Thursday, July 31, 2003

LAGU




Kenapa sebuah lagu enak didengar? Hazrat Inayat Khan punya jawabnya. Dalam buku Dimensi Mistik Musik dan Bunyi, sufi India yang menekui musik dengan hasrat sampai ke sumsum itu, mengatakan "dalam musik kita melihat Tuhan bebas dari segala bentuk dan pikiran." Tapi, ini suatu yang terlalu besar. "Suara saja," katanya, "tidak menjadikan objek apapun muncul di depan kita." Karena itu musik lebih gampang didengar.

Berbeda dengan puisi, musik tak memerlukan kata dan kalimat untuk menarik minat orang mendengarkan. Karena, memang, bukan itu yang penting disampaikan ke telinga pendengar. Kata-kata menjadi tak penting dalam musik atau lagu atau suara. Ia bebas asal mengena di telinga, "tak ada objek yang terasosiasi dari sana".

Dalam puisi, asosiasi makna dan bunyi menjadi penting, juga pilihan kata. "Setiap kata dalam puisi," tulis Inayat Khan, "membentuk sebuah gambar dalam pikiran kita". Dari huruf dan kata juga kalimat dan rima, dalam sebuah puisi yang utuh akan tercipta sebuah suasana, yang mungkin tak gampang dirumuskan kembali. Kata-kata di sana memperjuangkan apa yang terkandung dalam deret huruf-huruf.

Sedang dalam musik, irama dan asosiasi nada yang membuat suara utuh sebagai sebuah musik. Musik yang enak didengar adalah musik yang pas asosiasinya. Begitu juga sebaliknya, musik yang tak enak didengar hanyalah kegagalan ritme bunyi-bunyi yang ditimbulkannya. Tapi, Inayat menolak pengkotakan seperti ini. Menurutnya, semua suara, semua musik, punya makna-makna sendiri. Dalam riwayat hidupnya, ia memang menganalisis semua bunyi, dan berkesimpulan "musik adalah sarana paling efektif menjumpai Tuhan."

Yang enak dan tidak enak memang sesuatu yang terlalu subjektif. Lagu yang enak setelah puluhan tahun tak didengarkan lagi menciptakan suasana apa, pada suatu waktu tertentu, ketika terdengar sengaja atau tak sengaja. Suasana patah hati karena ditinggal pacar ditimbulkan oleh bunyi yang terendap sekian tahun silam, ketika kita mendengarkan lagu itu pas pacar kita memutus cintanya. Ada yang tertinggal dan membekas dalam lagu itu.

Karena itu saya suka musikalisasi puisi. Karena setelah puisi dinyanyikan yang ada adalah lagu dan suasana yang ditimbulkan. Tapi, saya kurang meminati puisi yang dibacakan. Siapapun pembacanya, puisi yang dibacakan sudah kehilangan daya pukaunya. Kata-kata di sana tak lagi menyampaikan apa yang ada dalam sebuah puisi.

Tapi lagu, hanya suara-suara itu yang ada. Maka, lagu Sakura yang diciptakan dan dinyanyikan Fariz RM selamanya enak didengar kendati syairnya tak jelas menceritakan tentang apa. Atau ketika kita mendengar irama padang pasir atau lagu dengan teks bahasa Inggris. Mengerti syairnya bukan lagi hal yang penting. Asereje saja enak dipakai goyang tanpa perlu tahu menceritakan dan berisi tentang apa. Ini syair Sakura :


SAKURA

Senada Cinta Bersemi Diantara Kita
Menyandang Anggunnya Peranan Jiwa Asmara
Terlanjur Untuk Terhenti
Dijalan Yang Tlah Tertempuh Semenjak Dini
Sehidup Semati

[Reff 2]
Kian Lama Kian Pasrah Kurasakan Jua
Janji Yang Terucap Tak Mungkin Terhapus Saja
Walau Rintangan Berjuta
Walau Cobaan Memaksa
Diriku Terjerat Dipeluk Asmara

Bersama Dirimu Terbebas Dari Nestapa
Dalam Wangi Bunga Cita-cita Nan Bahagia
Walau Rintangan Berjuta
Walau Cobaan Memaksa
Diriku Terjerat Dipeluk Asmara

[Back to Reff 2]

[Reff 3]
Terlambat Untuk Berdusta Terlambatlah Sudah
Menipu Sanubari Tak Semudah Kusangka
Yakin Akan Cinta Yakinlah Segalanya
Perlahan dan Pasti Daku Kan Melangkah
Menuju Damai Jiwa


Sapardi Djoko Damono pernah diminta menjadi juri lagu-lagu dangdut. Kalau tidak salah, ia menolak permintaan itu. Sapardi yang hidupnya tak lepas dari kata-kata mengaku tak kuat membaca syair-syair lagu dangdut. Ia mungkin baru ngeh saat itu kalau syair dangdut penuh berisi kalimat klise yang tak punya arti sama sekali. Tapi, siapa peduli! Lagu Merana saja digemari banyak orang meski dinyanyikan dengan riang, tapi enak untuk berjoget. Tak ada objek yang hinggap di kepala kita ketika mendengarkan lagu itu.

