angin dari hujan sudah berganti bau monoksida.

Bogor kini tengah menghianati namanya sendiri, Buitenzorg--sebuah kata Belanda yang merujuk pada arti istirahat. Pohon-pohon besar yang merungkup jalanan, sehingga jalanan yang sepi seperti lorong, tak menghembuskan lagi aura angker. Cerita lisan menyebut sering ada hantu tak berwajah yang menggoda mahasiswa yang pulang telat sehabis praktikum. Hantu itu kini mungkin sudah ogah menghuni pohon-pohon itu lagi.

Kota ini sedang berdandan dan mungkin akan meniru tetangganya: Jakarta. Jalanan tak cukup menampung seribusatu angkot yang berdesakan saling mendahului. Bunyi klakson dan bentakan sopir kini sudah mirip bentakannya sopir-sopir metromini di Blok M. Pengemis, makin hari makin bertambah, juga pak ogah di setiap perempatan. Bogor memang kota yang aneh.

Tuesday, September 09, 2003

MENELISIK AGAMA DENGAN PSIKOLOGI




Suatu kali, seorang sahabat menemui Nabi Muhammad s.a.w. Maka terjadilah dialog ini.

"Ya, Rasul," kata sahabat itu, "apakah agama itu?"
"Agama adalah akhlak yang baik," jawab Nabi.
Sahabat itu kemudian mendatangi nabi dari sebelah kanan.
"Ya, Rasul, apakah agama itu?" ia mengulang pertanyaanya.
"Akhlak yang baik," ulang Nabi.
Kini si sahabat mendatangi dari sebelah kiri dan bertanya serupa. Kemudian ia melontarkan pertanyaan yang sama dari belakang nabi. Muhammad pun menolehnya.
"Belum jugakah engkau mengerti?" kata Rasul, "Agama itu akhlah yang baik, misalnya, jangan engkau marah."

Cerita lain datang dari film Vertical Limit. Di Everest yang ganas tiga pendaki terjebak dalam badai salju. Pertolongan dikirim. Salah seorang tim SAR bernama Kareem Nazir yang berjalan bersama seorang Amerika, yang Kristen, yang tak pernah ke gereja, nakal, sembrono, tapi lucu. Kareem adalah seorang pendaki yang taat. Ia salat tiap kali datang waktu sembahyang.
"Kau percaya surga, Kareem?," tanya si Amerika. "Aku tidak. Tapi aku percaya ada neraka."
Kareem berbalik. "Kenapa kau merisaukan keadaan surga dan neraka. Kewajiban hidup adalah berbuat baik."

Jarak antara kejadian zaman nabi itu dengan produksi Vertical Limit terbentang ribuan tahun. Tapi, keduanya punya hubungan dengan menyajikan konsep yang sama tentang sebuah pertanyaan: Apakah agama? Jalaluddin Rakhmat membedah persoalan itu dalam bukunya ini: Psikologi Agama, Sebuah Pengantar.

Peluncuran buku itu sekaligus memperingati ulang tahun Jalal yang ke-54 di pusat belanja D'Best Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Jalal ulang tahun pada 29 Agustus pekan lalu. Penerbit Mizan berencana menerbitkan satu buah buku karya Jalal setiap perayaan ulang tahun kyai yang juga dosen Komunikasi Massa di Universitas Padjadjaran itu. Acaranya meriah dengan menghadirkan pembahas rohaniwan Franz Magnis-Suseno, akademikus Zakiah Daradjat, dan psikolog Sartono Mukadis.

Pesertanya pun tak kalah heboh. Function Hall penuh sesak oleh peserta bedah buku yang sebagian besar ibu-ibu yang datang dari Bandung dan Jakarta. Sebelum bedah buku dimulai beberapa pertunjukan seni digelar seperti nyanyian ibu-ibu pengajian Az-Zahra dan Al-Munnawarah pimpinan Jalal, juga pentas teater Agama Intrinsik versus Agama Ekstrinsik. Pertunjukan seni yang jauh lebih panjang dibanding acara bedah bukunya sendiri. Hingga acara molor satu jam dari jadwal yang ditetapkan.

Judul pentas teater itu kembali menjadi ruh utama buku Jalal kali ini (sebelumnya ia sudah menerbitkan buku dengan judul serupa). Pengertian intrinsik dan ekstrinsik dikutip Jalal dari bahasan G.W. Allport dalam bukunya The Individual and His Religion: A Psychological Interpretation (Macmillan, New York, 1950).

Dalam pentas teater itu, agama ekstrinsik digambarkan dengan adegan pengajian yang "santrinya fungky-fungky dan ustadznya genit-genit". Sedang agama intrinsik ditunjukan dengan nyanyian memuji Muhammad s.a.w. "Muhammad ya Rabbi/Hamba yang hina dina/Seperti siang dan malam/yang patah dan setia....

Dalam pengantarnya, Jalal mengaku banyak menyimpan tanya tentang agama yang dianutnya, dimulai ketika mendapat Fullbright sekolah di Iowa State University, Amerika Serikat. "Saya tertarik bagaimana saya dan orang lain menjalankan agama," tulisnya. Ia mendapat jawab yang pendek setelah membaca buku Allport: orientasi keagamaan orang-orang itu bermacam-macam. "Dari situ saya berangkat menjelajah psikologi agama..."

Penjelajahannya itu memaksanya melihat polah orang-orang dalam memahami kemudian mengamalkan agama yang diyakininya. Ada yang terpesona oleh keimanan dan Tuhan lalu menjalankan agamanya dengan sahaja. Tapi, ada juga yang memahami agama dengan mengamalkannya melalui ritus-ritus spiritual seperti prosesi pencukuran bulu di seluruh tubuh oleh pengikut Salamullah pimpinan Lia Aminudin. Bom Bali tak luput menjadi contoh bahasan tentang militansi muslim.

Jalal menelisik beragam polah penganut agama itu dengan memakai perangkat ilmu psikologi. Tapi, buku yang tipis itu tak menjawab pelbagai pertanyaan Jalal sendiri tentang "bagaimana saya dan orang lain menjalankan agama". "Seharusnya," kata Sartono Mukadis melontarkan kritik, "judul buku ini adalah Psikologi dan Agama."

Kritik Sartono diamini Romo Magnis. "Karena Kang Jalal belum sampai menganalisis keduanya," katanya. Enam bab buku ini baru membahas bagaimana benturan ilmu dan agama menjadi sejarah panjang benturan peradaban manusia, bagaimana para psikolog memandang agama dan keyakinan, seperti apa sebuah keyakinan mendorong penganutnya berbuat apa saja untuk melepas dahaga rindu pada Tuhan. Untuk itu, guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu menyarankan agar Jalal menambahkan bahasannya yang lebih mendalam melalui buku berikutnya. Itu memang rencana Jalal dan Penerbit Mizan. Jalal berjanji setiap bab buku itu akan dibahas sendiri melalui buku berikutnya.

