Tuesday, August 30, 2005

PINTU-PINTU CAK NUR



Cak Nur meninggal, dan kita kehilangan orang yang tak henti-henti menyerukan, mengusik dan menghidupkan generator dalam diri kita: bahwa manusia tak layak untuk sombong. Manusia tak punya hak merasa paling benar. Karena "benar" sungguh di luar jangkuan kita. Seseorang cemas, "Adakah orang seperti Cak Nur di zaman anak saya kelak?"

Setiap tokoh lahir karena zaman menginginkannya. Mungkin nanti akan lahir orang lain yang punya kapasitas lain untuk kembali mengusik, menyerukan, menghidupkan generator dalam diri kita yang hidup di zaman itu.

Tapi, rasanya Cak Nur telah melintasi zamannya sendiri. Apa yang ia serukan, apa yang ia dorong terus menerus menyangkut sesuatu yang memang tak akan tumpas dalam waktu yang singkat: kesombongan manusia itu. Setiap kali mendengarkan atau membaca Cak Nur, saya selalu merasa iman saya diakui bahwa apa yang saya tempuh bisa jadi mungkin.

Dan kita makin merasakannya. Ada banyak kelompok orang yang memaksakan keyakinannya sendiri kepada orang lain. Makin banyak orang yang cemas orang lain akan tersesat karena tak mengikuti jalan-Nya. Padahal, kata Cak Nur, Dia bisa "ditemui" lewat banyak pintu.

Orang-orang yang mencemaskan Cak Nur itu menganggap bahwa Dia hanya bisa dimasuki lewat satu pintu saja. Pintu yang lain adalah terlarang. Pintu yang lain sungguh tak dianjurkan dimasuki, bila perlu tutup dan segel.

Maka seseorang pantas cemas. Kita pun was-was, suatu kali dipaksa masuk lewat pintu itu. Kita belum akan punya orang yang bisa menerangkan dengan jernih dan sejuk bahwa jika hanya ada satu pintu, Dia sungguh zat yang terbatas. Mungkin kita menunggunya dalam waktu yang lama.