Tuesday, July 29, 2003

CANTIK

Kenapa cantik selalu identik dengan perempuan? Tidak adakah laki-laki yang cantik? Saya, dan kita, harus tunduk pada bahasa dalam merumuskan nama-nama. 

Seperti tak mudah merumuskan cantik itu sendiri. Lihat saja lukisan Ratu Mesir Cleopatra. Ratu perkasa itu digambarkan sebagai perempuan berbadan subur dengan payudara yang menonjol. Maka, sebuah penelitian arkeologi menyebutkan, ratu ini tak cantik-cantik amat. Lagi-lagi, si arkeolog mungkin lupa, cantik yang disebutkannya berdasarkan ukuran zaman sekarang.

Atau Dewi Venus. Dewi ini juga dideskripsikan sebagai dewi yang bertubuh gempal. Di Eropa pada abad pertengahan, perempuan berlemak melambangkan kesuburan. Tapi, lihat ke etalase. Manekin-manekin dibentuk dengan postur tiang listrik. Pun begitu dengan model yang berjalan di catwalk: mereka nyaris tak punya tubuh yang berlekuk-lekuk. Suatu ketika lagi, perempuan yang cantik digambarkan punya tubuh seperti gitar Spanyol.

Apa boleh buat, cantik memang ditentukan oleh zaman yang menginginkannya. Maksudnya keinginan arus utama yang sampai ke khalayak. Di jalan, di mal-mal, tubuh-tubuh nyaris tak ada bedanya. Pakaian, model rambut, rona pipi, hingga jempol kaki. Apa yang cantik pun kini menemui keseragaman. Jadinya, di acara-acara kawinan semua orang nyaris mirip.

Di Nigeria, ketika Agbani Darego dinobatkan sebagai Ratu Sejagat 2001, gadi-gadis di sana ramai-ramai menurunkan berat badan. Padahal, sebelum Darego yang langsing itu tampil di panggung dengan bikini, sebelum layar teve menyiarkannya ke seluruh dunia, perempuan yang cantik adalah mereka yang punya lemak dan selulit di pahanya.

Atau lihatlah film Indonesia tahun 80-an. Ketika film horor yang tak cerdas diminati orang, perempuan cantik itu seperti Suzana. Karena dia selalu berperan sebagai Nyi Roro Kidul yang dalam legenda orang-orang pesisir Selatan Jawa, penguasa pantai itu selalu digambarkan sebagai perempuan yang sangat cantik.

Di televisi, terutama sinetron kita, perempuan berhidung mancung, berkulit putih, langsing, dan berambut panjang selalu dikelompokan sebagai perempuan cantik. Ini mungkin pengaruh terlalu lamanya negeri ini dijajah. Mental terjajah seperti ini pas benar digambarkan Pramoedya Ananta Toer dalam tokoh Minke di novel Bumi Manusia. Pokoknya yang bertampang blasteran itu cantik.

Tapi ada orang yang tidak melulu menilai cantik hanya dari postur. Saya pernah cerita seorang teman SMP tergila-gila pada cewek yang punya jempol buntet. Dia pikir cewek yang punya jempol buntetlah yang paling seksi. Meski terdengar tak masuk akal, dia berbusa-busa menjelaskan di mana letak keseksiannya. Saya mendengarkan, tapi akhirnya berpendapat itu absurd! Masak, dia punya fantasi bagaimana jika jemari-jemari buntet itu memegang penisnya. Uh, menjijikan, meski saya senang dengan kejut-kejutan pikirannya, karena dia punya perspektif lain tentang cantik.

Lalu, waktu kuliah ada teman yang menyukai perempuan dari keteknya. Maksudnya, jika ia akan menyebut seorang perempuan cantik atau tidak, menarik atau tidak, harus tahu dulu apakah keteknya berbulu atau tidak. Jika gundul, bagaimanapun bentuk si cewek yang dilihatnya, tak akan masuk hitungan sebagai manusia cantik.

Di kelas kami ada teman yang, kata orang-orang, tercantik di antara cewek-cewek lainnya (kenapa dalam setiap komunitas selalu ada orang yang punya kelebihan?). Selain enak dilihat dia selalu jadi juara kelas; paling tidak IP-nya selalu menyundul angka 3,5 ke atas (uh, stereotip banget!). Teman saya itu bela-belain tidak mengerjakan praktikum hanya karena selama praktek itu ia sibuk mengintip dan menunggu si cewek ini mengacungkan tangan. "Wah, jabrik, euy. Seksi banget," si teman itu bercerita sesampainya di kos-kosan. Ketek yang jabrik itu, ia memberi alasan, akan merebakan aroma tubuh yang sebenarnya. Dan aroma tubuh, katanya pula, menunjukan siapa perempuan itu. Baginya kejujuran bisa dicium dari bau ketek. Dirimu adalah bau apa yang kau sebarkan dari ketekmu!