Tapi, kata Jalal, itu jawaban sendiri mengapa ia menyisipkan kalimat "sebuah pengantar" di bawah judul bukunya itu. "Saya menulis buku ini dengan tergesa-gesa," katanya. Tapi, ketergesaan Jalal masih juga mencantumkan referensi yang luas. Di setiap halamannya, tokoh-tokoh psikologi klasik hingga posmodern bertebaran di hampir setiap halaman buku setebal 247 halaman plus 18 halaman pengantar itu. Kalimat-kalimatnya cair dengan sisipan beberapa kata lucu di sana sini. Jalal mengutip dengan ringan senandung kematian Tuhan Friedrich Nietzsche dalam Zarathustra, atau mengutip teori psikoanalisa Sigmund Freud. "Buku referensinya tak satupun yang ditulis orang Islam," kata Zakiah Daradjat.

Memang bukan terpaku pada Islam saja Jalal mencari jawab hubungan antara dorongan keimanan dengan agama. Ia juga menyajikan pelbagai contoh perilaku umat banyak Tuhan, ateis, atau pengikut seorang imam yang fanatik dengan pelbagai bentuk ritual ibadahnya. "Buku ini menjadi penting karena langka," puji Magnis. Meski bukan orang pertama yang mengangkat tema ini, menurut Magnis, buku Jalal menjadi penting karena hingga kini sangat sedikit buku yang membahas sekaligus memadukan psikologi dan agama yang ditulis oleh orang Indonesia. Zakiah Dardjat, disebut Jalal, sebagai ibu psikologi agama di Indonesia. Karena untuk pertama kalinya peraih doktor pertama bidang psikologi ini menulis buku Ilmu Jiwa Agama pada 1970.

Padahal, tutur Magnis, agama dan psikologi sangat erat hubungannya. Meski banyak ditulis dalam literatur di luar negeri, menelisik dan membenturkan agama dengan psikologi tak habis-habis ditulis orang. Magnis memberikan alasan untuk itu. Katanya, pengertian agama yang datang dari manusia bisa keliru. "Psikologi bisa membantu beragama lebih baik," katanya, "sedangkan agama bisa belajar dari psikologi dengan pengalamannya yang luas".

Buku ini penting, kata Magnis, sehingga ia sendiri akan menggunakannya sebagai bacaan wajib mahasiswanya yang belajar filsafat ketuhanan. Tapi, Sartono melontarkan kritik yang lain. Katanya, buku ini berpotensi dijadikan buku teks di universitas namun cara pandang Jalal terhadap penganut agama harus diubah dulu. Jalal, dengan bahan bacaannya, ikut mempercayai bahwa seseorang yang ateis adalah mereka yang kehilangan figur bapak dalam hidupnya, seperti Nietzsche. "Ini tafsiran Kang Jalal sendiri," katanya. Menurutnya, sebuah buku teks harus netral dengan tidak memakai stereotipe terhadap objek bahasan.

Karena agama intrinsik dan ekstrinsik pun kemudian mengalami evolusi. Di kalangan psikolog setidaknya ada empat tipe keberagamaan di kalangan umat-umatnya. Lalu manakah yang benar, ekstrinsik atau intrinsik? Jalal tak memberi jawab atas pertanyaan ini, karena memang tak perlu dijawab. Tapi, Romo Magnis memberi titik terang. "Allah tak akan pusing menyelesaikan masalah keragaman agama," katanya.

Dari bahasan dengan referensi yang luas tentang psikologi dan agama itu, Jalal sampai pada kesimpulan bahwa kesucian akan mengantarkan orang pada kerendah-hatian. Seperti sabda Nabi, beragama tak perlu dengan sikap marah. Sikap yang ditunjukan Jalal sendiri, sehingga peluncuran bukunya meriah oleh para peminat buah pikirannya. Usai bedah buku ia pun harus rela tertunda makan siangnya karena peserta antri untuk mendapat tanda tangan penulis buku Psikologi Komunikasi yang fenomenal itu.

Thursday, August 28, 2003

SUATU SORE DI PLANET MARS




Ketika itu hari sudah agak gelap, meski sejauh mata memandang masih juga terlihat gundukan dan hamparan es di sana-sini. Beberapa orang terlihat keluar dari gundukan es dan berkerumun di suatu tempat yang agak lapang. Mereka terlihat berbincang. Kadang-kadang terdengar suara tawa yang lepas. Seorang ketua kampung mengabarkan, mereka akan melihat sebuah benda yang gelap, tapi ada kehidupan di sana. "Mahluknya aneh-aneh, so, jangan lewatkan untuk melihat mereka, karena kita bisa melihat mereka dengan jelas setiap 60 ribu tahun sekali," kata ketua kampung memberi pengumuman.

Ketika redup tak lagi beranjak, seseorang berteriak. "Saya melihat," tangannya menunjuk ke atas. Di sebelah barat sebuah benda gelap bulat semakin mendekat. "Mereka melihat kita," seseorang yang lain menimpali.

"Benda apakah itu?"
"Itu bumi, goblok!"
"Hmmm...kok penghuninya aneh-aneh?"
"Namanya juga manusia, ya, aneh dong. Bukan manusia kalau tidak aneh."
"Benar juga. Namanya manusia, toh?"
"Ah, kau kuper kali."
"Kelakuannya norak."
"Kok norak?"
"Lihat saja, mereka berdesak-desakan melihat kita. Sementara kita tenang-tenang saja."
"Namanya juga mahluk aneh."

Sesaat hening. Beberapa yang lain terlihat tak acuh. Menyalakan rokok lalu menyingkir dari kerumunan. Sepasang yang lain menyelinap di balik reruntuhan es yang sedikit mencair. Mereka berpacaran.

"Kenapa kita tidak mampir saja ke sana"
"Buat apa? Membikin masalah saja kalau ketemu mereka. Kita pasti dianggap aneh."
"Mereka memang aneh, tapi tubuhnya berbulu. Ada rambut dan bulu di bibir. Kalau dicium mungkin geli juga ya."
Terdengar tawa yang lepas dari kerumunan.
"Dasar otak mesum."
"Ih, ngiri aja, lebih baik mesum daripada minder."
"Jaka Sembung bawa botol, gak nyambung tolol."

Ketua kampung masuk kerumunan.

"Kalian tahu kenapa mereka aneh?"
Kerumunan hening.
"Karena mereka diberi otak. Mereka juga punya hati. Beruntung mereka diberi hati, karena otak mereka sudah kotor semua. Sebab itu mereka piktor. You know piktor? Itu artinya pikiran kotor. Suka mendengki, pendendam, culas, bahkan saling bunuh di antara mereka sendiri. Perbuatan sangat bodoh sekali."
Sekali lagi kerumunan hening, tak ada yang berani bicara. Tapi, mereka terlihat tetap tak acuh.

"Lihat saja kelakukan mereka. Saling sikut hanya untuk melihat kita, tempat kita. Saya lihat kemarin sore seseorang menggondol teleskop hanya agar leluasa mengintip kita. Egois sekali. Tak mau antri barang sebentar. Mereka juga serakah. Beberapa yang lain kerjanya hanya mengintip kita dan menghitung ongkos kalau tinggal di sini. Bumi saja tak cukup untuk mereka."

