Tuesday, November 29, 2005

ORANG-TUA



Apa perbedaan orang-tua dan orang-muda? Saya sering tidak mengerti apa yang ada di benak para orang tua. Mereka memberi petuah dan kebajikan yang tak dimengerti orang-orang muda.

Samar-samar Ivan Turgenev memberi jawaban. Dalam novelnya yang terkenal, Ayah dan Anak, Turgenev membuat garis tegas antara orang tua dan orang muda. Ayah mewakili prototif orang tua yang udik tapi penuh perhitungan, yang cemas tapi menaruh harapan, sementara Bazarov tipikal anak muda yang trengginas dan progresif. Pikiran dan gerak-geriknya mewakili sepotong "mahluk-revolusi". Ah, apa pula revolusi? Dengan berat hati saya cantumkan juga kata ini karena latar Ayah dan Anak bercerita tentang sebuah masa ketika Rusia mulai rusuh dengan ide-ide besar.

Bazarov yang baru lulus dokter itu pulang kampung. Ia tinggal di rumah seorang kawan, anak dari Ayah dalam novel ini. Kedua orang muda ini sering terlibat diskusi tentang zaman yang terbelakang. Cita-cita, harapan, dan solusi yang mungkin bisa diteraapkan. Dan Ayah adalah keterbelakangan yang nyata di depan mata mereka. Petuah dan kebajikannya sudah usang.

Ayah, yang tak mengerti bahwa dunia sudah berubah di luar sana, hanya berpikir bagaimana membuat tanah pertanian subur dan panen untuk hidup sehari-hari. Ia, misalnya, hanya perlu ke kebun mencari rumput untuk meredam demam seorang adiknya. Sedangkan Bazarov ingin penyakit itu dideteksi dan si bibi minum obat. Mereka pun kerap bertengkar untuk hal-hal sepele.

Ayah tak mengerti apa yang selalu diobrolkan kedua orang muda itu. Ia bahkan berpikir Bazarov adalah orang berbahaya yang bisa meracuni pikiran anaknya karena melabrak pakem-pakem tradisi. Bazarov makin prustasi ketika tahu keterbelakangan itu hinggap di seluruh negeri. "Kita harus berubah," katanya. Tapi dengan cara apa? Bazarov mewakili kaum intelektual Rusia ketika itu--dan di manapun--yang tak berdaya menghadapi kondisi masyarakat.

Dalam pandangan Bazarov, Ayah adalah orang yang tak mau berubah. Sementara di mata Ayah, Bazarov adalah orang yang tak tahu adat. Dua-duanya memakai mata yang berbeda dalam memandang situasi. Maka kedua generasi ini pun berbenturan.

Barangkali orang-orang tua memang seperti itu. Dan adat orang-orang muda juga sama seperti Bazarov. Mereka gelisah melihat sekeliling, membayangkan masa depan, meraba dirinya sendiri. Keduanya memakai tolok ukur yang berbeda.

Saya makin tahu perbedaan itu dalam sebuah obrolan warung kopi setiap malam di dekat rumah. Para orang tua selalu bercerita bagaimana pengalaman ketika muda. Seorang bapak, misalnya, mengaku bandel sewaktu muda tapi ia juga kini mengecap bandel pada anaknya yang jarang pulang.

Lain malam obrolan sampai pada soal umur. Sewaktu muda bapak yang rumahnya di ujung sana bercerita bahwa dulu ia kuat memanggul semen dua zak sekaligus. Sekarang, katanya, meskipun masih kuat ia hanya akan memanggul satu zak saja. Nah, inilah bedanya.

Orang-muda akan berpikir buat apa dua kali bolak-balik jika semen bisa diangkut sekali balik. Hanya buang waktu. Sedangkan orang-tua berpikir buat apa sekaligus jika masih bisa diangkut dua kali. Kebajikan dan banyak pertimbangan adalah hal yang membedakannya. Orang-tua, kata sebuah pemeo, memang tak pernah salah. Kita salah mengecap pikiran-pikiran mereka saat ini, tapi akan mengakui benar jika kita juga sudah jadi orang-tua. Dan umur, ini penutup obrolan semalam, tak pernah menipu.