Maafkan saya, jika menuliskan cerita ini dari kepala seorang laki-laki. Karena itu tadi, apa boleh buat, kita tunduk pada bahasa yang merumuskan nama cantik untuk perempuan. Mungkin benar apa kata Naomi Wolf bahwa cantik itu dibentuk oleh kekuasaan laki-laki. Saya tak ingin menujukan kekuasaan di sini. Saya hanya senang punya teman yang mengandalkan penilaian cantik pada subjektivitas yang dimilikinya. Sebab, dalam pemilihan Ratu Sejagat atau Putri Indonesia yang hari-hari ini marak di televisi, yang cantik itu sudah ditentukan kriteria-kriterianya. Pemilihan orang semacam itu telah memvonis dan melecehkan saya, juga setiap orang atas kriteria cantik dalam kriteria mereka.

Thursday, July 24, 2003

DOA




�Tuhan selamatkanlah ibu bapakku bukan salah mereka kalau aku murtad. Aku tidak beriman bukan artinya kamu harus menghukum mereka. Itu saja. Dulu mungkin aku pernah meminta dikenalkan dengan Karina Suwandi, soalnya dia cute banget di film Lupus yang pertama, ternyata dia lesbian sengak banget, kalau kamu tahu dia jahat kenapa kamu perkenalkan juga kita? Bukannya kamu hanya ingin yang baik untuk umatmu? Begitulah, aku hanya bercanda. Kamu bukan Tuhanku lagi, semoga kamu sekarang bisa bercanda. Tapi kamu masih Tuhan Ibuku, jangan siksa dia.�

PS: Mikael, aku suka doamu, seperti aku suka cerita-ceritamu....

Monday, July 21, 2003

BODREX




Entah siapa yang pertama kali membuat julukan "Bodrex" untuk orang-orang yang mengaku wartawan tapi tak punya koran dan kerjanya hanya memeras narasumber. Yang jelas, julukan ini sudah menjadi sebutan yang jadi bahan ledekan yang berujung gemes dan jengkel. Konon istilah ini tercipta dan tercetus dari seorang narasumber yang mengaku pusing karena terus dikejar-kejar serombongan orang mengaku wartawan dan minta duit di DPR. Untuk itu si narasumber ini perlu obat puyeng: salah satu obat puyeng yang terkenal, ya, Bodrex itu.

Di DPR memang jumlah Bodrex-nya sangat menggila. Mereka bisa dibedakan dari wartawan lain tidak hanya dari pergaulannya, tapi juga dari tampangnya. Rata-rata mereka bertampang seram, dan berwajah goblok, karena tak mengerti persoalan. Biasanya mereka bergerombol, duduk-duduk di teras. Mungkin sedang mengatur strategi nara sumber siapa lagi yang bisa diperas koceknya. Karena niatnya meminta uang, mereka tak berani bergerak sendiri, tapi minimal 3 orang atau lebih.

Ada yang berlaku masih sopan, tapi tak sedikit yang ganas. Yang sopan biasanya masih malu-malu, bertanya dulu sama si sumber, pura-pura wawancara, lalu mojok dan ujung-ujungnya minta duit. Tapi yang ganas sudah langsung tembak minta duit.

Pernah, suatu kali Sidang Tahunan 2001 yang lalu. Dalam perhelatan tahuan MPR itu ada begitu banyak wartawan, yang resmi dan tidak resmi. Meski sudah diwajibkan pakai ID Sidang, tetap saja banyak wartawan yang tidak jelas. Saya bersama teman wartawan lain perlu mewawancarai tokoh PDI Perjuangan sehubungan suatu rancangan undang-undang yang alot diperdebatkan. Wawancara pun selesai dan si sumber hendak meninggalkan kami.

Tapi, belum juga beranjak jauh ia sudah dicegat oleh puluhan wartawan lainnya. Kami tidak tahu mereka dari mana karena tak menampakan ID perusahaannya. Tak jelas juga apa yang mereka tanya. Dari rautnya si sumber sepertinya gerah. Kami pun ikut mendekati karena suasana omongnnya agak memanas.

"Di saku saya ada duit Rp 500 ribu," kata si sumber itu. Wartawan yang mengerubungi itu makin antusias. "Tapi," si sumber itu melanjutkan bicaranya, "dalam semenit sebutkan dulu nama saya, baru kita makan-makan." Anehnya, para wartawan itu kelimpungan. Mereka saling pandang satu-sama-lain. Karena tak ada yang menyebut nama, si sumber pun angkat bicara lagi. "Gak ada yang tahu? Ya, sudah, duit masih milik saya," ia pun ngeloyor pergi meninggalkan puluhan wartawan yang melongo.

Kami yang ikut mengerubung pun bubar dan tahu duduk persoalannya. Para wartawan itu rupayanya terang-terangan minta ongkos taksi dan uang makan. Sayangnya, mereka tak tahu nama mangsanya. Padahal, dialah Tjahyo Kumolo, sekretaris fraksi PDI Perjuangan di DPR. Kami pun bubar dan menyebarkan cerita itu ke teman-teman lain dengan terkekeh.

