Di Jepang, ditilang di jalan adalah sebuah aib. Seorang gadis tak mau keluar dari mobilnya ketika pak Polisi sibuk mencatat nama, nomor mobil, tanggal, dan waktu pelanggaran. Dia mencatat lama sekali. Saya yang menontonnya dari seberang jalan di samping Kyoto Perpectural, sampai menghabiskan setengah es krim.
Akhirnya si gadis itu keluar juga. Ia menunjuk-nunjuk ke arah ia parkir salah tadi. Di sana, rupanya, ada mobil lain juga yang melanggar. Pak Polisi terus menulis, si gadis terus menunjuk-nunjuk. Ia balik ke mobil, pak Polisi belum selesai juga. Tak tahulah apa yang dia catat dalam dokumen tilang itu.
Dan adegan itu menjadi tontonan para pejalan. Ada yang iseng-iseng mengintip apa yang ditulis si polisi itu, ada yang menyalakan kamera dan mengambil gambar adegan tilang itu, ada yang memotret--seperti saya. Saya pikir ini mungkin kejadian langka karena orang Jepang sendiri terlihat begitu ingin tahu dengan adegan tilang itu. Mereka saling berbisik, sengaja berhenti untuk menonton, atau cuma tersenyum dan geleng kepala sambil terus berjalan.
Catat-mencatat itu selesai juga. Si Gadis kembali ke mobilnya dengan cemberut. Ketika akan menutup pintu, sepasang manula menyalipnya dengan sepeda, dan entah berbicara apa sambil tertawa. Yang jelas, si gadis kembali naik pitam. Ia tak henti mengomel dan mengacung-acungkan tangan ke arah penunggang sepeda itu.
Pak polisi, sementara itu, kembali ke arah mobil yang ditunjuk si gadis. Mungkin ia mau menilang pengemudi salah parkir yang lain.
Ditilang rupanya memang sebuah aib. Apapun kesalahannya. Di negeri yang tertib seperti Jepang, aib datang dari kerumunan, dari hukum sosial yang tak jelas pasal-pasalnya, tapi mengikat orang dan menjadi pelumas dalam hukum positif. Atau, mungkin juga, karena orang Jepang gampang dan bisa diatur, dengan pasal paling rumit sekalipun.
Dan di jalanan itu orang teratur. Jalanan sepi dari bising suara. Tak ada bunyi klakson yang mengagetkan. Orang khusyuk berjalan atau mengemudi. Yang mengobrol memelankan suara.
Mobil-mobil berhenti jauh di belakang garis stop, yang jaraknya lima meter dari zebra cross. Kalau lampu sudah menyala merah, penunggang sepeda motor yang tanggung melaju pun akan berhenti dan kembali mundur. Sebab jalanan itu, selama satu menit itu, milik pejalan dan penunggang sepeda.
Dan orang tak malas menyeberang. Perempatan selalu menyediakan zebra cross dengan lampu merah menyala selama seukuran langkah bayi sampai ke ujung sana. Tak ada jembatan penyeberangan yang bikin repot.
Ada memang yang melanggar. Seperti di dekat persimpangan Kyoto University itu. Puluhan pejalan, dengan jas lengkap, overcoat, atau jaket yang necis, sedang menunggu lampu menyebang berwarna hijau ketika sepasang anak muda menyelonong karena mobil di simpang lain sudah berhenti.
Mereka mengira lampu segera akan hijau. Ketika tahu langkahnya tak diikuti pejalan lain, yang perempuan ketawa sambil menenggelamkan mukanya ke dada pacarnya. Rautnya memerah malu. Mereka lalu berjalan cepat diikuti tatapan puluhan pasang mata penyeberang lain.
Di sini angkutan publik juga efektif, selain pasti karena tepat waktu. Bus berhenti di halte dengan pintu masuk persis di lantai kuning tempat penumpang berderet antri. Mereka naik dari pintu belakang, dan turun dari pintu depan sambil menyodorkan tiket terusan 500 Yen yang bisa dipakai seharian ke mana dan bus apa saja.
Pak sopir--dengan jas, dasi, sarung tangan, dan mikropon--itu tinggal duduk di kursinya, lalu mengemudi dengan waspada. Tak perlu mengatur duduk penumpang, karena tanda gambar sudah berbicara banyak: ibu hamil, bawa anak, orang sakit, dan jompo mendapat prioritas kursi. Dan penumpang, di sini, tak antusias mendapat kursi. Meski bus lowong dan kursi kosong, orang-orang muda memilih tetap berdiri. Bus-bus tak memerlukan kernet yang meneriakkan jurusan. Nomor bus adalah jurusan itu.
Sepanjang hari pak sopir itu tersenyum kepada setiap penumpang yang turun, mengangguk, dan mengucapkan "arigato". Ia akan sigap menaikkan penumpang yang memakai kursi roda hingga duduk nyaman di dalam bus, dan memastikan kursi roda tak menggelinding ketika bus berjalan dengan mengikatkannya ke kursi lain.
Begitulah, di sebuah peradaban, orang bisa mengatur dirinya sendiri.