Wednesday, November 16, 2005

BOLA



Bola...
Bola gayamu mempesona

[Bola | Ona Sutra]

Sepak bola mungkin tak selamanya menyangkut nasionalisme. Permainan ini lintas batas, kata Albert Camus. Kita bisa mendukung kesebelasan sebuah negara walaupun secara politik pernah dan sedang bermusuhan dengan negara kita.

Setiap kali pertandingan sepak bola piala dunia, entah kenapa, saya selalu menjagokan Belanda. Kesebelasan lain, semisal Prancis atau Brasil, bermain sangat bagus. Tapi saya selalu berharap Belanda-lah yang terus bermain hingga final, meski tak harus jadi juara. Padahal, Belanda pernah menjajah kita. So wot gitu loh?

Dalam pertandingan Uruguay-Australia tadi sore saya bersorak untuk kesebelasan asuhan Guus Hiddink itu. Orang sebelah berteriak, kenapa mau mendukung Australia padahal negara ini selalu ikut campur urusan Indonesia.

Australia memang menjengkelkan untuk beberapa hal. Di Kuta, Bali, bule Australia petantang-petenteng serasa di negaranya sendiri. Mereka bisa tertawa sekerasnya di bandara, padahal banyak orang lain yang menunggu pesawat dalam diam. Atau kepala negara mereka yang hanya mau menjawab pertanyaan wartawan negaranya sendiri padahal jumpa pers digelar di Istana Negara. Mereka juga terkenal rasis kepada orang kulit berwarna.

Tapi pertimbangan ini tak muncul dalam adu rebutan bola itu. Saya tak tahu apa yang mendorong saya berpihak pada Australia. Mungkin karena, di atas kertas, Australia kalah dibanding Uruguay. Simpati selalu saja datang untuk pihak kelas dua. Dan sejak piala dunia di Jerman Barat 1974 tim sepak bola Australia tak pernah merumput di kejuaran ini.

Tapi mungkin karena kesebelasan Australia bermain cemerlang. Di lapangan itu, 11 pemain Socceroos berhasil membuat 11 pemain Uruguay kerepotan menghadang di lini belakang. Hasilnya 1-0 untuk Australia sampai dua kali perpanjangan waktu berakhir. Untuk menentukan siapa yang berhak maju ke putaran piala dunia di Jerman tahun depan harus diundi lewat adu penalti--karena Uruguay pernah menang dalam pertandingan sebelumnya. Dan saya bersorak setiap kali Mark Schwarzer menepis bola dari kaki pemain Uruguay. Saya berteriak makin keras ketika John Aloisi melesakkan bola penentu ke gawang Gustavo Adolfo.

Kemungkinan lain, saya orang yang tak pernah punya jagoan dari negara sendiri setiap kali menonton haru-biru piala dunia sepak bola. Sehingga dukungan selalu ditumpahkan ke tim-tim kecil yang ajaib jika menang. Dalam sepak bola, alasan nasionalisme mungkin tak tepat benar.

Friday, November 11, 2005

KACAU HURUF



Eko Endarmoko

Praktikal atau praktis? Praktek atau praktik? Standar atau standard? Rasanya kita mendapati makin banyak saja kata yang ditulis berbeda-beda.

Ingat jugalah pemakaian kata-kata "kritikal" dan "teknikal", seperti "praktikal", yang agak sering kita temukan. Konon ketiga kata ini diserap dari bahasa Inggris critical, technical, dan practical. Kalau dikatakan bentuk yang baku adalah "kritis", "teknis", dan "praktis", pertimbangannya bukan semata karena ketiganya bisa juga dianggap serapan dari bahasa Belanda kritisch, technisch, dan praktisch, melainkan lebih karena akhiran -ical Inggris, dan -isch Belanda, dalam kaidah bahasa Indonesia menjelma -is, seperti pada "ekonomis", "hipotetis", atau "logis".

Sementara itu, Pusat Bahasa butuh waktu lama untuk menetapkan bentuk kata yang mesti dipakai adalah "praktik", bukan "praktek". Mulanya mungkin kita terkaget-kaget, tapi tampaknya itu terjadi karena kita belum terbiasa. Bukankah juga ada kata "praktikum", "praktis", dan "praktisi"? Dan berdasar nalar yang sama, Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) mestinya menulis bukan "populer", melainkan "popular", bukan "reguler", melainkan "regular", pun bukan "sekuler", melainkan "sekular".

Kaidah pembentukan kata serapan di situ cukup jelas dan logis, namun ironisnya dilanggar sendiri oleh lembaga yang merumuskannya, Pusat Bahasa. Ini contoh lain. Kita diminta menulis "standar", bukan "standard", meski ada kata "standardisasi". Padahal, menurut kaidah berbahasa yang baik dan benar, gugus konsonan /rd/ di akhir kata serapan tetap dipertahankan sebagaimana kita menulis "absurd" dan "fyord". Ingatlah pula pada huruf /t/ di akhir kata yang kini banyak disunat: "ekspor", "impor", "ekstrover", "introver", "transpor".

Pernah juga kita diminta menulis "subyek" dan "obyek", tapi sekarang diganti "subjek" dan "objek". Barangkali karena setelah diperiksa asal-usulnya, kedua kata itu, baik dalam bahasa Belanda maupun Inggris--dua bahasa yang termasuk paling banyak menyumbang kosakata buat kita--ditulis subject dan object. Baiklah. Lalu bagaimana dengan bentuk "proyek"? Tidakkah bahasa Belanda dan Inggris sama-sama menuliskan keduanya project?

Lihatlah, dalam soal yang "sepele" saja, yakni bagaimana menulis kata, lembaga yang melulu mengurusi bahasa sudah repot. Ia tidak hanya mengabaikan kaidah, tapi juga seperti tidak yakin pada alasan-alasan yang mendasari kaidah itu. Apakah sebetulnya yang menjadi kriteria di dalam menyerap kata asing: ejaan, bunyi, ataukah bahasa asalnya?

Yang kemudian mengundang cemas, bahasa Indonesia jadi seakan tak punya aturan dan terkesan tak siap menjalankan fungsi kecendekiaan. Tidak bisa tidak, kita membutuhkan kaidah yang jelas sambil tak lupa bahwa bahasa cenderung mengelak diringkus oleh kaidah yang cerewet dan kaku. Dirumuskan terbalik, selama kaidah meneropong bahasa sebagai barang mati maka selama itu pula bahasa Indonesia akan terus awut-awutan seperti sekarang. Atau setelah buta huruf, kita perlu melewati fase kacau huruf dulu sebelum betul-betul melek huruf?

Koran Tempo, 9 November 2005

Thursday, November 10, 2005

DI MANAKAH 'DI'?



Goenawan Mohamad

Coba kita memasuki Jalan Diponegoro. Di depan Taman Surapati akan tampak sepetak tanah yang rapat dikelilingi pagar, dengan sekalimat pemberitahuan:

DI SINI AKAN DI BANGUN

Si penulis pemberitahuan itu pasti tak tahu ada dua macam "di" dalam kalimatnya yang seharusnya berbeda. "Di" yang pertama menunjukkan tempat "yang harus dituliskan terpisah dari kata yang menunjukkan tempat itu". "Di" yang keduamerupakan sebuah awalan untuk sebuah kata kerja pasif "yang harus merapat padakata yang diawalinya".

Bedanya? Kita tahu, "di langgar" (artinya: di surau) tidak sama dengan "dilanggar" (artinya: ditabrak).

Tapi benarkah kita tahu? Ketika- ejaan diperbaharui di awal tahun 1970-an,umumnya orang ingat ada perubahan menulis secara tertentu; misalnya huruf "tj"("tjowok") diganti dengan "c" (jadi "cowok"). Tapi umumnya orang lupa, sejak saat itu sebenarnya ada ketentuan agar kita menuliskan secara berbeda kedua macam "di" itu.

Tapi apa lacur: sampai pada awal abad ke-21, kekacauan masih banyak terjadi. Kalimat di depan Taman Surapati itu adalah contohnya.

Dengan kata lain, ada yang gagal dari niat pembaharuan ejaan 30 tahun yang lalu.

Mungkin karena Pusat Bahasa "yang jadi pendorong ikhtiar nasional itu" hanya sibukdengan perkara cara menulis yang berubah. Atau mungkin para pegawainya hanya repot dengan ide perubahan bersama antara Melayu-Indonesia dan Melayu-Malaysia-dalam hal ejaan. Mungkin karena para pakar Pusat Bahasa sendiri tak sadar bahwamementingkan ejaan se-sungguhnya menegaskan perubahan sebuah kebudayaan.

Ejaan adalah perkara huruf. Kini, mau tak mau, kita hidup dalam kebudayaanberaksara. Agaknya Walter Ong, dengan bukunya yang termasyhur itu, Orality and Literacy, yang pertama kali dengan bagus menunjukkan apa implikasi "beraksara" itu. Terutama jika dibandingkan dengan kebudayaan yang hampir sepenuhnyamengandalkan komunikasi dan ekspresi lisan.

"Teknologi tulisan," kata Ong, mengubah kesa-dar-an manusia. Berbeda dengan kebudayaan lisan, aksara memberi bentuk linear kepada pikiran kita. Dengan itu, ter-bu-ka dan terdoronglah kita untuk bersikap ana-litis. Salah satu contoh terkenal dalam sejarah adalah ketika orang Yunani mulai menghayati alfabet.Dunia pemikirannya pun berubah, tak lagi berdasar kisah lisan Homeros,melainkan bersama Plato, yang mampu mengurai persoalan hidup dan jalan pikiransecara tajam.

Mengurai juga berarti menyadari dalam menggunakan kata, bukan mengigau. Karenatanpa sikap analitis yang memadai, kita pun mudah mencampur-adukkan "kontra" de-ngan- "kontrak", sehingga kita memasang pengumuman di depan pintu: "RUMAH INI DIKONTRAKAN" (dengan satu "k").

Atau kita alpa bahwa akar kata "berubah" bukanlah "rubah" (nama sejenis hewanyang dalam bahasa Inggris disebut "fox"), melainkan "ubah", sehingga "merubah" sebenarnya berarti "menjelma jadi rubah".

Memang ada yang hilang dalam kebudayaan aksara, tapi bisakah kita mengabaikan,betapa pentingnya kini sikap analitis dalam berbahasa dan berpikir? Tak hanyauntuk melahirkan seorang Plato. Tapi juga buat soal yang lebih sehari-hari: misalnya ketika kita harus menggugat sebuah perlakuan yang kita anggap secara seenaknya menafsir-kan hukum. Kita hanya bisa menggugat secara efektif, jika bisa bertanding tafsir atas kata-kata dalam peraturan itu" dan adu tafsir padadasarnya adu analisis.

Syahdan, ada sebuah teori, berdasarkan pengalaman, bahwa di masyarakat yang terbiasa dengan aksara, orang ramai tak mudah dihasut. Orang akan lebih mampu menyimak kembali dan menguraikan informasi yang didapat.

Kalau tak percaya, coba bayangkan di sebuah pertemuan seseorang berseru: "Tadi siang Quran kita dibiarkan di langgar!" Orang ramai yang mendengar mungkin akan marah besar: mereka menyangka bahwa yang dimaksudkan adalah "Tadi siang Quran kita dibiarkan dilanggar!"

Tuesday, November 08, 2005

PIKIRAN SEORANG PEDAGANG KELONTONG



Saya bertetangga dengan seorang pedagang kelontong. Ia suka begadang. Dan terang-terangan mengaku doyan main kartu, judi kecil-kecilan. Selama puasa kemarin, saya jadi sering mengobrol hingga menjelang sahur.

Ia cuma lulusan sekolah dasar di Jepara. Hijrah ke Jakarta sekitar tahun 1970-an. Jadi sopir truk, bus, hingga kini jadi sopir direksi sebuah perusahaan. Ia selalu bersyukur cuma lulusan SD bisa punya gaji tetap. Tiga anaknya sekolah di perguruan tinggi. Di rumah, ia buka warung. Orangnya menyenangkan, ramah pada setiap orang. Kami langsung akrab padahal baru kenalan saat itu juga.

Yang mengejutkan ia menyamakan koruptor dengan komunis. Seharusnya begitu jika Indonesia mau kembali maju, katanya. Aduh. Dulu, ketika Suharto naik, semua penganut, pengikut, simpatisan komunis dikremus. Dosanya turun temurun. Anak-cucu-cicit yang moyangnya pernah ikut PKI dilarang mendaftar jadi pegawai negeri. Kalau memaksa juga dijamin tak bakal lolos litsus. Dan ini program yang sangat sukses.

Bagaimana kalau program itu juga diberlakukan untuk koruptor? Anak-cucu-cicit koruptor diberi dosa turun temurun: tak boleh menikmati fasilitas negara. Bila perlu usir dari negeri ini, kalau belum tega menembak kepalanya seperti dilakukan para algojo Cina.

Bagi Pak Giman, saya tak bertanya nama lengkapnya [rasanya kurang sopan karena semua orang memanggil dia cukup dengan Pak De], Indonesia tidak cocok dengan demokrasi. Dan apapula demokrasi? Demokrasi, kata Pak Giman, adalah sebuah sistem di mana semua orang bebas bicara, bebas bertindak, karena itu negeri ini jadi seperti pasar. Yang paling kencang berteriak-- seperti tukang parkir dan calo bus itu--dia yang akan didengar orang. Indonesia sudah biasa dengan kerajaan. Ada pusat, ada orang kuat, ada yang bisa dijadikan rujukan terakhir ketika sebuah masalah tak kunjung bisa dipecahkan. Kita tak bisa dan biasa menyerahkan pemecahan masalah pada suara orang banyak. Sistemnya akan kacau. Sistem akan riuh dan masalah akan semakin bertumpuk. Persis seperti yang terjadi sekarang.

Pak Giman tak pesimistis Indonesia bakal selamat hingga kiamat. Ia meramal kita akan terus-terusan begini. Saya mengangguk. Sebagai orang Indonesia, kita seperti menunggu Godot. Cita-cita reformasi, tujuan demokrasi, adalah sebuah harapan, sebuah Godot. Kapan harapan itu tiba, jangan pernah mengharapkannya. Kita mengharapkan sebuah harapan. Konyol betul. Bukankah Godot tak pernah datang?

Saya bergidik mendengar Pak Giman. Suaranya mewakili keputusasaan hampir semua orang. Ada berapa puluh juta suara yang sebangun dengan pikiran Pak Giman, kita tidak tahu. Apa yang akan terjadi jika puluhan juta suara itu berkumpul? Republik Indonesia mungkin masih ada, tapi "Indonesia" saya menyangsikannya.

Setiap kali obrolan sampai sejauh ini, Pak Giman selalu menutupnya dengan separoh pesimisme. 10-20 tahun lagi saya meninggal, katanya. Dan saya tak perlu berpikir konyol seperti ini lagi.