Itu Bodrex yang tidak resmi. Yang resmi pun tak sedikit. Maksudnya, mereka punya media yang jelas, terbit setiap hari, dan mereka nyari berita sama dengan yang lain, tapi mereka juga terima duit dari narasumber. Biasanya uang pemberian itu dibungkus sebagai uang terima kasih, tapi juga tak sedikit karena kedekatan.

Amplop dan duit memang selalu jadi momok wartawan. Ada yang membolehkan asal tidak meminta, tapi juga ada yang melarang pemberian dalam bentuk apapun. Alasan yang kedua menganggap karena duit semacam itu juga termasuk korupsi. Goenawan Mohamad bahkan menyebut uang semacam itu sebagai bentuk koruspi yang paling nista.

Ia mengatakan kerja jurnalisme yang sudah diwarnai dengan pemberian tak bisa diharapkan lagi untuk bisa objektif. Jika beritanya mengkritik, orang pasti menuding wartawannya lagi butuh duit atau tak kebagian jatah dari narasumber. Jika memuji kinerja sumber, itu pasti wartawannya disogok uang banyak. Jadi, sebaiknya memang tak ada duit dalam kerja jurnalisme.

Karena itu, kata Goenawan, seorang wartawan meski menulis dengan pujian tentang figur seseorang, harus menuliskan pula sisi lain dari figur itu, tak melulu prestasinya. Manusia toh tak ada yang sempurna seratus persen. Begitu juga jika menulis yang jelek-jelek atau mengkritik, hendaknya juga dicantumkan prestasi seorang sumber itu. Toh, Pak Harto juga tak melulu dilumuri dosa selama 32 tahun memerintah negeri ini. Ia juga punya andil besar dalam pembangunan, meski banyak yang salah kaprah.

Memberantas bodrex memang tidak gampang, karena ada begitu banyak orang yang nyari kesempatan karena kepepet, juga mental setiap orang yang sudah menganggap biasa dengan praktek korupsi, apapun bentuknya.

Tuesday, July 08, 2003

ISLAM, KITA




Eko yang baik, saya ingin kembali berbincang tentang Islam, sebuah agama yang dengan kompleksitasnya memaksa saya untuk selalu ingin memikirkannya. Saya selalu ragu tentang pemahaman saya tentangnya. Kadang pikiran itu terlalu besar dan saya miris jika terus meladeninya. Saya sedikit-banyak baca buku tentang agama saya itu. Mula-mula hanya untuk meladeni apa yang kau omongkan saja. Saya pikir sepertinya menarik apa yang kau omongkan itu. Tapi, kemudian, saya jatuh cinta di dalamnya.

Apa yang kita baca sama sekali berbeda; mungkin karena ini disebabkan oleh minat kita yang berbeda pula. Kau terpesona oleh kejayaan Islam tempo dulu. Sementara saya terpesona oleh perbincangan tentang keimanan. Karena itu, Eko, saya menyukai film Keeping the Faith (2000) yang bertutur tentang dilema seorang pastur (Edward Norton) dengan kesetiaan pada iman dan godaan tubuh perempuan. Sementara kau ngotot pada satu Islam, pada politi Islam.

Sesekali mungkin kau harus tonton film ini. Dalam film itu, Eko, si pastur punya teman yang Rabi Yahudi (Ben Stiller). Keduanya sudah berteman sejak kecil. Menginjak dewasa keduanya harus menentukan jalan masing-masing, meski mereka punya satu kesamaan: ingin mengabdikan hidup pada agama. Begitulah, yang satu jadi Rabi, yang lainnya jadi pastur.

Si Rabi sangat disukai umatnya karena membawa revolusi kebaktian yang meriah. Umat seolah menemukan agama yang dianutnya begitu menyenangkan. Diceritakan, misalnya, si Rabi itu memimpin misa dengan koor ala opera atau kadang-kadang seperti pentas jazz. Tapi si Rabi tak punya pantangan terhadap tubuh perempuan. Maka ketika banyak umat perempuan muda yang mengaguminya dan mengajak kencan, si Rabi oke-oke saja diajak makan malam di kafe, di mana di sana ia juga bertemu dengan banyak umatnya.

Suatu kali mereka mendapat kabar, seorang teman sewaktu kecil mereka mengajak bertemu. Si teman ini (Jenna Elfman) perempuan New York yang modis, blonde, langsing, karir bagus sehingga tak pusing memikirkan sewa apartemen. Keduanya jatuh cinta pada teman lama itu. Tapi, kau tahu, Eko, siapa yang akan memenangkan persaingan mendapat cinta sang primadona itu.

Maka, dalam sebuah pasase si rabbi bercinta dengan gairah yang memuncak sebagai seorang kawan yang saling memendam perasaan sejak lama. Si pastur tentu hanya bisa gigit jari menyaksikan teman-teman kecilnya terlibat asmara.

Saya suka film ini, Eko, karena di sana apa yang jelek dan apa yang bagus menurut norma agama menjadi tak jelas batas-batasnya. Kita ini juga manusia, yang bukan sufi pula.