"Ih, jijay deh..."
"Apanya yang jijay?"
"Itu lihat, ada yang kencing sembarangan, pake ditempelin ke tembok segala..."

Wednesday, August 27, 2003

HARYANTO DAN KITA




Namanya Haryanto. Umurnya 12 tahun dan kini duduk di kelas 6 SD Kelurahan Muara Sanding, Garut. Tak ada yang istimewa dari curriculum vitae bocah ini. Tapi, ia mengejutkan kita dengan nekad menjeratkan kabel telepon ke lehernya di belakang rumah pada suatu siang. Haryanto gantung diri "karena malu belum membayar uang ekstrakurikuler sekolah".

Namanya Haryanto. Dan cuma itu, tapi dia mengejutkan kita.

Sudah beberapa hari itu, ia merajuk meminta uang kepada ibunya. Apa boleh buat. Dengan penghasilan Bapak yang cuma Rp 7 ribu sehari, si ibu tak bisa memenuhi keinginan anaknya untuk membayar uang ekstra membikin sulaman burung sebesar 2.500 perak. Lagipula, hari itu, Bapak sedang tak enak badan dan tak bisa berangkat ke pasar menjadi kuli panggul.

Si ibu pun hanya memberi uang 500 perak hasil mengutang ke tetangga untuk Haryanto dan adiknya saat pamitan hendak berangkat ke sekolah. Siangnya, Haryanto kembali merengek. "Kantun Ato anu can mayar (Tinggal Ato yang belum bayar)," begitu rengeknya. Si ibu terharu, tapi ia tak berdaya. Haryanto pun menangis sejadi-jadinya lalu berlari ke belakang rumah, dan si ibu mendapati anak sulungnya itu menggantung di pohon jambu.

Beruntung Haryanto belum meninggal saat si ibu menjerit dan menurunkan tubuh anaknya itu. Tapi, Haryanto terancam lumpuh, karena ada kerusakan di jaringan otaknya, juga terancam cacat mental.

"Kantun Ato anu can mayar," kalimatnya menunjukan rasa bersalah seorang anak, seorang murid. Kita tahu bagaimana perasaan Ato hari itu. Kita tahu, karena kita tahu bagaimana hubungan murid-guru di sekolah-sekolah kita. Guru-guru kita memerintahkan mengerjakan tugas sekolah tanpa terbantahkan. Dalam memberi tugas membuat sulaman burung itu, guru memerintah dengan memaksa. Tak ada murid yang berani menolaknya.

Guru, bagi sebagian kita yang belajar di sekolah-sekolah di kampung, adalah seseorang yang patut digugu dan ditiru. Ia hanya mengajar, tanpa mendidik bagaimana jadi manusia. Si guru mungkin hanya memberi tugas, sembari pusing bagaimana menutup tagihan kredit barang kelontong yang diutang istrinya.

Cerita Bapakanya Haryanto adalah cerita tentang bagaimana Indonesia. Penghasilan 7 ribu perak sehari adalah penghasilan kaum tani jaman Belanda dulu. Cerita seabad lampau yang masih terjadi hari-hari ini. Indonesia pun terpuruk di urutan 112 dalam indeks pembangunan manusia, dua tingkat di bawah Vietnam.

Kisah gantung diri Haryanto, dan sekolahnya, adalah cerita pendidikan di Indonesia. Haryanto mungkin anak yang cengeng sehingga hanya bisa meminta tanpa bisa melakukan sesuatu untuk keinginannya. Tapi apa yang bisa lakukan anak sekecil itu yang harusnya menikmati main bola di lumpur? Kondisi itu juga dibentuk oleh sekolah tempatnya belajar yang tak bisa merangsang murid-muridnya menyampaikan pendapat atas apa yang tak masuk akal dan sesuai kemampuannya.

"Sekolah adalah penjara," begitu tulis penyair India yang masyhur, Rabindranath Tagore, "setiap kali jam pelajaran mulai saya selalu ingin cepat dewasa dan buru-buru meninggalkan sekolah." Sama halnya dengan sekolah-sekolah kita yang merasa bertugas merumuskan hidup setiap anak.

Haryanto mengejutkan kita dengan gantung diri karena duit 2.500 perak. Sebuah nominal yang tak cukup membayar sebungkus rokok.

Saturday, August 23, 2003

DUA MALAM DI LOSARI




Dari empat hari keliling Makassar pekan lalu, dua malam saya nongkrong di Pantai Losari dan jalan-jalan sepanjang tubir pantainya. Kata seorang teman--saya bersama rombongan lain dari Jakarta--Pantai Losari waktu malam kayak di Miami. Waduh, saya belum pernah ke Miami. Tapi mungkin begini persamaannya. Ketika matahari sudah benar-benar tenggelam, trotoar sepanjang 5 kilometer itu jadi ramai sekali dengan lalu lalang orang. Atau mereka sekedar nongkrong di tembok pembatasnya. Di belakang mereka, di pantai yang gelap, lampu-lampu berkelap-kelip dari tiang-tiang perahu yang diparkir di sepanjang pantai. Perahu-perahu itu mencolok di tempat gelap karena hanya ada satu warna: putih pucat kafan.

Ke sebelah selatan, "meja makan terpanjang di dunia" terang benderang. Di sana anak-anak muda membuat janji ketemu atau sekedar kongkow. Ada pelbagai jenis makanan di sini. Tapi, sayangnya, lebih banyak makanan Jawa. Pecel dan bakso hampir tertulis di setiap warung-warung tenda itu. Yang khas, apakah khas (?), mungkin hanya pisang epe. Ini pisang bakar yang diberi bumbu selundreng dicampur gula merah. Tentu saja, rasanya sangat manis. Tapi, kata teman kami yang asli sana, "belum serasa ke Losari jika belum makan pisang epe".

Di Losari pengamennya juga bagus-bagus, terutama yang anak-anak. Kebetulan si teman kami itu seorang aktivis LSM yang banyak membantu membiayai dan mempertajam kemampuan anak-anak ini memainkan alat musik. Ada satu kelompok pengamen yang kami suka. Sehingga pada malam kedua, kami khusus mencari mereka untuk didengarkan lagu-lagunya.

Anak-anak ini rata-rata putus sekolah. Mereka kemudian hanya mengamen dari awal hingga akhir malam. Katanya penghasilannya lumayan juga. O ya, salah satu alumnus pengamen Losari adalah Rudi Makassar. Kalau Anda sempat nonton tivi pas 17 Agustusan di Istana Negara, Rudi tampil di sana membawakan beberapa lagu Iwan Fals. Rudi tubuhnya kecil, sehingga sangat jomplang dengan besar gitar di pangkuannya. Kini Rudi sudah jadi "artis". Sewaktu kami ke Losari, Rudi sedang show ke daerah di Makassar. Yang tinggal hanya kakaknya, anggota grup pengamen yang kami tanggap itu.

