Thursday, October 30, 2003

JARIG



: buat Arline

Barangkali hidup tak bisa ditebak. Atau kita yang tak bisa menebak. Kita berdua saja, waktu itu, merumuskan hal ihwal tentang masa depan. Dan kita kini, berusaha menyusur jejak di taman kenangan itu: bahwa akhirnya kita bisa juga hidup sejalan-setujuan--tidak seperti sajak yang pernah kubuat khusus untukmu, lima atau enam tahun silam. Maka puisi itu kini, Cintaku, tersusun seperti ini :


Hujan mendaras
pada pagi yang memburu
waktu bergegas
kita cemburu

Di sini
malam pun singgah sebentar
menghapus mimpi tak usai
di parasmu yang masai

Cepatlah berkemas
agar hari berangkat siang
membantun rindu cemas
melantun kisah riang

("Rindu ini juga tak boleh takluk.
Seperti sajak ini abadi. Kutulis
kutulis pada pintu yang kelak kita ketuk :
selamat pagi".)

Senja tinggal gerimis
tak lagi ritmis
tapi dingin ini, dik, amat mencekam
terus meniris
tak lekanglekang

Sebab itu rumah yang teduh
flaneur melabuh
hinggap di bungabunga dan kolam
bercakap tentang hujan barusan
dan kau, di sana, tekun menyulam

Wednesday, October 15, 2003

IMAM




Imam Samudra tidak saja piawai meledakan bom di Bali, tapi juga seorang penulis yang impresif dengan diksi yang memukau. 11 bulan dalam penjara ia menghasilkan catatan harian 200 halaman yang berisi curahan hatinya tentang jihad, Islam, teroris dan bom. Dari catatannya, kita tahu, ia meledakan Bali dan mengangkat senjata di Afganistan tidak dengan otak kosong. Kepalanya disaput ideologi, Tuhan, dan harum surga.

Suatu saat catatan itu mungkin akan dibukukan. Barangkali, harus. Ia akan menjadi saksi bagaimana kilatan pikiran Imam pada detik-detik horor 12 Oktober itu, juga keyakinan yang sampai ke sum-sum. Saya baru baca sekilas dari uraian wartawan Tempo yang mendapat catatan itu. Tapi, yang sekilas itu saja mampu menghadirkan sosok Imam yang teguh keyakinan.

Ditulis dengan huruf kecil, satu baris diisi oleh dua baris kalimat, dengan huruf-huruf kapital, Imam menorehkan memoarnya yang ia sebut Biografi (Setengah Hati). Di sana ia menceritakan bagaimana hari-hari masa kecilnya dilewatkan di "sekolah sekuler". "Sekolah agama yang tak terlalu ketat, dengan meja-meja yang sudah dimakan rayap," tulisnya.

Sewaktu SMP ia tak seperti anak lain yang masih gemar petak umpet. Imam kecil lebih senang duduk berlama-lama di perpustakaan. Dalam belia ia sudah menyelesaikan novel Di Bawah Lindungan Ka'bah karangan Buya Hamka. Saat di SMP 4 Serang, Banten, itu pula, ia berkenalan dengan Dr. Abdullah Azzam melalui bukunya Aayaturahman Fie Jihadil Afganistan (Tanda-tanda Kekuasaan Allah dalam Perang Afganistan). Ia terpesona oleh cerita Azzam hingga bermimpi bisa bergabung dengan para mujahiddin itu.

Menginjak besar ia berkenalan dengan internet. Dia bisa betah duduk sehari-semalam untuk surfing dan menemukan aneka gambar penderitaan rakyat Palestina juga Afganistan. Ia pun membagi ilmunya tentang Hacking, Darimana Mulai?. Ia jadi hacker yang membajak dan merusak situs-situs yang dianggap "musuh-musuh" imannya. Gelora jihadnya terus berkobar hingga pada 1990 sebuah kesempatan datang dan ia pergi ke tanah sengketa itu.

Kenapa Bali? Itu pertanyaan yang dilontarkannya sendiri. Maka ia pun menjawabnya sendiri. "Bali hanyalah sekeping tempat berlindungnya teroris Amerika dan sekutunya." Kenapa tak dilakukan di Amerika, Australia, Prancis, Jerman, Belanda? "Karena aku wanted, wanted, dan wanted. Kalau tidak wanted pun bukan urusan mudah mendapatkan visa dari negara-negara itu." "Manusia yang tak mengerti jihad pasti akan mengutuk dan memberi komentar yang mengelirukan, menyesatkan dan menyakitkan."

Imam barangkali seorang yang mudah tergugah. Ia seorang anak kampung yang terbuka mata dan hatinya oleh bacaan-bacaan. Karena itu ada banyak pertanyaan hinggap di kepalanya tentang agama, hidup, dan Tuhan. Ia jadi terlampau cepat dewasa dan menemukan jawab dari pelbagai pertanyaan itu lewat buku Azzam. Kita tidah tahu apa jadinya jika ia tak terpesona oleh lukisan di perpustakaan itu lalu matanya tertumbuk pada buku Azzam, tapi tatapnya jatuh pada komik Gareng dan Petruk karangan Tatang S yang legendaris itu.

Bagi anak kampung yang sudah berkenalan dengan bacaan sejak mula, umur akil balig memang seperti persimpangan. Imam meyakini jalan yang diyakininya benar. Maka tidak saja niat yang tumbuh di kepalanya dari doktrin Azzam itu, tapi keyakinan dan ideologi. Ia ciptakan, mungkin juga sudah tercipta, jalan yang memudahkan tetap mengobarkan keyakinannya itu. Jalan hidupnya terus menerus membawanya ke arah sana: arah Jihad yang diyakininya.