Atau ketika saya menonton Vertical Limit (2000). Di Everest yang ganas tiga pendaki terjebak dalam badai salju. Pertolongan dikirim. Salah seorang tim SAR bernama Kareem Nazir (Alexander Siddig) ikut dalam tim itu. Dia kebetulan berjalan bersama seorang Amerika, yang Kristen, yang tak pernah ke gereja, nakal, sembrono, tapi lucu. Suatu kali si Kareem harus salat. Si Amerika bertanya, "Hei, apa Tuhan masih minta diingati ketika keadaan genting seperti ini?" Kareem tidak menjawab. "Kau percaya Surga, Kareem? Aku tidak. Aku lebih percaya neraka itu ada." Kareem harus menyelesaikan salat hingga salam. Selesai itu ia berbalik. "Kenapa kau merisaukan keadaan surga dan neraka. Kewajiban hidup adalah berbuat baik."

Dialog yang khas Amerika memang. Tapi saya terkesan. Seperti kesan saya ketika membaca Bahkan Malaikat pun Bertanya. Penulisnya, Jeffrey Lang, seorang profesor Matematika di Universitas San Fransisco, Amerika Serikat. Sebagai mualaf ia begitu apik meracik perjalanan hidupnya menemukan Islam. Ia bercerita, misalnya, betapa ia sangat terpesona mendengar seseorang membaca Quran. Tapi ia sempat bimbang, karena Islam yang dicarinya ternyata bukan agama untuk perempuan.

Di Arab, begitu ia menulis, ketika azan berkumandang polisi patroli menghardik setiap lelaki yang masih berkeliaran di swalayan atau di jalan-jalan. Tapi ketika para suami itu salat, istri-istri mereka menunggu di mobil atau di beranda masjid. Dia berpikir, mungkin itu Islam dalam wajahnya yang dikendalikan negara. Ketika negara turut campur dalam urusan keimanan seseorang, hal-hal yang seharusnya wajib bagi setiap manusia justru terabaikan. Atau, ia berpikiran pesimis, Islam, katanya, sebuah agama yang ditunjukan untuk kaum lelaki.

Hal-hal seperti ini, Eko, yang hinggap di kepala saya. Saya dididik dalam lingkungan agama yang netral, yang masih mistis, yang bimbang antara NU dan Muhammadiyah, tapi sangat takut ada penterasi Kristen. Maka saya diwajibkan bisa baca Quran tapi tak ketat menjalankan kewajiban. Tuhan bagi kami adalah tempat pertahanan terakhir, tapi tak diajak berpikir bahwa manusia masih bisa memikirkan dan mendebatkan-Nya. Hingga saya masih berusaha nyolong waktu ngaji saya dengan nonton Donald Bebek di TVRI.

Begitulah, Eko. Ketika Islam dipolitisasi, ia menjadi semacam pertaruhan, atas nama, dan tunggangan. Tapi, saya tak mau naif. Ada begitu banyak cara orang meraih kekuasaan. Kau pasti tahu, bagaimana gejolak politik Islam pasca khulafaurrasyiddin. Ada begitu banyak intrik dan tak tik untuk merebut warisan nabi itu. Kau bilang dan sering menyerukan agar umat Islam bersatu dalam kekhalifahan. Tapi, apakah itu mungkin? Tidakah itu hanya ilusi? Tidakah itu, di jaman kini, hanya akan melahirkan keseragaman? Dan seragam (kau tahu?) hanya akan melahirkan jawaban tunggal. Saya kira, Tuhan kita tak senang dengan jawaban tunggal. Buat apa dia bikin otak di kepala kita, kalau dia tak ingin kita bertanya.

Eko, sampaikan salam saya untuk teman-teman.

UPDATE
Seseorang mengaku gatal jemarinya lalu menanggapi tulisan ini di sini.

Monday, July 07, 2003

ORANG ASING ITU NAIK SEPEDA

SIANG tadi saya liputan ke Bappenas karena ada acara penandatanganan kerjasama pengembangan ekonomi lokal. Tak ada yang istimewa dengan liputan harian yang isinya hanya foto-foto dan pembubuhan tanda tangan itu. Juga, tak ada yang aneh dengan siapa pelaku penandatangan itu karena mereka cuma pejabat Bappenas dan tiga lembaga multilaretal lain semacam United Nations Development Programme.

Yang luar biasa, dalam pandangan saya, adalah ketika seorang pejabat UNDP keluar kantor Bappenas usai acara. Dia seorang perempuan setengah baya. Pake kacamata dan baju biru berbahan jeans terusan serta dua tas di tangan kanan dan kirinya. Rambutnya sebahu. Tentu saja ia bule. Kulitnya totol-totol tapi tak lagi merah karena sudah terpanggang udara tropis yang hangat. Mungkin ia sudah lama tinggal di sini. Saya menebak dia orang Prancis.