Nongkrong di Losari sebetulnya acara terakhir setelah keliling kota Makassar waktu malam dengan mobil sewaan. Oleh teman kami yang orang Makassar itu, kami ditunjukan pelbagai tempat penting di kota ini. Ia fasih betul mengenalkan tempat-tempat itu, hingga makanan khasnya. Sewaktu makan malam kami dibawa ke restoran Pallu Kalloa. Ini jenis sayur ikan yang rasanya amat gurih. Pakai lalab rumput laut yang makannya dicelupkan ke air ikan itu. Apalagi jika menyesap isi kepala ikan Kerapu itu. Mak nyus rasanya.

Orang Makassar itu selalu terbalik melafalkan "n" dengan "ng". Jika ada kata berakhiran "n" maka mereka mengucapkannya "ng", dan sebaliknya. Tapi, anehnya, banyak orang Makassar yang punya nama berakhir "din". Keterbolak-balikan pengucapan itu terbawa oleh para pengamen saat bernyanyi. "Ada Mbah Dukung, sedan ngobating pasiennya....kakakak..." Orang-orang pun tertawa mendengarnya.

Saharuddin, teman kami itu, pandai betul mengejek cara pengucapan orang Bugis yang lucu itu. Maka ia bercerita tentang sepasang kekasih. Si lelaki orang Makassar yang ditolak cintanya oleh perempuan asal Jawa. Si laki-laki pun merajuk.

"Sayan, apa kekuran aku ini, Sayan? Kenapa kau menolak cintaku? Apa yang kuran. Bapakku oran pentin. Rumahku rel estet, mobil kijan, motor RX Kin, punya kapal terban. Kawinlah sama aku, Sayan, kau akan bahagia."

Si gadis dengan tersipu lalu menjawab. "Kekuranganmu cuma satu, Sayang. Kurang "g"." Kami terbahak mendengar cerita itu (tapi, maap, kalau jadi garing ketika dituliskan lagi di sini, heheh). Dia juga mengejek namanya sendiri. Katanya, kalau kenalan sama orang dia mengenalkan, "Saharudding, jangan pake "g", ya." Losari memang asyik untuk nongkrong.

Friday, August 22, 2003

ORANG MISKIN



Suatu kali himpunan jurusan kami berniat buka puasa bareng pengemis dan pengamen yang bertebaran sepanjang Jalan Pajajaran Bogor. [Pengemis dan pengamen jadi "lalat pengganggu" pengguna jalan sejak krisis 1997]. Salah satu tujuan mulia acara itu adalah lebih mendekatkan dan bisa merasakan bagaimana penderitaan orang-orang itu. Bukankah Tuhan memerintahkan berlapar-lapar agar kita bisa berbagi nikmat? Maka buka puasa pun digelar di suatu sore yang cerah dan terasa selalu lain dibanding sore selain Ramadan.

Kami terkejut bukan karena jumlah pengemis hampir dua kali lipat dari jumlah yang diundang. Tapi bagaimana pakaian dan tingkah orang-orang yang digolongkan miskin itu. Seorang ibu yang menggendong anaknya tiba di kampus kami dengan gelang hampir setengah lengan. Ibu yang lain memakai kalung yang menjuntai. Anak-anak mereka yang kulitnya hitam karena daki dan polusi memakai sepatu yang mereknya sama dengan sepatu yang dipakai anak TK ibu kos saya.

Orang miskin memang aneh.

Sewaktu salat Jumat di masjid DPR, saya menitipkan sepatu pada anak-anak remaja yang sibuk menawarkan jasanya menjaga sepatu dan sandal. Saya minta sekalian disemir saja. Usai salat, sengaja menunggu agak kosong, saya hampiri mereka dan memberi uang Rp 1.000 untuk jasanya. Sembari memasang sepatu, saya tanya berapa penghasilan mereka sehari. Kata anak umur 7 tahun, hasil menyemir dan jasa penitipan itu dia bawa pulang Rp 50 ribu.

Mereka bekerja tak lebih dua jam. Ya, sepanjang salat Jumat itu. Penghasilan itu lebih besar lagi seandainya tak ada teman lain mereka yang menjual jasa yang sama. Hari-hari biasa mereka mengantongi Rp 30 ribu. Mereka bekerja usai sekolah. Kalau ditotal, penghasilan mereka sebulan mungkin Rp 700 ribu. Itu sudah dipotong hari libur, dan dipotong hari biasa yang penghasilannya tak sebanyak hari Jumat. Penghasilan yang melebihi gaji pegawai negeri baru golongan IIIA. Pegawai negeri golongan ini tak lain lulusan perguruan tinggi bergelar sarjana.

Lalu kenapa mereka digolongkan orang miskin, sementara sarjana yang IIIA itu tidak? Si anak yang menyemir sepatu itu mengaku bapaknya sudah meninggal. Ibunya berdagang di pasar. Rumah mereka di pinggiran rel dekat stasiun Palmerah. Kakaknya tak sekolah lagi, karena tak punya biaya. Miskinkah mereka?

Orang miskin mungkin diciptakan menjadi komunitas yang aneh.

Sewaktu skripsi saya menghitung penghasilan petani damar di Krui, Lampung Barat. Saya pilih responden secara acak dari guru SD, petani, hingga mereka yang bekerja buruh--golongan ini tak punya lahan pertanian dan bekerja pada mereka yang punya lahan. Saya kebingungan menganalisis data yang saya peroleh karena, ternyata, hampir satu desa itu tergolong orang miskin jika menyandarkan pada parameter kemiskinan yang dibikin PBB, UNDP, atau Sajogjo.

Memang ada banyak parameter kenapa seseorang disebut miskin. Akses terhadap informasi atau penghasilan kepala keluarga sehari, misalnya. Tapi orang di desa itu masih bisa lebaran dengan baju baru. Setiap malam lenguh tawa masih terdengar dari sebuah rumah tanpa listrik ketika bulan purnama. Aneh, memang, kenapa ada orang miskin.

Tuesday, August 19, 2003

DIRGAHAYU

SLOGAN selalu saja salah kaprah. Maka, peringatan ulang tahun Proklamasi kemerdekaan yang  ke-58 saja masih juga salah tulis, atau paling tidak bertentangan, dan kisruh satu sama lain. Di jalan-jalan utama Jakarta, hanya spanduk dirgahayu yang dipasang kantor Prudential di Jalan M.H Thamrin yang benar penulisannya. Selebihnya salah kaprah.
Kesalahan itu tidak saja monopoli Jakarta. Di Makassar juga begitu. Keliling empat hari di sana, saya menemukan hampir semua spanduk dari kantor gubernur hingga gang kampung tertulis "Dirgahayu RI ke-58". Yang membuatnya mungkin berpikir bahwa ada Republik Indonesia ke-58. Atau mungkin, karena sudah 58 tahun dan 58 kali, saat membuatnya sudah tak berpikir lagi. Pokoknya, ulang tahun kemerdekaan harus dirayakan semeriah mungkin: dengan panjat pinang dan balap karung.


"Yang membuatnya mungkin berpikir bahwa ada Republik Indonesia ke-58."