Friday, October 03, 2003

MENUNGGU SITA




Kantor kami mau disita untuk alasan yang kabur dan salah alamat. Kami menunggu: SELAMAT DATANG JURU SITA KEBEBASAN PERS.





Tapi tidak jadi. Posting ini masih dikirim dari komputer di dalam kantor milik kami. Sah. Batal jatuh ke tangan para juru sita.

Foto : TEMPO/Santirta M

LINK
Karyawan Koran Tempo Sambut Juru Sita dengan Spanduk
Koran Tempo Batal Disita
Giliran Gedung Koran Tempo Disita
Dubes AS Datangi Kantor TEMPO

Wednesday, October 01, 2003

DONGENG

SAYA tumbuh dengan dongeng. Karya sastra kedua yang saya dengar dan saya serap, setelah dongeng bapak sebelum tidur, adalah dongeng Mang Jaya. Dongeng memenuhi keseharian saya sejak kecil, sejak sebelum meninggalkan kampung untuk sekolah. Barangkali, tidak hanya saya, bahasa lisan orang Kuningan dan sekitarnya sangat dipengaruhi oleh cerita-cerita Mang Jaya lewat dongeng entengnya. Disebut dongeng enteng karena ceritanya dipungut dari keseharian orang Sunda yang banyak canda.

Dongeng Mang Jaya mengalir melalui gelombang radio AM. Waktu itu tak ada gelombang FM. Radio Mang Jayalah satu-satunya gelombang yang kami dengarkan. Belakangan radio swasta banyak muncul di Cirebon. Ketika saya pulang, gelombang FM juga sudah banyak. Gelombang ini khusus menjaring pendengar anak muda. Tapi, Mang Jaya tetap tak dilupakan. Dengan suara yang sudah tua, ia masih setia menyapa pendengarnya tiap jam 11 siang, 3 sore dan 8 malam dengan cerita yang berbeda-beda. Jika Anda pernah dengar Linggarjati di pelajaran PSPB, kantor radio Mang Jaya berada tak jauh dari rumah yang dipakai perundingan antara pemerintah Indonesia dan Belanda itu.

Satu buah dongeng bisa sampai bersambung hingga lebih dari satu bulan. Setiap episode panjangnya satu jam. Mang Jaya membawakan sendiri teks iklan yang diselipkan di setiap dongengnya. Meski suaranya tua, ia masih bisa membedakan suara perempuan, orang setengah baya, nenek-nenek, anak muda atau juragan yang berwibawa tapi culas. Tiap suara itu menunjukan bagaimana karakter tokoh-tokoh itu.

Saya masih ingat begitu penasarannya, hingga harus bolos sekolah, karena ingin tahu cerita lanjutan Bandara yang berhasil diperdaya Nini Kalingking yang jahat. Atau saya menyangka bahwa Lodaya ti Pakidulan itu ada, nun jauh di kaki Gunung Ciremai. Cerita Mang Jaya begitu dekat, karena itu kami menyukainya. Di antara ceritanya, biasanya, Mang Jaya selalu menyelipkan petuah-petuah jika kebetulan ada orang jahat yang pikirannya diliput dengki dan hasut. Ia mengingatkan bahwa orang jahat tak akan bisa langgeng dan tenang hidup di dunia.

Karena itu dongeng Mang Jaya sarat dengan pesan, pesan moral tentu saja. Tapi, ia tak melupakan jalinan ceritanya. Tokoh-tokoh saling bersahutan dalam cerita itu. Saya paling suka jika ceritanya tentang jawara yang guguru di hutan lalu turun gunung menumpas kejahatan. Mang Jaya begitu deskriptif menceritakan pertaruangan antara penjahat dan tokoh baik. Kami bisa membayangkan bagaimana sebuah pukulan mengena tulang iga lalu tubuh si penjahat ambruk.

Mang Jaya tahu, cerita yang dibawakannya berupa dongeng yang dilisankan. Karena itu kalimat-kalimatnya lebih banyak deskriptif. Ia menunjukan, tidak hanya menceritakan. Mang Jaya bisa larut dengan cerita yang dibawakannya sendiri. Ia bisa sampai nangis jika tokoh utamanya sedang menderita. Jika suatu kali nangis, Mang Jaya absen selama dua hari. Kami tak mendengarkan program apapun di radio itu. "Mang Jaya mungkin malu," kata Umi.

Sebelum saya menyerap pelajaran bahasa Sunda di sekolah, Mang Jaya sudah mengajarkannya. Ia mengajarkan bagaimana omong halus dan kasar. Bagaimana sebuah idiom dan peribahasa dipakai untuk sebuah suasana dan kesempatan. Bahasanya kaya dan membuka peluang bentukan bahasa Sunda baru yang dipungut dari bahasa buhun yang lama tak terpakai lagi.

Waktu nikah saya mengusulkan agar memanggil Mang Jaya saja untuk hiburannya, daripada menyewa grup dangdut yang hanya mengundang keributan antar kampung saja. Suruh saja Mang Jaya mendongeng semalaman. "Orang-orang pasti suka," kata saya. Tapi, dua-duanya ditolak, bapak lebih suka mengundang seorang ustad untuk memberi petuah pernikahan. Padahal, Mang Jaya, juga pasti bisa memberi petuah-petuah. Tapi, saya menurut, karena saya tahu bapak ingin memberi kesan saat mulung mantu pertama kali.

Karena Mang Jaya, juga dongeng bapak, saya jadi suka cerita. Kadang-kadang kangen mendengarkan suara Mang Jaya muncul jika lama tak pulang kampung. Seperti sekarang....