Saya yang duduk mengobrol dengan wartawan lain di tangga gedung mengangguk ketika ia keluar gedung. Beberapa satpam dan ajudan pejabat teras Bappenas juga mengangguk memberi hormat. Ia berjalan menuju parkiran. Saya pikir ia akan berhenti di deretan mobil mewah di sebelah kanan gedung. Tapi tidak. Ia terus berjalan hingga sampai di dekat pos penjagaan. Di sana tersandar sebuah sepeda tua berwarna coklat. Dan ia berhenti di sana lalu menuntun sepeda itu ke Jalan Taman Suropati.

Satpam yang tadi mengangguk saling pandang dengan satpam lain, kemudian pecah tawa di antara mereka.

Saya lihat, si bule itu mengayuh sepedanya di jalan itu. Ia ikut berhenti bersama dengan kendaraan lain, bus, dan motor saat lampu menyala merah di perempatan itu. Lampu menyala hijau dan ia mengayuh ke arah Jalan Teuku Umar. Mungkin ia akan menuju kantornya melewati jalur tembus ke Jalan Thamrin.

Saya tak mengenali merk sepeda yang dikayuhnya itu. Tapi bentuknya persis sepeda yang saya beli dari hasil salam tempel saat disunat 20 tahun silam. Sepeda yang saya punya itu merk Benz. Dulu harganya cuma Rp 60 ribu, kalau tak salah ingat, karena sisanya saya belikan dua ekor kambing betina.

Setiap yang melihat si bule itu, mungkin juga tersenyum. Dalam udara Jakarta yang digerus polusi itu, dia mengayuh sepedanya. Sesampai di kantornya mungkin kulit mukanya jadi kaku dan tebal, juga penuh daki. Karena itu apa yang dilakukannya menjadi aneh. Saya tidak tahu apakah ia sengaja mengayuh sepeda atau terpaksa atau terbiasa di negara asalnya.

Tapi mungkin ia sengaja dan terbiasa. Seorang pejabat UNDP pasti, minimal, dikasih mobil dari kantor jika tak punya kendaraan pribadi. Atau si bule itu mungkin sedang memberi pelajaran bagi kita. Ia ingin menunjukan mengayuh sepeda pun bisa sampai di tujuan. Praktis, dan yang utama : tak menimbulkan polusi. Ia juga mengejek kegemaran orang Indonesia yang gemar membeli mobil meski tahu jalanan Jakarta selalu macet.

Di sini, orang bule itu menjadi aneh kelihatannya. Aneh, karena apa yang dilakukannya tak lazim meski itu contoh positif. Sepeda selalu identik dengan ketakpunyaan. Dan Mercy selalu mengundang decak kagum yang melihatnya. Sehingga, mobil, bukan saja kegunaannya itu yang penting, tapi sejauh mana prestise menjadi ukuran. Meski aneh juga, para penjahat di jalanan itu selalu mengincer mobil mewah karena pasti berduit. Tapi, mobil seharga ratusan juta hingga miliaran selalu saja berseliweran berdesakan di jalanan utama. Uh, seandainya kita mencontoh orang bule itu...

Thursday, July 03, 2003

JIKA EKOR MENGIBASKAN ANJING




Propaganda dan pengendalian pikiran tidak hanya berlangsung di negeri otoriter. Tapi juga mungkin terjadi di negeri demokratis, seperti Amerika misalnya, atau Indonesia di era reformasi.

Farid Gaban | Pena Indonesia News Service

Novel-novel George Orwell sering menjadi rujukan penting ketika orang melukiskan negeri otoriter seperti Uni Soviet di masa lalu. Tapi, jika Anda berpikir kediktatoran hanya bisa terjadi di negeri komunis, renungkanlah kembali. Hal serupa bisa berlangsung di negeri demokratis seperti Amerika, atau di Indonesia setelah reformasi.

Novel Orwell berjudul "1984" menggambarkan betapa berkuasanya "Big Brother" yang, melalui mesin partai dan teknologi, mendiktekan apa yang baik dan harus dilakukan oleh rakyat. Novel "Animal Farm" memperkenalkan konsep standar ganda: "semua binatang sama derajatnya tapi binatang tertentu memiliki hak-hak istimewa".

Jika "1984" menonjolkan bentuk kekuasaan telanjang (senjata, teknologi dan pemaksaan), "Animal Farm" menunjukkan betapa kediktatoran serta kecenderungan elitis justru bisa jauh lebih efektif diwujudkan melalui bahasa. Para pemimpin menyihir rakyat untuk mendukungnya agar tetap berkuasa melalui logika yang dipelintir, fakta yang disembunyikan serta slogan-slogan seperti "nasionalisme" dan "patriotisme" yang didefinisikan secara subyektif.

Lewat bahasa, manipulasi dan pengendalian pikiran bisa terjadi di negeri-negeri demokratis. Invasi Amerika ke Irak belum lama ini memperlihatkan secara jelas kecenderungan semacam itu. Dan jika kita tidak waspada, operasi militer Indonesia di Aceh juga bisa menjadi contoh buruk betapa rakyat yang tidak kritis bisa dikerahkan untuk mendukung perang yang tidak perlu.

Dua bulan setelah bom-bom pertama jatuh di Baghdad, pemerintah Amerika dan Inggris tetap tak bisa menemukan timbunan senjata pemusnah massal yang dulu disebut-sebut sebagai dalih utama serangan ke Irak. Fakta ini mengkonfirmasi kecurigaan kelompok anti-perang: Gedung Putih sengaja berbohong, memanipulasi opini publiknya, dan mempromosikan perang berdasarkan dalih fiktif hanya demi kepentingan segelintir elit bisnis dan politisi Washington.

Meski kecurigaan seperti itu telah marak sebelum invasi, opini publik mayoritas Amerika cenderung mendukung presidennya. Dan lebih mencengangkan, bahkan setelah invasi, setelah berbagai bukti kebohongan terungkap, mayoritas publik tetap setia di belakang George W. Bush.

Sebuah jajak pendapat yang diselenggarakan Program on International Policy Attitudes (PIPA) belum lama ini menunjukkan banyak publik Amerika (34% responden) tak tahu bahwa senjata pemusnah massal sebenarnya tidak pernah ditemukan di Irak. Persepsi keliru yang lebih mengherankan: 20% responden percaya bahwa Irak benar-benar menggunakan senjata biologi dan kimia dalam perang tempo hari.

Bagaimana "persepsi bodoh" semacam ini bisa terjadi di Amerika? Jika demokrasi berarti pemerintahan dari rakyat untuk rakyat dan merupakan sarana untuk melindungi publik dari kebohongan pemerintahnya, kenapa itu tidak terjadi?

Jangan salahkan demokrasi. Setidaknya itulah yang dikatakan kolumnis Robert Kuttner di Harian The Boston Globe (4 Februari 2003). Menurut Kuttner, George Bush diuntungkan oleh melapuknya demokrasi Amerika.

Selama tiga dasawarsa terakhir, menurut Kuttner, instrumen-instrumen demokrasi Amerika terus tergerus erosi: jumlah pemilih yang ikut aktif dalam pemilu terus menyusut (di bawah 50%) dan keterlibatan uang dalam proses pemilihan yang kian besar.

Masih ada faktor lain, yakni makin sedikit rakyat kebanyakan Amerika berpartisipasi dalam organisasi-organisasi politik maupun non-politik yang memperdebatkan isu-isu secara demokratis. Bahkan mahasiswa dan sukarelawan LSM yang kritis justru menjauhi politik. Hasilnya: "civil society" di Amerika, kata Kuttner, makin mengerucut dikuasai kelompok-kelompok kepentingan (perusahaan pelobi) yang bermarkas di Washington, DC.

Melapuknya instrumen demokrasi, menurut Kuttner, dibarengi dengan dominasi kalangan elit terhadap pers--lembaga yang sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi. Koran, dan terutama televisi, menjadi medium ampuh pengendalian pikiran lewat bahasa demi keuntungan segelintir orang.

Dengan perkecualian sedikit koran dan majalah, media massa Amerika tak bisa diabaikan perannya dalam mendukung invasi ke Irak, dan karenanya dalam menyebarluaskan kebohongan Gedung Putih. Bahkan di kalangan responden dari Partai Republik yang mengaku setia mengikuti berita-berita internasional, misalnya, jajak pendapat PIPA tadi menunjukkan sekitar 55% responden keliru mengatakan bahwa pemerintahnya benar-benar menemukan senjata pemusnah massal di Irak.

Melalui media massa lah segelintir elit bisa memanipulasi pikiran banyak orang. Koran dan majalah tidak kebal terhadap kemungkinan dipakai sarana propaganda bohong. Tapi, televisi dan radio, karena sifatnya yang instan, massal dan kurang renungan, jauh lebih rentan lagi sebagai alat propaganda, disadari atau tidak.

Nontonlah film "Wag The Dog" (1996) yang disutradarai Barry Levinson dan kita akan tahu betapa mudah melecut sentimen patriotisme untuk mendukung perang, tak peduli betapa meragukan motifnya. Menakut-nakuti publik tentang ancaman fiktif dari luar memungkinkan segelintir penguasa mengalihkan perhatian rakyat terhadap soal-soal yang lebih mendasar: korupsi, skandal, serta ketidakmampuan memerintah.

Kolumnis Paul Krugman mengingatkan kembali film itu ketika menulis "Waggy Dog Stories" di Harian The New York Times akhir Mei lalu. Krugman menuduh Presiden Bush memanfaatkan perang Irak untuk mengalihkan perhatian rakyat dari melelehnya ekonomi Amerika dan skandal bisnis para kroninya, serta menangguk untung politik dalam pemilihan presiden mendatang.

"Wag The Dog" bukan metode baru dalam politik Amerika. Dua hari setelah seorang teroris bunuh diri membantai 241 marinir Amerika di Beirut pada 1983, Presiden Ronald Reagan memerintahan penyerbuan ke negeri pulau kecil bernama Grenada hanya untuk menutupi kebijakan Timur Tengahnya yang berkahir dalam bencana.

Invasi Presiden George Bush (senior) pada 1989 ke Panama dicurigai sebagai cara mudah untuk membuang diktator Manuel Noriega sekaligus cara untuk menutupi fakta bahwa di suatu masa dulu Noriega pernah menjadi aset penting CIA.