Saya tidak tahu di negara lain, yang struktur bahasannya ajeg, karena itu bahasanya juga berpeluang lebih hidup. Di sini, orang tak peduli slogan tertulis benar atau salah, meskipun slogan memang tak mementingkan benar, karena yang pokok adalah menggugah. Padahal yang menggugah akan diingat dan salah pun menganak cucu.
Sama halnya dengan spanduk polisi yang dipasang di setiap jalan: Damai Itu Nyata Indah. Rupanya dalam struktur kalimat yang aneh ini terselip pesan sponsor. Spanduk-spanduk itu konon disponsori Factory Outlet Nyata. Lepas dari itu, apa yang bisa kita tangkap dari isi spanduk itu? Damai, ya, damai. Kalimat itu sama dengan pernyataan, "Langit itu luas." Siapa yang tak tahu, bukan?

Gerimis di Jakarta merobek spanduk-spanduk di dekat Monas. Orang-orang berteduh di bawahnya. Salah satunya di bawah spanduk lain bertuliskan "Disiplin Lalu Lintas Cermin Disiplin Bangsa" hingga memenuhi jalan yang mengakibatkan macet. Siapa yang peduli bangsa, coba? Karena tak jauh dari situ adalah baliho lain bertuliskan "Basmi jerawat Anda dengan...." Iklan ini menyapa lebih personal, menyentuh persoalan sehari-hari yang bisa dihadapi siapa saja, kapan saja.

Sewaktu SMA, saat ulang tahun emas republik ini, guru kesenian kami memberi tugas menggambar sekolah dengan tema kemerdekaan. Dan guru saya kemudian menilai gambar paling bagus adalah gambar yang penulisan dirgahayunya keliru.

Apa yang teringat ketika ulang tahun kemerdekaan dirayakan? Sebuah semangat? Rasa nasionalisme? Mungkin sesuatu yang sulit dirumuskan. Di bundaran Hotel Indonesia orang-orang berteriak bahwa kita belum sepenuhnya merdeka. Mungkin benar karena setelah 58 tahun merdeka, kita pun masih keliru dan bingung menuliskan dirgahayu republik ini.

Monday, August 11, 2003

DI SELAT SUNDA




Jarak terminal Rajabasa-Bakauheuni serasa jauh sekali. Saya sudah tidur untuk membunuh waktu, tapi ketika terbangun karena jerit-tangis anak-anak, perjalanan masih belum juga sampai Kalianda. Padahal, rasanya, saya sudah tidur agak lama. Saya rasakan, jalan bus itu memang pelan sekali. Si supir tak henti-hentinya menguap. Mungkin ia baru bangun dan mandi, kalau dilihat dari rambutnya yang masih basah dengan bekas-bekas sisiran yang masih rapi. Pagi itu jam menunjuk pukul 9.30 WIB.

Seharusnya, jarak Bakauheuni-Rajabasa itu hanya makan waktu 1 jam. Sepanjang jalan lintas Sumatera yang lurus dan berlubang-lubang itu tak banyak penumpang yang menyetop bus. Tapi, karena bus berjalan pelan, baru pukul 12.30 bus AC itu masuk pelabuhan Bakauheuni.

Saya turun dan langsung menuju loket kapal cepat. Tiketnya Rp 25.000. Mahal juga, kalau dibanding kapal gede biasa yang cuma 2.000 perak kelas ekonomi. Di atas kapal bisa nego lagi dengan uang seribu kalau mau naik ke kelas bisnis yang ada bangkunya. Tapi, kalau dihitung perbandingan kecepatan, agak sepadan juga. Kapal cepat melintas Selat Sunda itu hanya 1 jam. Kapal ferry yang berisi mobil dan bus dua lantai dan penumpang di lantai 3 dan 4 makan waktu 2 jam. Belum ngetem, menunggu penuh dulu.

Saya memilih tempat duduk di dekat lorong jalan. Pilihan ini agar mudah saja kalau tiba-tiba kebelet pipis dan berjalan ke toiliet di belakang ferry Srikandi itu yang di pintunya betuliskan "Toilet, Man". Lagipula dari sana gampang juga melihat layar televisi yang menyiarkan Patroli. Ini juga termasuk pilihan. Karena di bagian depan yang hanya disekat oleh jalan masuk itu, dua layar tv menayangkan karaoke dangdut Uut Permatasari dengan goyang ngecornya. Saya belum baca koran, mungkin ada berita bagus di Liputan 6 siang atau Seputar Indonesia. Operator memutar gelombangnya ke SCTV, usai siaran Patroli.

Orang-orang mulai berdatangan dan mengisi bangku-bangku di perahu motor yang berisi 100 kursi itu. Kapalpun jadi riuh karena banyak sekali ibu-ibu menggendong anak. Mereka berteriak-teriak menyuruh anak yang paling besar diam, menyuruh duduk saja tanpa harus meloncat-loncat di atas kursi melihat laut. Sementara anak di gendongan juga tak henti meraung-raung karena perubahan suhu dari panas ke dingin. Bapak-bapak sibuk mengatur tas dan oleh-oleh.

Bangku di sebelah saya masih tersisa dua. Bangku di kapal itu tersusun empat-empat tiap baris. Di ujung baris saya dekat jendela, seorang anak muda yang rambutnya dikuncir sibuk mengirim sms. Dia juga tetangga bangku saya di bus Rajabasa itu. Tapi, kami tak saling menyapa karena juga tidak saling sapa sejak di bus.

Belum separo ngetem, datang seorang bapak dengan rambut yang tipis-beruban. Di tangan kanan dan kirinya dua tas bergelantungan. Dia behenti di depan saya sehingga menghalangi pandangan saya ke layar televisi yang sedang menyiarkan berita gelar doa di reruntuhan hotel JW Marriott.

"Permisi," katanya. Saya mendongak, menggeser duduk lebih merapat ke kursi, dan mengangkat tas di pangkuan. Tak lupa saya mengangguk.
"Silahkan."
Dia masih berdiri dan memandang saya. Saya lebih merapatkan kedua paha dan melipatkan betis di kolong kursi. "Silahkan, Pak." Saya mengulang perkenanan itu.

Dia menyeruduk membanting dua tas di tangan kanannya ke kursi di sebelah saya, sementara tas di tangan kiri menghantam kepala saya. Saya melotot, kaget campur marah. Dia berdiri di samping kiri-depan saya.
"Eh, kamu jangan macam-macam, ya.."
Saya tertegun, belum mengerti buat apa dia sebegitu marah.
"Kalau saya bilang permisi, kamu geser duduknya," dia melotot, napasnya terengah.
Saya menyungging, mencoba tenang.
"Lho, saya kan sudah bilang 'silahkan'".
"Iya, kalau ada yang bilang permisi, kamu geser duduknya. Kamu belum tahu saya?"
Saya memalingkan muka ke arah televisi lagi. Saya tak berniat meladeni orang yang tiba-tiba jadi gila. Dari ujung mata, saya lihat semua orang di dek itu melihat ke arah kami. Si bapak tua itu masih juga mengomel sambil membereskan tasnya.
"Jangan coba jadi berandal...kamu kira saya takut..."

Sambil mendengarkan celoteh itu, saya mencoba mencari penyebab kenapa dia marah. Tapi saya tak berhasil. Di mana-mana, yang pertama boleh memilih tempat duduk. Di tiket ferry itu tak tercantum nomor duduk. Jika ada penumpang belakangan, dipersilakan mengisi bangku yang kosong di sebelahnya. Asal tak saling terganggu, oke-oke saja. Di bus-bus di Jakarta juga begitu. Yang jaraknya dekat, memilih duduk di dekat pintu agar gampang turun. Tapi, si bapak ini kok begitu marahnya. Mungkin ia tipe orang yang tertutup dan menyangka semua hal yang tak sesuai keinginannya adalah bahaya, karena itu harus dilawan.

Setadinya saya ingin melihat bagaimana ia dikerubuti calo-calo Merak di terminal yang suka maksa dan tak segan memarahi penumpang jika tak menurut diajak ke busnya. Kalau menimpa si bapak tua ini asyik juga melihatnya, mungkin akan terjadi pertumpahan darah atau paling tidak bertengkar. Lumayan, buat tontonan lucu. Tapi, hari keburu siang, saya memutuskan berjalan cepat ke terminal dan menghindari calo dengan cepat masuk ke dalam bus jurusan Kampung Rambutan.

Tuesday, August 05, 2003

BOOM!




Hotel JW Marriott meledak di siang bolong. Ketika banyak orang sudah siap untuk bersantap. Orang tak menyangka ketika sebuah Kijang parkir di depan lobi lalu meledak menyisakan lubang 2 x 2 meter. Api bergulung-gulung menewaskan pengemudi dan siapa saja yang tak sempat menghindar. Getarannya terdengar hingga radius satu kilometer. 30 lantai hotel megah di kawasan Mega Kuningan itu hancur berat. Lebih dari 10 orang meninggal. Ratusan lainnya luka-luka. Kita menyaksikan angka-angka tragedi itu di televisi dan radio, juga situs berita.

Ada apa ini? Kita, yang masih punya akal sehat, tak henti-hentinya bertanya. Mengapa selalu saja ada orang yang tak rela negeri ini tentram dan menata kehidupannya kembali. Dulu, ketika setiap orang terperangah karena demontrasi bisa menumbangkan seorang diktator yang hampir tak mungkin terbantahkan, orang Jakarta was-was jika ada demonstrasi susulan. Kantor-kantor libur dan orang tak berani keluar rumah. Tapi, ketika demonstrasi menjadi biasa, orang juga jadi paralisis. Kita bahkan menyumpah-sumpah para pendemo karena bikin macet. Selebaran yang dibagikan di sepanjang Sudirman-Thamrin tak lagi menarik minat orang.

Suatu ketika lagi, ketika ledakan-ledakan hampir mengisi hari-hari, kita juga terkena paralisis yang kedua. Di Ancol, Taman Mini, Dunia Fantasi, selalu saja sibuk dan anak-anak bermain di sana dengan riang. Padahal, ancaman bom bisa saja mengejutkan dan menewaskan mereka. Siapa peduli? Toh, umur sudah ada yang menentukan. Kita bersikap apatis sembari berharap keadaan bisa pulih yang dijanjikan jika apa yang disebut reformasi berjalan.

Tapi apa yang didapat. Korupsi makin merajalela di hampir setiap bentuk hidup orang dan wilayah publik. Kejahatan makin marak. Utang hampir tak terbayar. Berbondong-bondong pemodal hengkang. Indonesia pun pernah diramal akan bangkrut. Tapi, tidak. Perlahan, meski tak pasti, ekonomi mulai pulih. Meski dengan bantuan utang, pemodal mau menanamkan duitnya di sini hingga orang bisa lagi bekerja. Tapi, tiba-tiba boom lagi di sana, lalu boom lagi di sini. Orang pun ketar-ketir.

Kita sedang memasuki apa yang disebut hamil tua. Suatu masa-masa rawan di mana ibu hamil harus cuti dan tak boleh kerja berat. Inilah masanya ketika kelelahan orang menanti perubahan itu mencapai titik temu dengan euforia politik di ambang Pemilu 2004. Kita tak bisa membayangkan apa yang terjadi seandainya perhelatan politik itu tak menghasilkan sebuah kekuatan politik-ekonomi yang, paling tidak, menumbuhkan harapan orang kembali.

Kita, sekali lagi yang alhamdulillah masih diberi akal sehat, mudah-mudahan tidak terlalu cepat tidak percaya kepada para pengelola negara ini. Marriott, bagaimanapun, adalah hotel paling ketat penjagaannya di Jakarta. Di sana hubungan bilateral dan multilateral kerap diteken. Bahkan, di sana Amerika merayakan ulang tahunnya. Reformasi memang butuh sikap sabar. Dan semoga saja para pengelola itu tahu dan mengerti bahwa kita pun punya batas-batas kesabaran.

Tuhan mungkin sedang jengkel dengan kita. Hingga ia mengutus orang-orang meledakan bom-bom itu. Tapi, bagi siapa saja yang mengatasnamakan Tuhan untuk membunuh atau mengatasnamakan sakit hati dengan memberangus nyawa, percayalah dia sedang menggali kuburnya sendiri.

Foto : Indoradio.net

Monday, August 04, 2003

PALESTINE ATAWA JURNALISME KOMIK




Seno Gumira Ajidarma

Majalah internasional Time edisi 12 Maret 2001, melaporkan pembantaian mengerikan yang berlangsung di Sampit. Peristiwa itu menjadi cover story. Namun perhatian saya terbelokkan oleh penemuan lain, sebuah laporan empat halaman dari Hebron, kota di Tepi Barat Jalur Gaza yang delapan puluh persen wilayahnya (H1) dikontrol oleh Otoritas Palestina, sedangkan sisanya (H2) diduduki militer Israel. Laporan empat halaman itu berwujud komik dengan tata warna, namun tanpa kesan lucu (comic) sama sekali. Laporan berwujud komik itu sama serius dan meyakinkannya seperti setiap laporan jurnalistik yang lain, dan komikus atau pekomiknya disebut sebagai wartawan komik (comic journalist). Komik di sini sudah tidak berarti lucu lagi, melainkan nama untuk suatu bahasa, yakni bahasa komik. Jadi sarana penuturan dalam jurnalisme bukan hanya tulisan, foto, atau siaran langsung audio dan visual, tetapi juga komik : panil-panil bermuatan gambar, teks, dan komentar, yang disusun sebagai suatu tuturan.

Tidak ada yang saya ketahui mengenai Joe Sacco, wartawan komik itu, sampai beberapa bulan kemudian saya temukan sejumlah komik dalam bahasa Inggris bertajuk Palestine dengan embel-embel di bawahnya: mature readers (pembaca dewasa). Biasanya predikat macam itu terdapat dalam komik bersubyek seksualitas, seperti tanda PG atau parental guidance (didampingi orangtua) bagi sebuah film, karena komik terbiasa diandaikan hanya merupakan bacaan anak-anak, tapi yang dimaksud dewasa di sini rupanya sama sekali lain. Komik ini, seperti yang saya temukan di majalah Time, adalah sebuah seri laporan jurnalistik dari wilayah pendudukan militer Israel di Palestina. Angka tahun menunjukkan 1993, artinya pengetahuan saya sudah terlambat lebih dari tujuh tahun, dan semoga ini tidak mewakili pengetahuan para wartawan Indonesia. Komik itu disebut secara resmi sebagai magazine, dari kalimat lengkap No part of this magazine may be reproduced without written permission from Fantagraphics Books or Joe Sacco, dan kredit nama Joe Sacco sampul depan ditulis kecil sekali. Boleh dibilang tidak proporsional kecilnya, seperti ingin menegaskan bahwa tidak ada kepengarangan (authorship) dalam laporan jurnalistik berbentuk komik itu. Dalam jurnalisme komiknya, sebagai wartawan Joe Sacco berkonsentrasi kepada penindasan militer Israel di wilayah H2 atas penduduk Palestina, yang telah menghuni tempat itu selama 700 tahun, sampai Israel menguasainya pada 1967.

Mereka mendatangkan para pemukim Yahudi sebagai bagian gerakan Zionisme pasca Perang Dunia II, yang merasa berhak menempatinya sebagai Tanah yang Dijanjikan, dan berlangsunglah konflik tak berkesudahan yang salah satu dampaknya adalah hancurnya Menara Kembar New York pada 11 September 2001. Dilaporkan dalam jurnalisme komik itu, kehidupan sehari-hari yang tidak terdapat di tempat manapun di dunia. Betapa warga Palestina hidup terus menerus dalam penindasan yang mirip Nazi gaya baru, karena militer Israel bersikap diskriminatif, kejam, dan barangkali justru ketakutannya menimbulkan kecurigaan berlebihan. Diceritakan misalnya bagaimana seorang perempuan Paletina bisa ditangkap, disekap, dan disiksa, karena dicurigai sebagai anggota pergerakan, tanpa alasan yang mendasar. Lantas begitu saja dilepaskan karena tidak pernah bersedia membuka mulut. Joe Sacco keluar masuk rumah-rumah warga Palestina di H2, mondar-mandir antara H1 dan H2, untuk melakukan wawancara, dan menuturkan kembali apa yang didengar dan dilihatnya dalam bentuk komik.

Jurnalisme dalam komik, bagaimanakah hal itu dilangsungkan? Kalau kita membaca berbagai edisi Palestine, beberapa hal menjadi jelas. Kita melihat gambar-gambar dalam panil dengan teks dan komentar. Teks adalah ucapan sumber berita, dan komentar adalah penjelasan sang wartawan, atau juga sumber berita. Karena ini komik, maka ucapan sumber berita tidak tampil dalam kutipan, melainkan gelembung komik atau balon kata-kata. Menarikkah komik yang hanya berisi gambar dan kata-kata sumber berita? Setidaknya dua faktor menonjol dari Palestine, pertama, bahwa Joe Sacco mempunyai cara bertutur yang meyakinkan sebagai suatu bentuk laporan jurnalistik; kedua, bahwa kehidupan sehari-hari masyarakat yang menggerakkan intifada itu memang sangat dramatik. Namun kata "menarik" untuk komik Joe Sacco tidak bisa diucapkan tanpa menanggung perasaan bersalah, karena tokoh-tokohnya adalah penduduk sipil yang menanggung derita faktual, bukan fiktif. Lebih baik dikatakan bahwa Palestine adalah laporan jurnalistik dalam bahasa komik yang mencekam.

Tentu harus dijelaskan, bagaimanakah komik yang dimaksudkan sebagai reportase itu bisa diterima sebagai penggambaran fakta. Kata-kata atau penulisannya masih bisa dipadankan dengan jurnalisme yang manapun, dari koran, radio, dan TV, tetapi apakah gambar coretan tangannya bisa mengambil alih tugas akurasi yang biasa dipikul jepretan kamera foto maupun sinefotografi? Ternyata bahwa Joe Sacco seolah-olah mampu memungut realitas secara langsung, tanpa perantaraan teknologi yang dingin, yang membuat coretan gambarnya mendenyutka kembali kehidupan di H2 yang penuh teror, karena kontrol sepenuhnya kepada setiap titik dan garis yang menjadi coretan gambar. Dalam ekspresi wajah misalnya, Joe Sacco membantu pemandangnya untuk merasakan emosi terpendam di balik kepasrahan, dalam penderitaan sekian lama, tanpa tanda-tanda akan pernah selesai. Berbagai tipe wajah ini, mulai dari aktivis, kaum ibu, maupun orang-orang di jalan, digarap dengan mempertimbangkan dampak penindasan bertahun-tahun yang terbaca dari ekspresinya.

Cara Joe Sacco menggambarkan lingkungan H2, karena ia mencoret langsung, memungkinkannya mengangkat titik-titik perhatian yang kamera tidak akan mampu melakukannya. Lubang-lubang peluru pada tembok di dalam rumah misalnya, sebagai bukti tindakan brutal militer Israel, tergambar lebih dramatis ketimbang misalnya sebuah foto yang akan memperlihatkannya sebagai dokumen otentik. Apabila dalam jurnalisme tulis terdapat teknik parafrase, ketika wartawan mengalimatkan sendiri ucapan sumber berita, karena tidak mungkin seluruh ucapan dikutip langsung, maka pernahkah dibayangkan bagaimana Joe Sacco harus memparafrase kisah sumber beritanya dalam bentuk komik?

Sebetulnya Palestine banyak menggambarkan isi kepala sumber beritanya,selain apa yang dilihat, apalagi dialami, oleh Joe Sacco. Boleh dibilang Palestine merupakan kombinasi pengalaman dari dua ekstasis waktu, yakni pengalaman masa lalu sumber berita, yang ditangkap dari wawancara; dan pengalaman masa kini Joe Sacco sendiri.

Sehingga pertanyaan berikut menjadi masuk akal: bagaimanakah distorsi bisa dihindarkan, dan apakah suatu gambar bisa obyektif? Tetapi Joe Sacco bersikap sebagai seorang antirealis, yang tidak mengandaikan bahwa realitas yang sebenarnya mungkin ditangkap, melainkan berusaha mengungkap juga posisi dan pandangannya atas peristiwa yang digambarkan, sehingga pembaca atau pemandang bisa menafsir dan mengambil kesimpulan, untuk memahami realitas itu dengan caranya masing-masing. Itulah sebabnya, jika dalam jurnalisme komik untuk Time pembaca akan menjumpai sudut pandang orang pertama dalam tulisannya saja; maka dalam Palestine pembaca bahkan akan melihat si aku, Joe Sacco sendiri, dalam gambar. Dengan cara itulah pembaca berpeluang mempertimbangkan posisi Joe Sacco sebagai narator, sehingga realitas yang mereka terima selalu merupakan realitas dalam kesepakatan tertentu.

