Sunday, January 12, 2003

DINAR



Ough!! Akhir pekan yang membosankan. Dua hari gak ngapa-apain. Tadinya mau nonton F4 (he-he-he), cuma gak kebagian tiket karena udah diborong keluarga presiden Megawati :)). Untung ada Dinar Rahayu. Dia penulis novel asal Bandung. Ini novel perdananya; judulnya Ode untuk Leopold von Sacher-Masoch. Dari judulnya saja orang sudah tahu, novel ini bercerita tentang masokisme. Waow!

Von Sacher-Masoch adalah penulis kelahiran Rusia abad 19 yang terkenal berkat novelnya: Venus in Furs. Di novel ini, Sacher-Masoch bercerita tentang hubungan Serverin von Kusiemski dengan Wanda von Dunajew. Serverin dan Wanda punya pandangan yang sama tentang seks yakni menggunakan kekerasan sebagai rumus utama mencapai kepuasan seksual.

Richard von Krafft-Ebing menyebut novel ini bercerita tentang "on real events from the author�s life". Berkat novel ini Sacher-Masoch diingat oleh dunia sebagai penulis dengan tema yang kuat. Dan Krafft-Ebing menyebut masokisme sebagai perilaku yang menyimpang dari kaidah umum itu.

Sacher-Masoch lahir pada 27 Januari 1836 di Lemberg, Rusia, dan meninggal pada 9 Maret 1895 di Lindheim, Jerman. Dari ayah dan ibunya, Sacher-Masoch mewarisi ras Spanyol, Jerman, dan Slavik. Nama Masoch diperoleh Leopold dari nama keluarga ibunya, Charlotte von Masoch, seorang penulis pemenang nobel kelahiran Rusia. Sedangkan Sacher dari keluarga bapak ayahnya, penulis kelahiran Spanyol.

Dinar Rahayu menciptakan tokoh Jonggi Kalangi untuk mengingat Sacher-Masoch dalam novelnya. Yang menarik, Dinar mendedahkan alur secara bergantian antara masa kekinian dengan cerita mitos Valkriye yang berkembang di Skandinavia. Jonggi merasa dirinya sebagai penjelmaan Apollo, dewa yang kemudian menjadi budak. Jonggi berhubungan dengan Dinar yang merasa sebagai reinkarnasi Valkriye yang telah menyerahkan keperawanannya kepada Apollo. Rahayu menulis dari sudut pandang Dinar sebagai perempuan.

Cerita bolak-balik antara mitos dan alam nyata. Rahayu kuat ketika menceritakan kembali mitos Skandinavia itu, tapi ia agak kedodoran ketika bercerita tentang tokoh-tokohnya yang ia ciptakan sendiri. Ia, misalnya, menceritakan Jonggi sebagai anak diplomat yang gede di Bandung, yang dituduh memperkosa anak kelas 4 SD, lalu digebukin orang tak dikenal, dan diperkosa kakaknya sendiri, Andre Kalangi. Lalu, Jonggi pun bercinta dengan ibunya. Tabiat transeksual dan masokisme yang dialami Jonggi menjadi njlimet tapi tidak kompleks.

Banyak tokoh yang dipajang Rahayu terkesan hanya sisipan, dan lahir serba kebetulan. Renata, kakak Jonggi,misalnya, muncul di suatu halaman hanya sekedar bertelepon sambil mengetuk-ketuk pas bunga di ruang tamu dengan ujung sepatunya. Lalu ia hilang hingga akhir cerita. Begitupun banyak tokoh lain berseliweran dalam novel yang hanya 148 halaman ini yang tak memegang peranan apapun.

Dalam Tempo edisi akhir tahun, Nirwan Dewanto secara khusus mengupas novel ini. Katanya, berkat Dinar ia menjadi seorang yang optimis melihat perkembangan sastra nasional. Kita tahu, Nirwan--eseis yang saya suka--seorang penulis yang memandang nyinyir pada puisi, cerita pendek, dan novel yang lahir ratusan selama kurun 2002. Kerap kali Nirwan mengkritik para penulis itu sebagai penulis yang tak mengerti kaidah bahasa dan memanfaatkannya sebagai alat menyampaikan tema, bukan sekedar ornamen. Dalam sebuah eseinya di Koran Tempo, misalnya, Nirwan pernah menganjurkan para penulis untuk belajar menulis surat kepada seorang teman sebelum menulis sebuah cerita.

Tapi, Nirwan pun mengkritik Dinar Rahayu yang "mengakhiri novel justru ketika cerita baru dimulai". Saya tahu, letak di mana Nirwan memuji Dinar. Tapi, saya tidak tahu kenapa Nirwan tak mengkritisi bahasa yang dipakai Dinar. Karena kalimat-kalimat yang bertebaran di setiap halaman kerap menggangu terutama dalam susunannya. Di halaman 69, misalnya, Dinar menulis : "Betapa besarnya ruangan itu baru disadarinya" atau halaman 56: "Kasur Aa Iyong ia lihat diberdirikan, seperti biasa, untuk menghemat tempat". Dan Dinar pun memakai kata "diamankan" untuk seseorang yang dijebloskan ke penjara untuk menghindari amuk massa.

Dinar Rahayu mungkin pengaggum Stephen King, seorang penulis cerita horor yang laris. King pernah bilang, menulis dengan kalimat pasif jauh lebih aman. Tapi, "lebih aman" bukan pilihan ketika kalimat terasa tercekak. Tapi, saya kagum pada Dinar yang menulis dengan detil dan tahu bagaimana menggambarkan sebuah kesakitan.

Dinar menulis: Ia membiarkanku menaruh kepala di atas perutnya yang terbuka karena ia hanya mengenakan celana dalam hitam. Tattoo kecil bergambar rusa kutub yang telah distilisasi, di antara pusar dan selangkangannya, terlihat sebagian. Tonjolan di ujung celana itu jadi tersamar karena warna hitam celananya" Atau Dinar menulis kesakitan ini "Ia langsung menghujamkan bagian ujung pensil yang ditajamkan itu masuk ke lubang telinga Jonggi yang langsung menjerit. Bunyinya berderak dan melengking seperti seribu piring pecah di kupingnya. Setelah itu sakit yang sunyi. Ia bisa merasakan pensil yang diungkit-ungkit itu mengoyak lubang jalan kupingnya. Sakit, linu, dan terasa becek."

Dinar yang berjilbab dan guru Kimia di SMA itu fasih dan ringan menuliskan kata ngentot dan penis di halaman-halaman novelnya. Dan jangan heran, Dinar yang lulusan ITB itu sangat mahir menggambarkan bagaimana reaksi kimia di tubuh setiap tokoh-tokoh yang ia ciptakan.

Karena Dinar, saya tak bosan menjalani akhir pekan kali ini. Uagh, besok kerja lagi...

No comments: