Tuesday, November 08, 2011

DAGING

DI hari kematiannya Bhisma memanggil seluruh cucu: keluarga Kurawa dan Pandawa. Dua trah ini sedang bertempur di medan Kurusetra. Dan Bhisma sedang meregang nyawa dihajar ribuan anak panah yang dilesatkan ksatria ramping dengan teknik memanah dan berkuda setara Arjuna. Bhisma tahu ksatria itu adalah Dewi Srikandhi. Bhisma merasa itulah balasan yang setimpal ia dapatkan karena ia telah merenggut kebahagiaan Dewi Amba.

Kekalahan Bhisma, yang memimpin pasukan Kurawa, adalah pucak perselisihan keluarga satu nenek moyang dalam epik Mahabharata yang membingungkan. Perang terhenti dan Bhisma berbicara panjang lebar dengan tubuh mengambang disangga ribuan anak panah. Ia lalu mengutip satu seloka tentang Raja Usinara.

Usinara adalah orang suci yang hidup di sekitar Punjab. Suatu kali, ketika sedang duduk-duduk di puri, ke pangkuannya jatuh seekor merpati yang ketakutan. Punggungnya mengucurkan darah. “Tolonglah hamba, Tuanku. Tolonglah.” Di belakang merpati itu memburu seekor rajawali. Matanya nanar memandang ke arah Raja. “Kembalikan milikku,” kata Rajawali. “Luka di punggungnya itu tanda ia milikku.”

Raja kadung jatuh iba kepada merpati. Ia pun berkata, “Jangan kau ambil merpati yang luka ini. Aku akan ganti merpati ini dengan daging apapun yang kauminta.”

“Daging apapun?”

“Ya. Apapun.”

“Kalau begitu aku ingin dagingmu.”

Raja terenyak mendengar permintaan itu. Tapi penguasa Punjab yang lembut itu tak hendak ingkar janji. Ia setuju memberikan daging di tubuhnya sesuai berat tubuh merpati. Dua abdinya ia suruh mengambil timbangan dan pisau. Burung yang kehabisan darah itu ditimbang dan sebilah pisau mengerat paha sang raja. Tapi, tiap kali Rajawali itu habis menelan kerat daging terakhir, ia menuduh Raja telah bohong dengan memanipulasi timbangan.

Merpati itu ditimbang lagi. Dan tubuh itu kian berat, kian berat. Setiap pertambahan itu membuat raja harus mengerat sendiri daging di tubuhnya. Mula-mula kaki, lalu tangan, perut, dada, hingga akhirnya raja itu roboh. Pramesuri yang cemas meminta suaminya menghentikan laku absurd itu. “Adinda, seorang prabu pantang ingkar janji,” kata Usinara. “Dan aku akan mati karena membela keadilan, membela mahluk lemah.”

Kisah dalam komik R.A Kosasih, Pandawa Seda, ini kemudian berakhir happy ending. Rajawali itu ternyata Dewa yang turun ke bumi hendak menguji keteguhan Sang Raja. Tapi bukan soal Dewa itu cerita ini menjadi penting hingga Bhisma menceritakan kembali sebelum menemui ajalnya. Bhisma mengingatkan bahwa harga seorang pemimpin terletak pada keteguhan pada janji dan berbuat adil sudah sejak dalam pikiran.

Usinara adalah contoh bagaimana ketulusan berkorban tak hanya diucapkan dengan kata-kata. Demi berbuat adil dan teguh pada janji itu ia mengorbankan dirinya sendiri untuk sesuatu yang tak berharga. Namun juga bukan nilai merpati itu soalnya. Ia seorang raja yang dimintakan perlindungan oleh seekor merpati yang sedang sekarat diburu maut. Raja tak boleh mengabaikan mahluk yang butuh pertolongan.

Para pemimpin harus membaca kembali kisah Usinara. Bhisma mengingatkan soal itu. Kita tak tahu siapa yang bersalah dalam perang selama 15 tahun di Kurusetra itu. Karena itu ia menggingatkannya lagi. Bhisma sendiri seorang resi yang berkorban untuk kelangsungan hidup kerajaan Kuru. Jika saja ia menghalangi niat ayahnya, Raja Sentanu, yang ingin menikah lagi, perang saudara yang kejam itu tak akan terjadi.

Tapi ia izinkan ayahnya menikah lagi seraya berjanji tak akan menikah seumur hidup. Bhisma merelakan putra mahkota jatuh ke tangan adik tirinya, Wicitrawirya. Ia sendiri yang mencarikan istri untuk calon raja itu, dalam sebuah sayembara di Kerajaan Kasi. Bhisma memenangi pertarungan antar ksatria dan memboyong tiga putri untuk dipilih adiknya: Amba, Ambika, Ambalika. Amba menolak karena sudah punya kekasih yang ia cintai sungguh. Bhisma memaksa.

Setelah berdebat, Bhisma setuju mengembalikan Amba kepada kekasihnya. Tapi Pangeran Salya menolak karena malu telah kalah tarung dan menganggap Amba tak suci lagi. Putri ini pun masuk hutan dan menjadi pertapa sebagai orang yang sedih seumur hidupnya. Bhisma kemudian meratapi kengototannya itu.

Wicitrawirya memilih Ambalika, tapi ia juga terlibat percintaan gelap dengan Ambika. Dari dua putri ini trah Pandawa dan Kurawa lahir. Selamanya mereka berebut kerajaan dan Mahabharata menjadi epik yang tak selesai-selesai. Dalam kisah-kisah agung tentang pengorbanan itu terselip cerita Usinara yang dikutip Bhisma. Dan kita tahu pemimpin dengan kualitas seperti apa dia: Usinara mau berkorban untuk melindungi yang lemah.

Ia tak mempertahankan pendapatnya soal tuduhan bohong dari Rajawali dengan timbangan tubuh merpati. Ia berada dalam pilihan sulit. Satu-satunya jalan yang ia pilih adalah memenuhi janji, alih-alih bertahan dengan berusaha membuktikan tak bohong soal berat merpati itu. Bagi dia, janji adalah mahkota dan harga diri seorang manusia.

Usinara juga tak memilih keputusan praktis. Misalnya, membunuh saja Rajawali itu lalu menggoreng merpati untuk bebas dari janji mengerikan. Toh, dengan kekuasaannya ia bisa berbuat begitu. Ia memilih tak melakukannya. Dan ia lulus dari ujian itu.