Dalam hal parafrase, meskipun riwayat sumber berita tidak dilihatnya sendiri, tapi harus digambarkannya kembali, tampak bahwa Joe Sacco melakukan riset yang teliti. Artinya, setiap tempat kejadian perkara bisa diperiksanya ulang, sehingga penuturannya bisa dipertanggungjawabkan. Bila perlu, ia perlihatkan juga bagaimana sumber berita menunjukkan berbagai bukti kepada dirinya, sebelum atau setelah ia menceritakan ulang kisah para saksi mata itu. Jelaslah bahwa Palestine akhirnya menjadi dokumen penindasan warga sipil oleh militer Israel, yang jam malam dan berbagai penculikannya telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari di wilayah itu. versus sipil, karena warga Palestina di situ memang penduduk Israel. Joe Sacco menampilkan konflik itu sebagai masalah orang kecil, bukan politik. Profil berbagai organisasi seperti Al-Fatah yang moderat atau juga Front Pembebasan Rakyat Palestina yang radikal dalam Palestine tampak marjinal, sesuatu yang tidak pernah muncul secara resmi. Rupanya organisasi semacam itu berada di bawah tanah. Joe Sacco juga berkisah tentang cara-cara mereka merekrut anggota yang penuh kerahasiaan. Namun adalah penduduk sipil yang menggerakkan intifada, suatu hal yang tidak pernah mampu dilakukan organisasi perlawanan manapun.

Melalui Palestine, dunia berbahasa Inggris mendapatkan sudut pandang yang sama sekali baru, karena Joe Sacco tidak berpretensi menghadirkan jurnalisme dalam konstruksinya yang baku: eksklusif, apalagi aktual, sekaligus "menjual", yang merupakan keharusan dalam bisnis jurnalistik. Seperti diketahui, dalam bisnis jurnalistik, perusahaan pers lebih mentingkan tiras penjualan, dan kepentingan inilah yang langsung-tak-langsung menentukan kebijakan peliputan. Tetapi Joe Sacco keluar masuk rumah penduduk sipil, tidak mencari nama-nama besar, melainkan mendengarkan cerita di balik dinding, dan terungkaplah sejarah penindasan yang mengalir di bawah permukaan. Tidak peduli peristiwa itu sudah berlangsung beberapa bulan, bahkan bertahun-tahun yang lalu.

Dunia internasional mungkin menyaksikan highlight intifada dan berbagai demo dalam pemakaman korban, lengkap dengan komentar para petinggi dari koran dan televisi, tetapi hanya komik Joe Sacco melaporkan teror malam hari, penculikan orang terluka di rumah sakit, dan riwayat para korban yang selamat. Joe Sacco melukiskan rumah warga Palestina dari dalam, apa yang mereka makan dan minum, ada barang apa saja di dalam rumah, serta bagaimana mereka hidup selalu dalam keadaan tertindas, dengan cara bertutur yang berada di luar konstruksi jurnalisme untuk bisnis.

Jurnalisme Joe Sacco adalah jurnalisme personal, karena jurnalisme komik tidak dianggap lazim, tapi justru karena itu jurnalismenya menangkap hal-hal yang luput dari perhatian para konglomerat dalam bisnis jurnalistik. Siapapun yang memperhatikan bagaimana Joe Sacco menggambarkan dirinya sendiri dalam komik itu akan percaya, bahwa pengetahuan memang hanya bisa didapatkan dengan pendekatan yang rendah hati. Palestine dari tahun 1993 sampai 1995 pun, yang terbit tiga bulan sekali, mampu eksis sebagai saksi kekejaman militer Israel sampai hari ini.

Dengan demikian, melalui Palestine ia melakukan gebrakan dalam bidang jurnalistik maupun komik. Akar komik Joe Sacco sebetulnya diinspirasikan oleh komik underground di Amerika Serikat yang menolak diperiksa Comics Code Authority yang didirikan tahun 1955. Kalaupun diperiksakan, maka kemungkinan juga akan mengalami kesulitan, mengingat kebijakan pemerintah AS yang sangat dipengaruhi oleh kubu Yahudi. Meskipun membanggakan dirinya sebagai benteng demokrasi, negeri itu tidak sama sekali bersih dari black listing: suka memprasangkai orang lain. Komik Joe Sacco ini menjadi representasi kultur underground bagi jurnalisme dunia Barat, karena empatinya yang gamblang kepada warga sipil Palestina. Tetapi apakah Joe Sacco berpihak kepada warga Palestina, dengan suatu prasangka terhadap militer Israel? Tidak juga. Dalam laporan Time, ia mewawancarai dua belah pihak dengan sangat seimbang; dan dalam salah satu edisi Palestine diperlihatkannya bagaimana seorang serdadu Israel, seorang Yahudi Amerika yang bertugas di Ansar III (kamp tahanan yang menjadi "sekolah" para anggota pergerakan) ternyata membangun hubungan akrab dengan para tahanan.

Bahwa komik Joe Sacco adalah suatu karya jurnalistik, menunjukkan perbedaan dengan komik biasa pada hilangnya uatu penanda. Pembaca tidak akan menemukan monolog interior, atau solilokui, yang biasa terwujudkan sebagai balon renungan (bukan balon kata-kata), karena Joe Sacco yang berani menggambarkan kilas-balik sumber-sumbernya, tampaknya tidak mengandaikan dirinya bisa membaca pikiran di dalam kepala sumber beritanya itu.

Barangkali Joe Sacco bukan wartawan komik yang pertama, karena Illustrated London News membangun reputasinya berdasarkan kesaksian para ilustrator yang mendampingi tulisan atas peristiwa-peristiwa dalam negeri maupun perang di luar negeri pada 1842. Namun menurut saya itu hanya karena fotografi belum mampu dimanfaatkan secara efisien dalam jurnalistik. Toh disebutkan oleh Roger Sabin (Comics, Comix & Graphic Novels, 1996), bahwa Joe Sacco engembalikan
gaya verite dari zaman pra-kamera seperti yang ditampilkan ilustrasi saksi mata majalah berita bergambar zaman Victoria. Bagi saya, Joe Sacco tidak mengulang para pendahulunya, dengan pensilnya ia mengisi ruang tak terliput oleh media jurnalistik yang canggih sekalipun dalam abad sibernetik ini, sebagai suatu alternatif baru. Sebetulnya, tidak satu bahasa pun akan mampu menggantikan bahasa lain, maupun media satu menggantikan media lain, karena secara timbal balik setiap bahasa dari setiap media membangun unikumnya sendiri, meski sama-sama diabdikan kepada satu hal: komunikasi antarmanusia.

Demikianlah catatan ini, sekadar perkenalan untuk mengundang studi mendalam kepada bahasa dan media komik, yang hampir selalu dilecehkan kemungkinannya untuk menjadi bagian dari diskursus intelektual.


Diambil dari sebuah milis yang mengutip [aikon!]edisi Februari 2002