Pada 1998 Presiden Bill Clinton mengirimkan pembom ke Afghanistan serta ke Sudan untuk membasmi teroris Al Qaidah. Orang tahu Usamah bin Ladin tidak tewas kala itu (bahkan tidak jelas pula nasibnya setelah serbuan ke Afghanistan 2001) dan "pabrik senjata kimia" di Khartoum terbukti pabrik obat belaka, yang produksinya benar-benar dibutuhkan rakyat miskin Sudan.

Clinton memakai serangan itu untuk mengalihkan perhatian publik dari skandal Monica Lewinsky yang tengah memuncak.

"Kenapa anjing mengibaskan ekornya?" tanya Conrad Brean, tokoh dalam film "Wag The Dog" itu. "Karena si anjing lebih pintar dari ekornya. Jika ekornya lebih pintar, ekornya lah yang akan mengibas-kibaskan si anjing."

Dalam dunia Brean, ekor lah yang lebih pintar dan rakyat--para pembaca serta pemirsa--adalah anjing yang mudah dikibas-kibaskan.

Dikutip dari Koran Tempo edisi 15 Juni 2003

HUTANKU, HUTANKU




Ilmu ekonomi, kata orang, adalah ilmu yang murung. Ini bukan saja karena ilmu ini selalu bertemu dengan sederet rumus-rumus dan angka-angka yang rumit. Tapi, karena ilmu yang satu ini selalu menyimpan sebuah tetapan yang disembunyikan. Kemiskinan adalah variabel tersembunyi dan disembunyikan dalam setiap rumus ekonomi pembangunan. Maka itu, tidak heran jika semakin moncreng pembangunan, semakin banyak pula orang miskin.

Dengan dalih itu pula, tentu saja untuk menggenjot devisa, 15 perusahaan tambang diizinkan kembali beroperasi di hutan lindung. Celakanya, ini sudah disetujui DPR dan akan disahkan dalam undang-undang. Jangan-jangan kita, kelak, tak hanya akan mengimpor beras, tapi juga oksigen.

Bayangkan saja, setiap hari, ketika Anda baca tulisan ini, hutan kita hilang seluas 1.445 kali lapangan sepak bola. Pernah lihat lapangan sepak bola? Kalikan saja dengan angka itu. Maka, dalam setahun hutan seluas provinsi Jawa Barat hilang dari muka bumi.

Tidak ada yang aneh, sebetulnya, dengan angka-angka ini. Ketika pada 2000 saya berkunjung ke Muara Wahau, ujung utara Kalimantan Timur, dan menginap dua bulan di sana untuk keperluan penelitian, saya melihat dari dekat betapa hutan itu lenyap perlahan-lahan. Sejauh mata memandang, hanya ilalang dan rumput gajah yang tumbuh sisa kebakaran 1997.

Di pedalaman itu pula mesin-mesin berat menggerus pohon-pohon dan memadatkan tanah. Para pekerja, dengan otot yang mengkilap, merangsek maju semakin dalam, menerjang kecuraman yang melewati batas semestinya. Ketika saya tanya kenapa itu dilakukan juga, mereka hanya nyegir dan menjawab "apa boleh buat" sambil lalu. Saya ditertawakan sebagai orang yang kutu buku, terlalu setia pada rumus dan peraturan.

Gunung dibelah untuk membuka jalan guna menggenapkan target produksi. Saya tak melihat perusahaan tambang di sana beroperasi waktu itu. Tapi, dengan ketentuan ini kelak, saya sudah bisa membayangkan apa yang terjadi dengan pohon-pohon dan kijang di sana. Saya sudah membuktikan, hutan Kalimantan tak seseram yang dibayangkan dan seganas cerita orang-orang. Ia tak lagi sehimpun pohon-pohon berdiameter besar yang angker.

Mengorbankan lingkungan semacam ini jelas bukan rumus yang disembunyikan. Lingkungan sudah sangat jelas bagaimana manfaatnya. Pemerintah atau DPR mungkin tak mempertimbangkan ketika mereka berdebat merumuskan beleid itu, ada banyak oksigen yang dihembus-hirupkan. Tapi, mungkin juga iya. Karena di gedung yang terhormat itu angin bukan datang dari sepoi pepohonan, tapi dari hembusan pendingin yang diputar menyamai suhu di Praha.

Ada 30 juta hektare hutan lindung kita yang tersisa yang memasok udara bagi kita, bagi dunia, kini. 12 juta hektare dari jumlah itu akan disurvei kedalamannya dan berharap menemukan galian tambang di sana. Ini memang akan menambah pendapatan negara. Padahal, nilai ekonomi dari hutan yang tetap tegak akan jauh lebih besar dan jauh lebih panjang. Kerugian ekonomi Jakarta saja belum tergantikan akibat terjangan banjir tahun lalu.

Ilmu ekonomi memang murung, semurung orang-orang yang mempraktekannya, juga kita yang ketiban akibatnya.